Satrio menyusul Isha ke kamar lalu duduk di samping istrinya.
"Ngapain Bang Satrio ke sini?" tanya Isha sambil bersedekap. Dia kesal sekali pada suaminya itu. Satrio menghela napas panjang. "Dek, bukan maksud Abang membela Vita. Abang hanya tidak ingin Dek Isha ribut dengan Vita apalagi di depan Bapak. Kasihan Bapak nanti jadi tambah pikiran." Dia memberi pengertian pada istrinya. "Vita yang mulai duluan, Bang. Aku 'kan cuma menimpali." Isha membela diri. "Iya, Abang tahu. Biar saja orang bicara apa, yang penting kita tahu kebenarannya bagaimana. Kalau meladeni semua orang, nanti Dek Isha capek sendiri," timpal Satrio. Isha mendengkus. Dia merubah posisi duduknya jadi membelakangi Satrio. Pria berambut ikal sebahu itu bangkit. Melangkah lantas berlutut di depan Isha. "Abang minta maaf sudah membuat Dek Isha kesal. Mau 'kan memaafkan Abang?" tanyanya seraya menatap lekat istrinya. Melihat ketulusan dan kesungguhan Satrio, gadis itu pun mengangguk walau masih sedikit kesal. Satrio tersenyum. "Terima kasih, Dek. Oh ya, gimana kalau sekarang kita ke KUA biar tidak kesiangan?" usulnya kemudian. "Aku saja belum yakin sama pernikahan ini, masa sudah harus ke KUA," gerutu Isha. "Apa Dek Isha mau mengecewakan Bapak?" tanya Satrio. Isha menggeleng. "Enggak, Bang. Aku ingin membahagiakan Bapak." "Kalau begitu kita harus pergi ke KUA seperti yang Bapak minta," ujar Satrio. "Ya udah, aku siap-siap dulu. Abang tunggu di luar ya, aku mau ganti baju," pinta Isha. *** “Apa Bang Satrio beneran mau ngasih Ibu lima juta?” tanya Isha saat mereka dalam perjalanan menuju KUA. “Insya Allah akan Abang usahakan, Dek. Jangan khawatir!” sahut Satrio. “Aku ada sedikit tabungan kalau misalnya kurang, Bang. Dipakai saja tidak apa-apa,” imbuh Isha setelah mengingat uang di dompet suaminya hanya tinggal seratus ribu, itu pun juga diberikan untuknya sebagai mahar. “Tidak usah, Dek. Uangnya disimpan saja untuk tabungan. Insya Allah Abang ada untuk ngasih ke Ibu,” timpal Satrio dengan tenang. “Kalau kurang bilang saja, Bang. Aku ikhlas kok,” desak Isha. “Insya Allah tidak akan kurang. Dek Isha, tenang saja.” Satrio kembali menenangkan istrinya. “Bang Satrio tidak perlu memberi Ibu tambahan uang belanja karena setiap bulan aku udah ngasih ke Ibu setelah gajian,” lontar Isha. “Gapapa, Dek. Abang ‘kan juga numpang makan di rumah. Kasihan Ibu kalau nanti uang belanjanya kurang,” ujar Satrio. Isha menghela napas panjang. "Kalau tidak punya, jangan dipaksakan, Bang." "Tenang saja, Dek. Insya Allah ada," sahut Satrio. Pasangan pengantin baru itu akhirnya tiba di KUA. Mereka disambut baik oleh petugas di sana. Setelah menyatakan maksud kedatangannya, petugas KUA itu menjelaskan masing-masing syarat untuk mengajukan isbat nikah dan nikah di KUA. Sesudahnya menyerahkan keputusan pada sejoli itu mau mengajukan yang mana. “Apa boleh kami bicarakan dulu dengan keluarga, Pak?” tanya Satrio pada petugas KUA. “Tentu saja, silakan. Memang lebih baik dimusyawarahkan dulu dengan keluarga,” jawab petugas tersebut. Satrio dan Isha lantas pamit dan meninggalkan KUA. Tak lama kemudian Satrio menghentikan motor di pinggir jalan. Dia juga turun dari motor. "Kenapa berhenti, Bang?" Isha merasa penasaran. Satrio meringis. "Bensinnya habis, Dek. Indikator