Share

Bab 4

Penulis: Kokoro No Tomo
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-16 17:25:57

“Dek, bagaimana?” Pertanyaan Satrio membuat kesadaran Isha kembali.

Gadis itu kembali menatap Satrio. Dia masih merasa bimbang.

“Apa Dek Isha ragu?” Satrio berusaha menyelami perasaan gadis di depannya melalui mata bening yang memandangnya.

Isha mengangguk pelan. “Maaf, Bang. Semua ini terlalu mendadak. Aku—aku belum bisa memutuskan,” ungkapnya sambil menunduk.

Satrio menghela napas panjang. “Abang ngerti, Dek. Pernikahan kita mendadak. Kita juga tidak saling cinta. Apalagi pekerjaan Abang tidak jelas. Wajar kalau Dek Isha merasa ragu.”

“Maaf, Bang.” Isha jadi merasa tak enak hati.

“Bagaimana kalau kita jalani saja dulu, Dek? Anggap saja kita baru jadian dan sekarang sedang pacaran.” Satrio menawarkan opsi baru. “Abang tidak akan meminta hak sebagai suami sampai Dek Isha yakin dengan pernikahan kita,” imbuhnya.

Isha berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Oke, tapi Bang Satrio jangan terlalu berharap sama aku.”

Pria berambut ikal itu mengulum senyum. “Terima kasih, Dek.”

***

“Sebaiknya kalian segera mengesahkan pernikahan ke KUA,” lontar Baskoro pada Isha dan Satrio saat mereka duduk bersama di ruang makan.

“Kenapa harus cepat-cepat, Pak?” Isha tampak keberatan. Dia saja belum yakin dengan pernikahannya masa sudah harus diresmikan.

“Biar segera tercatat secara negara. Kalau nanti kamu hamil dan melahirkan, tidak perlu repot lagi mengurusnya,” jawab pria paruh baya itu.

Meskipun masih belum menerima sepenuhnya Satrio sebagai menantu, tapi Baskoro tidak ingin putri sulungnya itu dipermainkan. Kalau sudah nikah secara negara, Satrio tidak bisa meninggalkan Isha begitu saja.

“Nanti-nanti juga tidak apa-apa, Pak. Nunggu Dek Isha ada waktu saja,” cetus Satrio.

“Is, kamu bisa ‘kan izin kerja sehari atau dua hari buat ngurus ke KUA?” Baskoro memandang putri sulungnya.

Isha mendengkus. “Ya, nanti aku sama Bang Satrio ke KUA, Pak. Ga perlu izin kerja karena aku masuk siang,” tukasnya.

“Walaupun kalian baru nikah siri, harusnya tetap bagi-bagi makanan atau kue ke tetangga biar mereka tahu kalau kalian sudah menikah. Tidak kumpul kebo.” Lina memotong pembicaraan suami dan anak tirinya.

“Tapi Bapak sama Ibu sedang tidak punya uang, suamimu punya ‘kan, Is?” tanyanya sambil melirik Satrio dengan pandangan merendahkan.

“Saya akan usahakan, Bu. Tapi tidak sekarang, karena saya sama sekali tidak pegang uang.” Satrio menimpali ibu mertuanya.

“Halah! Tidak usah sok punya uang. Kalau tidak punya bilang saja. Kamu pikir Ibu sama Bapak tidak tahu kamu pengangguran, Sat?” cibir Lina dengan tatapan yang semakin meremehkan.

“Jangan sampai kamu utang pinjol apalagi mencuri ya! Bikin kami malu saja kalau sampai kejadian!” sergah wanita paruh baya itu.

“Insya Allah tidak, Bu.” Satrio tetap santai menanggapi ibu mertuanya meskipun sudah dipandang rendah. “Kira-kira berapa biaya yang dibutuhkan untuk itu, Bu?” tanyanya.

Lina tampak berpikir sejenak. “Kalau satu keluarga harganya 50 ribu, jumlah tetangga di sini sekitar 100 kepala keluarga jadi totalnya lima juta. Syukur-syukur bisa lebih untuk cadangan, siapa tahu ada yang kelewat,” jawabnya.

