Demi menyelamatkan keluarganya dari kehancuran, Aluna harus menerima tawaran gila dari pria paling berkuasa di kota—menikah kontrak selama tiga bulan dengan Arsenio Hartanto, seorang CEO tampan, dingin, dan penuh misteri. Tanpa cinta, tanpa ikatan emosi. Hanya perjanjian bisnis. Namun, di balik setiap tanda tangan dan aturan yang mengikat, ada rahasia dan luka lama yang perlahan terkuak. Saat batas antara kewajiban dan perasaan mulai kabur, mampukah mereka tetap memegang kendali? Atau justru jatuh dalam permainan hati yang tak mereka rencanakan?
View MoreHujan deras mengguyur Jakarta malam itu. Langit gelap seakan bersatu dengan suasana hati Aluna yang muram. Gadis berusia dua puluh dua tahun itu berdiri mematung di depan gedung pencakar langit milik Hartanto Group, tempat segala perubahan hidupnya akan dimulai.
Tangannya gemetar saat ia mengepalkan undangan pertemuan yang dikirimkan oleh sekretaris pribadi Arsenio Hartanto—CEO muda paling berpengaruh dan dibicarakan di media. Semua orang tahu pria itu bagaikan es berjalan. Tampan, karismatik, namun kejam dalam bisnis. "Apa yang aku lakukan di sini?" gumam Aluna, menarik napas panjang sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam lobi mewah. Tubuhnya yang basah kuyup segera disambut oleh udara dingin dari AC sentral. Resepsionis mengenalinya dari foto yang dikirimkan sebelumnya, dan langsung membawanya menuju lift pribadi yang akan membawanya ke lantai 58—kantor pribadi Arsenio. Setibanya di sana, pintu lift terbuka dengan bunyi lembut. Aluna melangkah keluar dan menemukan ruangan luas, minimalis, dengan pemandangan gemerlap kota di balik dinding kaca. Seorang pria berdiri di dekat jendela, punggungnya tegak, tubuhnya dibalut setelan jas hitam yang terlihat dibuat khusus. Rambutnya disisir rapi, dan dari kejauhan saja Aluna bisa merasakan aura dominan pria itu. “Aluna Putri,” ucapnya tanpa menoleh. Suaranya berat dan berwibawa. “Ya, saya…” jawab Aluna gugup. “Saya datang karena—” “Saya tahu kenapa kamu datang,” potongnya sambil berbalik. Matanya tajam menatap langsung ke arah Aluna. “Duduk.” Dengan kaku, Aluna menurut. Ia duduk di sofa kulit hitam, sementara Arsenio duduk berseberangan sambil menyilangkan kaki. Tangannya melempar sebuah map tipis ke atas meja. “Di dalamnya, ada perjanjian pernikahan selama tiga bulan. Kamu akan menjadi istri saya, secara hukum. Setelah tiga bulan, kita bercerai. Kamu akan mendapatkan kompensasi sebesar dua miliar rupiah dan perusahaan ayahmu akan saya selamatkan dari kebangkrutan.” Aluna membelalak. Ia sudah diberi tahu secara garis besar, tapi mendengar langsung dari pria itu seperti tamparan keras di wajah. “Kenapa saya?” tanyanya, berusaha menjaga suaranya tetap stabil. Arsenio menatapnya, lalu menyandarkan tubuh ke sofa. “Saya butuh istri, cepat. Untuk urusan bisnis. Ayah saya hanya akan menyerahkan saham keluarga kalau saya menikah. Dan kamu… tidak cukup penting untuk jadi ancaman. Tidak akan jatuh cinta, tidak akan menyulitkan saya. Sempurna.” Ucapan itu menusuk harga diri Aluna. “Dan kamu juga sedang putus asa,” tambahnya dingin. “Ayahmu terlilit utang. Bank hampir menyita rumahmu. Kamu butuh uang. Jadi