Share

Part 4

Author: Zidney Aghnia
last update Last Updated: 2021-06-27 18:02:24

Lokasi proyek pagi itu dipenuhi oleh orang-orang dan wartawan yang ingin meliput kejadian tragis yang menimpa menantu Willy Group. Sementara para karyawan Rain sibuk menghalau para juru warta itu.

"Om, saya akan bantu Om!" Sahut gadis aneh yang muncul dari belakangnya. Rain tidak menggubrisnya.

"Kakakku Jaksa, Om!" lanjut si gadis aneh.

Rain melirik, "Kamu ikut aku," pinta Rain sambil mengangkat jenazah Hanna ke stratcher ambulance.

Sea bergegas masuk ke ambulance bersama Rain. Ia melihat Rain menangis sejadi-jadinya. Sampai di Rumah Sakit, Sea melihat Rain sangat terpukul. Terlebih saat jenazah Hanna dibawa memasuki ruang autopsi.

"Kasian banget dia, udah kerja cuma kuli sekarang ditinggal istrinya. Ngenes banget, ckckck, gue jadi sedih," gumam si gadis aneh.

Rain mengeluarkan ponsel dari sakunya, mencoba menelepon seseorang.

Sea terperangah melihat ponsel Rain yang berkamera tiga seperti segitiga bermuda.

"Uwoow, buruh aja hp nya pro max 12 boo," desis Sea terperangah dan menggeleng tak percaya.

"Andy bantu aku!"

"Hai, Rain, apa yang bisa kubantu ?" 

"Kamu tau apa yang kumaksud, 'kan ?"

"Aku mengerti. Aku sudah membaca beritanya, nanti siang aku akan mengunjungimu di kantor."

"Baiklah, sekarang aku sedang mengurus jenazah Hanna dulu." Rain mengakhiri percakapannya karena dipanggil seseorang di costumer service.

Pria yang kini menduda itu diminta perawat untuk melengkapi syarat administrasi rumah sakit.

"Om, punya BPJS, 'kan?"

"Kamu bisa diem gak, Bocah!"

Sea tersentak kaget, ia langsung memasang raut wajah cemberut lantas pergi menjauhi Rain, sambil menutupi kepala dengan kupluk jaketnya.

🌵🌵🌵

Seseorang mengetuk pintu ruang kerja Rain seraya masuk tanpa menunggu jawaban dari Rain.

"Rain, aku turut berduka cita," ucap sahabat Rain itu sambil memeluknya.

"Thanks, Dy, duduk dulu."

Maya masuk membawakan dua cangkir kopi dan akan duduk di sofa.

"Maya, bisa beri kami privasi!" sergahnya memberi perintah pada Maya supaya tidak mendengar percakapan mereka.

"Baik, permisi Pak Rain, Pak Andy !" pamit sekertaris lajang itu.

"Jadi gimana, Ndy ?" 

"Lu tau kan ini bukan kasus bunuh diri?"

"Jelas, Ndy, asisten di rumah bilang kalau Hanna pamit pergi untuk mengantar makan siangku, sedangkan aku sudah bilang pagi harinya, kalau aku akan meeting dan makan siang diluar."

"Pasti ada yang menjebak Hanna supaya datang ke lokasi proyek itu, Rain! Dan pelakunya tidak lain orang yang kenal denganmu."

Rain diam, sambil menarik rambut di kepalanya.

"Aku gak nyangka ini terjadi di hidupku, dan bodohnya aku tidak berprasangka buruk pada siapapun!" jawab Rain berang.

"Gimana dengan barang Hanna yang tertinggal di lokasi?"

Rain mengeluarkan ponsel dan segera memanggil seseorang.

"Detektif Bara, apa ada barang istri saya di TKP?" Ponsel atau semacamnya?"

"Kami tidak menemukan ponsel atau apapun, selain lunch box Pak Rain."

"Baik terima kasih, Pak Bara." Rain menutup telepon seraya mengangkat kedua bahu dan kedua tangannya, tanda tidak ada hasil.

"Pelakunya cerdas, dia pasti sudah mengambil semua barang milik Hanna!" sahut Andy yang mendengar percakapan Rain tadi.

"Gimana dengan CCTV?" lanjutnya.

"CCTV gedung sudah dirusak pelaku sehari sebelumnya. Dan dekat area itu tidak ada CCTV lain."

