Share

Bab 3

last update Huling Na-update: 2024-07-16 17:22:13

Pria berambut ikal sebahu itu seketika menoleh pada pemilik kontrakan. Satrio pikir masalahnya selesai begitu menikah dengan Isha, ternyata masih saja ada. Di mana dia dan istrinya akan tinggal kalau begini?

“Bawa barang-barangmu ke sini! Kalian lebih baik tinggal di sini daripada harus mencari kontrakan lagi.” Belum sempat Satrio menimpali, Baskoro sudah berbicara terlebih dahulu dengannya.

“Ya, Pak. Terima kasih.” Satrio menghela napas lega karena masalah tempat tinggal sudah mendapat solusi.

“Is, bantu Satrio berkemas,” titah Baskoro pada putrinya. Walau sebenarnya masih tak rela Isha menikah dengan Satrio, tapi dia tidak tega membiarkan putri sulungnya itu tidak punya tempat tinggal.

Isha mengangguk kemudian ikut Satrio ke kontrakan. Tak banyak barang milik pria itu. Hanya pakaian dan alat makan saja. Barang eletronik juga tak punya. Jadi tak butuh waktu lama untuk berkemas.

“Ini kuncinya, Pak. Terima kasih sudah mengizinkan saya mengontrak di sini. Mohon maaf atas segala salah dan khilaf saya.” Satrio menyerahkan kunci pada pemilik kontrakan yang menunggunya berkemas.

“Gara-gara kamu, citra kontrakanku jadi jelek,” decak pemilik kontrakan saat menerima kunci kontrakannya.

“Sekali lagi saya mohon maaf, Pak.” Satrio mengatupkan kedua tangan di depan dada. Dia lantas mengajak Isha kembali ke rumah Baskoro.

“Pak, ada apa ini? Kenapa pengangguran ini ada di sini? Bawa tas lagi!” cecar Lina, istri Baskoro, yang baru datang entah dari mana bersama Vita, anak kandungnya. Dia kagaet melihat Satrio yang masuk ke rumah bersama Isha.

“Ibu dari mana sama Vita?” Baskoro balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan istrinya. Waktu sudah hampir tengah malam tapi istri dan anaknya baru pulang.

“Ibu tadi diundang makan malam sama keluarga pacarnya Vita, Pak. Karena keasyikan mengobrol jadi baru pulang. Gimana ga betah, di sana rumahnya bagus dan lebih besar dari rumah kita ini.” Lina sengaja memuji pacar Vita seraya melirik Isha, anak tirinya.

“Kalau Ibu sama Vita mau pergi, bisa ‘kan ngabarin Bapak atau Isha biar Isha tetap bisa masuk rumah begitu pulang kerja? Kuncinya juga bisa disimpan di bawah keset atau dititip tetangga! Gara-gara Ibu sama Vita pergi tanpa kabar, Isha jadi harus menikah dengan Satrio.” Baskoro masih menyesali putrinya yang menikah dengan Satrio. Apalagi penyebabnya karena digerebek warga. Sebagai bapak, dia merasa sudah gagal karena tidak bisa menjaga anak sulungnya itu.

“Apa? Isha menikah sama pengangguran itu? Kaya ga ada pria lain saja yang lebih layak dinikahi,” ucap Lina seraya menatap pasangan pengantin baru itu dengan sinis.

“Lihat Vita ini, punya pacar yang kerja di perusahaan besar. Katanya juga sebentar mau naik jabatan.” Wanita paruh baya itu membanggakan sang putri kandung yang berdiri di sampingnya.

Vita yang disanjung merasa besar kepala. Dia melipat kedua tangan di depan dada dengan senyum mengejek.

“Memang beda sih selera orang yang lulusan sarjana sama SMA. Kalau anak SMA pengangguran pun tidak masalah.” Lina kembali menyindir anak tirinya.

“Ya mau gimana lagi, Bu. Pergaulan Mbak Isha ‘kan tidak luas, jadi kenalannya juga terbatas. Asal jenis kelaminnya laki-laki saja pasti mau daripada ga laku. Beda sama pacarku, selain ganteng dia juga punya gaji besar dan jabatan bagus. Masa depan jelas terjamin, enggak abu-abu,” timpal Vita, menyombongkan diri.

