Tangan kiri Isha mengepal. Menahan kesal karena ucapan ibu tirinya. “Mau ini perhiasan asli atau palsu, yang penting Bang Satrio punya niat baik memberikan aku perhiasan, Bu,” balasnya.
Lina mencebik. “Kalau Ibu sih alergi pakai perhiasan palsu. Bisa gatel-gatel dan merah kulit Ibu. Beda sama kulitmu itu, pakai perhiasan asli bisa jadi malah alergi karena biasa pakai yang palsu,” ledeknya. “Ibu, bisa tidak sekali saja tidak merendahkan aku atau Bang Satrio?” Isha lama-kelamaan tidak bisa menahan emosinya. Lina memandang anak tirinya itu dengan tatapan meremehkan. “Terus aku harus menyanjung kalian begitu? Apa yang harus aku sanjung kalau tidak ada kelebihan yang kalian miliki? Beda sama Vita dan Surya yang punya gaji besar dan kerja di perusahaan ternama. Ibu bisa membangga-banggakan mereka,” tukasnya. “Kamu saja cuma jadi karyawan toko biasa dengan gaji kecil. Terus suamimu si Satrio itu, entah punya kerjaan apa tidak. Setiap hari cuma keluyuran saja tidak pernah kelihatan kerja. Apa yang mau Ibu banggakan hah?” sergah wanita paruh baya itu. “Biarpun gajiku kecil, tapi setiap bulan aku kasih Ibu uang belanja. Bang Satrio juga memberi Ibu uang untuk biaya resepsi dan belanja harian. Apa itu tidak ada artinya buat Ibu?” Isha semakin terpancing emosinya. “Halah berapa sih yang kalian kasih, kaya yang kasih puluhan juta saja. Dipakai belanja seminggu juga sudah habis uangnya. Kalian itu harusnya bersyukur, Bapak ngizinin kalian tinggal di sini. Tidak terus mengusir kalian padahal sudah membuat malu keluarga,” sembur Lina. “Makanya kalau cari suami yang seperti pacar Vita itu. Pegawai perusahaan besar bukan pengangguran tidak jelas kaya Satrio. Sudah diusir dari kontrakan, sekarang numpang hidup sama mertua. Apa sih, Is, yang kamu cari dan banggakan dari Satrio itu selain tampangnya yang agak ganteng? Hidup itu butuh duit bukan ganteng,” tekannya. Kulit wajah Isha yang putih jadi memerah karena menahan emosi. “Terus saja banggakan Vita, Bu. Padahal dia sama sekali tidak pernah memberi Ibu uang belanja. Malah kadang Ibu yang ngasih kalau dia kehabisan uang. Harusnya kalau gajinya besar, Vita ngasih Ibu lebih banyak daripada aku.” Dia balik menyindir adik tirinya. “Wajar dong Ibu membanggakan anak sendiri. Kamu 'kan juga tahu Vita itu kerja di perusahaan besar. Dia harus memperhatikan penampilan agar tidak kalah dengan teman-teman kantornya, karena itu dia harus perawatan wajah sama pakai baju-baju yang mahal. Tidak seperti kamu yang kerja di toko kecil. Pakai bedak sama lipstik murah saja cukup, tidak perlu perawatan di salon yang mahal dan baju bermerek,” tampik Lina. “Ada apa ini?” Baskoro yang baru saja masuk ke rumah memandang istri dan anak sulungnya bergantian. Dia tidak mendengar apa yang sebelumnya mereka bicarakan tapi dari gestur dapat dilihat kalau keduanya tengah bersitegang. “Anakmu itu loh, Pak, minta dipuji-puji. Padahal tidak ada yang bisa dipuji dari dia.” Lina membuka mulutnya terlebih dahulu. “Aku tidak minta dipuji, Pak, tapi aku hanya minta dihargai. Apa yang selama ini aku dan Bang Satrio lakukan tidak ada artinya sama sekali di mata Ibu dan Bapak?” Isha pun menimpali. “Kalian ini sebenarnya bicara apa? Yang satu bilang minta dipuji, satu bilangnya minta dihargai. Yang benar yang mana? Bapak jadi bingung.” Baskoro duduk di kursi lantas memegang kepala dengan kedua tangan. “Ibu itu loh, Pak, selalu saja menjelek-jelekkan aku sama Bang Satrio kaya kami ini hanya numpang saja di sini tanpa memberikan kontribusi sedikit pun. Padahal juga setiap bu—” Belum selesai Isha bicara, Satrio sudah memotongnya. “Dek, ayo kita ke