Tati menutup teleponnya yang sambungannya telah terputus. Matanya menatap tajam pada langkah Evi yang memasuki rumah. Berbagai tanya memenuhi benaknya.
“Kenapa, Bu?” tanya Evi tidak mengerti dengan tatapan Tati. Perasaan tidak nyaman memenuhi hatinya. Apalagi melihat Tati sedang memegang hand pone miliknya.
“Majikanmu barusan telepon, menanyakan kapan kembali ke sana, dan kamu beralasan Ardan sakit untuk pulang?” jelas Tati dengan nada kesal pada akhir kalimat. Dia sangat tidak menyukai alasan Evi yang mengatakan Ardan sakit.
“Maafkan, Evi, Bu,”sesal Evi sambil menunduk. Dirinya juga menyesali alasan itu, tetapi hanya itu yang terpikir olehnya. Dia hanya ingin pulang menjauh dari Bima.
“Ibu sudah mengtakan kamu akan kembali sore nanti.”
Evi mengangkat wajah, menggeleng seketika mendengar keputusan itu, matanya berkaca.
“Evi nggak mau kembali ke sana, Bu,” cicitnya menahan isak.
“Iya tapi kenapa?” desak Tati kesal. Dadanya terasa bergemuruh, air mata Evi, jatuh mengalir di pipi. Dia menghapusnya kasar dengan punggung tangan.
“Evi nggak mau, Bu,” tolaknya lagi dengan air mata yang semakin deras. Tanpa menjelaskan, Evi meninggalkan Tati yang masih terpaku. Masuk ke kamar dan menumpahkan tangis di sana.
Tati menghela napas, berbagai tanya makin memenuhi pikirannya.
_______________
[Iya Bu, Evi rencana kembali nanti sore, Ardan sudah sehat, Bu]
Vida menutup teleponnya setelah memastikan Evi benar-benar akan kembali dan berbasa-basi sambil mengucap salam.
Dihembuskannya napas panjang. Kepulangan Evi yang tiba-tiba dan keinginannya berhenti masih menjadi tanda tanya besar untuknya. Matanya yang sembab saat meminta pulang, menambah daftar tanda tanya di benak Vida. Sebenarnya separah apa sakit anaknya, sehingga dia menangis sampai seperti itu serta minta berhenti?
Ditambah lagi, Pembicaraan dengan ibu-ibu saat membeli sayuran tadi pagi makin mengganggu pikirannya.
“Lho Bu Vida, beli sayuran sendiri?” tanya sherly tetangga sebelah rumahnya.
“Iya nih, Bu. Evi lagi pulang,” jawab Vida santai sambil memilih sayuran.
“Kalau Ibu pergi yang di rumah cuma si Evi sama Bapak ya Bu, Ibu nggak takut?” Vida menghentikan gerakannya memilih sayuran, tertegun menatap Rosi yang tampak santai menanyakan itu.
“Takut apa, Bu?” tanya Vida tidak mengerti.
“Ya mereka kan Cuma berdua aja, nggak akan ada yang tahu kalau mereka macam-macam,” jawab Rosi. Ibu-ibu yang lain ikut membenarkan jawaban itu.
“Benar Bu, Evi masih muda lo, cantik lagi, kulitnya bersih nggak seperti pembantu pada umumnya,” timpal Rahayu.
“Iya apalagi sepertinya Bu Vida sering kan perginya,” Ibu yang lain ikut menambahi.
“Maksud Ibu-ibu kesempatan bagaimana ya?” tanya Vida, dia bukan tidak memahami hanya saja entahlah dia merasa ingin meyakinkan saja arah pembicaraan mereka.
“Kesempatan menjalin hubungan diam-diam di belakang Ibu,” jawab Rosi gamblang diikuti anggukan Ibu yang lain. Dada Vida rasanya berhenti berdetak.
Vida menggeleng seketika, beberapa detik kemudian tawanya mengumbar mendengar pemikiran absurd ibu-ibu itu. Namun tidak ada yang menyambut tawa itu. Mereka justru saling pandang melihat Vida menanggapi kekhawatiran mereka dengan santai.
“Nggak mungkinlah Bu, Evi lebih tua satu tahun dari anak sulung kami, lebih pantas dianggap anak lagi pula sudah tiga tahun lho Evi bekerja, semuanya aman,” kata Vida menolak prasangka mereka.
“Bu Vida, sekarang ini nggak ada yang nggak mungkin, perbedaan usia itu bukan masalah, yang penting itu kesempatan! Buktinya kan banyak kasus selingkuh mertua dan menantu, kasus majikan dan pembantu juga banyak,” sanggah Rosi berapi-api. Vida tertegun, merasa tertampar oleh kalimat itu, tawanya hilang seketika.
