Sesuai janji, Resti mengantarku pulang sampai ke rumah. Membuat Mama tersenyum lega begitu sahabat baikku membuktikan ucapannya.
"Resti, nggak bohong, 'kan, Tan? Indah beneran Resti anter," ucap Resti sambil cengar-cengir ketika Mama tersenyum padanya, manakala aku hampir memasuki ruang tamu."Iya, makasih, ya, Res," balas mamaku terlihat ramah."Sip." Resti mengacungkan jempolnya sambil terus menampilkan senyum. "Ya udah, Tan, permisi dulu.""Iya, hati-hati, ya," ujar Mama sambil mengukir senyum.Resti pun pergi setelah berpamitan.Aku yang sedang berjalan menuju kamar, dibuat sedikit tak nyaman ketika mataku seperti dipaksa melihat betapa agresifnya Lira pada Galang di ruang keluarga. Tanpa tahu malu, adikku dengan sangat percaya diri, mengecup lembut bibir suaminya di depan mataku. Membuat langkahku tertahan secara refleks.Ya Allah kenapa hatiku mendadak perih lagi?Apakah masih pantas seorang yang telah ternoda dan kotor sepertiku menaruh rasa cemburu?"Nakal, ya." Galang yang sedang sibuk dengan ponselnya, terlihat sedikit kaget dengan sikap sang istri yang sedikit keterlaluan. Setidaknya menurutku."Wajar, dong, Mas, kan sama suami sendiri. Boleh, dong, gemes," balas adikku dengan suara manja, tetapi matanya menatapku dengan tatapan yang entah kenapa terlihat menjengkelkan."Iya, Sayang …." Galang yang sepertinya juga gemas dengan tingkah laku adikku, menarik hidung adikku sambil menatapnya penuh kemesraan.Ya Tuhan!Sungguh, mereka seperti bukan pasangan yang menikah karena terpaksa. Namun, lebih seperti pasangan pengantin baru yang tengah kasmaran setelah saling menyatakan cinta.Luar biasa!Kalau begini ceritanya, bolehkah aku beranggapan jika antara Galang dan Lira memang sudah memiliki hubungan spesial sebelum ini?Entahlah.Aku melanjutkan langkah saat rasa perih dan kecewa terus meraja dalam dada ketika melihat kemesraan mereka.Astaghfirullah ….Sekali lagi, tumbuhkanlah rasa ikhlas dalam hati untuk menerima takdir yang telah Engkau gariskan padaku, ya Rabb.Karena jika memang mereka saling mencintai, pantaskah aku kecewa dan patah hati?***Pukul 19.30 malam.Aku yang memang tak merasakan lapar, memilih untuk berdiam diri di kamar saat jam makan malam tiba. Panggilan dari Mama atau Bik Minah yang memintaku untuk keluar kamar dan makan malam, aku tolak halus dengan dalih sudah makan bersama Resti sebelum pulang sore tadi.Aku yang sedang menyibukkan diri dengan mengotak-atik ponsel, entah kenapa tergerak hati untuk melakukan pencarian terhadap sebuah akun.Darren Atma Wijaya."Bajingan!" Aku tak bisa menahan diri untuk tidak mengumpat dan mencaci maki ketika melihat sebuah postingan I*******m yang menandai dirinya.Sebuah pose mesra dengan pantai sebagai latar, membuat dadaku seperti terbakar matahari.Bukan sebab cemburu, tapi lebih kepada jijik pada seorang Darren yang menurutku munafik.Bagaimana bisa dia dengan mudahnya meniduri wanita lain jika sudah ada seorang wanita yang memantapkan hati untuknya?Ingin rasanya aku mengirimkan DM pada akun I*******m gadis yang menandai Darren dalam postingannya, tapi aku tahan, takut langkahku keliru dan membuat Resti murka.Bukankah sahabat baikku itu sudah menyusun rencana untuk mengungkap kebobrokan