kita sama-sama saling diuntungkan.” Aluna mengepalkan tangan di atas pahanya. Ia ingin menolak, ingin berteriak bahwa ia bukan barang dagangan. Tapi wajah ibunya yang sakit, adiknya yang masih sekolah, dan ayahnya yang hampir gila karena tekanan… semua itu menghantam logikanya. “Kenapa tidak cari wanita lain yang lebih… cocok?” tanya Aluna pelan. “Karena wanita lain selalu berharap lebih,” jawab Arsenio cepat. “Mereka pikir bisa mengubah saya. Kamu tidak. Kamu tahu tempatmu.” Aluna terdiam. Pria ini benar-benar menghina tanpa ragu. Tapi… dia juga benar. Arsenio lalu berdiri dan mengambil map di meja, menyerahkannya langsung ke tangan Aluna. “Baca, pikirkan. Tanda tangan besok pagi jam sembilan. Kalau kamu tidak datang, anggap kesepakatan batal. Dan ayahmu... biarlah perusahaan keluargamu tenggelam.” Tanpa kata lain, pria itu pergi meninggalkan ruangan, menyisakan Aluna yang masih gemetar memegang map itu. --- Keesokan Paginya Aluna berdiri di depan cermin, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana panjang hitam. Rambutnya dikuncir rapi. Wajahnya pucat, tapi tekad sudah tertanam. Ia datang. Ia memilih menandatangani perjanjian itu. Di ruang yang sama seperti semalam, ia menyerahkan map yang telah ia tanda tangani. Arsenio duduk di mejanya, tampak tenang seperti biasa. “Bagus. Kita akan menikah di KUA sore ini. Tim hukum saya akan urus sisanya,” katanya datar. “Tidak ada keluarga yang hadir?” tanya Aluna, agak terkejut. “Semakin sedikit yang tahu, semakin baik.” --- Sore itu Pernikahan mereka berlangsung dalam waktu kurang dari lima belas menit. Di kantor KUA yang sunyi, tanpa gaun, tanpa cincin, tanpa ciuman. Hanya dua tanda tangan. Dan status mereka berubah: suami-istri. Usai prosesi, Arsenio menyerahkan sebuah kunci apartemen mewah. “Kamu tinggal di sini. Jangan ganggu saya kecuali penting. Kita hanya akan tampil bersama saat dibutuhkan. Jangan membuat skandal. Jangan jatuh cinta.” Kata terakhir itu diucapkan dengan tatapan tajam seolah memperingatkan. Aluna hanya mengangguk. Bibirnya kering. Jantungnya kosong. Ia tahu ini hanya awal dari drama besar yang akan mengubah hidupnya. --- Tiga Hari Pertama Tinggal di apartemen mewah bukan berarti bahagia. Aluna merasa seperti terjebak dalam sangkar emas. Semua sudah tersedia—makanan, pakaian, bahkan asisten pribadi. Tapi Arsenio nyaris tidak pernah datang. Mereka belum tinggal bersama. Ia hanya mendapat pesan singkat dari sang suami, berisi jadwal kemunculan publik pertama mereka: gala dinner perayaan ulang tahun perusahaan. Aluna menatap gaun panjang berwarna merah tua yang dikirim khusus. Elegan, tapi bagai seragam perang. Karena malam itu, ia akan tampil sebagai "istri sang miliarder". --- Malam Gala Lampu kristal menyinari aula besar. Musik klasik mengalun. Para tamu mengenakan busana mewah. Saat Aluna melangkah masuk bersama Arsenio yang menggenggam lengannya, semua mata tertuju pada mereka. Bisikan dan tatapan sinis menyambutnya. “Siapa dia?” “Istrinya? Dari mana?” “Bukan sosialita, pasti gadis rendahan…” Aluna menahan napas. Tapi ia tetap tersenyum. Arsenio berbisik di telinganya. “Berpura-puralah mencintaiku.” Aluna membalas tanpa