LOGINHappy Reading
***** Cakra membulatkan mata secara sempurna. Habis sudah kesabarannya. Dia tak lagi bisa menahan, tangannya reflek mencengkeram rambut si cewek yang menamparnya tadi. "Dasar cewek arogan. Kamu apanya nenek itu, hah?!" tanya Cakra keras. "Hei, jangan memakai kekerasan. Sudahlah," cegah Venya. Sang nenek berusaha keras melepaskan cengkeraman Cakra pada rambut si cewek. "Apa dia cucumu, Nek?" tanya Cakra. Matanya mendelik masih dipenuhi amarah. "Tolong ajari sopan santun supaya nggak sembarangan menuduh orang lain apalagi sampai menampar seperti yang dilakukannya tadi." Melepas cengkeramannya, tanpa kata dan penjelasan lagi. Cakra meninggalkan Venya dan si cewek dengan sejuta kekesalan dan kekecewaan. Hilang sudah semua harapan yang dipupuk selama ini. Sepeninggal Cakra, si nenek menatap tajam cewek yang menampar sang pujaan tadi. "Kamu bener-bener, Ar," kesal sang nenek. "Nenek, tunggu." Perempuan yang dipanggil Ar itu berusaha mengejar neneknya yang marah. "Nenek," panggilnya lagi. "Apa? Nenek marah, jangan ikuti lagi. Pulang sana. Kerja aja terus nggak usah mikir nikah," omel sang nenek. "Berhenti atau aku akan keluar negeri lagi," ancam perempuan pemilik nama Ari. "Pergi sana kalau berani." Hidung si nenek terangkat membuat mukanya lucu. Persis anak kecil ketika sedang merajuk pada orang tuanya. "Nenek kesal karena aku gangguin tadi, ya? Nenek beneran cinta sama cowok sontoloyo itu?" Ari menatap kedalaman mata sang nenek. Perempuan sepuh itu adalah satu-satunya keluarga yang dimilikinya saat ini. Tentu, dia tidak mau sesuatu yang buruk terjadi padanya apalagi sampai ditipu oleh lelaki yang pantas menjadi cucunya. Memang sedang menjadi trend saat ini jika banyak lelaki lebih muda mencintai dan merayu perempuan yang usianya di atasnya. Namun, Ari tidak pernah percaya hal tersebut hingga melihat kenyataan bahwa neneknya sendiri sudah dipermainkan oleh berondong seperti tadi. "Diam! Jangan ganggu Nenek lagi." Perempuan berambut putih tersebut mengibaskan tangannya, lalu meninggalkan sang cucu sendirian. "Mbak, nenek beneran suka sama cowok tadi? Apa beliau puber lagi?" ucap sekretaris Ari yang langsung mendapat pelototan. "Jaga mulutmu. Kamu kurang kerjaan banget, ya? Mau aku kirim ke cabang pelosok yang nggak ada sinyal internetnya?" bentak perempuan yang tahun ini memasuki usia kepala tiga. ***** Pulang membawa rasa jengkel, Cakra masuk rumah tanpa mengucap salam. "Eh ... eh. Masuk kok nggak pake salam?" tanya Arimbi ketika putra sulungnya tiba-tiba datang dengan wajah kusut. Wajah Cakra makin kusut mendengar perkataan sang mama. Bibirnya maju beberapa sentimeter ketika teringat kejadian di restoran sebelumnya. Kening Arimbi berkerut melihat raut muka si sulung. "Assalamualaikum, Mama yang cantik," ucap Cakra menuruti permintaan sang mama tadi. Langsung duduk di sebelah Arimbi. Meletakkan kepalanya di pundak perempuan yang sudah melahirkannya itu sambil melingkarkan tangannya ke pinggangnya. "Waalaikumussalam. Kenapa mukanya kusut gitu?" Arimbi membelai rambut si sulung. Jika Cakra mulai manja seperti sekarang. Pasti ada sesuatu yang tidak mengenakkan hati, telah terjadi. "Maafkan Mas, ya, Ma. Tahun ini belum bisa bawa menantu." "Lha, kenapa sama pacar online-mu itu? Nggak sesuai ekspektasi? Pasti dia jelek, jadi kamu langsung ilfil." "Ma, aku bukan tipe cowok yang Mandang fisik, lho. Jadi, jelek atau cantik bagiku nggak masalah." "Terus masalahnya apa? Kok, muka ini butek banget kayak air comberan," Arimbi mencubit gemas pipi si sulung. "Kalau aku cerita, Mama janji jangan tertawa, ya." Mendongakkan kepala menatap perempuan