Share

Rahasia dan Kebohongan

Author: rafanalfa6819
last update Last Updated: 2022-01-14 10:24:05

 

 

Bapak tertatih menghampiri kami yang sudah duduk di atas kursi tua di rumah mereka. Mas Vano dengan sigap membantu Bapak berjalan dan didudukkannya tubuh Bapak tepat di sebelahku. Aku mencium punggung tangan Bapak takzim. Setiap ingin berbicara dengan Bapak ataupun Ibu saat melakukan panggilan video dengan Mas Tomi, kakak lelakiku itu selalu menolak dengan alasan sedang sibuk di bengkel motor miliknya. Ya, Mas Tomi bekerja di sebuah bengkel motor yang terletak di depan rumahnya. Kebetulan rumah Mas Tomi dan Mbak Astri, istrinya, terletak tepat di samping jalan raya. Membuat usaha mereka terbilang cukup maju, setidaknya itu yang kudengar dari mulut Mas Tomi.

 

 

 

"Bapak sakit?" tanyaku hati-hati, melihat raut sedih di wajah Bapak membuat hatiku terasa lebih nyeri daripada cibiran para tetangga.

 

 

"Sudah dua tahun ini Bapak kamu selalu mengeluh kakinya sakit saat dibuat berjalan, Hal," sahut Ibu yang berjalan menghampiri kami dengan membawa dua gelas teh hangat di atas nampan.

 

 

 

"Kenapa Mas Tomi nggak bilang ke Halimah, Bu?" 

 

 

 

"Ibu yang melarang, Tomi bilang kamu sedang kesusahan karena habis kecelakaan."

 

 

Mas Vano melihat ke arahku, aku tau, dia sama bingungnya dengan apa yang kurasakan. Kami baik-baik saja, bahkan usaha Cafe Mas Vano berjalan lancar. Dua hari lalu kita baru membuka cabang di kota ini. Dan mungkin rencananya, kami akan merenovasi rumah Ibu untuk hunian kami mengingat baru sekarang aku dan Mas Vano bisa mengunjungi Ibu dan Bapak di kampung.

 

 

 

"Mas Tomi bilang begitu, Bu?" selidik Mas Vano.

 

 

Ibu mengangguk mantap, "Itu sebabnya Ibu tidak ingin kamu terbebani dengan penyakit Bapak, Hal. Alhamdulillah, uang tabungan Ibu dan Bapak selama menggarap sawah cukup untuk membawa Bapak kamu berobat."

 

 

 

Penuturan Ibu barusan menjelma tamparan keras di pipiku. Bukankah sudah kukatakan pada Mbak Astri, jika Ibu dan Bapak kularang pergi lagi ke sawah, mengingat uang kiriman dari Mas Vano terbilang cukup besar, lima juta rupiah untuk sebulan. Tapi kenapa justru ucapan Ibu berbanding terbalik dengan apa yang Mas Tomi katakan padaku. 

 

 

 

Dia selalu meminta uang jatah Bapak dan Ibu sebelum waktunya dengan alasan Ibu dan Bapak selalu minta makan yang enak-enak. Minta beli inilah, itulah. Dan bodohnya, aku percaya saja dengan ucapan kakak lelakiku. Aku akan mengirim berapa saja yang Mas Tomi minta dengan dalih Bapak dan Ibu, itu kelemahanku.

 

 

 

"Ibu dan Bapak masih menggarap sawah tetangga?" tanya Mas Vano lembut. 

 

 

Ibu mengangguk, dia mengusap pipiku lembut hingga air matanya mengalir deras, "Ibu senang sekali kamu pulang, Nak. Ibu rindu, setiap kali meminta Tomi untuk menghubungimu, dia selalu menolak dengan mengatakan jika kamu sibuk. Apa kamu juga bekerja? Orang-orang bilang Vano bekerja di Cafe? Iya?" cecar Ibu dengan menatap sendu ke arahku. "Ibu tidak mempermasalahkan apa pekerjaan suamimu, selagi itu halal, kamu wajib menghargainya."

 

 

 

Aku memeluk tubuh Ibu yang terlihat semakin kurus. Lingkaran matanya semakin cekung sementara pipinya sudah semakin tirus. Ah, apa yang sudah Mas Tomi sembunyikan dariku?

 

 

 

"Biarkan mereka makan dulu, Bu. Kasihan perjalanan jauh," ujar Bapak. Aku melepaskan pelukan Ibu, kami berjalan beriringan menuju dapur.

 

 

Kubuka tudung saji di atas meja. Betapa terkejutnya aku mendapati satu bakul nasi yang sudah dingin dengan sayur daun katuk yang kuperkirakan hasil petikan ibu di depan rumah. Di sebelah panci yang berisi sayur, terdapat satu piring berisi irisan tempe yang sangat tipis. Hatiku terasa diremas, remuk, sakit. Di kota, aku bisa makan makanan enak, tapi disini, aku bahkan tidak tau kepedihan hidup Bapak dan Ibu sepeninggalku.