siapa yang membuatku gagal menikah?Tahan, Indah, tahan! Tahan jari, tahan hati.Aku dibuat menyesal saat hampir pukul 23.00, mataku tak juga kunjung terpejam.Ya ampun, kenapa rasa lapar ini harus datang malam-malam begini? Aku menggerutu kesal saat perutku tak bisa diajak kompromi ketika waktu sudah hampir larut dan bukan lagi jamnya orang makan.Meski malas, akhirnya aku turun ke dapur untuk mencari makanan sekedar untuk mengganjal perut.Karena enggan memakan nasi, aku pun membuka lemari makan dan lantas menyeduh mie instan hampir tengah malam ini.Aku yang tengah menikmati mie instan rasa kari ayam yang kucampur telur dan beberapa biji cabai rawit, dibuat tersentak ketika menyadari seseorang tiba-tiba muncul dalam keremangan, karena memang, aku tak menyalakan lampu."Kenapa harus memilih makan jam segini?" tanyanya pelan.Aku diam. Enggan menanggapi pertanyaan dari lelaki yang dulu sempat begitu aku kagumi. Namun, kekaguman itu luntur secara perlahan setelah dia lebih memilih percaya dengan apa yang dilihat, tanpa ingin tahu bagaimana hal itu bisa terjadi."Apa kau cemburu melihat kemesraanku dengan adikmu?" tanyanya lantas mendengkus kecil.Aku masih memilih diam. Sambil terus mencoba menikmati mie instan rasa kari ayam yang rasanya mendadak hambar semenjak kedatangannya."Benar kata orang, sampul memang kadang bisa menipu." Galang terus mencerocos meski aku bersikap pasif dan tak ingin menanggapi ucapannya sedari tadi."Ya, sepertinya begitu. Nyatanya, laki-laki yang awalnya aku anggap sempurna, nyatanya tak seperti itu. Jauh api dari panggang," ucapku lancar dan seperti tanpa beban.Meski dalam keremangan, bisa kupastikan jika gigi Galang bergemeletuk saat aku menyindirnya telak."Jadi, apa menurutmu laki-laki yang hanya senang menikmati tubuhmu tanpa ikatan sah itu lebih baik dariku, Indah?" tanyanya dengan nada geram yang amat kentara saat langkahnya semakin dekat. Padaku yang tengah menikmati mie instan di meja dapur.Aku terdiam kaku saat mie yang sudah hambar ini benar-benar tak lagi bisa kupaksa masuk untuk melewati tenggorokan sebelum sampai ke perut.Ya, jika sudah membahas tentang peristiwa naas hari itu, aku memang seperti kehilangan kata-kata untuk mendebat. Aku … kalah telak.Aku yang tak ingin memperpanjang urusan, memilih bangkit dari kursi dapur. Meninggalkan dia yang memang serendah itu memandangku."Sudah berapa kali kau melakukan itu dengannya?"Aku tersentak ketika menyadari Galang tiba-tiba menahan tanganku."Apa yang membuatmu begitu mudah memalingkan hatimu dariku dan berbuat sampai sejauh itu, Indah?"Menangis hatiku mendengar pertanyaannya.Aku tidak pernah memalingkan hatiku darimu, Galang. Sungguh."Kenapa kau tega mengkhianatiku dengan cara serendah itu, Indah? Kenapa?"Aku menggeleng pelan saat Galang memperolok diriku dengan pertanyaan yang sama dengan hari itu."Kau tahu, 'kan kalau aku tulus mencintaimu, tapi kenapa kamu tega?"Aku terdiam dengan hati pilu saat kedua tangan Galang menyentuh pundakku."Apakah karena dia tampan dan berharta sehingga kamu dengan mudahnya menyerahkan tubuhmu?"Aku memilih diam meski dalam hati menyangkal tegas tudingannya.Aku diam, bukan berarti membenarkan. Namun, lebih kepada menjaga