Untungnya, Farhana dapat mengendalikan diri.
Sayangnya, beberapa jam kemudian, dia menginginkan seblak bu Romlah yang terkenal di kampung ini.
Jadi, ia pun pergi ke sana.
“Eh, Neng Hana lagi. Pasti mau beli seblak, yah?”
“Ih, Bu Romlah udah hapal kebiasaan Hana ternyata.” Gadis itu tersenyum mendengar tebakan bu Romlah yang tepat sekali.
“Jangankan aye, si Rey aja hapal kalau Neng Hana suka beli seblak di sini.”
Deg!
“Hah? Bang Rey yang tadi pagi itu? Kok bisa?”
“Kayaknya dia naksir sama Neng deh.” Bu Romlah terlihat mondar-mandir menyiapakan beberapa bahan seblak. Lalu ia sibuk memasak camilan berat yang sedang digandrungi masyarakat Indonesia ini. Harumnya bumbu menguar menggelitik penciuman.
“Ogah ah, Bu. Udah beristri.”
“Hah? Beristri dari Hongkong, Neng? Masih bujangan tulen dia mah.”
Tiba-tiba saja Farhana terbatuk-batuk. Entah karena kaget menddengar jawaban Bu Romlah atau karena bumbu yang menggelitik hidung.
“Tadi pagi Hana denger obrolan ibu sama bang Rey. Ada nama Saebahnya. Emang itu siapa?”
“Ohhh, itu mah bini muda babehnya Rey, Neng. Usianya Cuma beda beberapa tahun sama Rey. Katanya, sih, sampai sekarang Rey belum bisa menerima babehnya kawin lagi semenjak ibunya meninggal beberapa tahun lalu. Makanya sekarang Rey jadi urakan kayak preman gitu penampilannya. Dia juga sekarang kerja di pasar jadi keamanan pasar. Ngelindungin para pedagang dari preman-preman yang mau malak.”
“Ohhh, gitu. Terus kenapa bang Rey tahu kalau Hana suka beli seblak di sini?” tanya Farhana penasaran.
“Karena pos jaga tempat dia kerja kan di seberang itu,” Bu Romlah menunjuk sebuah pos jaga dekat parkiran pasar kampung di seberang jalan besar. Meski terhalang beberapa pepohonan, memang masih ada celah untuk melihat ke warung ini. Pantas saja pemuda itu tahu kebiasaan Farhana yang sering jajan seblak di warung Bu Romlah ini.
“Ini, Neng, seblaknya udah jadi.”
“Ini, Bu, uangnya. Oh iya, sekalian tolong buatin seblak spesial buat Bang Rey, yah. Titip makasih untuk traktirannya tadi pagi.” Farhana menyodorkan selembar dua puluh ribuan.
“Kayaknya ini bukan sekedar ucapan terima kasih, deh. Muka Neng Hana merah begitu. Pucuk dicinta ulam pun tiba, nih, kayaknya.” Bu Romlah malah meledek gadis yang sudah merah padam wajahnya karena tersipu malu.
“Neng naksir juga sama Rey, kan? Tenang aja. Meskipun kayak preman begitu, anaknya rajin salat, kok, Neng. Aye, sih, lebih milih Rey daripada Usman.”
“Usman? Anaknya pak Ustaz?” Mendengar nama seseorang yang dikenalnya disebut, kedua bola mata Farhana berbinar.
“Iya. Tapi aye sih kurang suka sama tabiatnya Usman.”
Pikiran Farhana menerawang ke masa silam, di mana dirinya dan Usman begitu akrab.Dulu, Usman terkenal bandel, tapi dengar-dengar dia sudah tumbuh menjadi alim.
Dia bahkan memimpin kajian di masjid juga. Mengapa Bu Romlah masih tak menyukainya?*****
“Nih, dari si preman kampung. Ada hubungan apa elu sama tuh orang?” tanya Razaq ketus sambil menyodorkan bingkisan tepat di depan wajah adiknya.
Farhana baru saja tiba dari kajian di masjid sontak terkejut. “Apaan, sih, Bang? Preman kampung yang mana?”
Perempuan itu lantas meraih paperbag berisi dua box makanan bertuliskan MARTABAK BANGKA MANIS DAN ASIN BANG TAN.