menoleh, “Aku sudah melakukannya sejak tadi.” --- Malam itu ditutup dengan berita utama di media: > “Arsenio Hartanto Tampil Perdana Bersama Sang Istri Misterius! Siapa Wanita Ini?” Sementara publik mulai bertanya-tanya, Aluna mulai menyadari bahwa pernikahan ini tidak akan sesederhana kontrak dan tanda tangan. Karena… perasaan manusia tak bisa dikendalikan sesempurna hitungan bisnis. Dan rahasia—baik dari pihaknya maupun Arsenio—segera akan terbongkar satu per satu. Apartemen mewah itu terlalu sunyi. Aluna duduk di ruang tengah dengan secangkir teh yang sudah dingin. Ia memandangi jam dinding yang terus berdetak tanpa rasa bersalah. Sudah dua hari sejak pernikahan mereka, tapi Arsenio belum muncul satu kali pun. Ponsel di tangannya tak pernah berdering, kecuali dari asisten pribadi Arsenio yang hanya mengabarkan jadwal, makanan, dan hal-hal teknis lainnya. Semua terasa… mekanis. "Apa begini rasanya menikah dengan pria yang bahkan tidak menganggapmu sebagai manusia?" gumamnya pelan. Di seberang ruangan, layar televisi besar menyala menampilkan berita bisnis. Wajah Arsenio terpampang di layar, sedang memimpin rapat dewan direksi. > “Arsenio Hartanto semakin menunjukkan kekuatannya sebagai pewaris tunggal Hartanto Group. Kini, setelah menikah secara resmi, banyak yang memprediksi ia akan segera naik jabatan sebagai Direktur Utama menggantikan sang ayah.” Aluna mengalihkan pandangan. Ia merasa seperti pion kecil dalam permainan besar keluarga ini. Ketika malam semakin larut, ia duduk di balkon, membungkus tubuhnya dengan selimut. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa kenangan masa lalu. Ia ingat betul saat ayahnya dulu berjaya. Restoran keluarga mereka terkenal di kota. Tapi ketika pandemi melanda dan ekonomi terpuruk, semuanya berubah drastis. Ayahnya terlilit utang besar, dan ibunya jatuh sakit karena stres. Aluna berhenti kuliah dan bekerja serabutan untuk membantu keuangan. Semua usaha itu runtuh dalam hitungan bulan. “Sekarang aku malah jadi istri kontrak pria asing demi uang…” bisiknya getir. --- Keesokan Harinya Jam sembilan pagi, pintu apartemen terbuka. Arsenio masuk tanpa salam, mengenakan kemeja putih yang dilipat hingga siku. Wajahnya tampak lelah, tapi tetap memancarkan karisma. Aluna buru-buru berdiri. “Kamu datang…” “Kenapa kaget? Ini apartemen saya juga,” katanya sambil berjalan ke dapur. Ia membuka lemari, mengambil segelas air, lalu meneguknya. “Kita punya jadwal pemotretan siang ini. Kamu harus ikut,” katanya tanpa basa-basi. “Pemotretan?” “Untuk majalah bisnis. Mereka ingin menampilkan pasangan muda sukses. Anggap saja bagian dari peranmu.” Aluna mengangguk pelan. “Baik.” Arsenio menatapnya sekilas, lalu melangkah pergi ke kamar utama. Aluna berdiri mematung. Hubungan mereka terasa seperti atasan dan bawahan. Tidak ada hangat, tidak ada sapaan personal. Hanya tuntutan, jadwal, dan diam. --- Studio Foto Aluna mengenakan gaun putih sederhana dan make-up profesional. Arsenio duduk di sebelahnya, tampil sempurna dalam setelan abu-abu gelap. Fotografer meminta mereka untuk saling menatap, seolah pasangan yang jatuh cinta. “Sedikit lebih mesra, Pak Arsenio,” ujar fotografer. “Mungkin