Share

Restu

Penulis: Muthi Mozla
last update Terakhir Diperbarui: 2023-11-08 15:30:17

“Bang, kabur, yuk. Cepat! Cepat!” Farhana meminta supaya Rey bergegas menyalakan mesin motornya dan pergi cepat-cepat. Dalam kebingungan, Rey menuruti perintah Farhana tanpa memahami ada hal apa sebenarnya. “Belok kiri aja, Bang.”

“Loh, desa sebelah kan harusnya lurus, Neng.”

“Udah. Ikuti perintah Hana aja pokoknya.” Farhana mengambil ponsel di sakunya. Jemarinya dengan cekatan menekan tombol nomor dan menghubungi seseorang. Di sambungan telepon itu, Farhana terlihat serius berbicara dengan seseorang di seberang yang entah siapa.

Rey tidak begitu jelas mendengarnya. Karena kali ini mereka melewati sebuah pabrik yang bersuara bising. Farhana juga sesekali terdengar mengencangkan suaranya supaya seseorang di seberang mendengar suaranya dengan jelas. Tak lama sambungan telepon terputus.

“Bang, kita melipir aja ya di pemancingan Bumi Sarerea.” Rey langsung melajukan motornya ke tempat yang dimaksud. Dari kaca spion, terlihat wajah Farhana begitu sembab. Air mata berjatuhan dari pelupuk matanya. Seandainya mereka adalah pasangan halal, Rey ingin rasanya memeluk gadis itu.

Sekitar lima belas menitan keduanya sampai di tempat pemancingan yang memiliki panorama hamparan sawah begitu luas. Ada air terjun kecil di ujung kali dengan arus kecil yang lebarnya hanya satu meter. Rey memesan tempat berukuran kecil, sekadar tempat untuk mereka duduk bersantai. Ia juga memesan ikan bakar dan dua gelas minuman untuk bersantap.

“Maaf, ya, ngerepotin Bang Rey begini.” Farhana duduk di tepi gazebo berukuran kecil yang mereka pesan. Gemericik aliran sungai yang jernih mendukung suasana yang begitu tenang. Farhana seolah lupa kejadian beberapa menit lalu.

“Nggak apa-apa, Hana.”

Keduanya kembali hening. Saat pesanan datang, Rey langsung mempersilakan Farhana menyantap hidangan. Di sela makan, keduanya mulai kembali bersuara. Ada canda di antara beberapa obrolan yang membuat mereka semakin akrab.

“Hana sudah punya pacar?” tanya Rey tiba-tiba. Farhana menggeleng.

“Masak sih belum punya? Memangnya di pesantren kamu nggak punya kekasih?” Lagi-lagi Farhana menggelengkan kepalanya.

“Kan di pesantren dilarang pacaran, Bang Rey.”

“Oh ... Begitu. Tapi, yang ditaksir ada, kan?” tanya Rey lagi. Wajah lelaki yang sekilas terlihat mirip Andy Lau versi lokal itu memerah. Sepertinya kepedasan, karena ia buru-buru menenggak minumannya.

Farhana ikut merasa khawatir. Ia menyodorkan minumannya, khawatir Rey kekurangan minum untuk mengalihkan rasa pedasnya. Namun laki-laki itu menolaknya. Ia sudah merasa cukup. Rasa pedasnya sudah berkurang banyak.

“Saat ini ada lelaki yang sudah kamu taksir?” Rey menyelidik.

“A-ada.” Farhana hampir tersedak.

“Pasti beruntung laki-laki yang kamu taksir itu.”

“Kalau abang ada yang ditaksir?” Farhana balik bertanya.

“Ada. Tapi sepertinya kasih tak sampai.”

Farhana mengerutkan kening. “Loh, kenapa?” 

“Tidak mendapatkan restu dari ibunya.”

Mendengar jawaban Rey, sebenarnya Farhana sedikit tersadar siapa yang dimaksud oleh pemuda di hadapannya ini. Namun gadis itu takut kepedean.

“Abang udah jadian?”