hati banyak orang yang mungkin sudah terlelap di jam ini."Dengarkan aku, Indah."Langkahku tertahan saat aku yang semula berniat meninggalkan area dapur, mendengar suara Galang yang terdengar melunak."Sampai sekarang, aku masih mencintaimu," ucap Galang, memaksa jantungku berpacu dengan cepat ketika mendengar kata-katanya yang entah sedang membual atau tidak."Aku hanya sedang menunggu waktu yang tepat untuk—.""Untuk apa, Mas?"Suara Lira menggelegar ketika lampu dapur tiba-tiba menyala.Ya Allah, sejak kapan Lira mendengar obrolan antara aku dan suaminya?"Dan kamu tahu, Indah. Pas pertama kali kita ketemu hari itu, aku benar-benar dibuat takjub melihat penampilan barunya yang … ditemani seorang wanita berjilbab di sampingnya," ucap Aluna, membuat otakku kembali merekam kejadian hari itu. Saat rasa cemburu dan prasangka buruk terus mendominasi ketika untuk pertama kali kami bertemu."Apa lagi waktu dia memperkenalkan kamu sebagai istrinya, jujur, aku ikut seneng liatnya, Ndah. Aku bersyukur banget waktu tahu dia udah bisa berdamai sama masa lalunya," tambahnya terdengar tulus.Aku tersenyum getir mendengar bagaimana dia mengungkapkan isi hatinya."Tapi Mbak Aluna tahu, sebenarnya dia … menjebak dan membuatku menikah dengannya karena aku—." Aku menggantung ucapan saat rasa sesak tiba-tiba menerjang ulu hati.Aluna menyorot mataku tajam. Seperti menuntutku memberikan jawaban."Karena aku sedikit memiliki kemiripan wajah dengan Mbak Aluna." Meski terasa berat, akhirnya, kata-kata itu meluncur juga dari bibirku.Aluna menatapku dengan tata
Aku memang sengaja menyemprotkan parfum khas wanita beraroma manis tapi kalem, sesaat setelah mengenakan pakaian yang sering disebut dengan istilah 'baju haram' ini.Untuk beberapa saat, aku dibuat tak berdaya ketika dia yang sepertinya telah dibakar gairah, terus mencumbu dan menyentuh lembut setiap inci tubuhku."Cantik banget, Sayang," ucapnya sambil menatapku dengan pandangan sayu, sebelum kami kembali terlibat lagi pada sebuah adegan mesra. Saat bibir kami saling bertaut.Seperti yang sudah sering terjadi sebelum-sebelumnya, aku selalu saja tak punya cara untuk menghentikan aksi saat dia menjamah dan membuatku melayang dengan sentuhan-sentuhan yang begitu ampuh membuatku melayang.Untuk yang kesekian kalinya, selama pernikahan kami, aku dan Darren kembali merangkai malam dengan manisnya cinta yang saling tercurah di atas ranjang. Melakukan hubungan suami-istri secara halal sebagai upaya memuaskan batin dan mencari ketenangan."I love you, Mommy." Darren yang masih berbagi selimut
"Jadi … pernikahan Mas Arman otomatis batal?" tanyaku saat ikut merasa prihatin dengan apa yang dialami oleh laki-laki yang selama ini terkenal kocak dan humoris itu."Ya … kemungkinan besar, sih begitu, Ndah." Terdengar Resti menghembuskan napas dengan kasar setelahnya."Kasihan. Padahal dia cowok yang baik dan nggak neko-neko," ujarku lirih."Iya. Pokoknya, doain aja, ya, Ndah, biar dia dapat pengganti yang lebih baik setelah ini." Terdengar ada pengharapan besar dari bagaimana sahabat baikku berucap."Aamiin."Begitu mengakhiri percakapan dengan Resti, aku dibuat sedikit gugup saat menyadari jika ternyata ada dua pasang mata yang menyaksikan obrolanku dengan Resti yang berlangsung belum lama ini."Mama? Lira?"Terlihat Lira menatap sendu saat mungkin telinganya juga bisa mendengar kabar lelaki yang dicintainya batal menikah. Sementara di sisi lain, Mama yang berdiri di samping putrinya, hanya tersenyum sinis mendengar kabar tidak mengenakkan dari Arman. Anak dari lelaki yang menja
