"Ibu boleh tahu karena itu bukan rahasia. Tapi sekarang sudah malam, jadi ditunda besok saja sekalian sama Bapak. Dek Isha juga capek karena baru pulang dari kerja. Kami permisi ke kamar dulu, Bu." Satrio menarik tangan sang istri lantas mengajaknya masuk kamar.
"Itu tadi Bang Satrio ngasih ibu uang sepuluh juta?" Isha memastikan saat mereka sudah di dalam kamar. Satrio mengangguk. "Iya, Dek. Buat berbagi makanan sama belanja." "Kebanyakan itu, Bang. Nanti sisanya pasti diambil Ibu," protes Isha seraya meletakkan tasnya di atas meja rias. "Gapapa. Anggap saja uang lelah buat Ibu yang sudah mengurus semuanya." Satrio kemudian mengambil dompet dan mengeluarkan satu lembar uang berwarna merah dari sana. "Ini untuk ganti uang yang tadi Abang pinjam, Dek." Dia menyerahkan uang itu pada Isha. "Tidak usah dikembalikan, Bang. Lagian aku juga tidak punya kembalian." Isha tidak mau menerima uang tersebut. Satrio menggeleng. Dia meraih tangan Isha lantas meletakkan uang itu di atas telapak tangan istrinya. "Itu tadi Abang bilang pinjam, jadi harus dikembalikan. Dek Isha tidak perlu mengembalikan sisanya." Belum sempat Isha menimpali, pria berambut ikal itu mengambil sesuatu dari dalam tas. "Ini uang nafkah bulan ini dari Abang buat Dek Isha." Dia meletakkan satu bundel pecahan seratus ribu di atas uang yang tadi. "Bang, ini uang beneran?" Rasanya Isha masih belum percaya dengan apa yang dia pegang. Satrio tertawa kecil. "Ya, uang beneran, Dek. Masa iya Abang kasih uang mainan. Ga laku nanti," timpalnya. Isha menatap suaminya. "Tapi dari mana Abang dapat duit sebanyak ini? Tadi juga udah ngasih Ibu sepuluh juta. Dua puluh juta itu ga sedikit, Bang." Dia merasa sangat penasaran. "Abang ambil dari tabungan, Dek. Biarpun kerjaan Abang ga jelas, tapi Abang punya tabungan," jelas Satrio. "Benar dari tabungan? Abang ga pinjam ke pinjol atau rentenir 'kan?" Isha masih merasa tidak yakin. "Demi Allah, itu dari tabungan, Dek. Kalau tidak percaya ini ada slip penarikan tadi di bank." Satrio mencari-cari bukti penarikan uang di dalam tas, tapi tidak menemukannya. "Aduh. Kok tidak ada ya, Dek. Perasaan tadi slip-nya Abang masukkan ke tas. Mungkin tertinggal di tempat kerja, besok Abang bawakan," lontarnya. "Ya udah gapapa, Bang. Yang penting ini uang halal 'kan?" Isha kembali memastikan. Satrio mengangguk. "Insya Allah halal, Dek. Uang itu hasil kerja Abang kok." "Memangnya selama ini Bang Satrio kerja apa?" Isha jadi ingin tahu. "Bisa dibilang serabutan, Dek. Apa saja Abang kerjakan selama itu halal," jawab Satrio. "Dek, sudah malam. Apa ga mau istirahat?" Dia mengalihkan pembicaraan agar Isha tak menelisik lebih jauh. "Oh iya, gara-gara uang ini sampai lupa kalau tadi capek kerja." Isha meringis. Dia lantas menyimpan uang tadi ke dalam tas. Wajahnya terlihat semringah. Wanita mana yang tidak bahagia mendapatkan uang yang jumlahnya tidak sedikit, begitu juga dengan Isha. "Makasih ya, Bang. Semoga rezeki Bang Satrio dilancarkan," cakapnya kemudian. Isha hampir lupa mengucapkan terima kasih pada suaminya. "Aamiin," sahut Satrio dengan senyum di wajah. *** “Sah,” ucap kedua saksi setelah Satrio kembali menikahi Isha. Setelah bicara dengan Baskoro dan melalui berbagai pertimbangan, Satrio dan Isha memutuskan menikah ulang di KUA jadi pernikahan mereka lebih terencana. Pagi ini Satrio mengenakan kemeja putih yang dibalut setelan jas dan dasi kupu-kupu berwarna hitam. Rambut ikalnya ditata rapi dan ditutup dengan peci yang juga berwarna hitam. Penampilannya terlihat lebih rapi dan gagah dari biasanya. Sudah seperti seorang petinggi perusahaan saja. Sementara itu Isha mengenakan gamis dan kerudung putih. Di atas kepala dipasang tiara dan ada rangkaian melati yang menjuntai di bahu kanannya. Membuat gadis itu tampak semakin cantik dan anggun dengan riasan wajah dari seorang MUA yang disewa jasanya oleh Satrio. Usai menandatangani surat nikah