Penasaran dengan isinya, Farhana bergegas membuka box dan meletakkannya di atas meja. Kebetulan sekali saat itu ia merasa begitu lapar.Setelah membaca bismillah, suapan demi suapan masuk ke dalam mulutnya dengan lahap.“Laper apa doyan?” Razaq menyindir sang adik yang terlihat begitu lahap macan orang dua hari belum makan.“Enak, loh, Bang. Mau kagak?” Farhana menyodorkan kotak makanan itu kepada abangnya yang terlihat berminat. Razaq pun mengambil kesempatan ini. Ia menyomot satu potong martabak manis dan martabak asin. Rasanya begitu menggigit di lidah, pantas saja sang adik makan begitu lahapnya.Belum habis martabak porsi besar itu muncullah abang kembar satunya, Raziq, dari dalam rumah. Ia baru saja bangun tidur selepas salat isya tadi.“Eh, lagi pada mukbang nih. Bagi-bagi nape.” Tanpa diperintah, pemuda itu menyomot sepotong martabak asin dan mencelupkannya ke dalam kuah saus pedas.“Mantap jiwaaa ... Dari mana ini martabak? Siapa yang beli martabak mahal ini?” lanjutnya kemudian sambil melirik box makanan dengan ikon wajah Bang Tan yang sudah terkenal di daerah mereka itu.“Oh, ini mahal harganya, Bang?” tanya Farhana. Maklum, ia banyak menghabiskan waktu di pesantren dan jarang sekali pulang. Sekalinya pulang, ia isi dengan jalan-jalan bersama keluarga.“Ini martabak paling maknyos lezatos dimari, Adikku sayang. Pelanggan selalu puas meskipun harus merogoh kocek lebih dalam,” jelas Razaq“Eh, ini siapa yang beli?” tanya Raziq masih penasaran.“Tuh, si preman kampung,” jawab Razaq sambil asyik mengunyah tanpa memedulikan Raziq yang terlihat kaget dan hampir tersedak.“Si Reynold? Eh, Reyhan?” tanya Raziq lagi berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Anggukan kepala yang kuat dari Razaq membenarkan pertanyaan Raziq barusan.“Dalam rangka apa dia kasih beginian?” Raziq menyombongkan wajahnya mendekati wajah abangnya.“Kayaknya, sih, dia naksir sama Hana, Ziq,” Razaq berbisik di telinga Raziq.“Ehm! Percuma bisik-bisik depan Hana. Kedengaran, kok, Bang.”“Elu ada hubungan apa sama si Rey, Dek?” tanya Raziq penasaran. Farhana hanya menggelengkan kepalanya.“Jangan bohong, Dek. Si Rey kayaknya demen sama elu deh.” Razaq mendesak adiknya supaya mau mengaku. Gadis itu hanya asyik menghabiskan sisa martabak dalam kotak. Tidak tersisa sedikit pun.Bapak dan ibunya kebetulan sedang menginap dari kemarin malam di rumah uwak mereka yang sedang sakit keras.“Kalau dia naksir Hana emangnya kenapa, Bang? Masalah buat abang?” Farhana memasukkan suapan terakhir ke dalam mulutnya yang masih penuh. Razaq dan Raziq keheranan melihat tingkah laku adiknya. Sempat terpikir dalam benak keduanya kalau-kalau adiknya diguna-guna oleh Rey melalui martabak kirimannya.“Dek, nggak biasanya kamu makan kayak begini. Kesurupan apa gimana?” Razaq mencoba membacakan ayat kursi sambil menyentuh ubun-ubun Farhana.“Apaan sih, Bang. Hana normal kok. Wajar Hana begini. Perut Hana kan lapar. Semenjak bapak sama ibu menginap nggak makan nasi.” Wajah Farhana terlihat merengut kesal.“Iya deh, maaf. Abang khawatir kamu diguna-guna si Rey,” Razaq bersimpah di hadapan adiknya yang memasang wajah kesal. Sementara Raziq duduk di lengan kursi sambil merengkuh bahu adiknya.“Maaf, ya, Dek.”“Lagian emangnya kenapa sih kalau Bang Rey suka sama Hana? Kayaknya dia pemuda baik dan nggak macam-macam.”“Iya, sih. Tapi emangnya elu nggak merhatiin penampilan urakannya itu? Kayak preman kampung begitu. Nggak sepadan sama elu yang alim begini, Dek.” Raziq berpindah duduk ke tempatnya semula.“Elu itu cocoknya sama Usman, Dek. Bukannya kalian dekat ya saat SMP?” Razaq meledek adiknya.“Usman?" beo Farhana tanpa sadar.Tak lama, perempuan itu menggelengkan kepala. "Nggah deh! Dulu, kami emang deket. Kalau sekarang, mikir dua kali kayaknya buat dekat-dekat.” Farhana membuang pandangan ke sekitar. Rumah besar dengan halaman dan taman yang luas ini tampak begitu cantik karena beberapa lampu hias yang menyorot. Bisa serapi dan seindah ini pastinya hasil dekorasi sang ibu, pikirnya.