kamar. Kamu pasti capek.” Pria yang masih mengenakan setelan jas itu berpamitan pada kedua mertuanya sebelum menarik istrinya ke kamar. Satrio menutup pintu lantas menguncinya begitu masuk ke ruang tidur mereka. “Apa-apaan sih, Bang, pintunya pakai dikunci segala!” protes Isha yang masih terlihat emosi. “Biar Dek Isha tetap di kamar dan istirahat. Tidak usah menanggapi apa yang dikatakan sama Ibu,” jawab Satrio sambil membuka kancingjas. “Tapi Ibu sudah keterlaluan, Bang. Kita dianggap parasit di rumah ini padahal kita selalu memberi Ibu uang kalau diminta. Biaya resepsi itu ‘kan juga semuanya dari Bang Satrio. Bisa dibilang Bapak dan Ibu tidak mengeluarkan uang sedikit pun. Kok ya masih menjelek-jelekkan kita. Ditambah menuduh cincin kawin dan mahar yang Bang Satrio beri juga palsu.” Isha menunjuk cincin yang melingkar di jari manisnya. “Enggak apa-apa. Biarkan saja. Yang penting apa yang dibilang Ibu tidak benar. Termasuk soal cincin dan mahar itu.” Satrio tersenyum lantas menanggalkan jas dan memasangnya di hanger. Kamar istrinya itu tidak menggunakan AC, hanya kipas angin, jadi terasa panas bila tetap mengenakan jas. Isha mengernyit. “Memangnya cincin dan maharnya asli, Bang?” Dia jadi ikut ragu seperti ibu tirinya.“Bu, kita kabur aja yuk! Aku ga tahan hidup di sini.” Vita mengeluh pada ibunya saat mereka berbaring sebelum tidur. Lina menatap lekat putrinya meskipun dalam cahaya remang-remang. “Ga usah aneh-aneh, Vit. Apa kamu lupa kemarin ada yang kabur terus ketangkap? Sekarang dia dimasukkan ke ruang isolasi. Kamu mau hidup di ruangan sempit, gelap, pengap, dan ga bisa keluar sama sekali?” “Lebih baik aku mati saja daripada dikurung di sana, Bu,” timpal Vita dengan bibir mengerucut. “Ya sudah, kalau gitu terima aja apa adanya!” tukas Lina. “Tapi aku capek banget kalau kaya gini tiap hari, Bu. Kulitku jadi cokelat, kukuku juga rusak semua. Sia-sia perawatan yang aku lakukan selama ini,” keluh Vita. “Vit, kita seperti ini sekarang karena siapa? Kamu ‘kan! Kalau kamu ga mendorong Isha dari tangga, Satrio ga akan semarah itu sama kita. Ya sudah, sekarang kamu terima aja konsekuensinya!” Lama-lama Lina merasa kesal pada Vita yang selalu dia banggakan. “Kita dibiarkan hidup sama Satrio sudah
Kondisi Abi setiap hari semakin membaik. Berat badannya terus naik karena rutin minum ASI sang ibu. Paru-parunya sudah berfungsi dengan baik, hingga tak perlu alat bantu pernapasan lagi. Jantungnya pun detaknya sudah normal. Pada hari ke-6, Abi pun keluar dari NICU, tapi belum diperbolehkan pulang oleh dokter. Dokter masih harus mengobservasi kondisi Abi setelah tidak berada di inkubator. Sebenarnya di hari ketiga paska-operasi, Isha sudah diperbolehkan pulang. Namun karena tak tega meninggalkan Abi sendiri di sana, dan repot kalau harus bolak-balik ke rumah sakit untuk memberikan ASI-nya, akhirnya Isha tetap tinggal di ruangan rawat inapnya. Satrio yang bolak-balik karena dia tetap harus pergi ke kantor untuk melakukan tanggung jawabnya sebagai presdir Digdaya Grup. Marni juga setiap hari ke rumah sakit, membawakan baju ganti untuk Isha, Satrio, dan Abi, lalu pulangnya membawa baju mereka yang kotor untuk dicuci di rumah. Selain baju, dia juga membawakan jamu pelancar ASI untuk Isha
