Share

Martabak Spesial

Author: Muthi Mozla
last update Last Updated: 2023-10-22 21:34:29

Untungnya, Farhana dapat mengendalikan diri.

Sayangnya, beberapa jam kemudian, dia menginginkan seblak bu Romlah yang terkenal di kampung ini.

Jadi, ia pun pergi ke sana.

“Eh, Neng Hana lagi. Pasti mau beli seblak, yah?”

“Ih, Bu Romlah udah hapal kebiasaan Hana ternyata.” Gadis itu tersenyum mendengar tebakan bu Romlah yang tepat sekali.

“Jangankan aye, si Rey aja hapal kalau Neng Hana suka beli seblak di sini.”

Deg!

“Hah? Bang Rey yang tadi pagi itu? Kok bisa?”

“Kayaknya dia naksir sama Neng deh.” Bu Romlah terlihat mondar-mandir menyiapakan beberapa bahan seblak. Lalu ia sibuk memasak camilan berat yang sedang digandrungi masyarakat Indonesia ini. Harumnya bumbu menguar menggelitik penciuman.

“Ogah ah, Bu. Udah beristri.”

“Hah? Beristri dari Hongkong, Neng? Masih bujangan tulen dia mah.”

Tiba-tiba saja Farhana terbatuk-batuk. Entah karena kaget menddengar jawaban Bu Romlah atau karena bumbu yang menggelitik hidung.

“Tadi pagi Hana denger obrolan ibu sama bang Rey. Ada nama Saebahnya. Emang itu siapa?”

“Ohhh, itu mah bini muda babehnya Rey, Neng. Usianya Cuma beda beberapa tahun sama Rey. Katanya, sih, sampai sekarang Rey belum bisa menerima babehnya kawin lagi semenjak ibunya meninggal beberapa tahun lalu. Makanya sekarang Rey jadi urakan kayak preman gitu penampilannya. Dia juga sekarang kerja di pasar jadi keamanan pasar. Ngelindungin para pedagang dari preman-preman yang mau malak.”

“Ohhh, gitu. Terus kenapa bang Rey tahu kalau Hana suka beli seblak di sini?” tanya Farhana penasaran.

“Karena pos jaga tempat dia kerja kan di seberang itu,” Bu Romlah menunjuk sebuah pos jaga dekat parkiran pasar kampung di seberang jalan besar. Meski terhalang beberapa pepohonan, memang masih ada celah untuk melihat ke warung ini. Pantas saja pemuda itu tahu kebiasaan Farhana yang sering jajan seblak di warung Bu Romlah ini.

“Ini, Neng, seblaknya udah jadi.”

“Ini, Bu, uangnya. Oh iya, sekalian tolong buatin seblak spesial buat Bang Rey, yah. Titip makasih untuk traktirannya tadi pagi.” Farhana menyodorkan selembar dua puluh ribuan.

“Kayaknya ini bukan sekedar ucapan terima kasih, deh. Muka Neng Hana merah begitu. Pucuk dicinta ulam pun tiba, nih, kayaknya.” Bu Romlah malah meledek gadis yang sudah merah padam wajahnya karena tersipu malu.

“Neng naksir juga sama Rey, kan? Tenang aja. Meskipun kayak preman begitu, anaknya rajin salat, kok, Neng. Aye, sih, lebih milih Rey daripada Usman.”

“Usman? Anaknya pak Ustaz?” Mendengar nama seseorang yang dikenalnya disebut, kedua bola mata Farhana berbinar.

“Iya. Tapi aye sih kurang suka sama tabiatnya Usman.”

Pikiran Farhana menerawang ke masa silam, di mana dirinya dan Usman begitu akrab.

Dulu, Usman terkenal bandel, tapi dengar-dengar dia sudah tumbuh menjadi alim.

Dia bahkan memimpin kajian di masjid juga. Mengapa Bu Romlah masih tak menyukainya?

*****

“Nih, dari si preman kampung. Ada hubungan apa elu sama tuh orang?” tanya Razaq ketus sambil menyodorkan bingkisan tepat di depan wajah adiknya.

Farhana baru saja tiba dari kajian di masjid sontak terkejut. “Apaan, sih, Bang? Preman kampung yang mana?”