yang telah melahirkannya. Lalu, Cakra teringat dengan Venya. Wajah yang sudah keriput dengan rambut berwarna putih semuanya. Bagaimana bisa selama ini Cakra tertipu oleh perempuan sepuh seperti Venya. Membayangkan perempuan yang sudah menjadi kekasihnya itu, si sulung bergidik ngeri. "Mas, hei, Mas," panggil Arimbi karena si sulung bengong dengan tatapan mata lurus ke depan. "Eh, kok, sepertinya ada yang begitu mengecewakan, Mas? Ada apa?" "Janji dulu nggak bakalan ketawa setelah Mas ceritakan semua." Cakra mengacungkan jari kelingking. "Dih, kayak anak TK aja. Iya ... iya. Mama janji nggak akan tertawa. Memangnya kenapa, sih?" Putra sulung keluarga Arimbi itu mengubah posisi duduknya menjadi sedikit tegak. Tak lagi manja seperti keadaan sebelumnya. Arimbi pun bersiap mendengarkan semua cerita Cakra dengan sabar. "Jadi gini, Ma." Cakra mulai menceritakan pertemuannya dengan Venya yang ternyata seorang nenek dengan taksiran umur 75 tahun. Di pertengahan cerita ketika Arimbi mulai tidak bisa menahan tawa, si sulung menghentikan ceritanya. "Tuh, kan. Mama pasti ngetawain aku." "Bentar, deh, Mas. Selama setahun berhubungan dengan si Venya itu, kamu nggak pernah dikirimi fotonya gitu?" tanya Arimbi. Merasa ada yang mengganjal dengan cerita si sulung. Bagaimana mungkin, seseorang berpendidikan dengan pengalaman mengahadapi banyak orang bisa tertipu begitu mudahnya oleh seorang wanita. Padahal jelas-jelas, Cakra adalah seseorang yang tidak mudah ditipu. Selalu berhati-hati serta teliti dalam berbagai hal. Sangat jauh berbeda dengan sifat si adik yang selengekan daan ceroboh. Cakra pun menggelengkan kepala setelah sang mama penyelesaian pertanyaannya. "Kami memang nggak pernah tukeran foto maupun video call, Ma. Dia melarangnya," ucap si sulung. "Astagfirullah, Mas ... Mas. Kok, bisanya sudah kenal setahun, tapi nggak pernah kirim-kirim foto. Jadi, ya, jangan salahkan nenek itu. Wong kamu ceroboh gitu." "Ma, aku pernah tanya umur sama dia. Katanya, setahun di bawahku artinya kan sekitar 30 tahunan sekarang. Lakok yang tak temui tadi malah nenek-nenek. Ya, walaupun cantik, tapi kan umurnya beda jauh sama aku." Plak .... "Aduh," rintih Cakra. Arimbi gemas dengan kalimat terakhir si sulung. Bisa-bisanya memuji si nenek cantik padahal dia sendiri sudah ketakutan ketika perempuan itu melamarnya. "Rasain," kesal Arimbi, "kalau kamu ngomong cantik. Kenapa nggak diterima saja lamarannya?" "Elah, Ma. Apa kata dunia jika Mas nikah sama nenek itu," sahut Cakra. "Heh, kok bahas nenek dan nikah. Ada apa?" tanya sang Papa yang entah sejak kapan berada di ruang tengah. Di belakangnya, sudah ada Kresna dengan muka keponya. "Ini, nih. Mas Cakra, katanya dilamar Nenek-nenek. Asal dia mau, banyak harta yang bakalan didapat," jelas Arimbi. "Mama kok gitu, sih. Aku bukan cowok matre, ya," sanggah Cakra. Menyesal juga dia menceritakan tentang tawaran si nenek tadi. Kini sang mama malah mengolok-oloknya. "Mas, beneran dilamar Nenek-nenek? Jangan-jangan pacar online-mu itu Nenek-nenek, ya?" sahut Kresna, heboh dengan segala kekepoannya. Tawa pun keluar dari bibir. Mungkin, si bungsu membayangkan wajah si mas dengan nenek itu. "Beneran itu, Mas?" tanya sang Kepala keluarga." "Au ah." Cakra berdiri hendak meninggalkan keluarganya. Namun, ponselnya berdering dan nama Venya terlihat di layar. "Ma ... Ma, tolong. Angkat dan katakan kalau Mama nggak sudi punya menantu nenek-nenek. Tumben nelpon padahal biasanya nggak pernah." Sang kepala keluarga dengan si bungsu saling sikut, keduanya menertawakan si sulung yang memucat. Ruang tengah keluarga tersebut pun riuh oleh tawa