“Sekalian sama uang buat belanja harian. Karena kalian tinggal di sini otomatis pengeluaran untuk makan jadi bertambah sementara uang belanja dari Bapak tetap. Makanya kalian cukup makan sama sayur dan tempe. Ibu hanya mampu beli satu ayam untuk Vita,” sambung wanita paruh baya itu.

Saat Isha dan Satrio baru bergabung di ruang makan tadi, Lina memang memberikan sepotong ayam goreng untuk Vita. Sementara yang lain diberi lauk tempe goreng.

“Insya Allah nanti malam saya berikan sekalian, Bu,” timpal Satrio.

Isha sekilas melirik suaminya yang tampak tenang. Dalam hati dia merasa khawatir, dari mana Satrio akan mendapat uang sebanyak itu. Sementara uang di dompet Satrio saja semalam hanya seratus ribu, itu pun diberikan untuknya sebagai mahar.

Uang tabungan yang disisihkan setiap bulan saja belum mencapai lima juta karena Isha juga memberikan sebagian gajinya pada Lina agar tidak terus-terusan disindir menumpang hidup tanpa tahu berterima kasih. Baskoro tidak tahu hal itu sebab Lina menyindir Isha saat suaminya tidak ada di rumah.

“Vit, katanya pacarmu mau naik jabatan ya?” Lina bertanya pada putrinya, sengaja memanas-manasi Isha dan Satrio.

“Iya, Bu. Makanya Mas Surya mau secepatnya melamar dan menikahi aku, tapi ‘kan tidak boleh sama Bapak karena Mbak Isha belum nikah,” jawab Vita seraya melirik kakak tirinya dengan kesal.

“Sekarang ‘kan Isha sudah nikah meskipun karena digerebek warga. Harusnya Bapak ngizinin kamu nikah,” timpal Lina.

“Vita sudah boleh nikah ‘kan, Pak?” Dia beralih pada suaminya.

Baskoro menghela napas panjang. “Iya, tapi tunggu setidaknya dua atau tiga bulan biar ada jeda. Bapak juga sambil mengumpulkan uang biar Isha dan Vita bisa resepsi bersama,” ucapnya.

“Aku tidak perlu resepsi, Pak. Sudah sah saja cukup,” tukas Isha. Dia tidak mau membebani bapaknya dengan pesta pernikahan. Toh gadis itu juga belum yakin dengan pernikahannya.

“Tuh, Pak. Isha saja tidak mau resepsi. Lagian siapa yang mau diundang sama mereka? Isha cuma pegawai toko, Satrio malah pengangguran. Beda sama Vita dan Surya yang kerja kantoran, pasti banyak teman yang akan mereka undang, termasuk bosnya,” sergah Lina yang tak pernah lelah merendahkan anak tiri dan menantunya.

“Iya, Pak. Aku mau mengundang teman-temanku dari SD sampai kuliah, sama teman-teman kantor. Mas Surya juga banyak temannya. Apalagi kenalannya banyak bos-bos perusahaan. Pokoknya kalau aku nikah, resepsiku harus mewah dan meriah. Jangan sampai malu-maluin,” lontar Vita.

“Calon suamimu ‘kan orang kaya minta saja dibuatkan pesta mewah sama keluarganya. Jangan membebani Bapak minta dibuatkan yang tidak sesuai kemampuan kita!” cetus Isha.

Vita melirik kakak tirinya itu dengan kesal. “Bilang saja Mbak Isha iri sama aku karena aku punya banyak teman. Tadi saja Bapak bilang sedang mengumpulkan uang untuk resepsi kita. Karena Mbak Isha tidak mau, ya berarti buat aku saja ‘kan?”

“Ya, tapi kamu tahu ‘kan gaji Bapak tidak seberapa. Kamu yang gajinya lebih besar harusnya sudah punya tabungan buat nikah. Tidak lagi memberatkan orang tua. Ibu saja tadi bilang tidak punya uang untuk bagi-bagi makanan ke tetangga,” tukas Isha.

“Hakku dong gajiku mau dipakai buat apa. Kenapa Mbak Isha jadi ngatur? Memangnya Mbak Isha nikah pake modal sendiri? Modal digerebek warga saja bangga,” sinis Vita.

“Heh! Jaga ya mulutmu!” Isha menuding Vita dengan emosi. Dia tidak terima direndahkan oleh adik tirinya itu.