"Apa ada pertokoan atau orang lalu lalang."

"Polisi pasti sudah mengecek CCTV minimarket terdekat. Kalau orang lalu la—lang? Benar! Gadis aneh!"

"Gadis aneh?" tanya Andy penasaran.

"Aku beberapa kali bertemu gadis aneh itu, sepertinya dia tinggal di area komplek itu."

Andy menjentikkan jarinya, "Kau hubungi dia!"

"Ayo ikut denganku, Dy!" pinta Rain sambil bergegas mengambil kunci mobilnya.

"Pak Rain, anda mau ke—?" tanya Maya yang gelisah melihat Andy terburu-buru pergi.

"Kamu tunggu di kantor saya ada urusan di luar!" Rain mencegah Maya bertanya.

Andy mengambil paksa kunci dari tangan Rain, supaya dirinya yang mengemudikan mobil, khawatir terjadi sesuatu karena emosi Rain sedang tidak stabil. Mereka pergi ke lokasi proyek yang kini dibatasi police line.

Hari sangat terik saat itu, hujan belum mengguyur sejak kemarin, sehingga bau darah mendiang istrinya itu masih tercium.

Rain menunggu si gadis aneh itu lewat, sambil berkeliling siapa tau menemukan sesuatu yang terlupakan oleh pelaku.

"Rain, kemari?" sahut Andy yang berdiri di dekat tangga bangunan. Andy menunjuk sesuatu, sebuah kancing baju bermerk yang terjatuh tepat di bawah tangga keluar.

Rain segera mengambil sapu tangan dan membungkus kancing berlogo Guc*i tersebut. Lalu mencari bukti lain yang mungkin terlewati.

"Kau tidak memberikannya pada polisi?" sahut Andy.

"Aku akan menyimpannya dulu, kalau suatu waktu nanti aku menemukan logo yang sama."

Andy mengangguk mengerti. 

Rain melihat seseorang yang berjalan memakai celana jogger dan jaket hoodie berwarna pink, membawa kantong hitam besar.

"Hei, Gadis Aneh!" pekiknya. Gadis itu tak bergeming dan terus melangkahkan kakinya.

Rain mengejarnya, dan menarik kupluk jaketnya.

"Aaaww!" teriak gadis itu." Om! Apa-apaan sih, kalau aku jatuh gimana?"

"Om?" Desis Andy mendengar panggilan gadis itu, seraya menertawainya.

"Kamu ikut saya!"

"Eeh kalian mau culik aku! Nggak mau! Aku teriak, ya!" ancam si gadis aneh itu.

"Siapa yang mau nyulik gadis aneh sepertimu! Dijual aja gak laku!" sanggah Rain sambil melepaskan tangannya dari kupluk Sea.

"Ya terus mau ngapain narik-narik baju aku!" ujar Gadis yang rambutnya digelung ke atas sambil menyilangkan kedua tangan dan mengerlingkan matanya.

"Ikut ke mobil, ada yang mau saya tanyakan!"

"Ta—"

"Cepat masuk!" pekik Rain.

Mereka bertiga masuk menaiki mobil sedan berwarna putih milik Rain. Dan pergi ke tempat peristirahatan Rain.

"Bau apa ini?" celetuk Rain yang tiba-tiba mencium aroma tidak sedap.

"Ini?" ujar Sea sambil mengangkat bungkusan hitam yang dia bawa sejak dari rumahnya.

"Apa itu?" tanya andy.

"Sampah!" jawab Sea ketus sambil mengerlingkan matanya dan menahan tawa.

"What?" Kenapa bawa masuk sampah ke dalam sini!"

"Bukan aku yang bawa, tapi Om yang maksa masuk mobil tadi, orang saya mau buang sampah, malah diculik gini!"

"Haduuh, gadis aneh!" Keluh rain sambil menggelengkan kepala. "Stop di depan, Dy!" Pinta Rain sambil menunjukkan tempat pembuangan sampah.

"Mobil numpang temen aja belagu!" decak gadis itu sambil keluar dari mobil untuk membuang sampah tadi dan samar terdengar umpatannya oleh Rain.

"Apa! Siapa yang num— . Aarghhh!" geramnya.

Andy tidak bisa menahan tawa melihat pertengkaran om dan si gadis aneh.

"Sabar Rain, kita butuh dia," hibur andy seraya menepuk bahu kirinya Rain.

