Evi menahan air mata yang mendesak ingin keluar setelah Bima pergi. Dia tidak boleh menangis. Jangan sampai orang-orang nanti berprasangka macam-macam karena melihatnya menangis. Tidak dia tidak boleh menangis.
Sungguh Evi takut sekali kalau dirinya sampai hamil. Ardan sudah tidak memiliki ayah karena ayahnya selingkuh. Lalu bila dia sampai hamil mungkinkah dirinya bisa menuntut Bima untuk bertanggung jawab. Dia dulu butuh waktu setahun untuk hamil, mudah-mudahan sekarang juga dia tidak secepat itu hamil.
Evi mendongak menahan air mata. memaksa dirinya melanjutkan langkah menuju pangkalan ojek. Mengabaikan dadanya yang terasa sesak dan air mata yang terus mendesak.
“Loh, Vi pulang,” tegur seorang tukang ojek saat dirinya dekat, dia memberikan helm pada Evi.
“Kamu dari nangis?” tanyanya sebelum Evi sempat memakai helm. Evi segera menutupinya dengan helm
“Nggak Paklik tadi kelilipan debu,” kilahnya, dia mengenal tukang ojek itu sebagai tetangganya, hampir semua tukang oejk di sini memang tetangganya. Untunglah tukang ojek itu juga tidak memperpanjang pertanyaannya. Dia cukup menyadari masalah Evi bukan ranahnya.
“Oh, yo buruan naik,” perintahnya, Evi menurut. Motor itu melaju menelusuri jalan desa yang tidak mulus. Beberapa kali Evi harus menoleh dan tersenyum pada yang berpapasan, semoga saja mereka tidak menyadari wajahnya yang habis menangis.
“Evi,” seru Tati, ibunya Evi saat Evi turun dari ojek. Dia tertegun dengan kepulangan Evi Ini belum waktunya Evi pulang, saat ini juga bukan hari minggu. Wanita setengah baya belum terlalu tua sebenarnya. Masih menjelang 60 tahun. Hidup yang keras membuatnya terlihat lebih tua dari usia sebenarnya. Dia menyambut Evi dengan benak dipenuhi tanda tanya.
Belum sempat Tati bertanya, langkah kecil dari dalam rumah melewatinya, menghambur pada Evi.
“Mbu,” serunya, Evi menyambutnya membawa dalam gendongan, menciumi wajahnya. Bocah empat tahun itu tertawa senang. Dia tampan dan ceria, wajah itu sama sekali tidak mirip Evi. Sangat jelas sekali mencetak wajah lelaki itu. Lelaki yang telah mengkhianatinya.
Tati membantu membawa tas Evi masuk kerumah sementara Evi menggendong Ardan yang tidak mau lepas darinya. Dia seringkali merengek bila ditinggal Evi, tetapi Evi memang harus bekerja.
“Ada apa, Vi kenapa kamu pulang mendadak?” tanya Tati setelah Evi menidurkan Ardan malamnya. Setiap kali Evi pulang, Ardan jadi manja sekali. Semuanya harus dengan Evi. Mungkin itu karena dia kangen. Kasihan memang anak sekecil itu tidak mengenal ayahnya dan harus selalu ditinggal Evi bekerja.
“ Evi cape, Bu. Evi ingin berhenti,” jawab Evi pelan tanpa berani memandang ibunya. Dia takut ibunya dapat membaca apa yang terjadi. Evi tidak sanggup untuk menceritakannya. Tati memandang Evi mencoba mencari jawab di wajah itu. Evi selama ini tidak pernah mengeluhkan apapun. Semua baik-baik saja. Mengapa sekarang ingin berhenti?
“Ada apa? Bukankah mereka selama ini baik? Atau dirimu membuat kesalahan?” selidik Tati, Evi menggeleng cepat.
“Evi Cuma ingin berhenti, Bu, Evi pengen cari kerjaan lain yang nggak harus nginep ninggalin Ardan,” tanggap Evi masih bertahan dengan alasannya. Tati masih menatap Evi menuntut jawaban, merasa jawaban itu bukan yang sebenarnya. Evi sudah terlihat habis menangis saat turun dari ojek. Jadi tidak mungkin masalah itu tentang Ardan.