Rey menggeleng.

“Abang udah kenal lama?”

Rey menggeleng lagi.

“Kami baru akrab belakangan ini.”

“Oh ....” Farhana menundukkan kepala. Ia sangat merasa yang dibicarakan Rey itu adalah dirinya. Berdasarkan penuturan Bu Romlah, Rey bukan lelaki yang mudah dekat dengan beberapa perempuan.

“Kenapa nggak abang nyatakan cinta pada perempuan itu?” tiba-tiba saja terlintas ide pertanyaan seperti itu di kepala Farhana.

“Maunya abang melamar langsung, Hana. Bukan berpacaran lagi.”

“Wah, beruntungnya perempuan yang abang lamar nanti.” Farhana terlihat salah tingkah.

“Berarti kamu beruntung.” 

“Maksudnya?” tanya Farhana. Dirinya semakin sadar jika dugaannya benar. Rey menyukainya. Tapi, dia harus memastikannya.

“Nggak apa-apa. Nggak jadi.” Gantian Rey yang terlihat salah tingkah.

‘Kenapa hati ini nggak menentu rasanya bila bersama Farhana. Ya Allah, jika ia berjodoh denganku, mudahkan jalanku menpersunting gadis ini.’

‘Duh, Bang Rey ini kenapa nggak jujur aja sih? Kan kita bisa backstreet.’

Kedua muda-mudi itu sibuk dengan pikirannya sendiri.

****

Sementara itu, mendapati putrinya diantar pemuda yang tidak disukainya, Hajah Husna terlihat begitu sinis.

Rey buru-buru berpamitan karena merasa tidak enak hati. Ia sudah bisa menebak apa yang akan terjadi setelahnya. Pemuda itu bergegas menuju motor dan melakukannya keluar halaman rumah gadis pujaan hati. Pikirannya berkecamuk.

“Kamu mulai bohongi ibu, ya, Hana. Ibu benar-benar kecewa. Kamu izin ke desa sebelah untuk santunan anak yatim, nyatanya kamu tidak hadir. Panitia bilang kamu mendadak ada urusan. Ke mana aja kamu sama si preman kampung itu?” Hajah Husna memberondong perkataan yang menghujam kuat ke dalam dada Farhana.

“Hana kecewa sama ibu. Kenapa ibu sebelah pihak memutuskan untuk menjodohkan Hana dengan lelaki yang nggak sama sekali Hana cintai, Bu?” Otot leher Farhana menegang. Ini sama sekali bukan dirinya. Gadis itu begitu penurut. Entah mengapa perkara perjodohan ini begitu menyulut emosi si gadis.

“Kamu itu anak gadis ibu satu-satunya. Ibu inginkan yang terbaik buatmu, Hana.”

“Jadi ibu menganggap menjodohkan aku dan Usman itu baik, Bu? Ibu nggak tahu pemuda itu cuma kedoknya aja ustaz. Dia itu pakai topeng, Bu. Sok-sokan polos di balik kealimannya.” Suara Farhana sedikit bergetar.

“Apa maksudmu, Hana? Kamu ini bicara apa? Memangnya kurang apa Usman? Anak ustaz terpandang di desa ini. Ibunya pun seorang pendakwah. Apalagi kakak perempuannya, sudah jadi daiya tersohor. Siapa tidak mengenal keluarga mereka? Kamu mau bandingkan dengan Rey yang hanya seorang preman kampung? Babeh Rojali itu emang siapa sih di kampung ini? Sadar, Hana.” Hajah Husna bersikeras pada pendapatnya.

“Sudah ibu. Hana tidak ingin berdebat dengan ibu.” Tubuh Farhana merangsek memasuki rumah saat Hajah Husna menghalangi langkahnya di ambang pintu. Wanita itu tergugu. Dengan napas berembus berat, ia mendengus kesal. Semenjak mengenal Rey, watak keras Farhana mulai terlihat.