“Kamu memang pintar cari calon suami, Vit. Ibu bangga sama kamu.” Lina kembali memuji putri kandungnya.

“Ya jelas, Bu. Aku ini sarjana, terpelajar. Calon suamiku pastinya lulusan sarjana, punya gaji dan juga jabatan bagus. Bukan pengangguran tidak jelas. Mau makan apa nanti setelah menikah kalau tidak punya kerjaan.” Vita semakin merendahkan Isha dan Satrio.

“Sudah cukup! Tidak baik membanding-bandingkan orang!” Baskoro menegur istri dan anak bungsunya. Dia kemudian beralih pada Isha dan Satrio. “Kalian sebaiknya masuk ke kamar. Sudah malam, waktunya istirahat,” titahnya.

“Kami permisi dulu, Pak, Bu.” Meskipun sudah dihina dan direndahkan, Satrio tetap bersikap hormat pada ibu tiri Isha. Dia mengikuti istrinya masuk ke kamar sambil membawa barang yang dibawa dari kontrakan.

Dalam ruangan berukuran 3 x 3 meter itu tidak terdapat banyak barang atau pernak-pernik khas seorang gadis. Hanya ada meja rias kecil yang menunjukkan kalau pemiliknya adalah seorang wanita. Itu juga dilihat dari beberapa kosmetik yang ada di atas meja.

“Dek, kita salat Isya dulu yuk. Sekalian sama salat sunah pengantin,” ajak Satrio setelah meletakkan barangnya di sudut ruangan.

“I—iya, Bang. Aku ambil wudu dulu sekalian membersihkan diri.” Isha gegas keluar dari kamarnya karena merasa gugup. Gadis itu tidak menduga Satrio mengajaknya salat sunah pengantin bersama. Apa mungkin suaminya akan meminta haknya malam ini?

Tak ingin pikirannya semakin melantur, Isha segera membersihkan diri kemudian berwudu. Setelah dia masuk ke kamar, gantian Satrio yang membersihkan diri dan mengambil wudu.

Usai menjalankan salat Isya dan salat sunah pengantin, keduanya tak langsung berdiri. Satrio duduk menghadap sang istri lantas mengulurkan tangan kanannya. Isha menyambut uluran tangan itu kemudian mencium punggung tangan suaminya untuk pertama kali. Jantung keduanya berdetak dengan cepat karena baru pertama mereka seintens ini.

Satrio duduk lebih dekat dengan Isha. Dia meletakkan tangan kanannya di ubun-ubun sang istri kemudian melantunkan doa. Setelah itu Satrio mencium kening istrinya untuk pertama kali.

“Dek, ada yang ingin Abang bicarakan,” ucap Satrio seraya memandang wajah cantik Isha.

“Apa, Bang?” Isha menunduk. Dia jadi gugup dan salah tingkah karena dipandangi dengan intens oleh Satrio. Baru kali ini gadis itu benar-benar dekat dengan seorang pria. Selama ini Isha memang belum pernah pacaran.

Pria berambut ikal sebahu itu tersenyum tipis melihat tingkah istrinya. Dia lantas memberanikan diri meraih tangan Isha dan menggenggamnya. Membuat gadis itu mendongak dan menatapnya dengan malu-malu.

“Dek, walau pernikahan kita terjadi karena desakan warga, tapi Abang ingin benar-benar menjalaninya. Meskipun masih secara agama, tapi kita sudah terikat sebagai suami istri. Abang akan berusaha memenuhi kewajiban sebagai suami. Abang akan menafkahi Dek Isha semampu abang,” ucap Satrio tanpa melepaskan pandangan dari wanita yang sudah dihalalkannya itu.

“Apa Dek Isha setuju sama Abang?” tanyanya kemudian.