“Emang kenapa si Usman, Dek? Ustaz muda yang tampan dan mapan, banyak digandrungi gadis-gadis di sini. Kita aja kalah saing. Ya, nggak, Ziq?” Razaq menatap Raziq dengan alis yang dibuat naik-turun bergelombang.“Sebenarnya, gue juga kurang suka Usman sih.” Di luar dugaan, Raziq justru menjawab demikian membuat Razaq terheran-heran.“Nah. Bang Raziq sependapat kan sama Hana?” Kedua bola mata gadis itu berbinar. Dia merasa mendapatkan dukungan.“Karena gue laki-laki. Masak jeruk makan jeruk?” Raziq terkekeh. Apalagi ketika melihat ekspresi sang adik yang langsung jengkel dan bete. Hana terlihat bersungut-sungut. Razaq juga spo
“Aduh. Itu si Ela bener-bener bikin ulah, yah.” Bu Romlah muncul dari balik pintu tak lama setelah penjual jamu tadi pergi. “Maaf, ya, neng Hana nunggu kelamaan. Dari semalam saya bolak-balik WC, Neng. Perut melilit. Mau pesan apa, Neng?”“Pengen gorengan bakwan sama pisang, Bu. Ceban aja,” ucap Farhana kasihan. Tak beda dengannya, Rey juga memandang Bu Romlah prihatin. “Salah makan mungkin, Mpok,” ujarnya. “Kayaknya sih gitu.” “Emang Bu Romlah makan apa?” tanya Farhana. “Makan martabak yang dibawa Usman. Katanya, sih, martabak angetan. Boleh dibawain jamaah majlis taklim. Karena nggak habis terus diangetin dan dibagiin di sini semalam. Kebetulan banyak bapak-bapak pada nonton bola sampai begadang.” “Mpok udah minum obat?” tanya Rey.“Maunya sih berobat. Biar tuntas. Tapi nggak ada yang nganterin. Suami mpok baru balik hari Sabtu nanti. Ya beginilah kalau hidup berjauhan sama suami.” Bu Romlah menyodorkan plastik berisi gorengan kepada Farhana.“Rey anterin aja, ya, Mpok. Nggak te
“Ketemu sebelum pertigaan, Bang. Tadi, sih, sama Usman juga. Tapi dia duluan. Mau ke rumah pak RT, ada keperluan katanya,” jawab Rey dengan tegas.Dia tak ingin nilainya berkurang di depan calon iparnya.“Hahaha.” Tiba-tiba Razaq tertawa.“Kenapa, Bang? Ada yang lucukah?” tanya Rey keheranan.“Pantesan tuh Ustaz muda bersungut-sungut. Gue dengerin sepanjang jalan dia ngoceh kagak jelas. Kayak orang lagi kesal. Ditanya juga kagak jawab apa-apa. Mungkin nggak nyadar ada gue di sini. Sekalian aja gue takutin. Eh dia ngibrit lari. Hahaha.” Razaq tertawa terpingkal-pingkal teringat kejadian saat Usman melewati rumahnya yang belum dinyalakan lampu terasnya.“Ih dasar abang iseng. Kasian loh, Bang. Kalau dia ngompol di jalan gimana?” Farhana ikut tertawa.Setelah itu, Razaq mempersilakan Rey duduk untuk berbincang-bincang. Sekadar mengobrol ngalor-ngidul sambil menikmati menikmat yang ternyata kiriman Rey, bukan pesanan Razaq. Rey terpaksa berbohong pada Usman demi melindungi perjalanan pula
“Bang, kabur, yuk. Cepat! Cepat!” Farhana meminta supaya Rey bergegas menyalakan mesin motornya dan pergi cepat-cepat. Dalam kebingungan, Rey menuruti perintah Farhana tanpa memahami ada hal apa sebenarnya. “Belok kiri aja, Bang.” “Loh, desa sebelah kan harusnya lurus, Neng.” “Udah. Ikuti perintah Hana aja pokoknya.” Farhana mengambil ponsel di sakunya. Jemarinya dengan cekatan menekan tombol nomor dan menghubungi seseorang. Di sambungan telepon itu, Farhana terlihat serius berbicara dengan seseorang di seberang yang entah siapa. Rey tidak begitu jelas mendengarnya. Karena kali ini mereka melewati sebuah pabrik yang bersuara bising. Farhana juga sesekali terdengar mengencangkan suaranya supaya seseorang di seberang mendengar suaranya dengan jelas. Tak lama sambungan telepon terputus. “Bang, kita melipir aja ya di pemancingan Bumi Sarerea.” Rey langsung melajukan motornya ke tempat yang dimaksud. Dari kaca spion, terlihat wajah Farhana begitu sembab. Air mata berjatuhan dari pelup