"Lihat saja! Kupastikan preman kampung itu tak bisa mendekati Hana!" gumamnya kesal.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dikira Preman, Ternyata Cucu Kyai   Pesan Gaib

    Farhana merenungi kejadian janggal yang dialaminya saat di rumah Pak RT tadi. Reyhan yang menyadari jika istrinya tengah memikirkan sesuatu itu pun mencolek hidung bangirnya.“Isengnya mulai keluar lagi deh.” Farhana merengut manja.“Lagian dari tadi bukannya tidur atau melayani suami, ini malah melamun.”Farhana yang tengah berbaring pun mengubah posisinya. Ia bangkit dan duduk di samping suami sambil memeluk bantal.“Bang ... ada kejadian aneh dan janggal yang Hana rasakan tadi di rumah Pak RT. Tepatnya di kamar Sarah.“Janggal bagaimana?” Reyhan membetulkan posisi sandarannya. Ia bersiap menyimak cerita istrinya saat itu.Lalu Farhana pun menceritakan kronologi kejadian mistis yang dialaminya tadi dengan lengkap tanpa terlewat satu adegan pun.“Kamu yakin, Dik, apa yang dilihat tadi itu penampakan?”“Yakin atuh, Bang. Otakku masih jernih, kok. Bisa bedakan mana kejadian nyata dan tidak nyata.”“Iya, abang percaya apa yang diceritakan olehmu itu nyata. Tapi ... ada maksud d

  • Dikira Preman, Ternyata Cucu Kyai   Kematian Bu Ratna

    Area penemuan mayat Bu Ratna sudah diberi garis polisi. Polisi yang menyelidiki kasusnya menemukan banyak kejanggalan pada lokasi juga pada tubuh Bu Ratna. Pak RT dan Sarah langsung menuju lokasi setelah memastikan ke rumah sakit jika memang benar itu adalah mayat istri dan ibu mereka.Ayah dan anak itu masih menahan sakit, ketika mendapati mayat itu benar Bu Ratna. Tambah lagi ketika mereka tiba di lokasi di mana tubuh Bu Ratna ditemukan sudah membusuk.Ada rasa penyesalan mendalam di dalam hati Pak RT. Seandainya ia dari awal melaporkan hilangnya Bu Ratna, mungkin tidak akan seperti ini kejadiannya. Namun saat itu ia hanya mengira jika Bu Ratna kabur entah ke mana. Sayang, nasi telah menjadi bubur. Waktu tak dapat diputar kembali.Berita duka ini sudah sampai ke telinga warga. Mereka kembali bahu-membahu membantu Pak RT menyiapkan segala keperluan. Seperti saat berita kematian Usman menyebar beberapa hari lalu.Usman yang ikut ke lokasi bersama ayahnya, mendekati Sarah yang masi

  • Dikira Preman, Ternyata Cucu Kyai   Didatangi Polisi

    “Kudengar Usman sudah melamar Sarah saat masih di rumah sakit, Sin,” ujar Farhana saat saudara suaminya tengah membantu merapikan undangan pernikahan. Sekitar semingguan lagi resepsi Farhana dan Reyhan digelar, malam ini mereka akan menyebarkan undangan ke tetangga dan kerabat yang dekat. Untuk tamu undangan yang lokasinya sulit dijangkau, Farhana hanya mengirim undangan online melalui media sosialnya.“Iya, Hana. Alhamdulillah, aku senang sekali begitu mengetahui kabar itu langsung dari Sarah. Akhirnya mereka menikah juga.” Sintya tersenyum riang. Sama sekali tidak ada kecemburuan pada dirinya mengetahui berita itu.“Kamu nggak cemburu, Sin?” goda Farhana.“Apa?! Aku cemburu? Nggak lah, Hana.” Sintya menyikut lengan Farhana. “Lagian, aku sudah punya gebetan baru loh,” imbuh Sintya membuat Farhana menoleh cepat. Sepertinya kecurigaan Farhana akhir-akhir ini akan segera terjawab.“Siapa tuh? Kayaknya aku tahu deh,” ledek Farhana. Gadis itu melirik dengan tatapan meledek.“Apa aih?

