Bukannya berhenti, Brama justru bertindak lebih jauh. Pria itu menggigit pelan tengkuk sang istri yang tertutup pasmina.“Ebuseet! Malah pamer! Di sini ada Bocil wey!” pekik Bima sambil menutup wajah dengan telapak tangan. Namun, sela-selanya merenggang hingga masih bisa melihat adegan m*sum kakaknya.Nawa terus melepaskan diri, lalu memukul pelan pundak Brama setelah berhasil. “Sir! Nggak sopan!”“Biar dia nggak punya pikiran buat nikung kamu lagi. Dia itu pura-pura cupu padahal sudah suhu, Sayang. Entah sudah berapa gadis yang hilang kegadisannya di tangan pria tengil ini.” Brama merangkul sang adik dengan tangan kanan. Sementara tangan kiri menggandeng Nawa, membawa dua orang penting dalam hidupnya itu untuk masuk rumah.“Fitnah itu, kakak ipar! Jangan percaya!”Nawa hanya terbahak-bahak.Jika Brama berhadapan dengan orang lain terkesan cuek, dingin, dan kaku. Berbeda dengan Bima yang sangat hangat dan pandai bicara. Jadi, hanya dengan cara bicara saja bisa dilihat siapa yang buaya
“Kak Bren, ngotak dikit deh! Lo udah babak belur kayak gini, tapi nggak mau lapor polisi? Apa nunggu lo mati dulu baru arwah lo lapor polisi? Bo*od dipelihara. Kenapa? Abi ngancam lo?” Brama benar-benar berang. Ia tidak lagi menggunakan aku kamu, tetapi lo gue.Nawa menyentuh lengan sang suami sambil menggeleng. “Sir, jangan galak-galak.”“Biar Brenda sadar! Entah apa yang dipikirkannya sampai mengurungkan niatnya.”Di kursi belakang, Brenda tersedu-sedu. "Aku masih cinta sama dia, nggak mau pisah, nggak mau dia mendekam di penjara.”Brama turun dari mobil, lalu mengitarinya dan membuka pintu di samping Nawa. “Sayang, ayo kita turun. Percuma kita khawatir tapi yang dikhawatirkan bod*h kuadrat.”Brama menarik pelan lengan sang istri. Nawa pun ikut turun.“Bre, jangan ngambek gitu! Kayak cewek lagi PMS aja lo!” Bima ikut menyusul turun.“Bim, gue baru gini aja sudah capek ngadepi dia. Urus dia. Gue sama Nawa mau balik ke hotel, habis itu pulang.”“Tapi–““Titip Brenda. Jaga dia.”Brama
“Iya. Pengalaman hari sungguh luar biasa. Dan kalau aku lupa ingatan, kamu akan jadi menjadi satu-satunya orang yang kuingat,” ucap Brama serius. Ia terus berjalan menggendong istrinya.Nawa tergelak. Dari belakang, ia mencubit pelan pipi suaminya. “Ah yang bener?”“Hm. Kamu kenapa selalu nyindir bahas lupa ingatan? Aku hanya sekali berbuat hal bodoh itu, tapi sepertinya kamu selalu membahasnya setiap saat.”“Biar Sir sadar, kalau segala sesuatu itu jangan suka dibuat prank. Saat itu, sumpah aku kesel dikerjai kayak gitu.”“Iya, maaf.”“Janji nggak ninggalin aku?”“Iya, Sayang.”“Saksinya Masjidil Haram lho, ya? Kalau sampai Sir ingkar, dosanya berkali lipat.”Nawa mencuri ciuman dari belakang punggung sang suami.Kalau sudah seperti ini, bagaimana mungkin Brama bisa berpaling dari wanita seistimewa ini? Bagi pria itu, Nawa adalah poros hidupnya. Sementara bagi Nawa, Brama adalah pusat kebahagiaannya.**Sepulang umrah, Brama mulai menata masa depan yakni mengenai pekerjaan. Ia sudah
Nawa mengembuskan napas berat, lantas berdecak saat melihat sesuatu di teras rumah sang bapak. Meski begitu, ia mengucapkan salam, disambut Heru yang duduk di teras. Ia cukup lega karena bapaknya baik-baik saja.“Waalaikumussalam. Loh, datangnya kok nggak bareng? Malah sendiri-sendiri,” ujar Heru ketika melihat putrinya datang. Di sampingnya, ada Brama yang duduk santai seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Keberadaan pria itulah yang membuat Nawa sedikit terkejut.Nawa menghampiri Heru, mencium tangan bapaknya takzim.“Tadi aku berangkat nggak dari rumah, Pak. Jadi nggak tahu kalau Nawa juga mau ke sini,” sahut Brama.“Lain kali kalau mau pergi, izin suami dulu tho, Wa. Meskipun suami pas nggak di rumah, tapi sekarang ada HP. Bisa WA.” Heru memberi wejangan yang membuat Nawa tersentil.Wanita itu mengangguk lemah.Di kursi, Brama mengulurkan tangan. Dengan wajah masam, Nawa menciumnya. Nawa sedikit heran kenapa suaminya bisa sampai di sini mendahuluinya.“Ini tadi aku beli jajan buat Ba