bahan bakarnya rusak. Abang tadi in juga lupa ngecek," jawabnya. "Ya udah, gapapa." Isha pun turun dari motor. Satrio kemudian mendorong motor sambil mencari penjual BBM. "Dek, boleh Abang pinjam lima puluh ribu dulu buat beli bensin? Nanti malam Abang ganti. Abang mau ambil uang, tapi di sini tidak ada mesin ATM.” Satrio terpaksa meminjam uang meskipun jadi tak enak hati pada wanita yang baru kemarin dinikahinya itu. Isha mengeluarkan selembar uang berwarna biru dari dompet lalu menyerahkan pada Satrio. “Pakai saja, Bang. Tidak usah diganti. Kita 'kan perginya bersama,” ucapnya seraya mengulas senyum. “Terima kasih, Dek. Abang pasti ganti uangnya,” cakap Satrio usai menerima uang dari istrinya. Setelah berjalan sekitar satu kilometer, akhirnya mereka berhenti di depan pom mini. “Bang, tolong diisi penuh,” pinta Satrio pada penjaga pom mini. “Kita mau langsung pulang atau mampir ke mana dulu, Dek?” tanya Satrio sesudah motor bebeknya kembali menyala dan keduanya duduk di atas jok. “Pulang saja, Bang. Aku mau istirahat dulu sebelum nanti masuk kerja,” jawab Isha. “Siap, Dek. Nanti Abang yang antar dan jemput ya, sekalian Abang ada perlu di luar,” lontar Satrio. “Ya, Bang,” jawab Isha. *** “Assalamu’alaikum,” salam Isha setelah membuka pintu rumah. Dia mengernyit karena lampu ruang tamu masih menyala padahal sudah hampir pukul sepuluh malam. Biasanya saat gadis itu pulang kerja shift siang, lampu sudah dipadamkan. “Wa’alaikumussalam,” balas Lina yang duduk di kursi ruang tamu sambil bersedekap. “Ibu belum tidur?” tanya Isha setelah menyalami ibu tirinya. “Kalau sudah, siapa yang akan menjaga pintu depan? Nanti kamu tidak bisa masuk lagi kaya kemarin gara-gara tidak punya kunci rumah,” jawab Lina dengan ketus. “Kalau begitu, besok pagi saya duplikat kuncinya biar tidak merepotkan Ibu,” cetus Satrio yang menyusul di belakang Isha. Dia pun ikut menyalami ibu mertuanya. Lina langsung mengusap tangannya yang disalami Satrio ke daster kembang-kembang yang dikenakannya. Seolah-olah ada noda yang ditinggalkan Satrio di sana. “Mana uang yang kamu janjikan tadi pagi, Sat?” Lina langsung menagih tanpa basa-basi. “Para tetangga sudah bergunjing karena kita tidak bagi-bagi makanan padahal kamu dan Isha sudah nikah biarpun karena digerebek warga,” cibirnya. “Sebentar, Bu.” Satrio membuka tas pinggang, lantas mengeluarkan satu bundel uang pecahan seratus ribu. “Ini untuk bagi-bagi makanan dan uang belanja, Bu. Semoga cukup.” Satrio menyerahkan uang tersebut pada ibu mertuanya. Mata Lina membelalak melihat uang tersebut. Dia tidak menduga Satrio punya uang sebanyak itu. Tahu begitu tadi pagi dia meminta lebih. Namun wanita paruh baya itu tetap menampakkan wajah sinis saat menerima uang tersebut. “Kamu tidak ngutang pinjol atau nyuri ‘kan?” tanyanya. “Insya Allah aman, Bu. Itu uang halal hasil kerja saya. Tidak mungkin saya memberikan uang tidak halal pada keluarga istri saya. Tidak berkah nanti,” jawab Satrio sambil tetap tersenyum. Lina mengernyit. “Hasil kerja? Memangnya kamu kerja apa? Jadi tukang ojek, tukang parkir apa tukang bangunan?” cecarnya. “Ehm, itu ....” Satrio mengusap tengkuknya. Bingung harus mengatakan apa. “Bu, Bapak sudah pulang apa belum?” Isha mengalihkan pembicaraan karena tak