bisa peluk pinggang istrinya?” Arsenio menoleh sebentar, lalu meletakkan tangannya di pinggang Aluna, seolah tanpa perasaan. Aluna tersenyum tipis, tapi matanya tidak membohongi rasa canggungnya. Klik. “Luar biasa. Chemistry kalian… unik sekali,” puji fotografer. Mereka hanya membalas dengan senyum tipis. --- Setelah sesi foto Di dalam mobil mewah yang melaju di jalan protokol, mereka duduk tanpa bicara. Suasana hening mencekam. “Aku ingin bertanya satu hal,” kata Aluna pelan. “Bertanyalah.” “Kenapa kamu tidak pernah benar-benar memandangku? Bahkan saat kita menikah pun, kamu tidak mau menatap mataku.” Arsenio menoleh pelan. “Karena kalau aku menatapmu terlalu lama, aku bisa melihat kelemahan. Dan dalam bisnis, aku tidak boleh punya kelemahan.” “Kamu pikir aku kelemahan?” “Kamu adalah bagian dari kontrak. Aku tidak boleh merasa lebih dari itu.” Jawaban itu membuat dada Aluna sesak. “Tapi aku manusia…” “Kamu tahu dari awal apa yang kamu setujui. Jangan berharap lebih.” Mobil berhenti di depan apartemen. Arsenio keluar tanpa menunggu jawaban. Aluna tertinggal di dalam, menahan air mata yang tiba-tiba jatuh tanpa bisa dicegah. --- Beberapa Hari Kemudian Aluna mulai menerima kenyataan. Setiap pagi ia bangun sendirian, menghabiskan waktu membaca buku atau menonton TV. Sekali seminggu, ia diminta menemani Arsenio ke acara tertentu. Dan setiap kali itu pula, mereka harus berpura-pura sebagai pasangan bahagia. Salah satu momen yang tak terlupakan adalah saat mereka harus menghadiri makan malam keluarga Hartanto. Ibunda Arsenio, Madam Liana, adalah wanita elegan namun bermata tajam. Sejak awal, tatapannya pada Aluna seperti menilai barang antik palsu. “Kamu… lulusan mana, Aluna?” tanyanya sambil menyeruput sup. “Saya belum sempat menyelesaikan kuliah, Bu,” jawab Aluna jujur. “Oh. Saya pikir Arsenio akan memilih wanita dari lingkungan yang lebih… terdidik.” Arsenio yang duduk di sebelah Aluna tidak menanggapi. “Maafkan saya, Bu. Tapi saya akan berusaha memberikan yang terbaik sebagai istri,” jawab Aluna tenang, meski tangannya berkeringat. Madam Liana tersenyum miring. “Semoga begitu.” --- Malam Itu Di dalam mobil, dalam perjalanan pulang, Aluna menatap keluar jendela. “Keluargamu tidak suka padaku,” ucapnya lirih. “Mereka tidak perlu suka. Ini hanya tiga bulan. Setelah itu, semuanya selesai.” “Kamu tidak lelah berpura-pura, Arsen?” Untuk pertama kalinya, pria itu menoleh. “Aku sudah berpura-pura seumur hidup. Ini hanya tambahan peran kecil.” Jawaban itu terasa pahit. Tapi ada sedikit… luka dalam nadanya. “Apa kamu pernah benar-benar mencintai seseorang?” tanya Aluna tanpa sadar. Arsenio terdiam cukup lama sebelum menjawab. “Pernah. Tapi itu masa lalu.” Aluna tak bertanya lebih jauh. Tapi sejak malam itu, ia mulai melihat sisi lain Arsenio. Pria itu tidak hanya dingin—ia juga menyimpan luka yang dalam. Luka yang membuatnya membangun tembok tebal pada siapa pun, termasuk dirinya. --- Satu Minggu Kemudian Pagi itu, Aluna bangun dengan perasaan aneh. Ia merasa mual dan pusing. Ia sempat berpikir itu hanya masuk angin, tapi kondisi tubuhnya tidak membaik bahkan setelah minum obat. Asisten Arsenio memaksanya memeriksakan