 

 

 

Mas Vano menggenggam tanganku dan mengangguk pelan. Dia menarik kursi di depannya dan duduk dengan tenang. Senyuman tergambar di wajah Ibu saat kami begitu lahap memakan masakannya. Bahkan Mas Vano berkali-kali melayangkan pujian atas kenikmatan masakan Ibu. Mataku sudah berembun, kubuang muka untuk mengusap air mata yang mulai mengalir.

 

 

 

Selesai makan, Bapak dan Mas Vano berbincang-bincang di ruang tamu. Sementara aku dan Ibu berada di kamar. Kupijat kaki Ibu lembut, "Jangan bilang pada Mas Tomi jika kita berada disini, Bu. Aku ingin membuat kejutan untuknya," ucapku hati-hati. Takut jika Ibu curiga dengan apa yang akan kulakukan. Bagaimanapun, aku tidak ingin ibu terbebani dengan pikiran tentang uang kiriman yang selama ini aku berikan. Aku takut Ibu terluka dan kecewa.

 

 

"Baiklah, sekarang kamu ajak suamimu istirahat. Kalian pasti lelah."

 

 

Aku mengangguk dan meninggalkan ibu di dalam kamar sendirian. Kulihat Bapak sudah dibantu Mas Vano untuk berdiri, mungkin ingin rebahan di kamar. Benar saja, setelah masuk ke dalam kamar Bapak, Mas Vano keluar dan duduk bersamaku di ruang tamu.

 

 

 

"Besok kita ke rumah Mas Tomi, Dek."

 

 

Aku mengangguk, wajah Mas Vano berubah padam saat menyebut nama Mas Tomi. Aku tau, suamiku pasti sangat marah karena merasa dibodohi selama ini.

 

 

 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Extra Part

    Dikira Miskin (Extra Part) *** Lima bulan kemudian .... "Hai ... lama tidak bertemu, usia berapa kandungan kamu?" Sea menoleh dan mendapati sosok Nando tengah berdiri dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana. "Se?" "Ah, maaf, Bang. Aku ... kaget aja tiba-tiba kamu muncul disini," celetuk Sea gugup. "Sendirian, Bang?" "Ya, karena wanita yang hampir menemani masa tuaku ternyata lebih memilih pria lain. Takdir memang selucu itu, Se." Sea membuang muka. Ada perasaan sedih ketika melihat Nando yang masih mengingat dirinya bahkan disaat dia dan Tirta sedang bahagia menanti buah hati mereka lahir. "Maaf, Bang." Nando terkekeh. "Aku baik-baik saja, Sea. Mungkin Tuhan memang melindungi kamu dari pria tua sepertiku." Sea menggeleng samar. Kedua matanya berembun melihat raut putus asa di wajah Nando. "Sudah kukatakan, kamu pasti mendapatkan wanita yang jauh lebih baik, Bang." "Sendirian?" tanya Nando mengalihkan pembicaraan. Sea mengangguk samar, "Mas Tirta sibuk ngurus Caf

  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   TAMAT

    Dikira Miskin (TAMAT)***Satu tahun kemudian ...."Pulang dulu, Sayang. Brian pasti nyariin kamu," kata Bagas lembut. Anita mendongak, kedua matanya memerah dengan bekas air mata yang di pipi. "Sebentar lagi ya, Mas. Sebentar saja," rengeknya manja. Jemarinya yang lentik mengusap-usap pusara kedua orang taunya bergantian, lalu beralih pada pusara Haryati yang nampak segar dengan bunga-bunga yang Anita taburkan barusan. "Brian sudah bisa berjalan, Yah. Kalau saja Ayah dan Ibu masih ada ....""Nit ...." Suara Bagas mengambang di udara. Kehilangan adalah hal yang paling menakutkan baginya. "Biarkan mereka semua tenang di alam sana. Ayo pulang!"Anita bergeming. Matanya semakin sembab karena sudah hampir satu jam ia menangis di pusara tiga orang tercintanya. Haryati sengaja di kuburkan tepat di samping anak dan menantunya. "Semua terasa begitu cepat, Mas.""Takdir Tuhan adalah misteri, apalagi kematian ... semua tidak ada yang tahu sampai kapan batas usia mereka, Sayang. Berhenti berse