enak hati pada Satrio yang terus disudutkan ibu tirinya. “Belum. Kenapa memangnya?” Lina masih tetap ketus meskipun sudah mendapat uang yang tidak sedikit dari Satrio. “Ada yang mau aku dan Bang Satrio bicarakan sama Bapak,” ungkap Isha. “Apa memangnya yang mau kamu bicarakan? Bicara saja sama Ibu biar nanti Ibu sampaikan pada Bapak kalau sudah pulang,” sergah Lina. “Besok pagi saja, Dek. Ini sudah malam.” Satrio mengingatkan istrinya. “Kenapa harus sama Bapak langsung? Memangnya Ibu tidak boleh tahu?” hardik Lina.“Bu, kita kabur aja yuk! Aku ga tahan hidup di sini.” Vita mengeluh pada ibunya saat mereka berbaring sebelum tidur. Lina menatap lekat putrinya meskipun dalam cahaya remang-remang. “Ga usah aneh-aneh, Vit. Apa kamu lupa kemarin ada yang kabur terus ketangkap? Sekarang dia dimasukkan ke ruang isolasi. Kamu mau hidup di ruangan sempit, gelap, pengap, dan ga bisa keluar sama sekali?” “Lebih baik aku mati saja daripada dikurung di sana, Bu,” timpal Vita dengan bibir mengerucut. “Ya sudah, kalau gitu terima aja apa adanya!” tukas Lina. “Tapi aku capek banget kalau kaya gini tiap hari, Bu. Kulitku jadi cokelat, kukuku juga rusak semua. Sia-sia perawatan yang aku lakukan selama ini,” keluh Vita. “Vit, kita seperti ini sekarang karena siapa? Kamu ‘kan! Kalau kamu ga mendorong Isha dari tangga, Satrio ga akan semarah itu sama kita. Ya sudah, sekarang kamu terima aja konsekuensinya!” Lama-lama Lina merasa kesal pada Vita yang selalu dia banggakan. “Kita dibiarkan hidup sama Satrio sudah
Kondisi Abi setiap hari semakin membaik. Berat badannya terus naik karena rutin minum ASI sang ibu. Paru-parunya sudah berfungsi dengan baik, hingga tak perlu alat bantu pernapasan lagi. Jantungnya pun detaknya sudah normal. Pada hari ke-6, Abi pun keluar dari NICU, tapi belum diperbolehkan pulang oleh dokter. Dokter masih harus mengobservasi kondisi Abi setelah tidak berada di inkubator. Sebenarnya di hari ketiga paska-operasi, Isha sudah diperbolehkan pulang. Namun karena tak tega meninggalkan Abi sendiri di sana, dan repot kalau harus bolak-balik ke rumah sakit untuk memberikan ASI-nya, akhirnya Isha tetap tinggal di ruangan rawat inapnya. Satrio yang bolak-balik karena dia tetap harus pergi ke kantor untuk melakukan tanggung jawabnya sebagai presdir Digdaya Grup. Marni juga setiap hari ke rumah sakit, membawakan baju ganti untuk Isha, Satrio, dan Abi, lalu pulangnya membawa baju mereka yang kotor untuk dicuci di rumah. Selain baju, dia juga membawakan jamu pelancar ASI untuk Isha
“Sudah, tapi nanti saja aku kasih tahu kalau semua kumpul biar sekalian jelasin arti namanya.” Satrio menjawab rasa penasaran adiknya. Nila berdecak. “Terus selama Kak Bhumi belum ngasih tahu namanya, kita manggilnya apa dong? Masa Baby sih?” protes gadis yang masih kuliah semester akhir itu. “Kalau begitu panggil saja Abi. Itu nama panggilan yang diambil dari nama tengahnya,” sahut Satrio setelah berpikir beberapa saat. “Iya, deh. Suka-suka, Kak Bhumi, aja. Lagian sok misterius banget namanya sampai ga mau nyebutin.” Nila merasa gemas pada kakak sulungnya itu. “Bukannya sok misterius, tadi aku dah bilang ‘kan alasannya,” tukas Satrio. “Terus kapan rencanamu mau ngadain akikah buat Abi?” Kali ini Krisna yang bertanya. “Sunahnya tujuh hari ‘kan, Pa? Tapi aku belum tahu nanti pas itu Abi sudah bisa pulang atau belum. Menurut Papa sebaiknya gimana?” Satrio memandang papanya. “Tidak harus tujuh hari tidak apa-apa bisa setelah empat belas atau dua puluh satu hari. Tapi kalau kamu mau