mereka berdua. Sesuai permintaan si sulung, Arimbi terpaksa mengangkat panggilan si Venya. "Halo," sapa Arimbi. "Eh, ini siapa? Kok berani-beraninya mengangkat telpon di HP-nya Mas Cakra," kata suara di seberang, nadanya sedikit meninggi. Arimbi mengerutkan kening. Menatap si sulung dan mulai meragukan ceritanya. "Mas, beneran dia ini nenek-nenek? Kok, suaranya seperti anak muda. Kamu nggak bohong sama Mama, kan?" tanya Arimbi memastikan semua kebenaran supaya dia tidak salah. Tangannya menutup speaker ponsel supaya sang penelepon tidak mendengar pertanyaannya pada si sulung. "Beneran, Ma. Lebih baik, Mama marahin dia sekarang juga," bisik Cakra supaya si nenek itu mundur dan berhenti mengejarnya. Arimbi mengangguk. Mulai memasang wajah serius walau si lawan bicara tidak mengetahui ekspresinya. "Kamu sendiri siapanya Cakra? Berani-beraninya bertanya dengan suara tinggi. Sopan dong jadi orang, jangan seenaknya saja." "Aku pacarnya Mas Cakra. Siapa kamu, cepat katakan," ucap Venya dengan suara yang bisa didengar oleh seluruh keluarga Cakra. "Baru juga pacar, lagaknya sudah seperti istri. Aku nggak mau, ya, punya menantu sepertimu. Sudah nenek-nenek, ngomongnya kasar. Dasar nenek-nenek ganjen." "Hah, nenek-nenek gimana maksudnya?"Happy Reading*****Menepuk kening sendiri setelah melihat wajah si nenek, mau tak mau Cakra tetap menampilkan senyuman walau sedikit enggan bertemu dengan wanita tersebut. "Nenek mau nyari siapa di sini?" tanya Cakra sedikit canggung. Kakinya bersiap melarikan diri jika jawaban si nenek sesuai dengan pemikirannya tadi. "Mau nyari siapa lagi? Pastinya, nyari kesayanganku, dong, Mas," jawab si nenek sedikit genit. Tanpa basa-basi lagi, Cakra memilih melarikan diri. Meninggalkan si nenek tanpa membalas perkataan wanita berambut putih di hadapannya. Langkah kaki si sulung begitu cepat bahkan panggilan namanya yang diteriakkan si nenek tak mampu menghentikan langkahnya. Namun, di tikungan jalan yang tak jauh dari taman, langkah Cakra terhenti karena ada beberapa orang berpakaian serba hitam yang menghadangnya."Siapa kalian?" tanya Cakra dengan kening berkerut. Dia merasa tak mengenal orang-orang tersebut. Apalagi di komplek perumahannya hampir tidak ada yang memiliki pengawal maupun a
Happy Reading****Aktifitas Cakra kembali seperti semula. Setelah adanya konfirmasi dari Venya bahwa dirinya tidak pernah bertemu. Seperti biasa, sepulang kerja, dia langsung menghubungi kekasih online-nya. Kantor baru di tempat kliennya membuat sang lelaki cukup menguras tenaga. Sifat si bos wanita yang curigaan bahkan terkadang meremehkannya membuat kepala Cakra pening. Padahal dia sudah punya program sendiri untuk memajukan usaha si bos. Menatap foto profil yang dipakai sang kekasih online, Cakra menarik garis bibir tinggi-tinggi. Hamparan pasir pantai yang terkena sinar senja begitu memukau mata pemandangnya. Lekas, Cakra pun mengetikkan chat pada Venya. "Baby, gimana kalau kita video call. Sudah setahun berhubungan, tapi kamu nggak pernah mengirimkan foto atau hal lainnya yang bisa mengidentifikasi wajahmu. Nanti, kalau ketemu di jalan terus nggak saling sapa, kan, aneh. Paling parah, kalau kita ternyata bisa menjadi musuh satu sama lain di dunia nyata," tulis Cakra. Entah me
Happy Reading***** "Hilih, ngelak aja kamu. Terus, tadi ngomong apa? Sampai nyebut kata gila, kalau nggak kepikiran si nenek, kamu nggak akan ngomong gitu. Ayolah, Cak. Akui saja dengan jujur kalau kamu muai tertarik dengan lamaran si nenek itu," goda Hanif. "Dih, apa coba? Kamu salah dengar kayaknya, aku nggak ngomong apa-apa," jawab Cakra, "sudah. Nggak usah bahas masalah aku sama nenek. Jadi, mau apa kamu nyariin aku?"Cakra membenarkan posisi duduknya menjadi tegak. Sudah saatnya bicara serius, bukan cuma membahas masalah pribadinya seperti tadi. Hanif pun melakukan hal yang sama seperti sahabatnya, duduk dengan posisi tegak. Tak lupa, sahabat yang sejak kuliah sudah mengenal Cakra itu mengambil map hitam di depannya. Sejak tadi, Hanif meletakkan map tersebut begitu saja, lebih tertarik mendengar cerita Cakra dengan segala kisah cita dunia maya yang dimiliki. "Aku ke sini cuma mau nyerahin berkas yang kemarin kamu minta." Lelaki berambut lurus dan hitam lebat itu menyodorkan
Happy Reading*****Hening sejenak, tiba-tiba saja merasakan udara di sekitarnya mencekik leher. Sekujur tubuhnya merinding, membayangkan wajah si nenek yang kemarin bertemu dengannya. "Mas, halo. Kamu masih di sana, kan? Kamu dengar pertanyaan ku tadi, kan?" tanya si perempuan di seberang sana. "Eh, iya," sahut Cakra tergagap. "Jadi, bukan kamu yang ketemuan sama aku kemarin atau kamu ada nyuruh orang untuk ketemuan sama aku?" "Mas, ih. Ada-ada saja ngomongnya. Gimana bisa ketemuan atau nyuruh orang buat ketemuan sama Mas? Seharian kemarin, aku ngurus masalah keluarga," jelas perempuan di seberang sana. "Nggak bisa ngapa-ngapain atau keluar.""Benarkah?" "Hu um," jawab sang perempuan d seberang sana. Ingin rasanya Cakra berteriak sekencang mungkin. Antara bahagia sekaligus bingung mendengar penjelasan kekasih online-nya. "Kamu yakin, Baby?""Harus berapa kali aku menjelaskannya, Mas. HP-ku hilang nggak tahu di mana. Mungkin saja, seseorang telah menemukannya, lalu menghubungimu.
Happy Reading*****Baru saja Cakra keluar dari ruangan Ari, ponsel perempuan itu sudah berdering. Ada panggilan masuk dari sang Nenek. Walau hatinya masih jengkel karena perbuatan elaki tadi,"Ya, Nek," ucap perempuan yang masih menyimpan jengkel pada lelaki yang baru saja pergi itu."Ar, kamu sudah teken kontrak dengan perusahaan, Cakra, kan? Awas saja kalau kamu menolak kerja sama yang dia tawarkan dan memarahinya gara-gara masalah kemarin," tanya si nenek tanpa berniat basa-basi sama sekali. Perempuan yang baru saja bertemu dengan Cakra, mengembuskan napas. "Nenek benar-benar dibutakan oleh cinta, ya? Segitunya pengen lelaki itu ada di kantor kita. Apa, sih, hebatnya dia?"Bukannya marah, perempuan sepuh itu malah tertawa. "Nenek memang sudah dibutakan oleh ketampanan Cakra. Nenek jatuh cinta sejak pertemuan dengannya kemarin. Dia harus menjadi bagian dari keluarga kita. Awas saja kaau kamu menolak atau menghalanginya." "Nenek, ingat umur!" Si perempuan sampai berteriak mendeng
Happy Reading*****"Ih, amit-amit. Kok, bisa aku ketemu lagi sama kamu," ucap Cakra lirih. Badannya bergerak, menggeliat seperti jijik terhadap perempuan di depannya. "Oo ... Jadi, kamu orang yang direkomendasikan Pak Hardinata. Kok nggak cocok sama sekali, sih, sama cerita beliau. Aku kira, orang yang direkomen sama beliau itu bakalan waw gitu. Ternyata cuma lelaki ...," ejek perempuan dengan kemeja ketat berwarna putih serta rok motif bunga mawar, membungkus tubuh indah di depan Cakra."Cuma apa? Lanjutkan saja ejekanmu." Entah mengapa suara Cakra meninggi. Tiap kali bertemu dengan perempuan di depannya, si lelaki selalu emosi. Seperti ada yang mendorongnya untuk terus marah. "Dasar cowok mokondo," hina si perempuan. "Kayaknya kamu nggak cocok sama pekerjaan ini. Aku yakin, ilmu pemasaran yang kamu miliki cuma digunakan untuk memikat cewek-cewek seperti pada nenek.""Iich, kamu." Telunjuk Cakra mengacung ke wajah si perempuan. Emosi Cakra makin terpancing dengan kalimat tadi. "Ka