Isha menatap mata pria di hadapannya. Berusaha mencari kebohongan di sana. Namun sayang, dia tak menemukannya. Hatinya bimbang, haruskah dia menerima pria yang tidak jelas masa depannya itu? Atau menolaknya saja. Toh, mereka belum melakukan apa-apa. Kalaupun berpisah, ya tinggal pisah saja tidak usah mengurus ke pengadilan agama. Yang jelas, mereka sudah menuruti keinginan warga, berarti sudah selesai ‘kan masalahnya?

Dalam hatinya Isha juga ingin punya suami yang mapan, yang bisa menafkahi dia dan anak-anaknya. Bukan pengangguran yang hanya punya uang seratus ribu di dompetnya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 220 (TAMAT)

    “Bu, kita kabur aja yuk! Aku ga tahan hidup di sini.” Vita mengeluh pada ibunya saat mereka berbaring sebelum tidur. Lina menatap lekat putrinya meskipun dalam cahaya remang-remang. “Ga usah aneh-aneh, Vit. Apa kamu lupa kemarin ada yang kabur terus ketangkap? Sekarang dia dimasukkan ke ruang isolasi. Kamu mau hidup di ruangan sempit, gelap, pengap, dan ga bisa keluar sama sekali?” “Lebih baik aku mati saja daripada dikurung di sana, Bu,” timpal Vita dengan bibir mengerucut. “Ya sudah, kalau gitu terima aja apa adanya!” tukas Lina. “Tapi aku capek banget kalau kaya gini tiap hari, Bu. Kulitku jadi cokelat, kukuku juga rusak semua. Sia-sia perawatan yang aku lakukan selama ini,” keluh Vita. “Vit, kita seperti ini sekarang karena siapa? Kamu ‘kan! Kalau kamu ga mendorong Isha dari tangga, Satrio ga akan semarah itu sama kita. Ya sudah, sekarang kamu terima aja konsekuensinya!” Lama-lama Lina merasa kesal pada Vita yang selalu dia banggakan. “Kita dibiarkan hidup sama Satrio sudah

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 219

    Kondisi Abi setiap hari semakin membaik. Berat badannya terus naik karena rutin minum ASI sang ibu. Paru-parunya sudah berfungsi dengan baik, hingga tak perlu alat bantu pernapasan lagi. Jantungnya pun detaknya sudah normal. Pada hari ke-6, Abi pun keluar dari NICU, tapi belum diperbolehkan pulang oleh dokter. Dokter masih harus mengobservasi kondisi Abi setelah tidak berada di inkubator. Sebenarnya di hari ketiga paska-operasi, Isha sudah diperbolehkan pulang. Namun karena tak tega meninggalkan Abi sendiri di sana, dan repot kalau harus bolak-balik ke rumah sakit untuk memberikan ASI-nya, akhirnya Isha tetap tinggal di ruangan rawat inapnya. Satrio yang bolak-balik karena dia tetap harus pergi ke kantor untuk melakukan tanggung jawabnya sebagai presdir Digdaya Grup. Marni juga setiap hari ke rumah sakit, membawakan baju ganti untuk Isha, Satrio, dan Abi, lalu pulangnya membawa baju mereka yang kotor untuk dicuci di rumah. Selain baju, dia juga membawakan jamu pelancar ASI untuk Isha

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 218

    “Sudah, tapi nanti saja aku kasih tahu kalau semua kumpul biar sekalian jelasin arti namanya.” Satrio menjawab rasa penasaran adiknya. Nila berdecak. “Terus selama Kak Bhumi belum ngasih tahu namanya, kita manggilnya apa dong? Masa Baby sih?” protes gadis yang masih kuliah semester akhir itu. “Kalau begitu panggil saja Abi. Itu nama panggilan yang diambil dari nama tengahnya,” sahut Satrio setelah berpikir beberapa saat. “Iya, deh. Suka-suka, Kak Bhumi, aja. Lagian sok misterius banget namanya sampai ga mau nyebutin.” Nila merasa gemas pada kakak sulungnya itu. “Bukannya sok misterius, tadi aku dah bilang ‘kan alasannya,” tukas Satrio. “Terus kapan rencanamu mau ngadain akikah buat Abi?” Kali ini Krisna yang bertanya. “Sunahnya tujuh hari ‘kan, Pa? Tapi aku belum tahu nanti pas itu Abi sudah bisa pulang atau belum. Menurut Papa sebaiknya gimana?” Satrio memandang papanya. “Tidak harus tujuh hari tidak apa-apa bisa setelah empat belas atau dua puluh satu hari. Tapi kalau kamu mau

