Rain menyetujui izin Maya untuk menemani Cyra, hal itu supaya Cyra tidak terlalu memikirkan sosok seseorang yang kini sudah tiada.
"Baiklah, hanya sampai siang hari, banyak yang harus dikerjakan di kantor," tandas Rain.
Maya tersenyum, kemudian mengajak Cyra bermain lagi.
"Cyra ... mau tante bacain buku cerita?"
"Mau mau, yeeyy," ujar Cyra bahagia sambil menangkup Ruby.
"Oke tante bacain Putri Tidur dan Penyihir Jahat ya?"
Cyra mengangguk dan mendengarkan dengan seksama. Ia berbaring di ranjang kecilnya yang berwarna pink. Maya membacakan buku dongeng dengan intonasi yang tepat, membuat Cyra merasa masuk ke negeri dongeng.
Setelah selesai membacakan cerita, Maya menutup bukunya, dan melihat Cyra sudah tertidur lelap. Maya menutupi tubuhnya dengan selimut, mengusap pipi Cyra dan mencium pipinya.
Maya melihat jam yang melingkar di tangan kirinya, sudah hampir waktu jam makan siang. Ia bergegas keluar dari kamar Cyra, suasana rumah terlihat hening hanya ada Bi Ina di dapur.
"Bi Ina, saya bantu ya," Bi Ina terkejut dengan kehadiran Maya.
"Eee, gak usah neng Maya, neng tunggu aja disitu, nanti bajunya kotor," sahut Bi Ina sambil menunjuk meja makan.
"Gak apa-apa Bi, saya senang memasak juga, saya bantu bersihkan sayurnya ya Bi," ucap Maya tanpa diminta.
"Bi, makanan kesukaan Pak Rain apa?"
"Ooo, kalau Pak Rain suka semua yang dibuat Bu Hanna, Neng. Emm-- maksudnya almarhum Bu Hanna."
"Ooh-gitu ya bi," jawab Maya dengan menaikkan sudut bibir kanannya.
Bi Ina mengupas dan membuatkan bumbu, karena khawatir mengotori baju Maya. Lantas Maya yang selesai membersihkan sayur dan lauknya, ia lanjutkan dengan memasak.
Maya dan Bi Ina, selesai memasak untuk makan siang, dan sedang menyiapkannya di meja makan. Bersamaan dengan Rain yang keluar dari ruang kerja, sambil menguap lebar-lebar dan mengangkat tinggi-tinggi kedua tangannya.
"Pak, makan siangnya sudah siap," tutur Bi Ina.
Rain bukannya menjawab ucapan Bi Ina, malah melirik ke arah Maya, sambil menyipitkan kedua matanya, "Kamu belum kembali ke kantor Maya? Cyra mana?"
"Cyra tidur pak, tadi saya liat Bi Ina masak, jadi saya bantu-bantu sebentar."
Rain berjalan mendekati meja makan, Maya mencoba menarik kursi untuk Rain.
"Silahkan pak." Rain melirik dan bingung dengan sikap Maya.
"Terima kasih!" pungkasnya mencoba menghargai sikap Maya.
Saat Rain mengambil piring, Maya mencoba mengambilkan nasi dan menuangkannya ke piring Rain, ia hanya diam melirik kelakuan Maya. Lalu Maya mencoba mengambilkan lauknya untuk Rain.
"Aku bisa sendiri!" tangkasnya, karena merasa tidak nyaman.
"Ini semua masakan neng Maya pak," tukas Bi Ina tanpa digubris oleh Rain.
"Gimana pak, masakan saya? Enak gak? Atau ada yang kurang?" Cecer Maya mempertanyakan hasil masakannya.
"Hmm-lumayan, masih bisa ditelan," katanya dengan anggukan dan tanpa ekspresi.
"Kau makan saja, setelah itu kembali ke kantor, saya mau istirahat, " tampiknya pada Maya.
🌵🌵🌵
Pagi itu Rain masih terjaga di tempat tidurnya, udara dingin menyeruak ke dalam kamarnya. Saat semalaman memikirkan apa yang telah terjadi belakangan ini, sungguh di luar nalarnya.
Ia mendengar ada yang membuka pintu kamarnya, tubuhnya terlalu kaku untuk menoleh.
Ponsel Rain berdering, seseorang memanggilnya saat ia sedang menemani Cyra bermain di teras. Ia mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja televisi, dan menggeser bulatan hijau di layarnya.
"Selamat pagi Pak Rain, hasil autopsi sudah keluar, apa bisa ke datang Rumah Sakit ? Ada yang perlu saya informasikan."
"Ya pak, saya akan segera kesana, terima kasih informasinya."
Ia membawa Cyra yang sedang bermain di taman rumahnya. Lalu merendahkan diri ke posisi jongkok agar bisa menatap Cyra lurus, "Cyra, main sama Bi Ina dulu ya, papa mau kerja dulu?" Ucapnya sembari mengacak-acak rambutnya
"I don't have a friend, papa ...," Rlrajuk putri semata wayangnya. Ia merasa iba, dan menyesal tidak bisa menemani Cyra. Perasaannya ingin menangis, tapi ia harus selalu menunjukkan senyum dan kekuatan di hadapan Cyra.
"I'll be home soon, Cyra. Mau papa bawain sesuatu nanti?"
"Yes, yes." Matanya berbinar. "I want strawberry ice cream!" Serunya sambil melompat-lompat girang.
"Oke!" Terangnya pada Cyra.
"Bi Ina, saya minta tolong temani Cyra dulu ya, saya ada urusan," paparnya pada asisten rumah tangga yang sudah bekerja cukup lama dengan keluarganya Rain.
"Baik pak, jangan khawatir," jawab Bi Ina seraya memegang tangan Cyra.
"Ayo ... Cyra mandi dulu ya sama Bibi," tuturnya sambil mengendus baju yang menempel di tubuh mungilnya Cyra.
"Uum ... Cyra udah bau nih, bau apa yah?" Bi Ina menggodanya sambil sesekali menggelitiki Cyra. Dan tawa riang Cyra sudah terdengar lagi. Rain merasa lega bisa meninggalkannya sebentar.
Rain menuju kamarnya, berganti pakaian, dan bergegas ke mobilnya. Pagi itu jalanan sudah cukup lengang, terik matahari masih malu-malu untuk menampakkan diri. Sudah jam 9, tapi udara dingin masih menyelimutinya.
Untungnya Rain memakai jacket hitam tebal, keluaran brand Christian Dior. Dan sneakers keluaran brand yang sama.
Ia melajukan kendaraannya dengan kecepatan 60km/jam. Walaupun pikirannya gelisah, ia sudah merasa bisa menerima keadaan ini.
Mobil Range Rover Velar berwarna putih, memasuki halaman parkir Rumah Sakit. Seorang pria turun dengan rambutnya yang kali ini tampil tanpa pomade. Membuatnya terlihat seperti remaja sukses.
Banyak para pengunjung rumah sakit, maupun pasien yang mencuri-curi pandang padanya. Tanpa mempedulikan sekitar, ia segera naik lift menuju ke ruang autopsi, dan menemui ahli forensik yang tadi menghubunginya.
"Selamat siang Pak Rain," ujar Dokter Niko bangkit dari kursinya.
"Siang, bagaimana Dok?" ucapnya dengan suara khas seorang pemimpin.
"Begini, saya menemukan beberapa sobek di kepalanya, dan ada bekas jeratan tali di tangan dan kakinya."
Rain terbelalak, seraya menutup mulut dengan gumpalan tangannya dan menepuk-nepuk dengan telunjuknya, dan satu tangannya berkacak pinggang.
"Korban mengalami benturan kepala sebelum akhirnya terjatuh di lokasi, anda harus segera mengusut tuntas kasus ini Pak."
Rain terdiam berpikir sejenak. Dan yang terlintas di benaknya adalah-- Angkasa. Ia bergegas pamit dari ruang otopsi. "Dokter, saya permisi, ada yang harus saya temui. Terima kasih atas keterangan dan informasinya."
"Sama-sama, semoga segera tuntas kasusnya Pak," sahut Dokter Niko sambil berjabat tangan dan menepuk sebelah bahu Rain.
Rain mencoba menghubungi Angkasa, tapi tidak diangkat. Berkali-kali ia mengulangi panggilan sambil bergegas keluar rumah sakit
Dhug
"Aw." Rain menabrak seseorang.
"Maafkan saya," sahutnya, tanpa disadari sambungan telepon yang ia hubungi sudah dijawab.
🌷 Bersambung 🌷
Bersamaan dengan kehangatan mereka, Rain mendapat panggilan telepon. Ia meminta izin keluar kamar untuk menerima panggilan.“Sea, Papa mau bicara.”“Bicara apa, Pa?”“Papa dengar keluhan kamu ke suamimu tadi waktu di depan ruang operasi. Gak baik bicara begitu dengannya, Sea. Dia itu suami kamu.” Thomas menegurnya.“Keluhan apa, Pa?” tanya Angkasa penasaran.“Biar Sea yang jelaskan, Angkasa.”“Emmh ... itu ... habisnya dia mengganggu banget, Pa. Aku gak mau kehilangan Kakak karena Kakak udah berkorban nyawa untuk aku, makanya aku gak mau tinggalin Kakak sedikit pun.”“Kamu bilang begitu ke Rain, Vin?” tanya Angkasa.Sea menekuk wajahnya dan mengangguk pelan.“Ya, ampun, Vin. Kamu tahu? Dia udah buat rencana sebelum penculikan kamu, loh. Dia hubungi Kakak dan mengerahkan beberapa anak buahnya untuk melindungi kamu. Kamu lihat, kan, semua orang yang melawan Bintang di rumah itu?”Mata S
Sea menyaksikan Angkasa, sang kakak, tersungkur di lantai dengan tangan kiri memegang perut. Bau darah pun menguar ke seisi ruangan. Angkasa ... di sana terbaring tanpa daya lagi.“Kakaaaak!” Sea menjerit histeris.Sea bersama Rain menghampiri Angkasa. Ia lalu mendekap Angkasa yang sudah hilang kesadaran. “Kakaak, banguuun. Kak, jangan pergi! Vin gak punya siapa-siapa lagi, Kaaaak.”Rain mendekap mereka berdua. Ia tak tahan melihat pipi Sea yang banjir akan air mata. Karena itu, matanya juga ikut berkaca-kaca. Sekali-kali air matanya menetes, tetapi dengan cepat ia menghapusnya agar terlihat tetap tegar.Suara sirene mobil polisi terdengar sampai ke dalam. Banyak polisi dengan pakaian serba hitam dan lengkap membawa senjata, berlarian memasuki rumah itu. Mereka bersiaga di tiap-tiap sela pintu dengan senjata masing-masing untuk memantau keadaan. Rupanya, Bintang dan satu pelaku penculikan sudah tak sadarkan diri, sedangkan yang
“Kalau kamu gak bisa jadi milikku, orang lain juga harusnya gak bisa, Sea.” Ibu jarinya membelai lembut sepanjang bibir berperona merah milik Sea.” Aku udah banyak menghabiskan waktu untukmu, Sea. Tapi, kamu gak menghargainya sedikit pun—gak pernah sama sekali. Kenapa?”Melihat Sea yang belum sadarkan diri, lelaki itu berusaha mengambil kesempatan yang mungkin tak’kan bisa ia dapatkan lain kali.Ia memandangi gadis dengan lekukan bulu mata yang indah, bibir semerah buah ceri, hidung lancip, dan rahang yang tegas. Kemudian pandangannya menurun ke arah garis leher Sea yang tampak sangat menggoda baginya.Dua kancing baju Sea sudah terlepas dari lubangnya. Lelaki bermata hitam legam itu terang-terangan meliriknya sambil menelan liur dengan berat, terutama saat melihat bagian dada yang sedikit mencuat.Karena lengan Sea diikat di bilah besi, kemeja kotak-kotak yang dikenakannya pun ikut tertarik ke atas. Bukan hanya area dada, area seputaran perut
“Tapi—“Aku mohon kamu paham. Kamu tahu, kan, gimana mamanya Cyra pergi? Aku gak mau sampai kejadian serupa terjadi lagi. Aku gak bisa dua kali kehilangan orang yang sama-sama aku cintai, Sayang. Gak bisa.” Rain menerangkan dengan lemah lembut. Matanya tak lepas memandang wanita muda di hadapannya.***Keesokan harinya, Sea terlihat keluar dari kamar dengan sudah berdandan rapi.“Mau ke mana, Sayang? Kamu gak akan ke kampus, kan, hari ini?”“Enggak, hari ini libur. Aku mau pergi ke kostan Emil, ya?”“Sebaiknya, kamu di rumah aja, Sea. Kostan Emil, kan, dekat dengan kampus. Orang-orang di sana pasti kenal kamu.”“Aku udah siapin ini.” Sea memperlihatkan topi dan masker yang dikeluarkan dari tasnya. “Nanti aku langsung ke kostan-nya, kok. Gak mampir ke mana-mana. Aku lagi butuh teman ngobrol aja.”“Ya, udah. Aku antar kamu sampai kostan Emil. Kalau su—“Sayaaang ...? Aku baik-baik aja, oke? Aku
Sore hari, hawa dingin berembus kencang, menarik Sea dari alam mimpi dan membawanya ke dunia nyata. Desiran angin dengan riuhnya menyapu lembut dedaunan hijau, membuat setiap tangkai saling besinggungan.Angin mendorong keras jendela hingga membentur dinding. Suaranya mengguntur bagai petir sehingga membuat Sea tersadar.Matanya masih sayup-sayup terbuka, terkadang menutup, lalu terbuka lagi perlahan. Kemudian, ia mengernyit ketika semburat cahaya menyusup jendela. Tirai tipis yang menggantung, menari-nari indah karena alunan angin yang bersilir-silir.Begitu tersadar penuh, hal yang pertama dilihat adalah wajah rupawan serupa oppa-oppa Korea. Bibirnya langsung membentuk lengkung menarik senyum tipis ketika melihat pria itu di antara sinar senja yang menerobos jendela.Jemarinya meraba, mengelus sisi kanan wajah suaminya yang masih terlelap: mulai dari kening, alisnya yang tegas, dan pipi yang tirus sampai dagu. Satu menit, dua meni
“Ha—“Di mana kamu!” Suara di seberang telepon membuat Sea kaget. Ia memejamkan mata, mencoba melegakan hatinya. Berkali-kali dirinya menarik napas dalam-dalam sebelum mulai berbicara lagi.“Sea, di mana kamu?” tanyanya sekali lagi.“A-aku ... aku di taman ....” Belum selesai ia berbicara, sambungan telepon sudah terputus. 'Apa yang akan terjadi setelah ini? Apa aku akan diceraikan? Enggak, aku gak mau. Aku gak mau pergi setelah nyaman dengannya. Aku sudah menyayanginya. Aku sudah mencintai Rain dan Cyra.'Lima menit kemudian, seorang lelaki berlari ke arahnya dan tepat berhenti di hadapan Sea yang sedang menangis terisak sambil menutupi wajah. Kemudian, dua tangan berbalut kemeja katun menariknya ke dalam pelukan.Terkejut dengan orang yang memeluknya tiba-tiba, Sea langsung menjauhkan diri. Ia takut kalau tiba-tiba Bintang-lah yang ada di hadapannya.Ternyata setelah melihat seorang pria dengan rambut set