[Sampai di tempat peristirahatan].

"Hei, Gadis Aneh, apa kamu melihat orang yang mencurigakan kemarin siang?" tanya Rain serius.

Gadis itu diam tanpa menjawab pertanyaan Rain, sambil melihat-lihat ke sekeliling ruangan rumah yang luasnya satu hektar itu.

"Hei, kamu gak dengar saya!"

"Apa Om gak punya sopan santun? Om kan minta informasi dari saya, kenapa saya dikasari!" tampik gadis itu.

Andy yang mendengarnya, menunduk menahan tawa dengan gumpalan tangannya.

"Hmm! Okay. Siapa kamu ...? Sea? Saya bertanya baik-baik dan tidak akan mengulanginya."

Gadis itu masih diam dan cuek sambil memainkannya ponselnya.

"Apa kamu lihat orang yang mencurigakan kemarin?"

"Ya, aku lihat banyak pekerja bangunan disana."

Rain menghela napas lebih dalam kali ini.

"Tapi— waktu sore hari selepas pulang les, aku gak sengaja lihat ada dua orang yang berdiri di pinggir gedung lantai lima yang belum jadi itu," lanjut Sea

Rain dan Andy kaget lalu menatap gadis itu dengan lebih serius.

"Ciri-cirinya?"

"Seingatku— yang satu berpakaian seperti mendiang si om ini, (sambil menunjuk Rain), yang satunya aku gak lihat jelas karena hari udah gelap, tapi aku yakin, dia pake setelan celana dan jaket serba hitam. Oh ya dengan penutup kepala!" Sea menjelaskan sambil berusaha mengingat.

"Lalu, sampai kapan kamu disana?" tanya Rain menelisik.

"Ya aku cuma numpang lewat, jadi gak lama, cuma itu yang aku ingat."

Rain lantas berdiri dari duduknya, dan menjambak rambutnya sendiri, sambil mondar-mandir di ruang tamu yang luas itu.

Ia berpikir keras siapa yang mungkin menjadi pelaku pembunuhan istrinya itu. Ciri-cirinya sudah dikantongi Rain.

"Kamu bilang kakakmu jaksa?" tanya Rain pada Sea, yang dijawab dengan anggukan.

"Kami mau bertemu dengannya sekarang juga!" sahut Andy cepat.

🌷Bersambung🌷

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dilamar Tuan Duda   Part 41

    Bersamaan dengan kehangatan mereka, Rain mendapat panggilan telepon. Ia meminta izin keluar kamar untuk menerima panggilan.“Sea, Papa mau bicara.”“Bicara apa, Pa?”“Papa dengar keluhan kamu ke suamimu tadi waktu di depan ruang operasi. Gak baik bicara begitu dengannya, Sea. Dia itu suami kamu.” Thomas menegurnya.“Keluhan apa, Pa?” tanya Angkasa penasaran.“Biar Sea yang jelaskan, Angkasa.”“Emmh ... itu ... habisnya dia mengganggu banget, Pa. Aku gak mau kehilangan Kakak karena Kakak udah berkorban nyawa untuk aku, makanya aku gak mau tinggalin Kakak sedikit pun.”“Kamu bilang begitu ke Rain, Vin?” tanya Angkasa.Sea menekuk wajahnya dan mengangguk pelan.“Ya, ampun, Vin. Kamu tahu? Dia udah buat rencana sebelum penculikan kamu, loh. Dia hubungi Kakak dan mengerahkan beberapa anak buahnya untuk melindungi kamu. Kamu lihat, kan, semua orang yang melawan Bintang di rumah itu?”Mata S

  • Dilamar Tuan Duda   Part 40

    Sea menyaksikan Angkasa, sang kakak, tersungkur di lantai dengan tangan kiri memegang perut. Bau darah pun menguar ke seisi ruangan. Angkasa ... di sana terbaring tanpa daya lagi.“Kakaaaak!” Sea menjerit histeris.Sea bersama Rain menghampiri Angkasa. Ia lalu mendekap Angkasa yang sudah hilang kesadaran. “Kakaak, banguuun. Kak, jangan pergi! Vin gak punya siapa-siapa lagi, Kaaaak.”Rain mendekap mereka berdua. Ia tak tahan melihat pipi Sea yang banjir akan air mata. Karena itu, matanya juga ikut berkaca-kaca. Sekali-kali air matanya menetes, tetapi dengan cepat ia menghapusnya agar terlihat tetap tegar.Suara sirene mobil polisi terdengar sampai ke dalam. Banyak polisi dengan pakaian serba hitam dan lengkap membawa senjata, berlarian memasuki rumah itu. Mereka bersiaga di tiap-tiap sela pintu dengan senjata masing-masing untuk memantau keadaan. Rupanya, Bintang dan satu pelaku penculikan sudah tak sadarkan diri, sedangkan yang