“No! Kita pulang! Katanya deal nggak mau memperpanjang lagi, kan?” pekik Nawa.“Kamu bisa sesuka hatimu, bukan? Aku juga bisa. Aku akan menuntut daddy, meminta seluruh saham Sunmond sesuai kesepakatan karena mereka ingkar telah mengusik kamu.”“Sir, kumohon jangan. Oke-oke aku janji, akan terbuka. Tentang apa pun itu. Tapi jangan sampai meminta itu dari mereka. Kumohon.”Brama hanya melirik sekilas.“Lagian, Sir sudah menyadap ponselku, kan? Jadi, apa yang bisa kusembunyikan? Nggak akan ada.”Brama tetap diam. Kendaraan juga sudah hampir masuk arah tol.Jurus terakhir Nawa. Menangis.“Sir, kalau tetap ke sana, mungkin aku akan menjadi target mereka. Nyawaku mungkin dalam ancaman mereka. Ayo kita balik."Jalan berbelok ke arah tol menuju Surabaya sudah di depan mata. Saat itulah, Nawa terpejam. Namun, ia merasakan mobil jalan lurus, tidak berbelok. Wanita itu akhirnya membuka mata dan mengembuskan napas lega.“Aku lapar lagi. Kita cari tempat makan dekat sini.” Brama berucap dingin.“A
“Aku juga nggak tahu, Sir. Ada yang bilang ipar adalah maut. Tapi kalau kita nggak nolong mereka, kita bisa dibilang kejam. Saudara lagi kesusahan, tapi diabaikan,” ujar Nawa.“Kamu, pakai acara menyuruh Bima tanggung jawab. Gini kan jadinya? Kita juga yang repot kalau Bima jadi ke sini sungguhan.” Brama mendengkus kesal.“Sir, sekarang aku mau tanya. Misalkan one night stand kita waktu itu aku hamil, apa Sir juga nggak percaya kalau anak yang kukandung itu anakmu?”Brama terdiam, lalu mengangguk. “Percaya. Karena aku tahu kamu wanita terjaga, dan sehari pasca kejadian orang-orangku terus mengawasimu. Terbukti tidak ada pria yang dekat-dekat denganmu selain Frengki sialan itu. Itu pun dia yang ngebet padahal kamu selalu menghindar.”“Nah itu. Pacar Bima mungkin juga wanita terjaga. Sudahlah, kita berbaik sangka saja. Dan kenapa aku meminta Bima tanggung jawab? Karena seorang wanita hamil tanpa suami itu sangat berat, Sir.”“Sepertinya kamu tahu banyak? Pernah mengalami?” Brama menatap
Nawa menatap wanita cantik di samping Bima. Sementara Brama memandang adiknya dengan buas, siap menerkam. Dua koper besar yang dibawa Bima menjadi bukti kalau adiknya benar-benar berniat menumpang hidup.“Bre, please biarin gue tinggal di sini. Gue sekarang gembel. Hanya lo satu-satunya harapan gue.” Bima kembali memohon.Bima masih di teras rumah sebab ART-nya tidak berani menyuruh masuk karena Bima orang baru bagi ART. Bima sudah mengaku sebagai adik Brama, hanya saja sang ART belum percaya. Jadilah menunggu Brama dulu.“Masuk, Bim.” Nawa yang justru mempersilakan.“Oh, ya, kenalkan. Ini Stevie, istri gue.”Entah ada dorongan apa, Nawa langsung memeluk wanita itu. “Stevie, selamat datang di sini. Kamu dan Bima nggak sendiri. Ada kami.”Stevie membalas pelukan Nawa sambil menangis. “Terima kasih, terima kasih banyak karena sudah mau menerima kami.”Brama mengembuskan napas panjang. Ia baru mempersilakan adiknya masuk. Nawa masih ke dapur untuk meminta tolong agar ART-nya menyiapkan m
Pagi sebelumnya .... Seperti biasa, Nawa menjadi ahli wardrobe untuk suaminya. Wanita itu setiap hari yang menyiapkan kemeja, celana, jas, dasi, bahkan underware untuk Brama. Ia baru selesai menata di atas ranjang ketika sang suami keluar dari kamar mandi. Brama sudah berencana membuat walk in closet agar lemari pakaian tidak jadi satu di kamar tidur. Hanya saja, wacana itu belum terealisasi sebab Brama masih sedikit sibuk. Bisa saja ia meminta Gilang atau Yadi mencarikan ahli. Namun, Brama ingin mendesain sendiri bersama Nawa dan belum ada waktu untuk itu. Brama keluar kamar mandi hanya mengenakan handuk sebatas perut. Rasanya, Nawa selalu candu dengan perut enam kotak yang dimiliki suaminya. Brama memang selalu rutin berolahraga setiap selesai salat Subuh. Ada satu ruangan khusus di rumahnya yang berisi berbagai macam alat penunjang untuk membentuk tubuhnya. Sesekali Nawa mencoba yang ringan seperti treadmill. “Sir, jangan sampai kamu berpenampilan kayak gini selain di hadapanku