“Sudah, tapi nanti saja aku kasih tahu kalau semua kumpul biar sekalian jelasin arti namanya.” Satrio menjawab rasa penasaran adiknya. Nila berdecak. “Terus selama Kak Bhumi belum ngasih tahu namanya, kita manggilnya apa dong? Masa Baby sih?” protes gadis yang masih kuliah semester akhir itu. “Kalau begitu panggil saja Abi. Itu nama panggilan yang diambil dari nama tengahnya,” sahut Satrio setelah berpikir beberapa saat. “Iya, deh. Suka-suka, Kak Bhumi, aja. Lagian sok misterius banget namanya sampai ga mau nyebutin.” Nila merasa gemas pada kakak sulungnya itu. “Bukannya sok misterius, tadi aku dah bilang ‘kan alasannya,” tukas Satrio. “Terus kapan rencanamu mau ngadain akikah buat Abi?” Kali ini Krisna yang bertanya. “Sunahnya tujuh hari ‘kan, Pa? Tapi aku belum tahu nanti pas itu Abi sudah bisa pulang atau belum. Menurut Papa sebaiknya gimana?” Satrio memandang papanya. “Tidak harus tujuh hari tidak apa-apa bisa setelah empat belas atau dua puluh satu hari. Tapi kalau kamu mau
Isha langsung diberi ucapan selamat oleh Baskoro, Bisman, Bayu, Marni, dan Kasno begitu dia dibawa ke kamar oleh petugas. Wanita yang baru menjadi ibu itu mengucapkan terima kasih atas perhatian dan doa-doanya mereka. Baru setelah itu Satrio mendekati sang istri yang duduk menyandar pada bagian atas brankar yang dinaikkan dan diatur posisinya sampai Isha merasa nyaman. “Makasih ya, Dek, sudah bertahan dan berjuang bersama anak kita. Terima kasih sudah melahirkan jagoan di keluarga kita,” lontar Satrio sambil menggenggam tangan sang istri tercinta. Dia duduk di kursi samping brankar, menghadap belahan jiwanya itu. Isha mengangguk. Wajahnya yang masih tampak pucat tersenyum. “Bang Satrio udah ketemu anak kita?” Dia berusaha tetap tegar dan tenang walaupun sang putra saat ini menjalani perawatan yang intensif. Pria yang kini mengenakan kemeja biru muda dengan lengan digulung sampai siku itu, menggeleng. “Belum, Dek. Katanya kalau mau ketemu harus ke NICU. Abang maunya ke sana sama Dek
Satrio sontak berdiri kala melihat dokter keluar dari ruang operasi. Dia gegas menghampiri dokter tersebut. “Bagaimana operasinya, Dok? Lancar ‘kan?” tanyanya tak sabar. Dokter itu tersenyum. “Alhamdulillah lancar. Kondisi Ibu sejauh ini stabil, tapi putra Bapak harus mendapatkan perawatan intensif karena lahir prematur dan berat badan lahirnya rendah,” jawabnya. Satrio menghela napas lega meskipun kondisi sang anak masih belum bagus. Setidaknya istri dan anaknya selamat. “Alhamdulillah. Berarti saya boleh menemui istri dan anak saya sekarang, Dok?” tanyanya lagi. Sang dokter menggeleng. “Untuk saat ini belum, Pak. Ibu masih di ruang pemulihan untuk diobservasi. Kalau putra Bapak nanti bisa ditemui di NICU, sekarang masih ditangani oleh dokter anak,” jelasnya. Bahu Satrio meluruh karena tidak bisa menemui istri dan anaknya. “Kalau begitu sebaiknya saya menunggu di mana, Dok? Di sini atau di kamarnya?” Dia kembali bertanya. “Di sini boleh. Di kamar juga boleh. Nanti kalau Ibu seles
“Vit, ada tamu tuh. Sana buka pintunya!” titah Lina yang sedang tiduran di sofa depan televisi pada putrinya setelah mendengar bel rumah berbunyi.“Siapa sih? Ganggu aja orang lagi santai!” Meskipun menggerutu, Vita tetap melangkah menuju pintu depan. Keningnya mengerut kala melihat beberapa sosok pria berbadan tinggi, kekar, dan mengenakan pakaian serba hitam. Sejujurnya dia takut melihat para pria di hadapannya yang tampangnya tampak menyeramkan dan sama sekali tak ramah.“Kalau kalian mencari Bang Satrio dan Mbak Isha, mereka tidak ada di rumah!” Vita bicara dengan ketus untuk menutupi ketakutannya.“Siapa, Vit?” Lina menyusul ke depan karena penasaran dengan tamu yang datang.“Ga tahu, Bu!” Vita menggeleng.Lina terkesiap melihat orang-orang yang bertamu. Dia langsung menelan ludah dan mendekat pada putrinya. “Mereka bukan debt collector yang mau nagih utang Satrio atau Isha ‘kan?” bisiknya.“Mana kutahu, Bu. Sejak tadi mereka cuma diam. Ga ngomong apa-apa,” balas Vita juga dengan