Isha langsung diberi ucapan selamat oleh Baskoro, Bisman, Bayu, Marni, dan Kasno begitu dia dibawa ke kamar oleh petugas. Wanita yang baru menjadi ibu itu mengucapkan terima kasih atas perhatian dan doa-doanya mereka. Baru setelah itu Satrio mendekati sang istri yang duduk menyandar pada bagian atas brankar yang dinaikkan dan diatur posisinya sampai Isha merasa nyaman. “Makasih ya, Dek, sudah bertahan dan berjuang bersama anak kita. Terima kasih sudah melahirkan jagoan di keluarga kita,” lontar Satrio sambil menggenggam tangan sang istri tercinta. Dia duduk di kursi samping brankar, menghadap belahan jiwanya itu. Isha mengangguk. Wajahnya yang masih tampak pucat tersenyum. “Bang Satrio udah ketemu anak kita?” Dia berusaha tetap tegar dan tenang walaupun sang putra saat ini menjalani perawatan yang intensif. Pria yang kini mengenakan kemeja biru muda dengan lengan digulung sampai siku itu, menggeleng. “Belum, Dek. Katanya kalau mau ketemu harus ke NICU. Abang maunya ke sana sama Dek
Satrio sontak berdiri kala melihat dokter keluar dari ruang operasi. Dia gegas menghampiri dokter tersebut. “Bagaimana operasinya, Dok? Lancar ‘kan?” tanyanya tak sabar. Dokter itu tersenyum. “Alhamdulillah lancar. Kondisi Ibu sejauh ini stabil, tapi putra Bapak harus mendapatkan perawatan intensif karena lahir prematur dan berat badan lahirnya rendah,” jawabnya. Satrio menghela napas lega meskipun kondisi sang anak masih belum bagus. Setidaknya istri dan anaknya selamat. “Alhamdulillah. Berarti saya boleh menemui istri dan anak saya sekarang, Dok?” tanyanya lagi. Sang dokter menggeleng. “Untuk saat ini belum, Pak. Ibu masih di ruang pemulihan untuk diobservasi. Kalau putra Bapak nanti bisa ditemui di NICU, sekarang masih ditangani oleh dokter anak,” jelasnya. Bahu Satrio meluruh karena tidak bisa menemui istri dan anaknya. “Kalau begitu sebaiknya saya menunggu di mana, Dok? Di sini atau di kamarnya?” Dia kembali bertanya. “Di sini boleh. Di kamar juga boleh. Nanti kalau Ibu seles
“Vit, ada tamu tuh. Sana buka pintunya!” titah Lina yang sedang tiduran di sofa depan televisi pada putrinya setelah mendengar bel rumah berbunyi.“Siapa sih? Ganggu aja orang lagi santai!” Meskipun menggerutu, Vita tetap melangkah menuju pintu depan. Keningnya mengerut kala melihat beberapa sosok pria berbadan tinggi, kekar, dan mengenakan pakaian serba hitam. Sejujurnya dia takut melihat para pria di hadapannya yang tampangnya tampak menyeramkan dan sama sekali tak ramah.“Kalau kalian mencari Bang Satrio dan Mbak Isha, mereka tidak ada di rumah!” Vita bicara dengan ketus untuk menutupi ketakutannya.“Siapa, Vit?” Lina menyusul ke depan karena penasaran dengan tamu yang datang.“Ga tahu, Bu!” Vita menggeleng.Lina terkesiap melihat orang-orang yang bertamu. Dia langsung menelan ludah dan mendekat pada putrinya. “Mereka bukan debt collector yang mau nagih utang Satrio atau Isha ‘kan?” bisiknya.“Mana kutahu, Bu. Sejak tadi mereka cuma diam. Ga ngomong apa-apa,” balas Vita juga dengan