dan berkas lainnya, penghulu menyerahkan buku nikah pada kedua pengantin tersebut. Selanjutkan Satrio menyerahkan mahar berupa satu set perhiasan emas putih pada istrinya. Isha lantas memasangkan cincin berbahan platinum di jari manis kanan sang suami. Sesudah itu ganti Satrio yang menyematkan cincin bermata berlian di jari manis sang istri. Selesai dengan segala prosesi dan foto bersama, rombongan mereka pun pulang ke rumah dan disambut dengan resepsi kecil-kecilan. Baskoro sengaja membuat resepsi untuk anak sulungnya meskipun hanya sederhana setelah Satrio dan Isha memutuskan menikah ulang di KUA. Dia hanya mengundang tetangga sekitar untuk makan bersama di rumahnya. Tak ada tenda dan juga pelaminan mewah. Hanya tenda biasa, kursi plastik dan meja lipat yang dipinjam dari masjid. Saat resepsi, Satrio dan Isha duduk di teras menggunakan sofa yang dipinjam dari tetangga. Tak ingin mengecewakan Baskoro, mereka pun menuruti. Lina tentu saja meminta uang lagi pada Satrio setelah Baskoro memutuskan mengadakan resepsi. Satrio pun menyanggupi meskipun Isha keberatan. Dia kembali memberikan dua puluh juta pada ibu mertuanya hingga total uang yang diberikan Satrio berjumlah tiga puluh juta rupiah. “Cincin kawinmu bagus, Is, berkilau kaya berlian,” puji Lina saat mereka duduk di ruang tamu usai acara resepsi selesai. Para pria masih duduk-duduk di luar rumah, mengobrol dengan para tetangga. “Tapi Ibu yakin itu pasti berlian palsu. Mana mungkin suamimu yang pengangguran itu mampu beli berlian asli. Belum lagi itu maharnya sok pakai satu set perhiasan emas putih. Palingan juga dari perak tapi diaku emas putih biar kelihatan mewah. Ibu sih enggak akan ketipu sama perhiasan palsu kaya gitu,” sindir Lina.Terima kasih yang sudah mampir, yuk ramaikan dengan komentar dan ulasan :)
“Bu, kita kabur aja yuk! Aku ga tahan hidup di sini.” Vita mengeluh pada ibunya saat mereka berbaring sebelum tidur. Lina menatap lekat putrinya meskipun dalam cahaya remang-remang. “Ga usah aneh-aneh, Vit. Apa kamu lupa kemarin ada yang kabur terus ketangkap? Sekarang dia dimasukkan ke ruang isolasi. Kamu mau hidup di ruangan sempit, gelap, pengap, dan ga bisa keluar sama sekali?” “Lebih baik aku mati saja daripada dikurung di sana, Bu,” timpal Vita dengan bibir mengerucut. “Ya sudah, kalau gitu terima aja apa adanya!” tukas Lina. “Tapi aku capek banget kalau kaya gini tiap hari, Bu. Kulitku jadi cokelat, kukuku juga rusak semua. Sia-sia perawatan yang aku lakukan selama ini,” keluh Vita. “Vit, kita seperti ini sekarang karena siapa? Kamu ‘kan! Kalau kamu ga mendorong Isha dari tangga, Satrio ga akan semarah itu sama kita. Ya sudah, sekarang kamu terima aja konsekuensinya!” Lama-lama Lina merasa kesal pada Vita yang selalu dia banggakan. “Kita dibiarkan hidup sama Satrio sudah
Kondisi Abi setiap hari semakin membaik. Berat badannya terus naik karena rutin minum ASI sang ibu. Paru-parunya sudah berfungsi dengan baik, hingga tak perlu alat bantu pernapasan lagi. Jantungnya pun detaknya sudah normal. Pada hari ke-6, Abi pun keluar dari NICU, tapi belum diperbolehkan pulang oleh dokter. Dokter masih harus mengobservasi kondisi Abi setelah tidak berada di inkubator. Sebenarnya di hari ketiga paska-operasi, Isha sudah diperbolehkan pulang. Namun karena tak tega meninggalkan Abi sendiri di sana, dan repot kalau harus bolak-balik ke rumah sakit untuk memberikan ASI-nya, akhirnya Isha tetap tinggal di ruangan rawat inapnya. Satrio yang bolak-balik karena dia tetap harus pergi ke kantor untuk melakukan tanggung jawabnya sebagai presdir Digdaya Grup. Marni juga setiap hari ke rumah sakit, membawakan baju ganti untuk Isha, Satrio, dan Abi, lalu pulangnya membawa baju mereka yang kotor untuk dicuci di rumah. Selain baju, dia juga membawakan jamu pelancar ASI untuk Isha