Perempuan itu lantas meraih paperbag berisi dua box makanan bertuliskan MARTABAK BANGKA MANIS DAN ASIN BANG TAN.

Penasaran dengan isinya, Farhana bergegas membuka box dan meletakkannya di atas meja. Kebetulan sekali saat itu ia merasa begitu lapar.

Setelah membaca bismillah, suapan demi suapan masuk ke dalam mulutnya dengan lahap.

“Laper apa doyan?” Razaq menyindir sang adik yang terlihat begitu lahap macan orang dua hari belum makan.

“Enak, loh, Bang. Mau kagak?” Farhana menyodorkan kotak makanan itu kepada abangnya yang terlihat berminat. Razaq pun mengambil kesempatan ini. Ia menyomot satu potong martabak manis dan martabak asin. Rasanya begitu menggigit di lidah, pantas saja sang adik makan begitu lahapnya.

Belum habis martabak porsi besar itu muncullah abang kembar satunya, Raziq, dari dalam rumah. Ia baru saja bangun tidur selepas salat isya tadi.

“Eh, lagi pada mukbang nih. Bagi-bagi nape.” Tanpa diperintah, pemuda itu menyomot sepotong martabak asin dan mencelupkannya ke dalam kuah saus pedas.

“Mantap jiwaaa ... Dari mana ini martabak? Siapa yang beli martabak mahal ini?” lanjutnya kemudian sambil melirik box makanan dengan ikon wajah Bang Tan yang sudah terkenal di daerah mereka itu.

“Oh, ini mahal harganya, Bang?” tanya Farhana. Maklum, ia banyak menghabiskan waktu di pesantren dan jarang sekali pulang. Sekalinya pulang, ia isi dengan jalan-jalan bersama keluarga.

“Ini martabak paling maknyos lezatos dimari, Adikku sayang. Pelanggan selalu puas meskipun harus merogoh kocek lebih dalam,” jelas Razaq

“Eh, ini siapa yang beli?” tanya Raziq masih penasaran.

“Tuh, si preman kampung,” jawab Razaq sambil asyik mengunyah tanpa memedulikan Raziq yang terlihat kaget dan hampir tersedak.

“Si Reynold? Eh, Reyhan?” tanya Raziq lagi berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Anggukan kepala yang kuat dari Razaq membenarkan pertanyaan Raziq barusan.

“Dalam rangka apa dia kasih beginian?” Raziq menyombongkan wajahnya mendekati wajah abangnya.

“Kayaknya, sih, dia naksir sama Hana, Ziq,” Razaq berbisik di telinga Raziq.

“Ehm! Percuma bisik-bisik depan Hana. Kedengaran, kok, Bang.”

“Elu ada hubungan apa sama si Rey, Dek?” tanya Raziq penasaran. Farhana hanya menggelengkan kepalanya.

“Jangan bohong, Dek. Si Rey kayaknya demen sama elu deh.” Razaq mendesak adiknya supaya mau mengaku. Gadis itu hanya asyik menghabiskan sisa martabak dalam kotak. Tidak tersisa sedikit pun.

Bapak dan ibunya kebetulan sedang menginap dari kemarin malam di rumah uwak mereka yang sedang sakit keras.

“Kalau dia naksir Hana emangnya kenapa, Bang? Masalah buat abang?” Farhana memasukkan suapan terakhir ke dalam mulutnya yang masih penuh. Razaq dan Raziq keheranan melihat tingkah laku adiknya. Sempat terpikir dalam benak keduanya kalau-kalau adiknya diguna-guna oleh Rey melalui martabak kirimannya.

“Dek, nggak biasanya kamu makan kayak begini. Kesurupan apa gimana?” Razaq mencoba membacakan ayat kursi sambil menyentuh ubun-ubun Farhana.

“Apaan sih, Bang. Hana normal kok. Wajar Hana begini. Perut Hana kan lapar. Semenjak bapak sama ibu menginap nggak makan nasi.” Wajah Farhana terlihat merengut kesal.

“Iya deh, maaf. Abang khawatir kamu diguna-guna si Rey,” Razaq bersimpah di hadapan adiknya yang memasang wajah kesal. Sementara Raziq duduk di lengan kursi sambil merengkuh bahu adiknya.

“Maaf, ya, Dek.”