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 217

    Isha langsung diberi ucapan selamat oleh Baskoro, Bisman, Bayu, Marni, dan Kasno begitu dia dibawa ke kamar oleh petugas. Wanita yang baru menjadi ibu itu mengucapkan terima kasih atas perhatian dan doa-doanya mereka. Baru setelah itu Satrio mendekati sang istri yang duduk menyandar pada bagian atas brankar yang dinaikkan dan diatur posisinya sampai Isha merasa nyaman. “Makasih ya, Dek, sudah bertahan dan berjuang bersama anak kita. Terima kasih sudah melahirkan jagoan di keluarga kita,” lontar Satrio sambil menggenggam tangan sang istri tercinta. Dia duduk di kursi samping brankar, menghadap belahan jiwanya itu. Isha mengangguk. Wajahnya yang masih tampak pucat tersenyum. “Bang Satrio udah ketemu anak kita?” Dia berusaha tetap tegar dan tenang walaupun sang putra saat ini menjalani perawatan yang intensif. Pria yang kini mengenakan kemeja biru muda dengan lengan digulung sampai siku itu, menggeleng. “Belum, Dek. Katanya kalau mau ketemu harus ke NICU. Abang maunya ke sana sama Dek

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 216

    Satrio sontak berdiri kala melihat dokter keluar dari ruang operasi. Dia gegas menghampiri dokter tersebut. “Bagaimana operasinya, Dok? Lancar ‘kan?” tanyanya tak sabar. Dokter itu tersenyum. “Alhamdulillah lancar. Kondisi Ibu sejauh ini stabil, tapi putra Bapak harus mendapatkan perawatan intensif karena lahir prematur dan berat badan lahirnya rendah,” jawabnya. Satrio menghela napas lega meskipun kondisi sang anak masih belum bagus. Setidaknya istri dan anaknya selamat. “Alhamdulillah. Berarti saya boleh menemui istri dan anak saya sekarang, Dok?” tanyanya lagi. Sang dokter menggeleng. “Untuk saat ini belum, Pak. Ibu masih di ruang pemulihan untuk diobservasi. Kalau putra Bapak nanti bisa ditemui di NICU, sekarang masih ditangani oleh dokter anak,” jelasnya. Bahu Satrio meluruh karena tidak bisa menemui istri dan anaknya. “Kalau begitu sebaiknya saya menunggu di mana, Dok? Di sini atau di kamarnya?” Dia kembali bertanya. “Di sini boleh. Di kamar juga boleh. Nanti kalau Ibu seles

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 215

    “Vit, ada tamu tuh. Sana buka pintunya!” titah Lina yang sedang tiduran di sofa depan televisi pada putrinya setelah mendengar bel rumah berbunyi.“Siapa sih? Ganggu aja orang lagi santai!” Meskipun menggerutu, Vita tetap melangkah menuju pintu depan. Keningnya mengerut kala melihat beberapa sosok pria berbadan tinggi, kekar, dan mengenakan pakaian serba hitam. Sejujurnya dia takut melihat para pria di hadapannya yang tampangnya tampak menyeramkan dan sama sekali tak ramah.“Kalau kalian mencari Bang Satrio dan Mbak Isha, mereka tidak ada di rumah!” Vita bicara dengan ketus untuk menutupi ketakutannya.“Siapa, Vit?” Lina menyusul ke depan karena penasaran dengan tamu yang datang.“Ga tahu, Bu!” Vita menggeleng.Lina terkesiap melihat orang-orang yang bertamu. Dia langsung menelan ludah dan mendekat pada putrinya. “Mereka bukan debt collector yang mau nagih utang Satrio atau Isha ‘kan?” bisiknya.“Mana kutahu, Bu. Sejak tadi mereka cuma diam. Ga ngomong apa-apa,” balas Vita juga dengan

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status