Pukul 01.00 wib.
Di dalam sebuah kamar yang sangat sederhana. Aisyah sedang menatap pantulan dirinya di cermin dengan perasaan yang campur aduk. Ia baru saja selesai di rias. Karena hari ini adalah hari pernikahannya yang memang dipercepat karena keinginan pria dengan tampang preman itu. Ia mengenakan kebaya putih cerah, sangat pas di tubuh langsingnya yang indah. Rambut hitam panjangnya yang sehalus sutra di sanggul dengan berhiaskan aksesoris jepit kecil berbahan mutiara, hanya tampilan yang sangat sederhana namun sangat tangguh dan elegan. Mencerminkan kepribadian Aisyah yang sesungguhnya. “Wah... Kamu sangat cantik, Mbak Aisyah.” Kagum seorang wanita yang telah memakaikan riasan make up pengantin ke wajah Aisyah. Make up yang tidak terlalu menor atau berlebihan seperti keinginan Aisyah sendiri. Aisyah hanya tersenyum tipis. Entah ia harus bahagia untuk hari istimewa ini ataukah justru sedih. ‘Ya Allah, jika memang ini jalan takdir yang harus hamba tempuh, hamba mohon berikan yang terbaik untuk semuanya.’ Batin Aisyah penuh harap. Masih seperti mimpi, Aisyah masih tak menyangka bahwa hari ini ia akan menikah dengan seseorang yang baru saja ia kenal singkat. “Mbak Aisyah, kamu sudah siap? Akad nikahnya akan segera di mulai... Mempelai pria sudah datang...” Seru Asisten perias. “Mbak Aisyah... Siap-siap ke depan ya.” Ajak sang perias, menuntun Aisyah untuk berdiri, mengantarkannya ke ruangan yang telah disiapkan sebagai tempat berlangsungnya akad nikah. Jantung Aisyah seketika berdebar kencang. Berharap semuanya berjalan dengan lancar. ‘Tenang Aisyah... Allah pasti menyiapkan kejutan yang baik di depan sana.’ Aisyah menenangkan diri dari segala kegelisahan di hatinya. Sementara di ruangan akad nikah, sudah ada sang calon mempelai pria yaitu Galih. Pria itu di dampingi oleh dua orang yang tak sama sekali Aisyah kenal, mereka berjalan menuju tempat akad nikah. Sekejap mata Galih dan Aisyah saling berpandangan. Namun, Aisyah buru-buru mengalihkan pandangannya karena malu. Galih tersenyum tipis. Meskipun terlihat tenang, dirinya juga sedang menahan debaran kencang di dadanya. Saat Aisyah sudah sampai di samping calon mempelai pria, ia pun di dudukkan di sebelah calon suaminya itu. “Cantik!” Bisik Galih saat mereka telah duduk berdampingan. Wajah Aisyah seketika tersipu, ia menunduk untuk menghindari tatapan Galih. Seketika itu juga Galih tersadar bahwa dari tadi tatapannya tak lepas memandang calon istrinya itu, ia langsung memperbaiki posisi duduknya agar lebih tenang dan fokus memandang ke depan. Aisyah sendiri masih menahan debaran tak menentu, segala macam perasaan sedang berkecamuk di hatinya. Ia merasa seakan masih bermimpi jika sebentar lagi akan menjadi seorang istri. Entahlah, saat ini ia hanya bisa pasrah. “Bagaimana? Apa pernikahan ini sudah bisa di mulai?” Tanya Ustadz Ikhlas, tokoh agama yang ada di kampung itu. “Sudah, Pak.” Jawab Galih dengan mantap. Rina dan Syahnaz duduk agak jauh dari posisi kedua mempelai. Tak banyak orang berada di acara tersebut. Hanya ada sepasang calon pengantin, Herman, Rina, Syahnaz, beberapa tetangga dekat dan juga saksi. Herman masih menyayangkan pernikahan ini. Ia masih berharap agar Aisyah menikah dengan juragan Bram saja agar kehidupannya nanti