“Assalamu’alaikum, Bu Romlah,” sapa Farhana lembut.
Gadis itu baru berjalan-jalan mengelilingi kampung menggunakan sepeda lipat milik salah satu abang kembarnya, Razaq.
Ketika melewati warung Bu Romlah yang menjadi langganannya, Farhana pun melipir sejenak.
“Ya ampun, Neng Hana! Dari kapan pulang?”
“Hana kan sudah lulus, Bu. Ini mau lanjut kuliah. Sudah tes, tinggal menunggu pengumuman.”
“Semoga lulus, ya, Neng. Oh iya, tumben pagi-pagi udah ke warung. Kalau mau seblak mah belom siap bahannya, Neng.” Bu Romlah tengah sibuk melayani seorang pemuda yang sepertinya memesan nasi uduk. “Minumnya apa, Rey? Teh manis atau kopi?” tanya bu Romlah pada pemuda yang dipanggilnya Rey.
Sekilas Farhana mengintip wajah pemuda yang terhalang tiang kayu. Namanya terasa tidak asing terdengar di telinga. Ketika dilihat sekilas, tiba-tiba gadis itu teringat salah satu aktor Hongkong yang sangat terkenal, Andy Lau. Pemuda bernama Rey itu sedikit mirip dengan aktor tampan itu. Hanya saja kulitnya terlihat lebih gelap. Andy Lau versi kearifan lokal.
“Teh tawar aja boleh, Mpok? Lagi ngurangin yang manis-manis soalnya. Khawatir diabetes,” jawab pemuda itu sambil menyuap suapan pertama.
Hari gini masih ada pemuda kampung yang peduli kesehatan, pikir Farhana saat itu. Dirinya merasa aneh. Apalagi mengingat kebiasaan kedua kak kembarnya yang sangat doyan makanan manis.
“Elu kenapa nunduk aja dari tadi? Tumben,” tegur Bu Romlah pada Rey yang bersikap tidak seperti biasanya. Farhana masih menyimak obrolan keduanya sambil memilah camilan yang berjajar di meja.
"Malu. Mpok. Ada Hana,” bisik Rey dengan suara dipelankan. Tapi tetap saja Farhana dapat mendengarnya. Gadis itu spontan menoleh.
“Emang kenapa kalau ada saya, Bang?” tanya Farhana tanpa basa-basi sambil menatap wajah Rey yang melongo.
“Neng Hana bisa dengar?” Rey terkaget, sebagian makanan masih tersimpan di dalam mulutnya.
“Emang abang pikir saya tuli?”
Melihat ekspresi wajah Rey yang terkaget sampai melongo seperti itu membuat hati Farhana tertawa terpingkal-pingkal. Namun, dirinya harus menjaga imejnya sebagai gadis berhijab. Harus terlihat anggun apalagi di hadapan leaki asing yang lumayan tampan, pikirnya.
“Ma-maaf, Neng. Habisnya saya malu sama Neng Hana,” jawab Rey sambil terburu-buru ingin menghabiskan makanannya.
“Malu kenapa, Bang? Apa ada yang salah?”
“Eng ... enggak ada. Enggak apa-apa. Cuma malu aja,” jawab Rey dengan wajah memerah menahan malu.
“Naksir neng Hana kali elu, Rey,” ceplos Bu Romlah.
“Bisa jadi, Mpok. Eh,” jawab Rey sambil buru-buru menutup mulutnya. Sementara Farhana menahan tawanya mendengar jawaban yang begitu polos itu.
“Dasar preman cemen. Ngadepin perampok berani. Giliran ngadepin cewek cakep, eh, menciut,” sindir Bu Romlah. Lalu terdengar tawa terlepas dari mulutnya. Rey ikutan tertawa.
“Bu romlah, ini jadi berapa?” tanya Farhana tiba-tiba di sela keduanya yang masih tertawa.
“Ya?”
“Ini. Camilan yang Hana ambil.” Hana menunjuk beberapa camilan yang dipisahkan di atas meja.
“Itu semuanya tujuh ribu, Neng.”
Farhana merogoh saku celananya. Ia hanya menemukan ponsel di dalamnya. Lalu ia merogoh saku satunya, hanya mendapati lubang dalam saku yang begitu besar. Oh, ternyata uangnya hilang.
Wajahnya mendadak pias, ia malu jika harus berutang pada warung kecil ini. Kasihan Bu Romlah, begitu pikirnya.