“Kalau gitu biar Ibu aja yang kerja,” putus Tati, Evi menggeleng seketika.
“Enggak Bu, Evi nggak mau Ibu kerja. Evi akan tetap cari kerja tetapi nggak di situ lagi, ” tanggap Evi menolak usulnya.
“Kalau begitu katakan ada apa, Vi? Ibu yakin ini bukan hanya tentang Ardan,” desak perempuan paruh baya dengan rambut yang telah memutih.
“Nggak, Bu, nggak ada apa-apa,” jawab Evi. Perempuan berkulit putih itu menunduk, tidak berani menentang mata Tati. Tati jadi semakin yakin ada yang putrinya sembunyikan dibalik niatnya untuk berhenti. Tati menghela napas. Dia tidak mendesak lagi, percuma putri bungsunya itu tetap tidak akan bicara. Nanti juga bila sudah siap dia akan bercerita.
“Ya sudah, tidurlah sudah malam,” ajak Tati menghentikan pandangan Evi yang menerawang jauh. Tati sungguh cemas sebenarnya. Tanda tanya besar bersemayam di hatinya.
Mengapa Evi ingin berhenti? Tadi siang saat baru sampai, masih sangat diingatnya. Matanya sembab seperti habis menangis. Wajahnya murung seperti ada beban berat yang ditanggung. Ada apa sebenarnya? Tati hanya berharap Evi memang benar tidak ada apa-apa.
Mereka hanya tinggal bertiga. Dua anaknya yang lain tinggal jauh berbeda pulau. Ekonomi mereka juga tidak begitu baik sehingga jarang pulang. Suaminya telah lama meninggal saat Evi baru duduk di sekolah menengah pertama. Cukup terseok Evi menyelesaikan sekolah hingga tidak melanjutkan lagi.
Evi memilih bekerja bersamanya waktu itu. Dirinya baru berhenti setelah Evi berpisah dari suaminya. Dia memutuskan menyebrang ke lampung mengikuti tetangga yang telah sukses di sana. Berbekal tabungannya selama bekerja mereka membeli tanah dan rumah tidak permanen yang saat itu cukup murah. Dia lalu bekerja sebagai buruh sambil membantu Evi melalui kehamilan seorang diri dan merawat Ardan.
Dirinya berpikir akan kembali bekerja setelah Evi bisa mandiri mengurus bayi. Namun Evi justru melarang dirinya bekerja. Dia bilang dia saja, dirinya di rumah saja bersama Ardan Dari hasil evi rumah mereka yang awalnya tidak permanen dapat diperbaiki sedikit demi sedikit.
Nasib Evi memang tidak beruntung, suaminya selingkuh meninggalkannya justru saat Evi hamil. Setahun mereka menunggu hadirnya buah hati, saat hadir ternyata suaminya telah menghamili wanita lain. Evi memilih berpisah saat itu.
Saat ini Tati seperti melihat Evi yang baru ditinggal suaminya. Murung, sering kaget bila ditegur. Pikirannya seperti menerawang jauh. Tati sungguh cemas sekali. Menebak-nebak masalah apa yang terjadi dengan majikannya hingga Evi seperti ini.
Dirinya memang mengurus Ardan dengan baik, Evi akan tersenyum saat Ardan berceloteh atau menunjukkan mainannya. Namun tawanya tidak lepas, mata itu menyimpan kesedihan yang dalam. Tati sangat mengenal Evi, dia tidak akan seperti ini bila tidak ada apa-apa.
Pagi itu hari kedua, Evi menginap di rumah. Evi sedang menjemur baju di luar saat dering telpon mengagetkan Tati. Nama majikan Evi tertera di layar. Tati segera mengangkatnya. Semenjak Evi sering bekerja jauh Tati memang sudah biasa mengangkat telepon.