  • Dikira Preman, Ternyata Cucu Kyai   Mati Suri

    Jenazah Usman yang terbangun tiba-tiba membuat warga di dalam rumah Ustaz Arfan yang sedang melayat kaget dan ketakutan. Sebagiannya keluar sambil lari terbirit-birit. Mereka berlarian tunggang langgang tak tentu arah.Usman keheranan melihat ke sekitarnya sudah ramai orang. Lalu pemuda itu memerhatikan dirinya sendiri. Tubuhnya sudah dikafani. Hidungnya pun disumbat kapas. Noda darah pada kain berwarna putih di bagian dadanya mengeluarkan bau yang cukup menyengat hingga membuat pemuda itu muntah.Keluarga Usman dan beberapa warga yang masih tinggal dalam ruangan membantu melepaskan kafan dan memakaikan pemuda itu pakaian. Ummi Yumna menangis terharu, melihat keajaiban anaknya hidup kembali. Wanita itu bersujud syukur atas kehidupan kedua untuk putranya.Farhana dan Sintya yang penasaran melongok ke dalam rumah. Keduanya terperangah menyaksikan Usman yang tengah duduk dan dilepaskan kain kafannya. Setelah Usman beres dipakaikan baju dan sarung, kedua gadis itu masuk dan menghampiri.

  • Dikira Preman, Ternyata Cucu Kyai   Bangkit

    Berita kematian Usman sudah terdengar di seluruh penjuru. Pagi ini jenazahnya akan tiba di rumah duka dengan diantar ambulan. Desas-desus pun mencuat. Beberapa warga berbisik-bisik membicarakan kelakuan Usman semasa hidupnya.“Ela juga sering banget digangguin ustaz gadungan itu, Ibu-Ibu. Sering dichat, diajak jalan-jalan malam mingguan loh,” ujar Ela saat menjajakan jamu di depan warung Mpok Romlah.“Masak, sih, La? Bukannya Usman seleranya tinggi ya?” cibir Bu Eha, yang suaminya sering menggoda Ela di belakang dirinya. Bu Eha benci bukan main pada penjual jamu yang keganjenan itu. Apalagi kalau Ela sudah berlenggak-lenggok hingga membuat mata para bapak-bapak di kampung ini melotot. Bukan main kesalnya wanita itu hingga pernah suatu ketika kedua wanita itu bertengkar dan saling jambak.“Ih, Ela kan memang kesukaan para pria yang berselera tinggi, Bu Eha. Emangnya situ. Suaminya sendiri kepincut sama Ela, kan?” Gadis yang sudah tidak perawan itu balas menyindir.Sebelum terpancing

  • Dikira Preman, Ternyata Cucu Kyai   Kritis

    Pak RT kelimpungan. Sudah mencari ke seluruh penjuru kampung tapi tak juga menemukan putrinya. Pria itu begitu ketakutan, khawatir anak semata wayangnya itu berbuat nekat. Dalam kondisi seperti ini ia tak habis pikir pada sang istri yang sama sekali tidak peduli. Bahkan wanita itu kabur meninggalkan rumah dan keluarganya. Entah apa yang dipikirkan wanita itu. Pak RT merasa keluarganya selama ini begitu harmonis. Dirinya selalu menutup telinga dari perbincangan orang sekitar mengenai sikap istrinya di luar rumah.“Saya harus mencari kemana lagi, Kyai? Saya khawatir Sarah nekat melakukan hal membahayakan.” Pak RT mencoba meminta pendapat seseorang yang dianggapnya tetua itu. Berkali-kali ia mengusap wajahnya. Peluh mulai membanjiri. Air muka Kyai Subki begitu tenang dan teduh mendengarkan keluh kesah lelaki yang menjabat perangkat kampung itu.“Kita tetap akan melapor pada polisi. Tapi tenangkanlah dirimu, Roji. Dalam kondisi panik, kita tidak akan bisa berpikir jernih,” nasihat Kyai

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status