“Lagian emangnya kenapa sih kalau Bang Rey suka sama Hana? Kayaknya dia pemuda baik dan nggak macam-macam.”

“Iya, sih. Tapi emangnya elu nggak merhatiin penampilan urakannya itu? Kayak preman kampung begitu. Nggak sepadan sama elu yang alim begini, Dek.” Raziq berpindah duduk ke tempatnya semula.

“Elu itu cocoknya sama Usman, Dek. Bukannya kalian dekat ya saat SMP?” Razaq meledek adiknya.

“Usman?" beo Farhana tanpa sadar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dikira Preman, Ternyata Cucu Kyai   Pesan Gaib

    Farhana merenungi kejadian janggal yang dialaminya saat di rumah Pak RT tadi. Reyhan yang menyadari jika istrinya tengah memikirkan sesuatu itu pun mencolek hidung bangirnya.“Isengnya mulai keluar lagi deh.” Farhana merengut manja.“Lagian dari tadi bukannya tidur atau melayani suami, ini malah melamun.”Farhana yang tengah berbaring pun mengubah posisinya. Ia bangkit dan duduk di samping suami sambil memeluk bantal.“Bang ... ada kejadian aneh dan janggal yang Hana rasakan tadi di rumah Pak RT. Tepatnya di kamar Sarah.“Janggal bagaimana?” Reyhan membetulkan posisi sandarannya. Ia bersiap menyimak cerita istrinya saat itu.Lalu Farhana pun menceritakan kronologi kejadian mistis yang dialaminya tadi dengan lengkap tanpa terlewat satu adegan pun.“Kamu yakin, Dik, apa yang dilihat tadi itu penampakan?”“Yakin atuh, Bang. Otakku masih jernih, kok. Bisa bedakan mana kejadian nyata dan tidak nyata.”“Iya, abang percaya apa yang diceritakan olehmu itu nyata. Tapi ... ada maksud d

  • Dikira Preman, Ternyata Cucu Kyai   Kematian Bu Ratna

    Area penemuan mayat Bu Ratna sudah diberi garis polisi. Polisi yang menyelidiki kasusnya menemukan banyak kejanggalan pada lokasi juga pada tubuh Bu Ratna. Pak RT dan Sarah langsung menuju lokasi setelah memastikan ke rumah sakit jika memang benar itu adalah mayat istri dan ibu mereka.Ayah dan anak itu masih menahan sakit, ketika mendapati mayat itu benar Bu Ratna. Tambah lagi ketika mereka tiba di lokasi di mana tubuh Bu Ratna ditemukan sudah membusuk.Ada rasa penyesalan mendalam di dalam hati Pak RT. Seandainya ia dari awal melaporkan hilangnya Bu Ratna, mungkin tidak akan seperti ini kejadiannya. Namun saat itu ia hanya mengira jika Bu Ratna kabur entah ke mana. Sayang, nasi telah menjadi bubur. Waktu tak dapat diputar kembali.Berita duka ini sudah sampai ke telinga warga. Mereka kembali bahu-membahu membantu Pak RT menyiapkan segala keperluan. Seperti saat berita kematian Usman menyebar beberapa hari lalu.Usman yang ikut ke lokasi bersama ayahnya, mendekati Sarah yang masi

  • Dikira Preman, Ternyata Cucu Kyai   Didatangi Polisi

    “Kudengar Usman sudah melamar Sarah saat masih di rumah sakit, Sin,” ujar Farhana saat saudara suaminya tengah membantu merapikan undangan pernikahan. Sekitar semingguan lagi resepsi Farhana dan Reyhan digelar, malam ini mereka akan menyebarkan undangan ke tetangga dan kerabat yang dekat. Untuk tamu undangan yang lokasinya sulit dijangkau, Farhana hanya mengirim undangan online melalui media sosialnya.“Iya, Hana. Alhamdulillah, aku senang sekali begitu mengetahui kabar itu langsung dari Sarah. Akhirnya mereka menikah juga.” Sintya tersenyum riang. Sama sekali tidak ada kecemburuan pada dirinya mengetahui berita itu.“Kamu nggak cemburu, Sin?” goda Farhana.“Apa?! Aku cemburu? Nggak lah, Hana.” Sintya menyikut lengan Farhana. “Lagian, aku sudah punya gebetan baru loh,” imbuh Sintya membuat Farhana menoleh cepat. Sepertinya kecurigaan Farhana akhir-akhir ini akan segera terjawab.“Siapa tuh? Kayaknya aku tahu deh,” ledek Farhana. Gadis itu melirik dengan tatapan meledek.“Apa aih?