“Ini Evi?” tanya suara di seberang setelah menjawab salam Tati.
“Bukan, Bu, saya ibunya, Evi sedang menjemur baju,” jawab Tati
“Oh, saya Vida Bu, mau tanya Evi jadi ke rumah hari ini kan? Ardannya sudah sembuh?” Tati membeku mendengar pertanyaan itu. Merasa ada yang tidak beres. Mengapa Evi masih berniat kembali jika kemarin dia bilang mau berhenti. Lalu Ardan sudah sembuh? Evi beralasan Ardan sakit untuk pulang?
Reina tidak pernah tahu cerita yang sebenarnya. Dia sangat membenci Anjas karena meninggalkannya pada saat dirinya bertarung di antara hidup dan mati. Anjas juga membiarkannya terpuruk sendiri. Pernah sekali saat dia diam-diam menemui Anjas karena ingin bertanya mengapa Anjas berubah, kenapa dia meninggalkannya. Anjas mengatakan.“Antara kita sudah selesai Reina, Aku memang hanya ingin bertanggung jawab karena kamu hamil,, selanjutnya kita cukup sampai di sini," jawab Anjas sambil memalingkan wajah. Tidak ingin melihat kekecewaan dan rasa sakit di mata Reina.“Nggak mungkin, Mas, kamu bohong kan?” tolak Reina, Anjas diam.“Lihat aku, Mas katakan kalau sebenarnya kamu bohong, katakan kalau kau nggak mungkin nyakitin aku seperti ini,” desak Reina dengan intonasi yang mulai naik. Air mata mulai mengalir di pipinya.“Sayangnya itu memang kenyataannya Rei, aku sudah tidak mencintaimu lagi, Rasa itu berubah.” Anjas menegarkan diri mengucapkan itu. Membekukan hati agar tidak terpengaruh oleh
Flsh back sebelum Reina melahirkan.“Kami butuh persetujuan untuk operasi, istri Bapak mengalami preeklamsi berat, keadaaan ini bisa mengancam nyawa ibu dan bayinya. Saat ini kami sedang melakukan perawatan untuk membuat kondisinya stabil.”“Tidak ada jalan lain selain operasi, Dokter?” tanya Anjas dengan hati nyeri. Dia sungguh bukan tidak ingin memberi yang terbaik untuk Reina untuk anaknya tetapi uang yang dirinya kumpulkan hanya cukup untuk persalinan normal di puskesmas. Jika harus operasi dari mana biayanya. Apalagi di rumah sakit besar seperti ini. Reina dirujuk ke rumah sakit karena tensi darah yang tinggi.Dokter menggeleng mematahkan harapan Anjas. Anjas menghembuskan napas panjang, tangannya bergerak menandatangani persetujuan operasi dengan pikiran kalut. Tidak tahu harus kemana mencari tambahan dana untuk biaya Reina. Namun nyawa Reina tetap harus diselamatkan, Anjas tidak ingin terjadi apa-apa dengannya. Usai menandatangani persetujuan, seorang perawat menggiringnya menu
“Kita pulang saja nanti kamu bisa menenangkan diri,” ajak Evi, Anjas mengangguk dan beranjak mengajak Evi mengikutinya ke mobil. Sampai di mobil Anjas mengingat jika Evi belum pernah tahu kehadiran ibunya. Anjas belum memberi tahunya.“Vi, dalam dua hari ini kamu sudah telpon Ibu?” tanya Anjas sambil mulai melajukan mobilnya.Evi menoleh dan menggeleng“Berapa kali Ibu ku telpon nggak ngangkat terakhir telpon, Ibu menolak video call hanya telpon biasa, Ibu bilang sedang di pasar,” jawabnya.“Kalau gitu kita ke rumah dulu ya, ada kejutan di rumah,” senyum Anjas, Evi menatapnya penuh tanya tetapi Anjas sudah kembali fokus ke jalan. Evi pun diam tidak jadi bertanya, percuma pikirnya jika Anjas sudah bilang kejutan dia tidak akan menjawab.Mobil melaju tenang membelah keramaian kota, hingga saat mobil berbelok di halaman rumah Anjas, pandangan Evi terpaku ke teras rumah. Tertegun tidak percaya.Evi masih diam saat Anjas telah menghentikan mobilnya dan mengajak turun. Di teras rumah itu Ev