  • Dilamar Tuan Duda   Part 39

    “Kalau kamu gak bisa jadi milikku, orang lain juga harusnya gak bisa, Sea.” Ibu jarinya membelai lembut sepanjang bibir berperona merah milik Sea.” Aku udah banyak menghabiskan waktu untukmu, Sea. Tapi, kamu gak menghargainya sedikit pun—gak pernah sama sekali. Kenapa?”Melihat Sea yang belum sadarkan diri, lelaki itu berusaha mengambil kesempatan yang mungkin tak’kan bisa ia dapatkan lain kali.Ia memandangi gadis dengan lekukan bulu mata yang indah, bibir semerah buah ceri, hidung lancip, dan rahang yang tegas. Kemudian pandangannya menurun ke arah garis leher Sea yang tampak sangat menggoda baginya.Dua kancing baju Sea sudah terlepas dari lubangnya. Lelaki bermata hitam legam itu terang-terangan meliriknya sambil menelan liur dengan berat, terutama saat melihat bagian dada yang sedikit mencuat.Karena lengan Sea diikat di bilah besi, kemeja kotak-kotak yang dikenakannya pun ikut tertarik ke atas. Bukan hanya area dada, area seputaran perut

  • Dilamar Tuan Duda   Part 38

    “Tapi—“Aku mohon kamu paham. Kamu tahu, kan, gimana mamanya Cyra pergi? Aku gak mau sampai kejadian serupa terjadi lagi. Aku gak bisa dua kali kehilangan orang yang sama-sama aku cintai, Sayang. Gak bisa.” Rain menerangkan dengan lemah lembut. Matanya tak lepas memandang wanita muda di hadapannya.***Keesokan harinya, Sea terlihat keluar dari kamar dengan sudah berdandan rapi.“Mau ke mana, Sayang? Kamu gak akan ke kampus, kan, hari ini?”“Enggak, hari ini libur. Aku mau pergi ke kostan Emil, ya?”“Sebaiknya, kamu di rumah aja, Sea. Kostan Emil, kan, dekat dengan kampus. Orang-orang di sana pasti kenal kamu.”“Aku udah siapin ini.” Sea memperlihatkan topi dan masker yang dikeluarkan dari tasnya. “Nanti aku langsung ke kostan-nya, kok. Gak mampir ke mana-mana. Aku lagi butuh teman ngobrol aja.”“Ya, udah. Aku antar kamu sampai kostan Emil. Kalau su—“Sayaaang ...? Aku baik-baik aja, oke? Aku

  • Dilamar Tuan Duda   Part 37

    Sore hari, hawa dingin berembus kencang, menarik Sea dari alam mimpi dan membawanya ke dunia nyata. Desiran angin dengan riuhnya menyapu lembut dedaunan hijau, membuat setiap tangkai saling besinggungan.Angin mendorong keras jendela hingga membentur dinding. Suaranya mengguntur bagai petir sehingga membuat Sea tersadar.Matanya masih sayup-sayup terbuka, terkadang menutup, lalu terbuka lagi perlahan. Kemudian, ia mengernyit ketika semburat cahaya menyusup jendela. Tirai tipis yang menggantung, menari-nari indah karena alunan angin yang bersilir-silir.Begitu tersadar penuh, hal yang pertama dilihat adalah wajah rupawan serupa oppa-oppa Korea. Bibirnya langsung membentuk lengkung menarik senyum tipis ketika melihat pria itu di antara sinar senja yang menerobos jendela.Jemarinya meraba, mengelus sisi kanan wajah suaminya yang masih terlelap: mulai dari kening, alisnya yang tegas, dan pipi yang tirus sampai dagu. Satu menit, dua meni