terjamin. “Saya terima nikah dan kawinnya, Aisyah Sofiana binti almarhum Setiawan dengan mas kawin uang tunai sebesar lima puluh juta di bayar tunai!” “Bagaimana para saksi??” “SAH!” Ketika saksi menyatakan 'SAH' maka saat itu pulalah Aisyah dan Galih telah sah menjadi sepasang suami istri di mata agama. “Hah? Lima puluh juta?” Pekik Syahnaz terkejut. Syahnaz masih tercengang dengan nominal mahar yang di sebutkan oleh Galih tadi. “Bu, ini gak salah?” Bisik Syahnaz pada Rina yang duduk di sampingnya. “Ibu juga bingung, Naz. Dari mana preman itu mendapatkan uang sebanyak itu? Mana kemarin dia bayarin hutang bapak kamu seratus juta.” Jawab Rina, semakin membuat Syahnaz terkejut bukan main. “Seratus juta? Bapak ada keperluan apa sampai hutang sebanyak itu, Bu??” Tanyanya, tak menyangka. Rina tergelak sinis. “Buat apa kamu bilang, Naz?? Ya kamu pikir, kehidupan kamu selama ini sejak kuliah di kota sampai dengan sekarang tuh uang dari mana, Naz??” Skak Rina, geram. Putrinya tak peka sama sekali. Syahnaz terdiam, ia tak berani lagi menyahut, takut jika di sangkut pautkan dengan hutang itu. Saat penghulu telah selesai membaca doa pernikahan, beliau meminta sepasang suami istri baru itu saling berhadapan. Aisyah di minta untuk mencium punggung tangan suaminya dan Galih mencium kening istrinya. Ketika saling berhadapan satu sama lain, keduanya sama-sama tersipu malu. Pernikahan ini benar-benar sederhana, tetapi bagi Aisyah semuanya tampak sangat bermakna. °°° Aisyah duduk di tepi ranjang dengan menatap ke luar jendela kamarnya. ‘Pak, Bu... Aisyah udah menikah sekarang. Doakan ya... Semoga Aisyah bisa menjalani pernikahan ini dengan baik.’ Batin Aisyah, mendadak teringat akan mendiang orang tuanya. Tok tok tok... Seseorang mengetuk pintu dari luar. Aisyah segera menetralkan perasaannya. “Masuk...” Ujarnya di balik pintu kamar. Pintu kamar dibuka, Galih masuk dan menghampiri Aisyah yang terlihat sangat gugup. “Tenang aja... Gak usah gugup gitu. Lebih baik sekarang kamu kemas barang-barangmu. Saya akan segera membawamu pergi dari rumah ini!” Titah Galih. Aisyah terperangah. Seorang pria dengan tampang preman yang sekarang sudah menjadi suaminya, ingin membawanya keluar dari rumah ini? Mau di bawa kemana? Aisyah diam sejenak. “Pergi?? Kita mau kemana? Lalu bagaimana dengan adikku Fadil??!” Tanya Aisyah penasaran. “Dia sedang berkemas juga. Saya udah beritahu dia tadi.” Jelas Galih. Aisyah tertegun sejenak mendengar ucapan Galih. “Terus Fadil setuju?” Tanya Aisyah, heran. Galih menatap lekat ke dalam bola mata Aisyah yang indah, membuat istrinya itu sedikit mundur dari posisi duduk mereka yang cukup dekat. “Kenapa tidak? Sekarang saya sudah jadi suami kamu, maka itu artinya Fadil adalah adik iparku. Jadi tidak ada alasan untuk menolak!” Jelas Galih. Tadi ia sudah memberitahu Fadil lebih dulu. Aisyah menatap curiga pada suaminya itu. “Apa kamu mengancam Fadil?” Ucap Aisyah menyipitkan matanya. “Astaga... Apa karena tampangku yang seperti preman, lalu setiap perbuatanku kamu cap buruk?!” Tanya Galih kembali. Aisyah menunduk, merasa tak enak pada Galih. “Maaf, bukan itu maksudku. Kenapa Fadil langsung setuju, sedang aku masih berpikir ulang untuk ikut bersama kamu.” Ralat Aisyah cepat. Galih mengeryit