diri ke dokter. Dan hasilnya… “Selamat, Bu Aluna. Anda hamil enam minggu.” Aluna membelalak. “Itu… tidak mungkin…” Tapi ingatannya menelusuri kembali malam saat ia dan Arsenio mabuk berat usai pesta kemenangan merger perusahaan. Malam saat mereka... mengabaikan semua batasan kontrak.Malam itu, suasana rumah kontrakan Bima terasa menegangkan. Lampu temaram membuat bayangan di dinding bergerak-gerak, seolah ada sosok yang mengintai.Reyhan, Ayara, dan Ardi duduk di ruang tamu kecil. Bima gelisah, mondar-mandir, wajahnya penuh rasa takut.“Kalau saya buka mulut, saya dan keluarga bisa diburu,” kata Bima lirih. “Saya sudah lihat sendiri bagaimana orang-orang Rasya bekerja. Mereka nggak segan-segan menghilangkan orang.”Reyhan menatapnya dengan sorot mata tegas. “Itulah sebabnya kami datang. Kami akan lindungi Anda, Pak Bima. Tapi tanpa kesaksian Anda, kebenaran nggak akan pernah terungkap.”Ayara menambahkan, suaranya lembut namun penuh keteguhan. “Kami paham risikonya. Tapi kami juga percaya, orang baik selalu punya jalan. Dan Anda bukan sendirian.”Bima terdiam lama, sebelum akhirnya menghela napas. “Baiklah. Saya akan bantu. Tapi kita harus hati-hati. Rasya punya orang di mana-mana.”---Gerakan di Luar RumahTanpa mereka sadari, Reno dan beberapa anak buah Rasya
Pagi itu, layar televisi di hampir semua kafe, kantor, bahkan warung kecil menayangkan breaking news. Nama Reyhan terpampang besar di headline:“Skandal Besar: Pengusaha Muda Diduga Rekayasa Data Korupsi.”Ayara yang baru saja menyalakan TV di apartemen langsung terpaku. Tubuhnya terasa lemas, remote jatuh dari tangannya.“Tidak mungkin…” suaranya bergetar. “Mereka… mereka balikkan semuanya…”Reyhan keluar dari kamar, masih mengenakan kemeja setengah dikancingkan. Ia mendekati layar televisi, menatap dengan rahang mengeras.Di layar, seorang “ahli keuangan” yang sebenarnya adalah boneka bayaran Rasya berbicara lantang.“Bukti yang katanya ditemukan oleh Reyhan itu tidak valid. Ada indikasi manipulasi data. Bahkan, ada jejak digital yang menunjukkan bahwa file itu direkayasa dari laptop milik Reyhan sendiri.”Wajah Reyhan tetap dingin, tapi tangannya mengepal begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.Ayara menoleh padanya. “Rey… ini fitnah. Kamu harus jelasin ke publik. Kamu nggak
Pagi itu, langit Jakarta mendung seakan ikut menahan napas menunggu badai yang akan segera datang. Reyhan, Ayara, dan Ardi duduk di sebuah kafe kecil yang cukup sepi, jauh dari keramaian. Di meja mereka tergeletak sebuah map cokelat yang berisi print out data korupsi Rasya.Ayara sesekali melirik ke luar jendela, waspada kalau-kalau ada orang mencurigakan yang membuntuti mereka. Tangannya tak berhenti menggenggam erat jemari Reyhan.“Aku masih nggak tenang, Rey,” bisiknya. “Tadi malam mereka bisa tahu tempat kita, padahal apartemen kamu itu pakai keamanan berlapis. Bagaimana kalau hari ini mereka sudah pasang mata juga di sekitar sini?”Reyhan menatapnya lembut, meski wajahnya sendiri terlihat tegang. “Aku tahu, Ara. Tapi ini satu-satunya cara. Kita harus serahkan bukti ini sebelum Rasya sempat menghilangkannya.”Ardi mengangguk mantap. “Tenang aja, Ara. Bu Mira itu jurnalis senior, dia bukan orang sembarangan. Dia sudah biasa menghadapi ancaman kayak gini. Kalau data ini sudah di tan