  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Menjelang Tamat

    ***"Darimana kamu tahu kalau Bang Nando menaruh hati pada Sea, Sayang?"Anita mengedikkan bahu. Dia bangkit dan berjalan menjauhi Bagas yang saat ini nampak cengo karena keterkejutannya barusan."Anita ...," pekik Bagas tertahan mengingat sekarang dia sedang berada diantara banyak tamu undangan.Anita menghentikan langkah dan bergelayut manja di lengan Halimah. Wanita cantik itu sekarang tidak segan-segan untuk memeluk mertuanya karena selama ini Halimah memang mencurahkan perhatiannya pada Anita."Bawa Anita pulang, Gas. Dia pucat sekali," ucap Halimah panik. Dia mengusap-usap pipi menantunya dengan lembut. "Pulanglah, acaranya mungkin akan selesai agak malam. Kamu istirahat saja, biar Ibu yang menjelaskan pada Sea nanti."Anita mengangguk patuh. Dia mengikuti langkah Bagas dengan jemari yang saling bertaut. Acara pernikahan Sea memang di adakan di sebuah hotel ternama, perjalanan untuk pulang ke rumah mereka pun menempuh waktu sekitar dua puluh menit."Kamu belum menjawab pertanyaa

  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Kondangan, yuk!

    ***"Nit, kami ...."Anita beralih menatap Tomi dan Gina. Sorot matanya penuh selidik sampai suara Sea membuatnya tiba-tiba terpekik dan berjingkrak bahagia seperti gadis kecil yang mendapat mainan. "Kami ... sebentar lagi akan menikah.""Hah? Serius, kalian ... tidak lagi membohongi aku kan?"Sea menggeleng. Dia merentangkan tangan untuk menyambut tubuh Anita, sahabat yang paling baik yang ia punya selama ini. Sea dan Tirta tertawa ketika Anita jingkrak-jingkrak senang dengan kabar yang ia dengar."Kamu membuatku takut, Se!" Anita mengusap air mata sambil memeluk Sea. "Kalian ... akhirnya. Ya Tuhan!" Anita kembali memekik bahagia. Dia mengurai pelukan dan berlari menuju Gina. Tanpa aba-aba lagi, kedua wanita beda generasi itu saling memeluk dan menangis lirih. Betapa Tomi merasa haru dengan suasana di depan matanya. Siapa sangka, restu yang ia berikan justru memberikan kebahagiaan bagi banyak orang, tidak hanya Sea dan Tirta. "Kami sudah lelah menangis, Nit. Ayolah, kalau kamu masi

  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Berhasil melewati Batu Terjal

    ***"Brengsek! Berani-beraninya dia ngusir kita, Mas?!" jerit Nayna marah. Bibirnya mengerucut sembari satu tangan mengusap dahi yang mulai berpeluh. "Harusnya kamu bisa tegas sama istrimu itu, Mas! Bagaimanapun kamu adalah kepala keluarga, jangan lembek gini dong!" Suara Nayna semakin membuat kepala Rayan berdenyut nyeri. "Diam, Nay!""Kenapa kamu malah bentak aku? Harusnya kamu bentak saja di Prisa yang kurang ajar itu!""Semua ini salah kamu! Murahan! Kamu bisa kan bersikap baik di depan Prisa bukan malah menyulut pertengkaran seperti ini!""Ya, ya! Salahkan saja aku terus, Mas! Bela wanita mandul yang tidak berguna itu! Aku muak melihat sikapmu yang lemah di depan Prisa!"Plak ....Nayna memegang pipi kanannya yang terasa panas. Tidak ada air mata melainkan hanya kemarahan yang bersarang di dadanya saat ini. "Tampak! Tampar yang banyak kalau perlu bunuh sekalian bayimu ini! Pria miskin! Aku menyesal mau mengakui anak ini sebagai darah dagingmu!"Rayan mengusap wajahnya kasar. Pe

  • Dikira Miskin Saat Pulang Kampung   Kamu menang, Tirta!

    ***Tirta dan Sea bergeming. Ucapan Tomi membuat rasa percaya diri Tirta yang sempat tumbuh terasa dihempas begitu saja. Ternyata, setelah bisa mendapatkan kembali hati Sea, ia harus melalui satu jalan lagi yaitu Tomi dan Gina. "Ada banyak pria di luaran sana, Sea! Kamu cantik, mandiri dan ... kamu bisa mencari pria lain tanpa harus terjebak dengan pria yang sama!" ucap Tomi marah. "Kamu lupa ... dia bahkan rela memohon agar wanita yang sudah membuatmu celaka itu bebas. Jangan bodoh!"Sea menunduk. Bodoh! Ya, dia memang sudah bodoh karena setelah berbulan-bulan terlewati, perasaannya pada Tirta terus saja tumbuh tanpa sedikitpun berkurang. Gina mengusap lengan Tomi dengan lembut. Kedua matanya menatap Sea dengan nanar. Putri yang ia anggap sudah melupakan Tirta ternyata masih memiliki perasaan yang begitu besar untuk pria itu."Dia sudah membuatmu terluka, Se. Apa kamu pikir Ayah akan melepaskanmu dengan pria yang sudah pernah membuatmu kecewa?""Yah ....""Tidak!" sahut Tomi tegas.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status