heran. “Kenapa, Aisyah??” Tanyanya. “Rumah ini gak mungkin aku tinggal, karena rumah ini peninggalan bapak.” Jawab Aisyah dengan jujur. Galih menghela napas panjang. “Ikhlaskan saja, Aisyah. Aku akan menggantikannya dengan yang lebih baik.” “Hah? Apa maksud kamu, Galih?” Tanya Aisyah memastikan. “Rumah ini sudah atas nama paman kamu! Entah bagaimana kejadiannya? Yang jelas, bapak kamu sudah menandatangani surat pengalihan pemilik di sertifikatnya!” Jelas Galih. “A-Apa?? Kamu serius Galih?” Tanya Aisyah, terkejut.“Halo Dio, ada apalagi? Mama gak kuat liat Papamu lama-lama,” Ucap Renita masih dengan suara parau. [Maa... Papa, Ma...] “Iya, Mama sudah memaafkannya Dio. Bilang sama Papamu, Mama sudah memaafkannya!” Ujar Renita dengan dada yang sesak. [Maa... Papa pergi, Ma. Papa pergi...] “Pergi? Pergi ke mana maksud kamu Dio?” Tanya Renita, jantungnya seketika berdebar-debar. [Papa pergi meninggalkan kita untuk selamanya, Ma...] Deg! Tubuh Renita seketika lemas. “Ka-Kamu gak bohong kan Dio?” Tanyanya dengan suara bergetar. [Enggak, Ma. Ini Dio lagi di RS, tadi abis nelpon Mama, Papa langsung drop, pas perjalanan ke RS kondisi Papa makin lemah, dokter barusan bilang kalau Papa udah gak ada, Ma...] [Dio bingung, Ma. Ini jenazah Papa mau dimakamkan di mana?] “INNALILAHI WAINNAILAIHI RAJI'UN... Bawa ke sini Dio. Makamkan di sini saja!” Jawab Renita tanpa banyak pikir. [Jenazah Papa di bawa pulang ke rumah?] “Iya, rumah itu akan menjadi milikmu kelak, dan kamu berhak membawa Papamu ke sana
Beberapa bulan berlalu sejak hasil tes DNA itu keluar, hubungan Dio dan Renita tetap baik-baik saja, bahkan di katakan jauh lebih baik dari sebelumnya. Renita sama sekali tak mengurangi kasih sayangnya, hanya saja terkadang Dio sendiri yang merasa sungkan karena merasa tak pantas mendapatkan semua kasih sayang dari Renita. Terasa berat untuk menerima kenyataan ini bagi Renita. Namun, ia sudah ikhlas. la yakin bahwa apa yang di gariskan Tuhan dalam hidupnya tidak akan pernah salah. Setelah hasil tes DNA itu keluar, Dio juga akhirnya meminta Wijaya untuk mengatakan dimana letak pemakaman anak kandung Renita yang sebenarnya. Ternyata Wijaya memakamkan anaknya di dekat makam keluarganya. Renita dan yang lainnya pun langsung mendatangi makam itu. Meskipun makam bayi, ternyata Wijaya memberikan tempat yang istimewa, bahkan di tata dan di rawat selayaknya makam orang dewasa. Renita juga tak bisa menyalahkan Wijaya sepenuhnya, lagi-lagi ia berusaha ikhlas dalam menerima takdir dalam hidu
“Bisa langsung to the point saja gak sih, Bang?!” Pinta Dio jengah, lelah membuatnya enggan banyak bertanya. “Nunggu Mama dulu. Sebentar lagi Mama turun,” Jawab Galih. Dio menghela napas panjang, ia pun beristirahat sambil menunggu Ibunya turun. Beberapa menit kemudian, Renita akhirnya turun juga dan langsung menyapa putranya yang baru saja datang. “Bagaimana perjalananmu, Dio? Macet gak?” Tanya Renita sambil berjalan menghampiri kedua putranya. “Gak kok, Ma. Buktinya Dio bisa sampai sini tepat waktu,” Jawab Dio. la memang berangkat tengah malam agar pagi-pagi sudah sampai di rumah. Tak mau membuang waktu, Renita pun akhirnya menjelaskan maksudnya kenapa meminta Dio pulang kali ini. la menceritakan semua kronologinya mulai dari cerita Wijaya yang tak di percaya oleh Renita itu. “Jadi Papa bilang aku bukan anak kandung Mama?” Ulang Dio, memastikan bahwa kabar yang baru di dengar itu tidak salah. Renita mengangguk. “Itu hanya ucapan Papa kamu aja, Dio. Nyatanya Mama mengandung