“Bu, saya titip dulu, ya. Saya ambil uang dulu ke rumah. Sepertinya uangnya terjatuh di jalan. Kantongnya bolong ternyata.”
“Atuh nggak apa-apa bawa saja, Neng. Gampang bayar mah.”
“Udah biar aku yang bayarin Mpok. Ini, Mpok” Rey menawarkan diri. Pemuda itu menyodorkan selembar lima puluh ribuan pada Bu Romlah.
“Nggak usah, Bang,” Farhana menolak dengan halus saat pemuda itu memberikan uang pada Bu Romlah.
“Nggak apa-apa, Neng. Santai aja.”
“Emmm. ... Makasih deh kalau begitu. Hana pamit duluan, ya, Bang.” Farhana berpamitan pada Rey dan Bu Romlah. Ia berjalan menuju sepedanya yang terparkir di bawah pohon mangga. Sayup terdengar obrolan dari keduanya.
“Emang Saebah nggak masak, Rey?”
“Masak, Mpok. Tapi lagi kangen aja sama nasi uduknya mpok.”
Mendengar itu, ada rasa aneh berdebar di dada Farhana. Hampir saja ia menaksir Rey. Ternyata pemuda itu telah beristri!
Farhana merenungi kejadian janggal yang dialaminya saat di rumah Pak RT tadi. Reyhan yang menyadari jika istrinya tengah memikirkan sesuatu itu pun mencolek hidung bangirnya.“Isengnya mulai keluar lagi deh.” Farhana merengut manja.“Lagian dari tadi bukannya tidur atau melayani suami, ini malah melamun.”Farhana yang tengah berbaring pun mengubah posisinya. Ia bangkit dan duduk di samping suami sambil memeluk bantal.“Bang ... ada kejadian aneh dan janggal yang Hana rasakan tadi di rumah Pak RT. Tepatnya di kamar Sarah.“Janggal bagaimana?” Reyhan membetulkan posisi sandarannya. Ia bersiap menyimak cerita istrinya saat itu.Lalu Farhana pun menceritakan kronologi kejadian mistis yang dialaminya tadi dengan lengkap tanpa terlewat satu adegan pun.“Kamu yakin, Dik, apa yang dilihat tadi itu penampakan?”“Yakin atuh, Bang. Otakku masih jernih, kok. Bisa bedakan mana kejadian nyata dan tidak nyata.”“Iya, abang percaya apa yang diceritakan olehmu itu nyata. Tapi ... ada maksud d
Area penemuan mayat Bu Ratna sudah diberi garis polisi. Polisi yang menyelidiki kasusnya menemukan banyak kejanggalan pada lokasi juga pada tubuh Bu Ratna. Pak RT dan Sarah langsung menuju lokasi setelah memastikan ke rumah sakit jika memang benar itu adalah mayat istri dan ibu mereka.Ayah dan anak itu masih menahan sakit, ketika mendapati mayat itu benar Bu Ratna. Tambah lagi ketika mereka tiba di lokasi di mana tubuh Bu Ratna ditemukan sudah membusuk.Ada rasa penyesalan mendalam di dalam hati Pak RT. Seandainya ia dari awal melaporkan hilangnya Bu Ratna, mungkin tidak akan seperti ini kejadiannya. Namun saat itu ia hanya mengira jika Bu Ratna kabur entah ke mana. Sayang, nasi telah menjadi bubur. Waktu tak dapat diputar kembali.Berita duka ini sudah sampai ke telinga warga. Mereka kembali bahu-membahu membantu Pak RT menyiapkan segala keperluan. Seperti saat berita kematian Usman menyebar beberapa hari lalu.Usman yang ikut ke lokasi bersama ayahnya, mendekati Sarah yang masi
“Kudengar Usman sudah melamar Sarah saat masih di rumah sakit, Sin,” ujar Farhana saat saudara suaminya tengah membantu merapikan undangan pernikahan. Sekitar semingguan lagi resepsi Farhana dan Reyhan digelar, malam ini mereka akan menyebarkan undangan ke tetangga dan kerabat yang dekat. Untuk tamu undangan yang lokasinya sulit dijangkau, Farhana hanya mengirim undangan online melalui media sosialnya.“Iya, Hana. Alhamdulillah, aku senang sekali begitu mengetahui kabar itu langsung dari Sarah. Akhirnya mereka menikah juga.” Sintya tersenyum riang. Sama sekali tidak ada kecemburuan pada dirinya mengetahui berita itu.“Kamu nggak cemburu, Sin?” goda Farhana.“Apa?! Aku cemburu? Nggak lah, Hana.” Sintya menyikut lengan Farhana. “Lagian, aku sudah punya gebetan baru loh,” imbuh Sintya membuat Farhana menoleh cepat. Sepertinya kecurigaan Farhana akhir-akhir ini akan segera terjawab.“Siapa tuh? Kayaknya aku tahu deh,” ledek Farhana. Gadis itu melirik dengan tatapan meledek.“Apa aih?
Jenazah Usman yang terbangun tiba-tiba membuat warga di dalam rumah Ustaz Arfan yang sedang melayat kaget dan ketakutan. Sebagiannya keluar sambil lari terbirit-birit. Mereka berlarian tunggang langgang tak tentu arah.Usman keheranan melihat ke sekitarnya sudah ramai orang. Lalu pemuda itu memerhatikan dirinya sendiri. Tubuhnya sudah dikafani. Hidungnya pun disumbat kapas. Noda darah pada kain berwarna putih di bagian dadanya mengeluarkan bau yang cukup menyengat hingga membuat pemuda itu muntah.Keluarga Usman dan beberapa warga yang masih tinggal dalam ruangan membantu melepaskan kafan dan memakaikan pemuda itu pakaian. Ummi Yumna menangis terharu, melihat keajaiban anaknya hidup kembali. Wanita itu bersujud syukur atas kehidupan kedua untuk putranya.Farhana dan Sintya yang penasaran melongok ke dalam rumah. Keduanya terperangah menyaksikan Usman yang tengah duduk dan dilepaskan kain kafannya. Setelah Usman beres dipakaikan baju dan sarung, kedua gadis itu masuk dan menghampiri.
Berita kematian Usman sudah terdengar di seluruh penjuru. Pagi ini jenazahnya akan tiba di rumah duka dengan diantar ambulan. Desas-desus pun mencuat. Beberapa warga berbisik-bisik membicarakan kelakuan Usman semasa hidupnya.“Ela juga sering banget digangguin ustaz gadungan itu, Ibu-Ibu. Sering dichat, diajak jalan-jalan malam mingguan loh,” ujar Ela saat menjajakan jamu di depan warung Mpok Romlah.“Masak, sih, La? Bukannya Usman seleranya tinggi ya?” cibir Bu Eha, yang suaminya sering menggoda Ela di belakang dirinya. Bu Eha benci bukan main pada penjual jamu yang keganjenan itu. Apalagi kalau Ela sudah berlenggak-lenggok hingga membuat mata para bapak-bapak di kampung ini melotot. Bukan main kesalnya wanita itu hingga pernah suatu ketika kedua wanita itu bertengkar dan saling jambak.“Ih, Ela kan memang kesukaan para pria yang berselera tinggi, Bu Eha. Emangnya situ. Suaminya sendiri kepincut sama Ela, kan?” Gadis yang sudah tidak perawan itu balas menyindir.Sebelum terpancing
Pak RT kelimpungan. Sudah mencari ke seluruh penjuru kampung tapi tak juga menemukan putrinya. Pria itu begitu ketakutan, khawatir anak semata wayangnya itu berbuat nekat. Dalam kondisi seperti ini ia tak habis pikir pada sang istri yang sama sekali tidak peduli. Bahkan wanita itu kabur meninggalkan rumah dan keluarganya. Entah apa yang dipikirkan wanita itu. Pak RT merasa keluarganya selama ini begitu harmonis. Dirinya selalu menutup telinga dari perbincangan orang sekitar mengenai sikap istrinya di luar rumah.“Saya harus mencari kemana lagi, Kyai? Saya khawatir Sarah nekat melakukan hal membahayakan.” Pak RT mencoba meminta pendapat seseorang yang dianggapnya tetua itu. Berkali-kali ia mengusap wajahnya. Peluh mulai membanjiri. Air muka Kyai Subki begitu tenang dan teduh mendengarkan keluh kesah lelaki yang menjabat perangkat kampung itu.“Kita tetap akan melapor pada polisi. Tapi tenangkanlah dirimu, Roji. Dalam kondisi panik, kita tidak akan bisa berpikir jernih,” nasihat Kyai