“Benar, Bu Vida, bisa saja Ibu pikir aman karena mereka rapi menyembunyikannya,” sambung yang lain.
Ibu-ibu lain membenarkan pendapat itu, hati Vida sudah tidak menentu. Dia pamit membawa sayuran yang diambilnya secara asal.
Berbagai kejanggalan selama beberapa hari ini berputar kembali di benaknya. Sprei yang sudah berganti, leher Evi seperti dilapisi krim, kegugupan Evi di hadapan suaminya dan Ah, iya satu lagi, Evi tampak menghindar berinteraksi dengan suaminya, padahal sebelumnya biasa saja. Apakah semua ada hubungannya?
Dirinya sangat mempercayai suaminya. Tidak mungkin suaminya melakukan itu, apalagi Evi hanya pembantu. Evi juga tidak pernah neko-neko. Tidak genit atau cari perhatian, tetapi asumsi mereka terasa mengganggunya.
Dirinya terlalu sering pergi, tidak pernah memiliki prasangka apapun Justru dirinya tenang ada Evi di rumah. Seluruh kebutuhan suaminya aman. Dia sudah memberi intruksi pada Evi dan mengingatkannya. Dia percaya sekali pada Evi.
Wanita yang memiliki tinggi proporsional itu cukup menyadari kalau Evi memang cantik. Kulit putih bersih walaupun tidak pernah perawatan. Dia selalu tampil rapi meskipun tidak berdandan berlebihan.
Sebelum Evi, asisten rumah tangga Vida, adalah Mbok Lis. Seseorang sudah mengasuhnya dari kecil, sayangnya dia sudah tua, sudah tidak kuat lagi. Setahun sebelum Mbok Lis berhenti Evi datang, karena Evi bisa diandalkan Mbok Lis pun meminta berhenti.
Vida sudah terbiasa ada Asisten rumah tangga. Dirinya tidak terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah tangga sendiri. Terlahir dalam keluarga yang berada membuat Vida tidak terbiasa bergulat dengan pekerjaan rumah tangga.
Sore itu sudah hampir pukul 05.00 tetapi Evi masih belum datang juga. Vida menjadi pesimis Evi akan datang. Tadi juga yang menerima telepon ibunya bukan Evi. Wanita yang masih terlihat cantik itu gelisah bukan hanya karena harus mencari asisten rumah tangga baru, tetapi alasan dibalik berhentinya Evi yang belum terungkap. Vida khawatir dugaan ibu-ibu tadi bener adanya.
“Kopi, Pa,” tawar Vida sambil meletakkan kopi di meja. Sudah lama rasanya dirinya tidak menyediakan kopi untuk Bima. Lebih sering Evi yang membuat. Dulu saat masih ada mbok Lis, suaminya kurang cocok jadi Vida yang membuat. Saat itu juga kegiatannya di luar rumah belum seperti sekarang.
Bima hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandang dari Koran yang dibaca. Sesekali Vida melihat mata Bima melirik pada pagar yang terbuka. Hela napas berat terdengar setelah itu.
“Papa sedang menunggu Evi?” tanya Vida, dia hanya menebak, kegelisahan Bima membuatnya curiga. Bima tersentak, reflek menurunkan korannya menatap Vida.
“Apaan sih Ma, bukannya Mama yang nunggu?” kilah Bima, dia menyesap kopinya lalu mengalihkan pandang dari mata Vida.
“Ya kali aja Papa kangen sama Evi,” balas Vida tampak santai dan tidak acuh tetapi sebenarnya dia menyimpan nyeri yang luar biasa. Berharap semua kecurigaan yang ada di hatinya terpatahkan.
Bima tersedak, pernyataan santai itu cukup membuatnya terguncang. Buru-buru dia menguasai diri sebelum Vida makin curiga.
“Apaan sih Ma?’ desis lelaki berperawakan tegap itu tidak suka.
“Kok ngomongnya gitu? Bukannya Evi sudah seperti keluarga Ma, dan Mama yang uring-uringan sejak pagi karena Evi belum datang,”
Vida menghembuskan napas,” Mama hanya bingung kenapa tiba-tiba Evi minta berhenti.”
“Mungkin saja, dia ada urusan atau masalah lain tidak ada hubungan dengan kita,” jawab Bima. Vida memandang Bima penuh selidik, apakah bisa dia dipercaya.