Sejak kejadian beberapa hari lalu, Farhana dan ibunya seolah terlibat perang dingin.Dia ingin bercerita pada Sintya, sahabatnya.Namun, Sintya terlihat seperti sedang menghindarinya. Farhana pun kebingungan, ia merasa tidak ada salah apa pun pada Sintya. Isi kajian yang disampaikam Usman pun tidak ada satu pun yang memenuhi isi kepalanya. Seharian ini pikirannya terasa mumet. Kali ini ia harus menghadapi sikap dingin Sintya yang tiba-tiba.Farhana berbisik di telinga Sarah, siapa tahu sahabat yang satu ini tahu sesuatu.“Sarah, Sintya kenapa, ya? Kok aku ngerasa dihindari sejak tadi datang ke majelis ini.”“Aku nggak tahu apa-apa, Han.” Sarah terlihat salah tingkah. Seolah tengah menyembunyikan sesuatu. Entah apa itu.Farhana kembali terdiam. Gadis itu bermaksud menanyakan langsung pada Sintya sepulang kajian nanti. Baru saja ia merogoh saku gamisnya, Farhana menyadari bahwa ponselnya tertinggal di atas nakas tadi. Gadis itu tadinya ingin mengirimkan pesan supaya Sintya mau pulang
Esoknya, Farhana keluar dari kamarnya sambil celingukan. Dia harus bertemu Rey untuk memastikan sesuatu.Namun, ia khawatir dengan keberadaan sang ibu yang mungkin saja melarang pertemuan keduanya.Saat melongok ke ruang makan yang langsung terhubung dengan dapur, sebuah tepukan lembut mendarat di bahunya. Gadis itu menoleh cepat karena kaget.“Ih, bang Raziq bikin kaget aja.” Farhana sewot. Lalu buru-buru berjalan menuju dapur.“Ngapain, sih, Dek? Pakai celingak-celinguk segala.” Raziq terheran-heran dengan sikap adiknya. Gadis itu sibuk memasukkan beberapa potong pisang goreng lalu menyiapkam kopi instan yang ia seduh di dalam termos berbentuk cangkir. Pisang goreng dan kopi itu ia masukkam ke dalam tas bekal berbentuk kotak.“Ssst! Abang jangn bilang-bilang, yah. Please ....” Wajah Farhana memelas. Berharap sang kakak bisa diajak kompromi. Sudut matanya masih mengawasi sekitar, khawatir jika ibunya tiba-tiba saja muncul dan menanyakan isi tas yang dibawanya itu.“Oke. Tapi elu mau
“Abang akan pura-pura tertarik pada produk skincare yang pernah Sintya tawarkan ke abang. Abang akan undang dia ke mari. Kalau nanti dia hampir tiba, Hana ngumpet dulu di toilet, ya. Gimana?” Tatapan sendu Farhana berubah berbinar. “Abang cerdas. Farhana semakin kagum sama abang.” Pujian yang dilontarkan gadis pujaannya membuat perasaan Rey berbunga-bunga. Selanjutnya lelaki itu mencoba menelpon Sintya. Syukurlah Sintya segera mengangkat telpon darinya. “Sintya menuju ke mari, Neng.” Raut wajah Farhana terlihat begitu senang mendengarnya. Sambil menunggu Sintya tiba, Reyjan dan Farhana menyantap hidangan di hadapannya. Kebetulan perut Farhana belum diisi sarapan. Gadis itu juga mengeluarkan bungkus plastik berisi pisang goreng dan termos cangkir berisi kopi yang sengaja ia siapkan untuk Reyhan. ### “Abang tumben ajak Sintya ke sini.” Gadis seusia Farhana yang mengenakan dress lengan pendek dengan bawahan leging ketat itu duduk di hadapan Reyhan. Ia sedikit heran melihat piring da
"Sebaiknya kufoto dulu. Siapa tahu benda ini berguna nanti," pikir Farhana.Dia khawatir menyebarkan fitnah. Jadi, gadis itu lalu memenuhi tong sampah dengan gumpalan tissu untuk menyamarkan keberadaan benda keramat itu.Setelah selesai, Farhana kembali menemui Sintya. Tapi ia tidak menceritakan apa pun. Karena Farhana sedikit mencurigai gadis itu.Beberapa menit setelah itu Usman muncul. Wajahnya terlihat sedikit tegang, tidak sesantai biasanya. Ia juga datang terlambat mengisi kajian malam ini. Selesai kajian, Usman mengumumkan bahwa dirinya akan pergi ke luar kota untuk berdakwah. Belum jelas waktunya hingga kapan.Farhana mengamati raut wajah Sintya setelah mendengar pengumuman itu. Wajah gadis itu terlihat muram.### Kampung mendadak gempar. Entah bagaimana mulanya, keberadaan benda yang sudah disembunyikan Farhana akhirnya ditemukan. Pasalnya, Mang Oyip sang marbot masjid yang setiap pagi membenahi sampah di sekitaran masjid menemukan testpack yang hasilnya positif itu. Semen