Pagi itu, suasana apartemen Reyhan penuh ketegangan. Flashdisk kecil berisi bukti korupsi Rasya terletak di atas meja, seolah menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja.Ayara menatapnya dengan wajah gelisah. “Rey… kalau bukti ini sampai salah langkah, Rasya bisa balas dendam lebih gila lagi. Kamu yakin kita siap?”Reyhan menghela napas dalam-dalam, lalu menatap Ayara penuh keyakinan. “Aku tahu risikonya. Tapi kalau kita diam, dia akan semakin kuat. Kita nggak boleh kasih dia kesempatan lagi.”Ardi, yang sibuk memeriksa data dari laptop, ikut menimpali. “Semua bukti sudah jelas. Transfer dana fiktif, rekening luar negeri, nama-nama perusahaan boneka. Kalau ini sampai keluar ke publik, Rasya habis.”Ayara menggigit bibir. “Tapi kita harus hati-hati. Rasya itu licin. Dia pasti sudah pasang mata di mana-mana.”---Rencana PublikasiReyhan kemudian berdiri, berjalan ke arah papan tulis kecil di ruang tamu. Ia menggambar alur strategi:1. Kirim data ke media besar yang independen.2. S
Malam turun perlahan, menyelimuti kota dengan cahaya lampu yang berkelap-kelip. Di kejauhan, gedung Surya Corp berdiri gagah, jendela-jendelanya memantulkan kilau lampu jalan. Namun bagi Reyhan, gedung itu kini lebih menyerupai benteng musuh yang penuh jebakan.Ayara berdiri di depan jendela apartemen, menatap gedung itu dengan hati gelisah. “Rey, apa kamu yakin harus lakukan ini malam ini?” tanyanya lirih, suaranya bergetar.Reyhan meraih jaket kulitnya, wajahnya penuh tekad. “Justru malam ini saat yang tepat. Keamanan lebih longgar setelah jam kerja, dan sebagian besar karyawan udah pulang. Kalau aku nunggu besok, Rasya bisa makin rapat nutupin jejaknya.”Ardi yang duduk di sofa ikut menimpali, “Aku udah atur seseorang di dalam. Namanya Pak Bima, kepala arsip lama yang masih hormat sama Reyhan. Dia bakal bantu kasih akses. Tapi setelah itu, kita sendiri yang harus cari dokumen.”Ayara menggigit bibir, lalu menghampiri Reyhan dan menggenggam tangannya erat. “Janji sama aku, kamu bali
Hujan baru saja reda sore itu, tapi hawa dingin masih menusuk. Dari jendela apartemen mungilnya, Ayara melihat langit yang kelabu, seakan mencerminkan suasana hatinya.Ponselnya terus berbunyi, notifikasi dari media sosial, portal berita, dan pesan tak dikenal. Semuanya menuding Reyhan sebagai pengkhianat keluarga, bahkan kriminal yang dituduh mencuri data perusahaan.“Rey…” Ayara menoleh ke suaminya yang duduk di kursi, wajahnya lelah menatap laptop. “Fitnah ini makin parah. Mereka bilang kamu kabur bawa dokumen penting.”Reyhan menghela napas panjang, lalu menutup laptop. “Itu jelas permainan Rasya. Dia memang sengaja menjebakku. Aku udah menduga ini bakal terjadi.”Ayara menggenggam tangannya erat. “Terus kita harus gimana? Kalau terus-terusan gini, nama kamu bisa rusak selamanya.”Reyhan menatap Ayara dalam-dalam, sorot matanya tajam. “Justru itu, Ara. Aku nggak boleh diam. Kalau aku lari, Rasya menang. Aku harus buktikan siapa yang sebenarnya bersalah.”---Gerakan RasyaDi gedun
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments