Home / Romansa / Dilamar Nenek-nenek / 2. Lamaran si Nenek

Share

2. Lamaran si Nenek

Author: pramudining
last update Last Updated: 2025-11-28 10:04:36

Happy Reading

*****

"Tunggu," ucap si perempuan yang rambutnya sudah memutih semua dengan keriput di seluruh wajah.

Berbalik, Cakra menatap perempuan yang lebih pantas menjadi neneknya itu. "Ada apa lagi, Nek? Bukankah sudah jelas perkataan saya tadi? Kita nggak bisa meneruskan hubungan ini. Maaf," ucapnya.

Cakra menyatukan dua tangannya di depan dada disertai badan yang sedikit membungkuk. Mungkin belum waktunya lelaki itu memiliki seorang istri. Jadi, walau hatinya masih tak ikhlas melihat kenyataan yang ada, dia tetap berpikir logis dan rasional.

"Duduklah dulu, ada yang mau aku omongin, Sayang," kata si nenek.

Miris, hati Cakra seperti teriris ketika mendengar panggilan sayang dari wanita di depannya. Dulu, sebelum pertemuan ini, tentunya dia sangat bahagia jika Venya memanggilnya dengan panggilan sayang. Namun, semua berubah ketika dia bertemu secara langsung dengan sang pujaan. Pantas, selama setahun berhubungan dekat, Venya tak mau sekalipun melakukan panggilan video. Selalu saja ada alasan supaya Cakra tidak melakukan panggilan video.

"Tolong jangan memanggilku seperti itu, Nek. Rasanya nggak pantas," pinta Cakra. Demi menghormati orang yang lebih tua, lelaki itu duduk di meja yang sudah di pesan. Buket mawar yang dia bawa, perlahan ditaruh di meja.

Venya tersenyum manis, Cakra harus mengakui jika wanita sepuh di depannya itu cukup cantik. Walau usianya sudah tua, tetapi sisa kecantikannya di masa muda masih sangat terlihat. Kulitnya terawat dengan baik. Wajahnya juga bersih sekali.

"Apa buket ini untukku?"

"Semula iya, tapi sekarang nggak," jawab Cakra ketus. Dia mencoba berpikir waras supaya tidak memberi harapan pada perempuan di depannya.

"Kenapa begitu? Bukankah aku masih cukup pantas untuk menerima buket mawar ini?" Si nenek makin ngeyel dan bersikap manja.

Berkali-kali, Cakra mengembuskan napas panjang demi mengontrol emosi yang kapan pun bisa meledak.

"Nek, tolong. Perbedaan usia kita cukup jauh. Kita lebih pantas menjadi cucu dengan neneknya. Maaf jika selama chating-an, aku pernah berkata kurang ajar dan nggak sopan. Lebih baik, mari lupakan semua yang pernah terjadi setahun ini." Cakra kembali menangkupkan kedua tangannya, benar-benar memohon supaya perempuan di depannya melupakan kemesraan yang terjadi selama ini.

Andai perempuan di depannya menyebutkan umur sebenarnya, mungkin Cakra tidak akan berani melanjutkan rayuan bahkan gombalan romantis. Namun, Venya selalu mengatakan jika umurnya di bawah Cakra sehingga hubungan maya mereka terus berlanjut hingga setahun lebih.

Venya memasukkan tangannya ke dalam tas, beberapa detik kemudian dia mengeluarkan map berwarna hitam. "Jika kamu mau menikah denganku. Semua ini akan menjadi milikmu." Menyodorkan map tersebut pada Cakra.

Lelaki yang baru saja mendapatkan gelar magister itu menyipitkan mata. Lalu, berpikir cepat dengan menolak suap yang disodorkan si nenek.

Si lelaki mendorong kembali map tersebut pada si nenek. "Maaf, aku bukan lelaki matre yang hanya bisa menikmati uang serta harta seorang perempuan dalam hidup. Aku punya harga diri, Nek," jelasnya.

Sekilas saja, Cakra bisa membaca apa isi dari map tersebut. Tulisan di sampul map cukup menjelaskan semuanya. Sertifikat kepemilikan tanah dan gedung.

Dia bukan lelaki yang haus akan harta benda. Keluarganya mengajarkan bahwa harta yang berkah, hanya bisa didapat dengan cara benar. Bukan seperti sekarang ini, menjual cinta pada perempuan yang tidak pantas untuk dinikahi.

"Benar kamu nggak mau itu?" tanya lawan bicara Cakra. "Isinya sebuah rumah beserta sertifikat atas namamu. Ada juga sebidang sawah dan juga deposito senilai 100 juta. Apa kamu nggak mau? Kalau kamu setuju dengan lamaranku tadi, semua itu akan menjadi milikmu. Jadi, kamu nggak perlu capek-capek bekerja. Hidupmu akan lebih terjamin nantinya." Venya menarik garis bibirnya ke atas.

Cakra mendengkus. "Harga diri seorang lelaki itu bekerja. Bagaimana mungkin nenek menyuruhku nggak kerja. Sekali aku mengatakan nggak, ya, nggak." Berdiri, hendak meninggalkan Venya. Suara Cakra mulai meninggi, emosinya sedikit terpancing. Beruntung, dia teringat nasihat sang mama yang harus menghormati semua orang tua, jadi dia merapalkan istighfar berkali-kali supaya kemarahannya tidak sampai menyakiti hati si nenek.

"Apa semua yang aku berikan itu masih kurang? Gimana kalau aku tambah uang bulanan 10 juta?" Venya kembali menaikkan garis bibir untuk merayu lelaki muda di depannya.

Membayangkan jika dirinya jalan berdua dengan perempuan yang pantas menjadi neneknya, seketika Cakra bergidik ngeri. Reflek dengan gerakan secepat mungkin menggelengkan kepalanya.

"Sekali lagi, maafkan aku, Nek." Cakra meninggalkan sang nenek, kembali melanjutkan langkah yang sempat tertunda tadi. Dia harus mengelus dada dengan sikap perempuan sepuh di depannya yang pantang menyerah.

"Tunggu," cegah si enek seperti kejadian sebelumnya.

"Apa lagi, Nek?" tanya Cakra dengan suara lelah dan putus asa.

"Gimana kalau aku berikan separuh saham dari perusahaan milik keluargaku, tapi syaratnya kamu harus menerima lamaran ini?" tawar Venya. Dia bahkan dengan berani memainkan alis untuk menggoda Cakra. Tangannya mulai bergerak ingin memegang lengan lelaki tampan di depannya.

Mencoba menghindar supa tidak bersentuhan dengan si nenek. Menghela napas panjang, Cakra tak habis pikir dengan pemikiran wanita sepuh di depannya.

"Harus berapa kali aku katakan, Nek. Aku nggak mau menerima apa pun tawaranmu. Jika Nenek memang benar-benar ingin menikah. Cari saja lelaki lain. Jangan aku, ya. Aku sama sekali nggak tertarik dengan semua tawaran dan iming-iming harta milik nenek. Permisi."

Cepat, Cakra mengayunkan langkah meninggalkan perempuan sepuh itu. Namun, sang nenek malah dengan kuat mencengkeram pergelangan dan menariknya hingga mengakibatkan keseimbangan si lelaki goyah. Hal itu mengakibatkan tubuh atletisnya jatuh ke pelukan si nenek dan tanpa sengaja bibir mereka pun bertemu serta saling menempel.

Dari belakang keduanya, ada seorang perempuan yang berteriak. "Mbak, aku sudah menemukan Nenek," teriaknya.

Seorang perempuan berambut panjang hampir sepinggang melotot melihat adegan Cakra dan Venya. Penuh kemarahan, perempuan itu menarik pergelangan tangan Cakra.

"Apa-apaan kalian? Kamu nggak malu melakukannya di depan umum seperti ini? Dasar cowok mokondo, bisa-bisanya berbuat mesum pada nenek-nenek," umpat si perempuan keras membuat sebagian pengunjung restoran yang sedang menikmati makan siang memperhatikan mereka.

"Heh! Jangan asal nuduh," ucap Cakra tak terima.

"Apanya yang asal nuduh. Semua bukti sudah jelas terlihat." Si cewek mendelik seolah-olah Cakra adalah lelaki bajingan yang sedang mencari mangsa untuk diperdaya dengan segala ketampanan yang dimilikinya.

"Sialan! Kamu siapa? Jangan asal nuduh! Kalau nggak tahu asal muasal kejadian sebenarnya, mending mulutmu diem." Suara Cakra menggelegar. Wajahnya memerah, menahan amarah.

Baru sekali ini, dia dikatai bajingan oleh seorang perempuan tak dikenal padahal lelaki itu terkenal baik. Selalu menghormati perempuan bahkan selama setahun menjalin kedekatan secara online dengan Venya, tidak sekalipun Cakra melakukan panggilan video demi menghormati keinginan perempuan itu.

"Heh, lelaki mokondo nggak tahu diri," olok perempuan itu, sekali lagi.

"Tutup mulut busukmu!" Cakra kelepasan. Dia membungkam bibir si cewek dengan tangannya yang kekar.

Plak ...

Beberapa detik kemudian suara tamparan terdengar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dilamar Nenek-nenek   11. Sayangku yang Ganteng

    Happy Reading*****Menepuk kening sendiri setelah melihat wajah si nenek, mau tak mau Cakra tetap menampilkan senyuman walau sedikit enggan bertemu dengan wanita tersebut. "Nenek mau nyari siapa di sini?" tanya Cakra sedikit canggung. Kakinya bersiap melarikan diri jika jawaban si nenek sesuai dengan pemikirannya tadi. "Mau nyari siapa lagi? Pastinya, nyari kesayanganku, dong, Mas," jawab si nenek sedikit genit. Tanpa basa-basi lagi, Cakra memilih melarikan diri. Meninggalkan si nenek tanpa membalas perkataan wanita berambut putih di hadapannya. Langkah kaki si sulung begitu cepat bahkan panggilan namanya yang diteriakkan si nenek tak mampu menghentikan langkahnya. Namun, di tikungan jalan yang tak jauh dari taman, langkah Cakra terhenti karena ada beberapa orang berpakaian serba hitam yang menghadangnya."Siapa kalian?" tanya Cakra dengan kening berkerut. Dia merasa tak mengenal orang-orang tersebut. Apalagi di komplek perumahannya hampir tidak ada yang memiliki pengawal maupun a

  • Dilamar Nenek-nenek   10. Jomblo Karatan

    Happy Reading****Aktifitas Cakra kembali seperti semula. Setelah adanya konfirmasi dari Venya bahwa dirinya tidak pernah bertemu. Seperti biasa, sepulang kerja, dia langsung menghubungi kekasih online-nya. Kantor baru di tempat kliennya membuat sang lelaki cukup menguras tenaga. Sifat si bos wanita yang curigaan bahkan terkadang meremehkannya membuat kepala Cakra pening. Padahal dia sudah punya program sendiri untuk memajukan usaha si bos. Menatap foto profil yang dipakai sang kekasih online, Cakra menarik garis bibir tinggi-tinggi. Hamparan pasir pantai yang terkena sinar senja begitu memukau mata pemandangnya. Lekas, Cakra pun mengetikkan chat pada Venya. "Baby, gimana kalau kita video call. Sudah setahun berhubungan, tapi kamu nggak pernah mengirimkan foto atau hal lainnya yang bisa mengidentifikasi wajahmu. Nanti, kalau ketemu di jalan terus nggak saling sapa, kan, aneh. Paling parah, kalau kita ternyata bisa menjadi musuh satu sama lain di dunia nyata," tulis Cakra. Entah me

  • Dilamar Nenek-nenek   9. Dikejar Istri Orang

    Happy Reading***** "Hilih, ngelak aja kamu. Terus, tadi ngomong apa? Sampai nyebut kata gila, kalau nggak kepikiran si nenek, kamu nggak akan ngomong gitu. Ayolah, Cak. Akui saja dengan jujur kalau kamu muai tertarik dengan lamaran si nenek itu," goda Hanif. "Dih, apa coba? Kamu salah dengar kayaknya, aku nggak ngomong apa-apa," jawab Cakra, "sudah. Nggak usah bahas masalah aku sama nenek. Jadi, mau apa kamu nyariin aku?"Cakra membenarkan posisi duduknya menjadi tegak. Sudah saatnya bicara serius, bukan cuma membahas masalah pribadinya seperti tadi. Hanif pun melakukan hal yang sama seperti sahabatnya, duduk dengan posisi tegak. Tak lupa, sahabat yang sejak kuliah sudah mengenal Cakra itu mengambil map hitam di depannya. Sejak tadi, Hanif meletakkan map tersebut begitu saja, lebih tertarik mendengar cerita Cakra dengan segala kisah cita dunia maya yang dimiliki. "Aku ke sini cuma mau nyerahin berkas yang kemarin kamu minta." Lelaki berambut lurus dan hitam lebat itu menyodorkan

  • Dilamar Nenek-nenek   8. Terngiang-ngiang

    Happy Reading*****Hening sejenak, tiba-tiba saja merasakan udara di sekitarnya mencekik leher. Sekujur tubuhnya merinding, membayangkan wajah si nenek yang kemarin bertemu dengannya. "Mas, halo. Kamu masih di sana, kan? Kamu dengar pertanyaan ku tadi, kan?" tanya si perempuan di seberang sana. "Eh, iya," sahut Cakra tergagap. "Jadi, bukan kamu yang ketemuan sama aku kemarin atau kamu ada nyuruh orang untuk ketemuan sama aku?" "Mas, ih. Ada-ada saja ngomongnya. Gimana bisa ketemuan atau nyuruh orang buat ketemuan sama Mas? Seharian kemarin, aku ngurus masalah keluarga," jelas perempuan di seberang sana. "Nggak bisa ngapa-ngapain atau keluar.""Benarkah?" "Hu um," jawab sang perempuan d seberang sana. Ingin rasanya Cakra berteriak sekencang mungkin. Antara bahagia sekaligus bingung mendengar penjelasan kekasih online-nya. "Kamu yakin, Baby?""Harus berapa kali aku menjelaskannya, Mas. HP-ku hilang nggak tahu di mana. Mungkin saja, seseorang telah menemukannya, lalu menghubungimu.

  • Dilamar Nenek-nenek   7. Penjelasan Mengejutkan

    Happy Reading*****Baru saja Cakra keluar dari ruangan Ari, ponsel perempuan itu sudah berdering. Ada panggilan masuk dari sang Nenek. Walau hatinya masih jengkel karena perbuatan elaki tadi,"Ya, Nek," ucap perempuan yang masih menyimpan jengkel pada lelaki yang baru saja pergi itu."Ar, kamu sudah teken kontrak dengan perusahaan, Cakra, kan? Awas saja kalau kamu menolak kerja sama yang dia tawarkan dan memarahinya gara-gara masalah kemarin," tanya si nenek tanpa berniat basa-basi sama sekali. Perempuan yang baru saja bertemu dengan Cakra, mengembuskan napas. "Nenek benar-benar dibutakan oleh cinta, ya? Segitunya pengen lelaki itu ada di kantor kita. Apa, sih, hebatnya dia?"Bukannya marah, perempuan sepuh itu malah tertawa. "Nenek memang sudah dibutakan oleh ketampanan Cakra. Nenek jatuh cinta sejak pertemuan dengannya kemarin. Dia harus menjadi bagian dari keluarga kita. Awas saja kaau kamu menolak atau menghalanginya." "Nenek, ingat umur!" Si perempuan sampai berteriak mendeng

  • Dilamar Nenek-nenek   6. Antara Terpesona dan Benci

    Happy Reading*****"Ih, amit-amit. Kok, bisa aku ketemu lagi sama kamu," ucap Cakra lirih. Badannya bergerak, menggeliat seperti jijik terhadap perempuan di depannya. "Oo ... Jadi, kamu orang yang direkomendasikan Pak Hardinata. Kok nggak cocok sama sekali, sih, sama cerita beliau. Aku kira, orang yang direkomen sama beliau itu bakalan waw gitu. Ternyata cuma lelaki ...," ejek perempuan dengan kemeja ketat berwarna putih serta rok motif bunga mawar, membungkus tubuh indah di depan Cakra."Cuma apa? Lanjutkan saja ejekanmu." Entah mengapa suara Cakra meninggi. Tiap kali bertemu dengan perempuan di depannya, si lelaki selalu emosi. Seperti ada yang mendorongnya untuk terus marah. "Dasar cowok mokondo," hina si perempuan. "Kayaknya kamu nggak cocok sama pekerjaan ini. Aku yakin, ilmu pemasaran yang kamu miliki cuma digunakan untuk memikat cewek-cewek seperti pada nenek.""Iich, kamu." Telunjuk Cakra mengacung ke wajah si perempuan. Emosi Cakra makin terpancing dengan kalimat tadi. "Ka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status