  • Dilamar Tuan Duda   Part 36

    “Ha—“Di mana kamu!” Suara di seberang telepon membuat Sea kaget. Ia memejamkan mata, mencoba melegakan hatinya. Berkali-kali dirinya menarik napas dalam-dalam sebelum mulai berbicara lagi.“Sea, di mana kamu?” tanyanya sekali lagi.“A-aku ... aku di taman ....” Belum selesai ia berbicara, sambungan telepon sudah terputus. 'Apa yang akan terjadi setelah ini? Apa aku akan diceraikan? Enggak, aku gak mau. Aku gak mau pergi setelah nyaman dengannya. Aku sudah menyayanginya. Aku sudah mencintai Rain dan Cyra.'Lima menit kemudian, seorang lelaki berlari ke arahnya dan tepat berhenti di hadapan Sea yang sedang menangis terisak sambil menutupi wajah. Kemudian, dua tangan berbalut kemeja katun menariknya ke dalam pelukan.Terkejut dengan orang yang memeluknya tiba-tiba, Sea langsung menjauhkan diri. Ia takut kalau tiba-tiba Bintang-lah yang ada di hadapannya.Ternyata setelah melihat seorang pria dengan rambut set

  • Dilamar Tuan Duda   Part 35

    “Bintang ...? Kamu sedang apa?” Ia melihat Bintang tertunduk. “Bin. Ayo, bangun. Malu dilihat banyak orang.” Perlahan, langkahnya mendekati Bintang, memastikan apa yang sedang dilakukannya. Namun, Bintang masih diam di posisinya. Tak lama, terdengar suara isak tangis.“Sea, aku ....” Ia mendongak pelan.“Bintang, bangun dulu, ya.” Ia membujuk Bintang sambil memperhatikan pandangan semua orang.“Sea, aku itu sayang kamu. Terlalu sakit mendengar kenyataan kalau kamu udah jadi istri orang. Padahal, aku yang lebih lama kenal kamu daripada suamimu itu.” Bintang menepuk-nepuk dadanya. Matanya memerah dan menggenangkan cairan yang hampir terjatuh. “Aku cuma suka kamu, Se. Aku mau perjodohan kita berlanjut. Aku cuma sayang kamu.”Wanita dengan rambut panjang dikuncir setengah itu mengerutkan kening. Tak dapat dipungkiri jika ia merasa terharu dengan ungkapan yang dinyatakan Bintang. Ia memang mengenal Bintang jauh lebih lama daripada Rain. Itu karena

  • Dilamar Tuan Duda   Part 34

    Dari dalam restoran, Rain memegang tangannya Sea. Namun, setelah sampai di luar restoran, pria berkaos polo shirt putih itu melepas genggamannya. Ia tetap berjalan di samping istrinya, tetapi eskpresinya tak seperti sebelumnya. Sikapnya menjadi dingin seperti waktu awal-awal mereka bertemu.Saat makan, Rain hanya fokus menghabiskan makanannya. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya sampai semua hidangan di meja habis dilahap yang lainnya.Menyadari hal itu, Sea merasa bingung. Ia khawatir melakukan kesalahan yang membuat suaminya marah sampai-sampai Rain mendiamkannya begitu.***Begitu sampai di rumah pun, Rain langsung keluar dari mobil dan masuk ke kamar, meninggalkan semua yang masih berada di mobil.Sea makin merasa canggung. Ia tak tahu apa alasannya. Setelah menuntun Cyra ke kamar, Sea segera m

  • Dilamar Tuan Duda   Part 33

    Bintang-bintang bergelantungan dalam pekatnya langit bersama rembulan yang tersipu di balik awan. Suasana malam Minggu Kota Bandung begitu hingar bingar saat itu. Gelak tawa, suara pengamen, orang-orang berfoto, sampai tangis anak-anak saling bersahutan.Hampir seluruh rumah makan, kafe, pertokoan, dan pedestrian dipenuhi pengunjung. Angin berembus membelai rambut Sea yang baru saja turun dari mobil bersama suami, anak, dan asistennya. Mereka sampai di rumah makan tradisional yang menyajikan menu-menu khas adat Sunda.“Silakan.” Seorang pramusaji menyodorkan dua buah buku menu ketika keluarga Rain mengambil salah satu meja dengan empat kursi.“Terima kasih,” ujar Rain. “Kamu mau pesan apa?” Ia bertanya kepada Sea sambil menatap buku berisi banyak daftar menu.“Aku mau bebek goreng dan

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status