“Mama kenapa sih, kok sepertinya mencurigai Papa?” tanya Bima gerah, dia harus mematahkan kecurigaan istrinya dengan pertanyaan itu. Vida mendengkus, asumsi para tetangga tadi benar-benar mengganggunya, membuat dirinya berpikir macam-macam.
Ada sesal terselip telah mencurigai suaminya. Pernikahan mereka sudah memasuki angka 25 tahun tidak seharusnya dirinya goyah dan terprovokasi pembicaraan tetangga.
“Bisa jadi dia akan menikah, kan.” Suara suaminya untuk lebih meyakinkannya. Vida mengangguk, alasan itu terasa masuk akal. Mengapa juga dirinya tidak berpikir ke sana? Namun mengapa Evi tidak bilang jika akan menikah?
Suara ojek berhenti membuat mereka serentak menoleh, tampak Evi turun dari ojek itu. Ada kelegaan yang berbeda di hati Bima dan Vida melihat langkah Evi mendekat. Bima lega bisa melihat Evi lagi. Ketidak hadiran nya membuatnya sepi dan merasa bersalah.
Vida lega merasa Evi benar-benar pulang karena anaknya sakit bukan karena alasan lain.
“Bu, …”
“Sore banget, Vi, udah masuk sana,” perintah Vida setelah Evi mengucap salam.
“Maaf, Bu, Pak. Saya datang hanya untuk mengambil baju dan barang saya serta berpamitan. Saya tidak bisa bekerja di sini lagi Bu,” ucap Evi.
Vida dan Bima sama tersentak mendengar itu. Evi masih menunduk tidak berani sedikit pun mengangkat wajah memandang mereka.
“Katakan alasannya maka saya akan mengizinkanmu,” tegas Vida sambil menatap Evi tajam.
Reina tidak pernah tahu cerita yang sebenarnya. Dia sangat membenci Anjas karena meninggalkannya pada saat dirinya bertarung di antara hidup dan mati. Anjas juga membiarkannya terpuruk sendiri. Pernah sekali saat dia diam-diam menemui Anjas karena ingin bertanya mengapa Anjas berubah, kenapa dia meninggalkannya. Anjas mengatakan.“Antara kita sudah selesai Reina, Aku memang hanya ingin bertanggung jawab karena kamu hamil,, selanjutnya kita cukup sampai di sini," jawab Anjas sambil memalingkan wajah. Tidak ingin melihat kekecewaan dan rasa sakit di mata Reina.“Nggak mungkin, Mas, kamu bohong kan?” tolak Reina, Anjas diam.“Lihat aku, Mas katakan kalau sebenarnya kamu bohong, katakan kalau kau nggak mungkin nyakitin aku seperti ini,” desak Reina dengan intonasi yang mulai naik. Air mata mulai mengalir di pipinya.“Sayangnya itu memang kenyataannya Rei, aku sudah tidak mencintaimu lagi, Rasa itu berubah.” Anjas menegarkan diri mengucapkan itu. Membekukan hati agar tidak terpengaruh oleh
Flsh back sebelum Reina melahirkan.“Kami butuh persetujuan untuk operasi, istri Bapak mengalami preeklamsi berat, keadaaan ini bisa mengancam nyawa ibu dan bayinya. Saat ini kami sedang melakukan perawatan untuk membuat kondisinya stabil.”“Tidak ada jalan lain selain operasi, Dokter?” tanya Anjas dengan hati nyeri. Dia sungguh bukan tidak ingin memberi yang terbaik untuk Reina untuk anaknya tetapi uang yang dirinya kumpulkan hanya cukup untuk persalinan normal di puskesmas. Jika harus operasi dari mana biayanya. Apalagi di rumah sakit besar seperti ini. Reina dirujuk ke rumah sakit karena tensi darah yang tinggi.Dokter menggeleng mematahkan harapan Anjas. Anjas menghembuskan napas panjang, tangannya bergerak menandatangani persetujuan operasi dengan pikiran kalut. Tidak tahu harus kemana mencari tambahan dana untuk biaya Reina. Namun nyawa Reina tetap harus diselamatkan, Anjas tidak ingin terjadi apa-apa dengannya. Usai menandatangani persetujuan, seorang perawat menggiringnya menu