“Isha! Vita! Cukup!” Baskoro memukul meja makan dengan keras. “Kalian ini pagi-pagi sudah ribut! Kakak adik itu harusnya yang akur. Jangan bertengkar terus!”

Pria paruh baya itu memandang kedua anaknya bergantian. “Kalau Bapak dan Ibu sudah tidak ada kalian mau sama siapa kalau sama saudara sendiri tidak akur?”

“Vita yang mulai, Pak,” timpal Isha.

“Sudah, Dek. Sabar. Tidak usah diladeni.” Satrio coba menenangkan istrinya.

“Bang Satrio lebih belain Vita daripada aku?” Isha meninggalkan meja makan lalu masuk ke kamar.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 220 (TAMAT)

    “Bu, kita kabur aja yuk! Aku ga tahan hidup di sini.” Vita mengeluh pada ibunya saat mereka berbaring sebelum tidur. Lina menatap lekat putrinya meskipun dalam cahaya remang-remang. “Ga usah aneh-aneh, Vit. Apa kamu lupa kemarin ada yang kabur terus ketangkap? Sekarang dia dimasukkan ke ruang isolasi. Kamu mau hidup di ruangan sempit, gelap, pengap, dan ga bisa keluar sama sekali?” “Lebih baik aku mati saja daripada dikurung di sana, Bu,” timpal Vita dengan bibir mengerucut. “Ya sudah, kalau gitu terima aja apa adanya!” tukas Lina. “Tapi aku capek banget kalau kaya gini tiap hari, Bu. Kulitku jadi cokelat, kukuku juga rusak semua. Sia-sia perawatan yang aku lakukan selama ini,” keluh Vita. “Vit, kita seperti ini sekarang karena siapa? Kamu ‘kan! Kalau kamu ga mendorong Isha dari tangga, Satrio ga akan semarah itu sama kita. Ya sudah, sekarang kamu terima aja konsekuensinya!” Lama-lama Lina merasa kesal pada Vita yang selalu dia banggakan. “Kita dibiarkan hidup sama Satrio sudah

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 219

    Kondisi Abi setiap hari semakin membaik. Berat badannya terus naik karena rutin minum ASI sang ibu. Paru-parunya sudah berfungsi dengan baik, hingga tak perlu alat bantu pernapasan lagi. Jantungnya pun detaknya sudah normal. Pada hari ke-6, Abi pun keluar dari NICU, tapi belum diperbolehkan pulang oleh dokter. Dokter masih harus mengobservasi kondisi Abi setelah tidak berada di inkubator. Sebenarnya di hari ketiga paska-operasi, Isha sudah diperbolehkan pulang. Namun karena tak tega meninggalkan Abi sendiri di sana, dan repot kalau harus bolak-balik ke rumah sakit untuk memberikan ASI-nya, akhirnya Isha tetap tinggal di ruangan rawat inapnya. Satrio yang bolak-balik karena dia tetap harus pergi ke kantor untuk melakukan tanggung jawabnya sebagai presdir Digdaya Grup. Marni juga setiap hari ke rumah sakit, membawakan baju ganti untuk Isha, Satrio, dan Abi, lalu pulangnya membawa baju mereka yang kotor untuk dicuci di rumah. Selain baju, dia juga membawakan jamu pelancar ASI untuk Isha

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 218

    “Sudah, tapi nanti saja aku kasih tahu kalau semua kumpul biar sekalian jelasin arti namanya.” Satrio menjawab rasa penasaran adiknya. Nila berdecak. “Terus selama Kak Bhumi belum ngasih tahu namanya, kita manggilnya apa dong? Masa Baby sih?” protes gadis yang masih kuliah semester akhir itu. “Kalau begitu panggil saja Abi. Itu nama panggilan yang diambil dari nama tengahnya,” sahut Satrio setelah berpikir beberapa saat. “Iya, deh. Suka-suka, Kak Bhumi, aja. Lagian sok misterius banget namanya sampai ga mau nyebutin.” Nila merasa gemas pada kakak sulungnya itu. “Bukannya sok misterius, tadi aku dah bilang ‘kan alasannya,” tukas Satrio. “Terus kapan rencanamu mau ngadain akikah buat Abi?” Kali ini Krisna yang bertanya. “Sunahnya tujuh hari ‘kan, Pa? Tapi aku belum tahu nanti pas itu Abi sudah bisa pulang atau belum. Menurut Papa sebaiknya gimana?” Satrio memandang papanya. “Tidak harus tujuh hari tidak apa-apa bisa setelah empat belas atau dua puluh satu hari. Tapi kalau kamu mau