“Sudah, tapi nanti saja aku kasih tahu kalau semua kumpul biar sekalian jelasin arti namanya.” Satrio menjawab rasa penasaran adiknya. Nila berdecak. “Terus selama Kak Bhumi belum ngasih tahu namanya, kita manggilnya apa dong? Masa Baby sih?” protes gadis yang masih kuliah semester akhir itu. “Kalau begitu panggil saja Abi. Itu nama panggilan yang diambil dari nama tengahnya,” sahut Satrio setelah berpikir beberapa saat. “Iya, deh. Suka-suka, Kak Bhumi, aja. Lagian sok misterius banget namanya sampai ga mau nyebutin.” Nila merasa gemas pada kakak sulungnya itu. “Bukannya sok misterius, tadi aku dah bilang ‘kan alasannya,” tukas Satrio. “Terus kapan rencanamu mau ngadain akikah buat Abi?” Kali ini Krisna yang bertanya. “Sunahnya tujuh hari ‘kan, Pa? Tapi aku belum tahu nanti pas itu Abi sudah bisa pulang atau belum. Menurut Papa sebaiknya gimana?” Satrio memandang papanya. “Tidak harus tujuh hari tidak apa-apa bisa setelah empat belas atau dua puluh satu hari. Tapi kalau kamu mau
Isha langsung diberi ucapan selamat oleh Baskoro, Bisman, Bayu, Marni, dan Kasno begitu dia dibawa ke kamar oleh petugas. Wanita yang baru menjadi ibu itu mengucapkan terima kasih atas perhatian dan doa-doanya mereka. Baru setelah itu Satrio mendekati sang istri yang duduk menyandar pada bagian atas brankar yang dinaikkan dan diatur posisinya sampai Isha merasa nyaman. “Makasih ya, Dek, sudah bertahan dan berjuang bersama anak kita. Terima kasih sudah melahirkan jagoan di keluarga kita,” lontar Satrio sambil menggenggam tangan sang istri tercinta. Dia duduk di kursi samping brankar, menghadap belahan jiwanya itu. Isha mengangguk. Wajahnya yang masih tampak pucat tersenyum. “Bang Satrio udah ketemu anak kita?” Dia berusaha tetap tegar dan tenang walaupun sang putra saat ini menjalani perawatan yang intensif. Pria yang kini mengenakan kemeja biru muda dengan lengan digulung sampai siku itu, menggeleng. “Belum, Dek. Katanya kalau mau ketemu harus ke NICU. Abang maunya ke sana sama Dek
Satrio sontak berdiri kala melihat dokter keluar dari ruang operasi. Dia gegas menghampiri dokter tersebut. “Bagaimana operasinya, Dok? Lancar ‘kan?” tanyanya tak sabar. Dokter itu tersenyum. “Alhamdulillah lancar. Kondisi Ibu sejauh ini stabil, tapi putra Bapak harus mendapatkan perawatan intensif karena lahir prematur dan berat badan lahirnya rendah,” jawabnya. Satrio menghela napas lega meskipun kondisi sang anak masih belum bagus. Setidaknya istri dan anaknya selamat. “Alhamdulillah. Berarti saya boleh menemui istri dan anak saya sekarang, Dok?” tanyanya lagi. Sang dokter menggeleng. “Untuk saat ini belum, Pak. Ibu masih di ruang pemulihan untuk diobservasi. Kalau putra Bapak nanti bisa ditemui di NICU, sekarang masih ditangani oleh dokter anak,” jelasnya. Bahu Satrio meluruh karena tidak bisa menemui istri dan anaknya. “Kalau begitu sebaiknya saya menunggu di mana, Dok? Di sini atau di kamarnya?” Dia kembali bertanya. “Di sini boleh. Di kamar juga boleh. Nanti kalau Ibu seles
“Vit, ada tamu tuh. Sana buka pintunya!” titah Lina yang sedang tiduran di sofa depan televisi pada putrinya setelah mendengar bel rumah berbunyi.“Siapa sih? Ganggu aja orang lagi santai!” Meskipun menggerutu, Vita tetap melangkah menuju pintu depan. Keningnya mengerut kala melihat beberapa sosok pria berbadan tinggi, kekar, dan mengenakan pakaian serba hitam. Sejujurnya dia takut melihat para pria di hadapannya yang tampangnya tampak menyeramkan dan sama sekali tak ramah.“Kalau kalian mencari Bang Satrio dan Mbak Isha, mereka tidak ada di rumah!” Vita bicara dengan ketus untuk menutupi ketakutannya.“Siapa, Vit?” Lina menyusul ke depan karena penasaran dengan tamu yang datang.“Ga tahu, Bu!” Vita menggeleng.Lina terkesiap melihat orang-orang yang bertamu. Dia langsung menelan ludah dan mendekat pada putrinya. “Mereka bukan debt collector yang mau nagih utang Satrio atau Isha ‘kan?” bisiknya.“Mana kutahu, Bu. Sejak tadi mereka cuma diam. Ga ngomong apa-apa,” balas Vita juga dengan