“Kita pulang saja nanti kamu bisa menenangkan diri,” ajak Evi, Anjas mengangguk dan beranjak mengajak Evi mengikutinya ke mobil. Sampai di mobil Anjas mengingat jika Evi belum pernah tahu kehadiran ibunya. Anjas belum memberi tahunya.“Vi, dalam dua hari ini kamu sudah telpon Ibu?” tanya Anjas sambil mulai melajukan mobilnya.Evi menoleh dan menggeleng“Berapa kali Ibu ku telpon nggak ngangkat terakhir telpon, Ibu menolak video call hanya telpon biasa, Ibu bilang sedang di pasar,” jawabnya.“Kalau gitu kita ke rumah dulu ya, ada kejutan di rumah,” senyum Anjas, Evi menatapnya penuh tanya tetapi Anjas sudah kembali fokus ke jalan. Evi pun diam tidak jadi bertanya, percuma pikirnya jika Anjas sudah bilang kejutan dia tidak akan menjawab.Mobil melaju tenang membelah keramaian kota, hingga saat mobil berbelok di halaman rumah Anjas, pandangan Evi terpaku ke teras rumah. Tertegun tidak percaya.Evi masih diam saat Anjas telah menghentikan mobilnya dan mengajak turun. Di teras rumah itu Ev
“Evi ....” tegur seseorang dari belakang dengan suara yang tidak yakin. Evi berbalik menemukan Aila yang mendekatinya.“Ya ampun Evi, jadi beneran kamu mau nikah sama Pak Anjas?” tanyanya antusias setelah dekat. Evi tersenyum menyambutnya tanpa mengangguk atau menggeleng, Evi yakin Ibu satu anak di hadapannnya sudah tahu jawabannya.“Aku emang dah nyangka kalau kalian ada apa-apa. Pak Anjas hampir tidak pernah merekomendasikan orang, apalagi sampai menahan saat ingin resign ternyata memang ya,…” sambungnya sambil tertawa. Mantan atasannya itu mengelengkan kepala dengan sisa tawa yang belum hilang. Evi jadi mengerti berarti beberapa keringanan yang di terimanya selama bekerja memang atas campur tangan Anjas.Evi mengajak Aila untuk duduk tetapi dia menolak, katanya masih banyak pekerjaan yang harus dia lakukan, restoran memang tutup tetapi karyawan tetap diberdayakan untuk persiapan pesta. Selain tetap menerima gaji mereka juga dibayar .Hari ini Anjas memang mengajak Evi untuk melihat
Anjas menyambut kehadiran calon mertuanya dengan suka cita, mengambil alih anak yang berada dalam gendongan calon mertuanya. Anak lelaki itu nyaris seumur dengan Chesa tetapi badannya terlihat lebih kecil, mungkin karena ekonomi yang sulit dan dalam asuhan neneknya yang tidak seharusnya mengasuh anak kecil lagi. Chesa di sisinya ikut bertanya siapa dia tampak antusias sekali ingin menyentuh pipi anak yang tertidur pulas situ. Mereka datang bersama adiknya Faris yang memang dia minta untuk menjemput. Selain bersama ibunya Tati, faris juga datang bersama istri dan kedua anaknya yang masih berusia 3 tahun dan 1 tahun. Juga Fahri adik bungsunya yang masih kuliah. “Nak Anjas sungguh-sungguh berniat meminang Evi? Saya sungguh terkejut sekali saat tiba-tiba di jemput saya pikir saya akan diculik, ingin menelpon Evi tapi dilarang mereka bilang ini kejutan buat Evi, saya sudah banyak menduga-duga, tapi setelah saya pikir lagi tidak mungkin juga penculik membawa dua balita yang memanggilnya
Anjas menyambut Arinda turun dari mobil.“beres senua, Ma?” tanya Anjas sambil melirik barang belanjaan yang tampak memenuhi mobil bagian belakang. Anjas memanggil semua pekerjanya untuk menurunkan barang-barang itu. “Cape banget Uma, tugasmu malam ini buat pijit kaki Uma.”“Tugas Abak, itu Uma kan Abak yang minta pernikahan buru-buru,” elak Anjas. Mendengar namanya disebut Yasir menoleh lalu mencibir.“Ya kalau kamu nggak mau gampang kok tinggal dibatalkan saja.”“Eh, nggak ya Abak, semua udah bergerak kok mau dibatalkan,” gerutu Anjas, Arinda dan Yasir menahan senyum sambil menggelengkan kepalanya.*** “Kamu selama di sini nggak pernah ketemu Reina, Njas?” tanya Arinda saat mereka selesai makan malam. Anjas sudah tidak mengunyah ataupun minum. Sepeti kedua orang tuanya, Anjas pun sudah selesai makan beberapa menit lalu. Namun pertanyaan itu membautnya nayris tersedak.Dua kali sudah Anjas mendengar nama itu dihubungka padanya. Ada apa sebenarnya.“Kok Uma nanyain lagi, dia Cuma mas