Galih masih tercengang setelah mendengar cerita Renita, “Jadi sebenernya yang ngejar itu Tante Indri? Bukan papa?” Tanya Galih memastikan. “Halah sama saja! Papa kamu aja yang bodoh! Sudah Mama peringatkan sejak dulu, masih aja bisa ketipu sama si janda itu. Entah apa yang di lakukan si janda itu sampai papamu akhirnya tergoda. Dasarnya bajingan ketemu wanita bajingan ya begitu.” Ungkap Renita, berusaha menahan kesal dalam dada, ia sudah berusaha untuk mengikhlaskan semuanya. “Ma...” Panggil Galih pelan, merasa sangat iba, ia menatap Ibunya dengan raut wajah yang sendu. “Mama gak apa-apa, Nak. Mama sudah ikhlas, sekarang biarkan Papamu menikmati hasil dari apa yang lakukan. Mama juga gak akan balas dendam pada mereka. Biarkan karma berjalan sesuai dengan ketentuan Tuhan. Mama sudah cukup puas dengan mengalihkan semua aset dan berpisah dari lelaki itu.” Ujar Renita seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang menutupi segala kesakitannya. “Mama hebat! Galih sangat bangga sama Mama!” U
Indri mendadak berdiri dari kursinya, wajahnya memerah dengan amarah bercampur kepanikan. “Ini pasti salah, Dokter! Anda pasti salah memeriksa,” Ujar Indri dengan suara gemetar. Masih tak bisa menerima. Tanpa menunggu jawaban dari dokter, Indri menoleh ke arah Rian yang tampak bingung dan cemas. “Ayo, kita pulang saja, Rian! Tidak ada gunanya periksa di sini!” Indri segera melangkah keluar ruangan dengan terburu-buru, air mata mulai mengalir di pipinya. Hati Indri begitu kalut, tak sanggup menerima kenyataan pahit yang baru saja ia dengarkan. Sementara itu, Rian masih duduk terpaku, mencoba memahami situasi yang baru saja terjadi. Dengan berat hati, ia menatap ke dokter dengan serius. “Dok, saya mohon, tolong jelaskan bagaimana cara penyembuhan penyakit ini? Apa yang harus kami lakukan?” Tanya Rian dengan nada penuh harap. Dokter menghela napas sejenak lalu menjelaskan dengan tenang bahwa HIV memang belum bisa di sembuhkan sepenuhnya, tetapi dengan pengobatan yang tepat, pasien
Sebelum menemui istrinya di balkon kamar, Galih lebih dulu masuk ke kamar Ibunya. Ternyata Renita sudah tertidur pulas, wanita itu terlihat pucat, tak seperti biasanya. Galih menghampiri dan berdiri di samping ranjang, ‘Ma, lekas sehat ya, besok Mama harus melakukan tes!! Galih gak akan maafin Papa kalau sampai Mama tertular penyakit itu!’ Batin Galih. Ia tak akan bisa memaafkan perbuatan Wijaya yang berimbas hal fatal seperti ini. Galih kemudian membetulkan selimut Renita, kemudian mengecup kening Ibunya dengan penuh kasih sayang. Ia pun keluar dan menutup pintu dengan hati-hati. “Mama sudah tidur ya, Mas?” Tanya Aisyah. Mereka kini berada di balkon kamarnya yang ada di lantai atas. Galih mengangguk, “Iya, Sayang...” Jawabnya lembut. “Syukurlah, kasian Mama, Mas... Sepertinya Mama lagi banyak pikiran sampai akhirnya drop seperti itu,” Ujar Aisyah merasa iba pada Ibu mertuanya. “Mama masih sering nangis gak, sayang?” Tanya Galih, penasaran. Ingin tahu apa saja yang di lakukan I