Maya melirik ke arah tangan Hendra yang menggenggam pergelangan tangan Hanna sambil berlarian.
Hanna melepas tangan Hendra dan berlari menggendong Cyra yang sedang dituntun Maya. "Cyra, are you okay?" Mama khawatir banget, Nak."
"I'm okay, Mama," jawabnya disertai anggukan.Rain datang, dan langsung memeluk Cyra dan Hanna."I'm sorry, Papa," lirih Cyra menyesal."It's okay, kita pulang ya sekarang."🌵🌵🌵
[Di rumah, 2 hari sebelumnya.]
"Hendra, kita langsung jalan ke lokasi proyek Grand William hotel hari ini," perintah Rain pada supirnya yang sedang duduk di teras."Baik, Pak," jawab Hendra."Sayang, ini bekalnya ketinggalan?" sahut Hanna dari dalam rumah sambil membawakan lunch box berwarna turquoise favoritnya.
"Thank you, Hun," sambil mengecup keningnya.
"Kamu pake baju santai, Pa?"
"Iya, aku mau ke lokasi proyek takut kotor bajunya, Hun.
"Hmm ... oke, take care, Pa," sahut Hanna sambil melambaikan tangan dan menuntun Cyra.
"Bye, Hun, Cyra ...," sahutnya.
"Maya bagaimana proyek perencanaannya?" tanya Rain.
"Ya, ini rencana struktur bangunan, dan ini dalam bentuk digitalnya, Pak." Maya menerangkan sambil menyodorkan tablet lipatnya ke Rain yang duduk di belakangnya.
"Bagaimana dengan fasilitas?""Kolam renang menghadap tepat ke barat, yang memandang langsung ke arah bukit. Kids zone ada di lantai bawah di antara pusat kebugaran dan salon/spa. Jadi anak-anak bisa terlihat langsung oleh orang tuanya yang sedang beraktifitas.Dan sebuah penthouse yang dilengkapi ruang tamu besar dan akses langsung menuju rooftoop. Dokter jaga perusahaan sudah disiapkan. Dan service menu nya ditangani oleh koki lokal yang sudah tidak diragukan lagi."Kerja bagus!" puji Rain.Maya tersenyum, sambil melihat tatapan Hendra dari balik spion mobil.Proyek Grand William Hotel sudah mulai dipondasi. Perkiraan selesai sekitar dua bulan yang akan datang. Rain sedang fokus dalam mengamati proyek hotelnya, ia akan pergi ke kantor jika ada hal-hal mendesak, atau pertemuan penting saja.
Siang hari di lokasi proyek, Rain berkeliling bersama Maya untuk melihat para pekerja dan progress pembangunannya.
Saat jam makan siang, Rain tidak malu memakan bekalnya bersama para pekerja bangunan, dalam kondisi pakaian kotor, dan berisik suara mesin. Mereka makan bersama sembari bercengkerama dan bercerita satu sama lain.
"Aah, air minum saya ketinggalan di rumah," keluhnya.
"Biar saya belikan, Pak?" ujar Maya menawarkan diri.
"Gak usah, May, kamu makan aja. Biar aku beli sendiri!" tegas Rain menolaknya.
Maya mengangguk sambil meneruskan makannya.
Rain pergi ke minimarket yang lokasinya tidak jauh dari hotel. Setelah membeli satu botol air mineral, Rain melihat seekor kucing yang kelaparan, ia mengeong, berjalan pelan mencari makanan
Tanpa pikir panjang ia membeli makanan di warung makan terdekat dan kembali ke tempat kucing tadi Lalu ia berjongkok, mengelus-elus kucingnya yang terlihat ketakutan. Setelah kucing itu tenang dalam usapan tangannya ia memberikan makanan tadi pada kucing itu.
"Om, kenapa makanannya dikasih kucing, emang gak enak?" tanya seorang gadis yang melintas.
"Nggak, kasian kucing ini kelaparan," jawab Rain tanpa menoleh pada gadis berambut keriting gantung itu.
Setelah menemani kucing itu menghabiskan makanannya, Rain beranjak pergi ke lokasi proyeknya.
"Om, ini!" sahut gadis itu dengan memberikan paksa bungkusan putih.
"Apa ini?" tanya Rain.
"Ini buat, Om, Om pasti lapar karena makanannya dikasih kucing."
"Tapi, saya u—"
"Udah gak usah malu-malu, terima aja," paksa gadis itu sambil berlalu pergi meninggalkannya.
"Hei, tapi kamu siapa!" teriaknya.
"Oh saya Sea, Om. SE-YA!" teriaknya sambil mengeja nama dan segera berlari menjauh.
"Maksud saya, kamu siapa sembarangan ngasih makan ke saya, siapa juga yang kelaparan, dasar gadis aneh!" decaknya.
Rain kembali ke lokasi proyek, menghampiri mobil sedan hitam di depannya dan mengetuk kaca mobil, yang di dalamnya Hendra sedang tertidur.
"Dra, udah makan belum?" tanyanya.
Hendra terperanjat kaget dan membuka jendela mobil, "Belum, Pak, saya ketiduran."
"Nih makan." Sambil mengasongkan sebungkus makanan yang tadi diberi gadis aneh.
"Terima kasih, Pak," sahut Hendra.
🌵🌵🌵
[1 hari sebelumnya].
Rabu pagi di kota Bandung, udara yang masih dingin setelah diguyur hujan. Rain pergi ke lokasi proyek hanya dengan kaos berwarna navy merk Gu*ci, celana pendek merk Hu*h Pupp*es, dan sandal kulit brand Birkenst*ck Mil*no Birko-Flor Nubuck, dengan ransel favoritnya.
Pengerjaan proyek sudah sampai pada tahap struktur bangunan, Rain sedang memantau para pekerja dari bawah gedung bersama mandornya.
Rain berkeliling ditemani Maya dan Hendra. Di tengah bisingnya suara exavator dan dump truck yang lalu lalang keluar masuk proyek, Hendra mendengar samar-samar suara besi yang sedikit bergema. Ada perasaan tidak enak timbul.
"Awas Maya!"
Rain menoleh ke arah suara Hendra, melihat ada sesuatu yang akan terjatuh dari atas, lantas mendorong tubuh Maya hingga terjatuh bersamaan. Beberapa scaffolding menimpa kaki Rain.
"Pak Rain!" teriak Hendra.
"Saya baik-baik aja, cepat kamu bantu Maya!" seru Rain sambil memanggil orang proyek untuk merapikan scaffolding yang menimpanya.
"Maya, kamu baik-baik aja?" tanya Rain pada Maya yang masih shock. "Kepalamu terluka!" Rain melihat darah di kening dan luka gores di tangan dan kaki Maya.
"Hendra kamu bawa dia ke tempat yang aman, saya beli obat dulu!" titah Rain sambil berjalan cepat ke luar lokasi proyek. Saat keluar minimarket, ada yang mengelilingi kaki Rain.
"Kucing yang waktu itu," desisnya.
Rain merendahkan tubuhnya untuk mengelus kucing yang kelihatannya meminta makanan lagi. Rain mampir ke sebuah warung yang kemarin dia datangi, dan membeli nasi beserta lauknya.
Kemudian mengajak kucing itu ke pinggir pedestrian, supaya kucingnya aman selama makan.
"Om ini!" Suara seorang gadis yang memakai seragam SMA, mencolek bahu Rain dari belakang.
"Kamu lagi!" pekik Rain.
"Aku kasian sama Om, kerja bangunan disana, (sambil menunjuk lokasi proyek), tapi malah ngasih makanannya ke kucing, gaji bangunan 'kan nggak seberapa," paparnya.
Rain terkekeh, "Uangnya kamu tabung saja daripada membelikan saya makan!"
"Uang jajan saya masih banyak kok, Om tenang aja," katanya sambil mengelus kucing itu juga.
"Om suka kucing ya, atau memang suka binatang?" lanjutnya.
Rain tidak menjawab, dan berlalu pergi meninggalkannya.
"Ooom ...!" teriaknya.
Rain tidak menoleh. Tapi gadis itu menarik lengannya.
"Mau apa kamu!" pekik Rain dengan sinis sambil menatap lengan yang ditariknya dan menangkis kemudian.
"Tangannya!" tunjuk Sea ke lengan Rain yang mengeluarkan darah.
Sea lantas menarik tangan Rain dan mendudukkannya di pinggir pedestrian. Ia melihat kantong obat yang tadi dibeli Rain dan merebutnya. Sea membuka obatnya dan dengan seksama membersihkan darah dengan kapas, lalu memberi obat antiseptic lalu menutupnya dengan perban.
"Beres, Om!" Serunya sambil cengengesan melihat pria yang lebih dewasa darinya.
"Om kepalanya!" Sea menunjuk ke arah dahi si pria.
Rain menangkas tangan Sea yang akan menyentuh pelipisnya dan berdiri melangkah ke lokasi proyek tanpa menghiraukan si gadis aneh.
"Take care, Om," teriaknya pada Rain.
"Dra ini, (sambil memberikan kantong obat), tolong obati Maya!"
"Baik, Pak!"
"Pak Rain tangannya sudah diobati?" tanya Maya.
"Sudah!" ketusnya "Dra setelah ini, kamu antar Maya pulang dulu," perintahnya.
"Maya besok kamu selesaikan pekerjaan di kantor saja!" tegasnya.
"Tapi, Pak—"
"Kamu mau saya pecat? Saya sudah bilang berbahaya buat wanita ada di lapangan seperti ini, kamu kerjakan saja urusan di kantor," tegasnya sambil berjalan kembali mengamati proyek.
Maya hanya mengangguk dan merengut.
🌵🌵🌵
[Hari Kejadian, Starbreak Coffee].
"Pak Raja, kalau boleh saya tau apa yang membuat anda memilih saya sebagai rekanan proyek ini?"
"Saya suka visi misi anda, Pak Rain, terlebih lagi saat anda mengatakan tidak akan membatasi warga, disitu saya melihat ketulusan anda."
Rain tersipu, sambil menyeruput kopinya.
"Lantas bagaimana dengan Delta dan Graha Bumi, Pak?"
"Saya sudah memberi penjelasan pada mereka, visi dan misi mereka berbeda jauh dari, Pak Rain."
"Apakah mereka tidak akan memberi jalan bagi warga di kampung ini ?"
"Begitulah, Pak Rain, walaupun kelak lahan ini berpindah tangan, saya tidak ingin warga disini terganggu, apalagi sampai tidak ada jalan bagi mereka, saya tidak mau mereka tertindas oleh orang-orang beruang."
"Orang-orang beruang?" tanya Rain bingung.
"Orang berduit, Pak Rain," jelas Pak Raja, nama pendek Pak Raharja.
"Oh ber-uang maksudnya, Pak Raja, saya sampai berpikir jauh," terang Rain terkekeh. "Oh ya, ngomong-ngomong panggil saya Rain saja, Pak, saya bukan siapa-siapa kok."
"Ah kamu ini bisa aja, Rain, kalau Nak Rain yang begitu bukan siapa-siapa, terus saya yang begini apa dong, cuma kacang rebus?" guyon Pak Raharja membuat Rain terbahak.
Mereka tertawa sambil bersenda gurau, setelah meeting selesai.
"Baik kalau begitu, semua surat-suratnya sudah ditanda-tangani, dan dananya sedang di urus oleh asisten saya ya, Pak Raja."
"Iya terima kasih Rain, lain waktu mampir ke rumah saya ya."
"Pasti, Pak Raja, sampai bertemu lagi."
Sepeninggal kliennya, Rain menghabiskan waktu makan siang berdua dengan Maya yang duduk di dekat jendela cafe. Hendra memperhatikan mereka dari dalam mobil.
"Oh ya, Hendra ajak kesini, dia belum ma—"
"Hendra bilang tadi belikan saja untuknya, nanti dia makan di mobil," sela Maya memotong ucapan Rain.
"Tolong kamu pesankan."
Lima belas menit kemudian Maya kembali dengan makanan yang dibungkus untuk Hendra.
"Ayo May, segera kembali ke kantor!"
"Ada hal penting, Pak?" tanya Maya.
"Saya mau selesaikan urusan kantor lalu cepat-cepat pulang!"
🌷Bersambung🌷
Bersamaan dengan kehangatan mereka, Rain mendapat panggilan telepon. Ia meminta izin keluar kamar untuk menerima panggilan.“Sea, Papa mau bicara.”“Bicara apa, Pa?”“Papa dengar keluhan kamu ke suamimu tadi waktu di depan ruang operasi. Gak baik bicara begitu dengannya, Sea. Dia itu suami kamu.” Thomas menegurnya.“Keluhan apa, Pa?” tanya Angkasa penasaran.“Biar Sea yang jelaskan, Angkasa.”“Emmh ... itu ... habisnya dia mengganggu banget, Pa. Aku gak mau kehilangan Kakak karena Kakak udah berkorban nyawa untuk aku, makanya aku gak mau tinggalin Kakak sedikit pun.”“Kamu bilang begitu ke Rain, Vin?” tanya Angkasa.Sea menekuk wajahnya dan mengangguk pelan.“Ya, ampun, Vin. Kamu tahu? Dia udah buat rencana sebelum penculikan kamu, loh. Dia hubungi Kakak dan mengerahkan beberapa anak buahnya untuk melindungi kamu. Kamu lihat, kan, semua orang yang melawan Bintang di rumah itu?”Mata S
Sea menyaksikan Angkasa, sang kakak, tersungkur di lantai dengan tangan kiri memegang perut. Bau darah pun menguar ke seisi ruangan. Angkasa ... di sana terbaring tanpa daya lagi.“Kakaaaak!” Sea menjerit histeris.Sea bersama Rain menghampiri Angkasa. Ia lalu mendekap Angkasa yang sudah hilang kesadaran. “Kakaak, banguuun. Kak, jangan pergi! Vin gak punya siapa-siapa lagi, Kaaaak.”Rain mendekap mereka berdua. Ia tak tahan melihat pipi Sea yang banjir akan air mata. Karena itu, matanya juga ikut berkaca-kaca. Sekali-kali air matanya menetes, tetapi dengan cepat ia menghapusnya agar terlihat tetap tegar.Suara sirene mobil polisi terdengar sampai ke dalam. Banyak polisi dengan pakaian serba hitam dan lengkap membawa senjata, berlarian memasuki rumah itu. Mereka bersiaga di tiap-tiap sela pintu dengan senjata masing-masing untuk memantau keadaan. Rupanya, Bintang dan satu pelaku penculikan sudah tak sadarkan diri, sedangkan yang
“Kalau kamu gak bisa jadi milikku, orang lain juga harusnya gak bisa, Sea.” Ibu jarinya membelai lembut sepanjang bibir berperona merah milik Sea.” Aku udah banyak menghabiskan waktu untukmu, Sea. Tapi, kamu gak menghargainya sedikit pun—gak pernah sama sekali. Kenapa?”Melihat Sea yang belum sadarkan diri, lelaki itu berusaha mengambil kesempatan yang mungkin tak’kan bisa ia dapatkan lain kali.Ia memandangi gadis dengan lekukan bulu mata yang indah, bibir semerah buah ceri, hidung lancip, dan rahang yang tegas. Kemudian pandangannya menurun ke arah garis leher Sea yang tampak sangat menggoda baginya.Dua kancing baju Sea sudah terlepas dari lubangnya. Lelaki bermata hitam legam itu terang-terangan meliriknya sambil menelan liur dengan berat, terutama saat melihat bagian dada yang sedikit mencuat.Karena lengan Sea diikat di bilah besi, kemeja kotak-kotak yang dikenakannya pun ikut tertarik ke atas. Bukan hanya area dada, area seputaran perut
“Tapi—“Aku mohon kamu paham. Kamu tahu, kan, gimana mamanya Cyra pergi? Aku gak mau sampai kejadian serupa terjadi lagi. Aku gak bisa dua kali kehilangan orang yang sama-sama aku cintai, Sayang. Gak bisa.” Rain menerangkan dengan lemah lembut. Matanya tak lepas memandang wanita muda di hadapannya.***Keesokan harinya, Sea terlihat keluar dari kamar dengan sudah berdandan rapi.“Mau ke mana, Sayang? Kamu gak akan ke kampus, kan, hari ini?”“Enggak, hari ini libur. Aku mau pergi ke kostan Emil, ya?”“Sebaiknya, kamu di rumah aja, Sea. Kostan Emil, kan, dekat dengan kampus. Orang-orang di sana pasti kenal kamu.”“Aku udah siapin ini.” Sea memperlihatkan topi dan masker yang dikeluarkan dari tasnya. “Nanti aku langsung ke kostan-nya, kok. Gak mampir ke mana-mana. Aku lagi butuh teman ngobrol aja.”“Ya, udah. Aku antar kamu sampai kostan Emil. Kalau su—“Sayaaang ...? Aku baik-baik aja, oke? Aku
Sore hari, hawa dingin berembus kencang, menarik Sea dari alam mimpi dan membawanya ke dunia nyata. Desiran angin dengan riuhnya menyapu lembut dedaunan hijau, membuat setiap tangkai saling besinggungan.Angin mendorong keras jendela hingga membentur dinding. Suaranya mengguntur bagai petir sehingga membuat Sea tersadar.Matanya masih sayup-sayup terbuka, terkadang menutup, lalu terbuka lagi perlahan. Kemudian, ia mengernyit ketika semburat cahaya menyusup jendela. Tirai tipis yang menggantung, menari-nari indah karena alunan angin yang bersilir-silir.Begitu tersadar penuh, hal yang pertama dilihat adalah wajah rupawan serupa oppa-oppa Korea. Bibirnya langsung membentuk lengkung menarik senyum tipis ketika melihat pria itu di antara sinar senja yang menerobos jendela.Jemarinya meraba, mengelus sisi kanan wajah suaminya yang masih terlelap: mulai dari kening, alisnya yang tegas, dan pipi yang tirus sampai dagu. Satu menit, dua meni
“Ha—“Di mana kamu!” Suara di seberang telepon membuat Sea kaget. Ia memejamkan mata, mencoba melegakan hatinya. Berkali-kali dirinya menarik napas dalam-dalam sebelum mulai berbicara lagi.“Sea, di mana kamu?” tanyanya sekali lagi.“A-aku ... aku di taman ....” Belum selesai ia berbicara, sambungan telepon sudah terputus. 'Apa yang akan terjadi setelah ini? Apa aku akan diceraikan? Enggak, aku gak mau. Aku gak mau pergi setelah nyaman dengannya. Aku sudah menyayanginya. Aku sudah mencintai Rain dan Cyra.'Lima menit kemudian, seorang lelaki berlari ke arahnya dan tepat berhenti di hadapan Sea yang sedang menangis terisak sambil menutupi wajah. Kemudian, dua tangan berbalut kemeja katun menariknya ke dalam pelukan.Terkejut dengan orang yang memeluknya tiba-tiba, Sea langsung menjauhkan diri. Ia takut kalau tiba-tiba Bintang-lah yang ada di hadapannya.Ternyata setelah melihat seorang pria dengan rambut set
“Bintang ...? Kamu sedang apa?” Ia melihat Bintang tertunduk. “Bin. Ayo, bangun. Malu dilihat banyak orang.” Perlahan, langkahnya mendekati Bintang, memastikan apa yang sedang dilakukannya. Namun, Bintang masih diam di posisinya. Tak lama, terdengar suara isak tangis.“Sea, aku ....” Ia mendongak pelan.“Bintang, bangun dulu, ya.” Ia membujuk Bintang sambil memperhatikan pandangan semua orang.“Sea, aku itu sayang kamu. Terlalu sakit mendengar kenyataan kalau kamu udah jadi istri orang. Padahal, aku yang lebih lama kenal kamu daripada suamimu itu.” Bintang menepuk-nepuk dadanya. Matanya memerah dan menggenangkan cairan yang hampir terjatuh. “Aku cuma suka kamu, Se. Aku mau perjodohan kita berlanjut. Aku cuma sayang kamu.”Wanita dengan rambut panjang dikuncir setengah itu mengerutkan kening. Tak dapat dipungkiri jika ia merasa terharu dengan ungkapan yang dinyatakan Bintang. Ia memang mengenal Bintang jauh lebih lama daripada Rain. Itu karena
Dari dalam restoran, Rain memegang tangannya Sea. Namun, setelah sampai di luar restoran, pria berkaos polo shirt putih itu melepas genggamannya. Ia tetap berjalan di samping istrinya, tetapi eskpresinya tak seperti sebelumnya. Sikapnya menjadi dingin seperti waktu awal-awal mereka bertemu.Saat makan, Rain hanya fokus menghabiskan makanannya. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya sampai semua hidangan di meja habis dilahap yang lainnya.Menyadari hal itu, Sea merasa bingung. Ia khawatir melakukan kesalahan yang membuat suaminya marah sampai-sampai Rain mendiamkannya begitu.***Begitu sampai di rumah pun, Rain langsung keluar dari mobil dan masuk ke kamar, meninggalkan semua yang masih berada di mobil.Sea makin merasa canggung. Ia tak tahu apa alasannya. Setelah menuntun Cyra ke kamar, Sea segera m
Bintang-bintang bergelantungan dalam pekatnya langit bersama rembulan yang tersipu di balik awan. Suasana malam Minggu Kota Bandung begitu hingar bingar saat itu. Gelak tawa, suara pengamen, orang-orang berfoto, sampai tangis anak-anak saling bersahutan.Hampir seluruh rumah makan, kafe, pertokoan, dan pedestrian dipenuhi pengunjung. Angin berembus membelai rambut Sea yang baru saja turun dari mobil bersama suami, anak, dan asistennya. Mereka sampai di rumah makan tradisional yang menyajikan menu-menu khas adat Sunda.“Silakan.” Seorang pramusaji menyodorkan dua buah buku menu ketika keluarga Rain mengambil salah satu meja dengan empat kursi.“Terima kasih,” ujar Rain. “Kamu mau pesan apa?” Ia bertanya kepada Sea sambil menatap buku berisi banyak daftar menu.“Aku mau bebek goreng dan