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 217

    Isha langsung diberi ucapan selamat oleh Baskoro, Bisman, Bayu, Marni, dan Kasno begitu dia dibawa ke kamar oleh petugas. Wanita yang baru menjadi ibu itu mengucapkan terima kasih atas perhatian dan doa-doanya mereka. Baru setelah itu Satrio mendekati sang istri yang duduk menyandar pada bagian atas brankar yang dinaikkan dan diatur posisinya sampai Isha merasa nyaman. “Makasih ya, Dek, sudah bertahan dan berjuang bersama anak kita. Terima kasih sudah melahirkan jagoan di keluarga kita,” lontar Satrio sambil menggenggam tangan sang istri tercinta. Dia duduk di kursi samping brankar, menghadap belahan jiwanya itu. Isha mengangguk. Wajahnya yang masih tampak pucat tersenyum. “Bang Satrio udah ketemu anak kita?” Dia berusaha tetap tegar dan tenang walaupun sang putra saat ini menjalani perawatan yang intensif. Pria yang kini mengenakan kemeja biru muda dengan lengan digulung sampai siku itu, menggeleng. “Belum, Dek. Katanya kalau mau ketemu harus ke NICU. Abang maunya ke sana sama Dek

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 216

    Satrio sontak berdiri kala melihat dokter keluar dari ruang operasi. Dia gegas menghampiri dokter tersebut. “Bagaimana operasinya, Dok? Lancar ‘kan?” tanyanya tak sabar. Dokter itu tersenyum. “Alhamdulillah lancar. Kondisi Ibu sejauh ini stabil, tapi putra Bapak harus mendapatkan perawatan intensif karena lahir prematur dan berat badan lahirnya rendah,” jawabnya. Satrio menghela napas lega meskipun kondisi sang anak masih belum bagus. Setidaknya istri dan anaknya selamat. “Alhamdulillah. Berarti saya boleh menemui istri dan anak saya sekarang, Dok?” tanyanya lagi. Sang dokter menggeleng. “Untuk saat ini belum, Pak. Ibu masih di ruang pemulihan untuk diobservasi. Kalau putra Bapak nanti bisa ditemui di NICU, sekarang masih ditangani oleh dokter anak,” jelasnya. Bahu Satrio meluruh karena tidak bisa menemui istri dan anaknya. “Kalau begitu sebaiknya saya menunggu di mana, Dok? Di sini atau di kamarnya?” Dia kembali bertanya. “Di sini boleh. Di kamar juga boleh. Nanti kalau Ibu seles

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 215

    “Vit, ada tamu tuh. Sana buka pintunya!” titah Lina yang sedang tiduran di sofa depan televisi pada putrinya setelah mendengar bel rumah berbunyi.“Siapa sih? Ganggu aja orang lagi santai!” Meskipun menggerutu, Vita tetap melangkah menuju pintu depan. Keningnya mengerut kala melihat beberapa sosok pria berbadan tinggi, kekar, dan mengenakan pakaian serba hitam. Sejujurnya dia takut melihat para pria di hadapannya yang tampangnya tampak menyeramkan dan sama sekali tak ramah.“Kalau kalian mencari Bang Satrio dan Mbak Isha, mereka tidak ada di rumah!” Vita bicara dengan ketus untuk menutupi ketakutannya.“Siapa, Vit?” Lina menyusul ke depan karena penasaran dengan tamu yang datang.“Ga tahu, Bu!” Vita menggeleng.Lina terkesiap melihat orang-orang yang bertamu. Dia langsung menelan ludah dan mendekat pada putrinya. “Mereka bukan debt collector yang mau nagih utang Satrio atau Isha ‘kan?” bisiknya.“Mana kutahu, Bu. Sejak tadi mereka cuma diam. Ga ngomong apa-apa,” balas Vita juga dengan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status