“Evi ....” tegur seseorang dari belakang dengan suara yang tidak yakin. Evi berbalik menemukan Aila yang mendekatinya.“Ya ampun Evi, jadi beneran kamu mau nikah sama Pak Anjas?” tanyanya antusias setelah dekat. Evi tersenyum menyambutnya tanpa mengangguk atau menggeleng, Evi yakin Ibu satu anak di hadapannnya sudah tahu jawabannya.“Aku emang dah nyangka kalau kalian ada apa-apa. Pak Anjas hampir tidak pernah merekomendasikan orang, apalagi sampai menahan saat ingin resign ternyata memang ya,…” sambungnya sambil tertawa. Mantan atasannya itu mengelengkan kepala dengan sisa tawa yang belum hilang. Evi jadi mengerti berarti beberapa keringanan yang di terimanya selama bekerja memang atas campur tangan Anjas.Evi mengajak Aila untuk duduk tetapi dia menolak, katanya masih banyak pekerjaan yang harus dia lakukan, restoran memang tutup tetapi karyawan tetap diberdayakan untuk persiapan pesta. Selain tetap menerima gaji mereka juga dibayar .Hari ini Anjas memang mengajak Evi untuk melihat
Anjas menyambut kehadiran calon mertuanya dengan suka cita, mengambil alih anak yang berada dalam gendongan calon mertuanya. Anak lelaki itu nyaris seumur dengan Chesa tetapi badannya terlihat lebih kecil, mungkin karena ekonomi yang sulit dan dalam asuhan neneknya yang tidak seharusnya mengasuh anak kecil lagi. Chesa di sisinya ikut bertanya siapa dia tampak antusias sekali ingin menyentuh pipi anak yang tertidur pulas situ. Mereka datang bersama adiknya Faris yang memang dia minta untuk menjemput. Selain bersama ibunya Tati, faris juga datang bersama istri dan kedua anaknya yang masih berusia 3 tahun dan 1 tahun. Juga Fahri adik bungsunya yang masih kuliah. “Nak Anjas sungguh-sungguh berniat meminang Evi? Saya sungguh terkejut sekali saat tiba-tiba di jemput saya pikir saya akan diculik, ingin menelpon Evi tapi dilarang mereka bilang ini kejutan buat Evi, saya sudah banyak menduga-duga, tapi setelah saya pikir lagi tidak mungkin juga penculik membawa dua balita yang memanggilnya
Anjas menyambut Arinda turun dari mobil.“beres senua, Ma?” tanya Anjas sambil melirik barang belanjaan yang tampak memenuhi mobil bagian belakang. Anjas memanggil semua pekerjanya untuk menurunkan barang-barang itu. “Cape banget Uma, tugasmu malam ini buat pijit kaki Uma.”“Tugas Abak, itu Uma kan Abak yang minta pernikahan buru-buru,” elak Anjas. Mendengar namanya disebut Yasir menoleh lalu mencibir.“Ya kalau kamu nggak mau gampang kok tinggal dibatalkan saja.”“Eh, nggak ya Abak, semua udah bergerak kok mau dibatalkan,” gerutu Anjas, Arinda dan Yasir menahan senyum sambil menggelengkan kepalanya.*** “Kamu selama di sini nggak pernah ketemu Reina, Njas?” tanya Arinda saat mereka selesai makan malam. Anjas sudah tidak mengunyah ataupun minum. Sepeti kedua orang tuanya, Anjas pun sudah selesai makan beberapa menit lalu. Namun pertanyaan itu membautnya nayris tersedak.Dua kali sudah Anjas mendengar nama itu dihubungka padanya. Ada apa sebenarnya.“Kok Uma nanyain lagi, dia Cuma mas