  • Dikira Preman, Ternyata Cucu Kyai   Mati Suri

    Jenazah Usman yang terbangun tiba-tiba membuat warga di dalam rumah Ustaz Arfan yang sedang melayat kaget dan ketakutan. Sebagiannya keluar sambil lari terbirit-birit. Mereka berlarian tunggang langgang tak tentu arah.Usman keheranan melihat ke sekitarnya sudah ramai orang. Lalu pemuda itu memerhatikan dirinya sendiri. Tubuhnya sudah dikafani. Hidungnya pun disumbat kapas. Noda darah pada kain berwarna putih di bagian dadanya mengeluarkan bau yang cukup menyengat hingga membuat pemuda itu muntah.Keluarga Usman dan beberapa warga yang masih tinggal dalam ruangan membantu melepaskan kafan dan memakaikan pemuda itu pakaian. Ummi Yumna menangis terharu, melihat keajaiban anaknya hidup kembali. Wanita itu bersujud syukur atas kehidupan kedua untuk putranya.Farhana dan Sintya yang penasaran melongok ke dalam rumah. Keduanya terperangah menyaksikan Usman yang tengah duduk dan dilepaskan kain kafannya. Setelah Usman beres dipakaikan baju dan sarung, kedua gadis itu masuk dan menghampiri.

  • Dikira Preman, Ternyata Cucu Kyai   Bangkit

    Berita kematian Usman sudah terdengar di seluruh penjuru. Pagi ini jenazahnya akan tiba di rumah duka dengan diantar ambulan. Desas-desus pun mencuat. Beberapa warga berbisik-bisik membicarakan kelakuan Usman semasa hidupnya.“Ela juga sering banget digangguin ustaz gadungan itu, Ibu-Ibu. Sering dichat, diajak jalan-jalan malam mingguan loh,” ujar Ela saat menjajakan jamu di depan warung Mpok Romlah.“Masak, sih, La? Bukannya Usman seleranya tinggi ya?” cibir Bu Eha, yang suaminya sering menggoda Ela di belakang dirinya. Bu Eha benci bukan main pada penjual jamu yang keganjenan itu. Apalagi kalau Ela sudah berlenggak-lenggok hingga membuat mata para bapak-bapak di kampung ini melotot. Bukan main kesalnya wanita itu hingga pernah suatu ketika kedua wanita itu bertengkar dan saling jambak.“Ih, Ela kan memang kesukaan para pria yang berselera tinggi, Bu Eha. Emangnya situ. Suaminya sendiri kepincut sama Ela, kan?” Gadis yang sudah tidak perawan itu balas menyindir.Sebelum terpancing

  • Dikira Preman, Ternyata Cucu Kyai   Kritis

    Pak RT kelimpungan. Sudah mencari ke seluruh penjuru kampung tapi tak juga menemukan putrinya. Pria itu begitu ketakutan, khawatir anak semata wayangnya itu berbuat nekat. Dalam kondisi seperti ini ia tak habis pikir pada sang istri yang sama sekali tidak peduli. Bahkan wanita itu kabur meninggalkan rumah dan keluarganya. Entah apa yang dipikirkan wanita itu. Pak RT merasa keluarganya selama ini begitu harmonis. Dirinya selalu menutup telinga dari perbincangan orang sekitar mengenai sikap istrinya di luar rumah.“Saya harus mencari kemana lagi, Kyai? Saya khawatir Sarah nekat melakukan hal membahayakan.” Pak RT mencoba meminta pendapat seseorang yang dianggapnya tetua itu. Berkali-kali ia mengusap wajahnya. Peluh mulai membanjiri. Air muka Kyai Subki begitu tenang dan teduh mendengarkan keluh kesah lelaki yang menjabat perangkat kampung itu.“Kita tetap akan melapor pada polisi. Tapi tenangkanlah dirimu, Roji. Dalam kondisi panik, kita tidak akan bisa berpikir jernih,” nasihat Kyai

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status