Aku yang tengah duduk diam di sofa kamar setelah makan malam usai, dibuat kaget saat Resti tiba-tiba mengirimkan pesan."Gimana? Kamu udah baikan dan maafin dia?"Aku tak langsung membalas.Resti mengirim pesan lagi."Kalau semudah itu memaafkan, ya … pasti bakal bikin dia ketagihan buat main di belakang kamu, dong."Membaca pesan kedua itu, hatiku mendadak terasa panas dengan kepala yang terasa mengepulkan asap.Akhirnya, aku yang tak ingin memendam rasa penasaran itu sendirian, menelepon sahabat baikku dan lantas menceritakan tentang semua kejadian yang berlangsung sore tadi. Tentang kedatangan Aluna bersama suami dan anaknya. Juga tentang bagaimana mereka meyakinkan aku jika Darren tak memiliki hubungan apa pun dengan wanita 25 tahun berwajah teduh itu."Terus sekarang, suamimu ke mana? Kok kamu bebas banget nelpon aku dan bisa secara detail memerinci kejadian sore tadi?" tanya Resti setelah aku mengakhiri cerita."Dia sedang ada meeting penting sama klien, katanya sih, begitu," b
"Maaf, urusan aku di kantor masih banyak tadi, jadi baru sempat datang sekarang." Kudengar pria itu berbicara sambil menatap ke arah suamiku.Darren tersenyum ramah menanggapi."Nggak masalah, Bro. By the way, makasih udah mau menyempatkan waktu datang ke sini."Pria berjambang tipis yang tak juga melepas pegangan tangan anak laki-laki Aluna, terlihat mengangguk pelan sambil tersenyum. Sementara Aluna yang berdiri di sampingnya, tampak menunjukkan sorot mata bahagia entah untuk alasan apa.Apakah dia bahagia karena bisa berjumpa lagi dengan suamiku? Mantan kekasihnya?Aku yang berdiri di sini—di samping suamiku, terdiam mematung menatap para tamu yang masih membuatku tak mengerti dengan maksud kedatangan mereka.Benarkah pria ini memang suami Aluna? Bukan orang suruhan suamiku yang diwajibkan mengaku sebagai suami mantan kekasihnya?"Oh iya, silakan masuk."Tamu-tamu itu mengangguk ramah dan lantas melangkahkan kaki memasuki ruang tamu."Oh iya, sampai lupa. Kenalin ini Indah, istriku
Begitu membuka pintu, terlihat sosok lelaki yang kuakui memiliki paras tampan dengan pakaian kasual yang melekat di badan, tersembul di sana.Dan seketika itu pula, terlihat suamiku memalingkan wajahnya sebentar dengan senyum yang terlihat memudar.Hei! Benarkah dia memang mengharapkan orang lain yang bertandang siang menjelang sore kali ini? Kenapa terlihat kecewa begitu?"Siang, Calon Kakak Ipar." Dengan gayanya yang entah kenapa terlihat menjengkelkan, Fabian menorehkan sebuah senyuman sebelum mengangguk sebentar. Menunjukkan sikap yang terkesan ramah pada suamiku, yang disebut sebagai calon iparnya."Siang." Jelas sekali suamiku membalas kaku sapaan itu. Mungkin hatinya masih berkecamuk saat menyadari jika tamu yang datang tak sesuai dengan apa yang diharapkan."Apa Lira ada di rumah?""Ya, ada. Silakan masuk." Nada bicaranya masih sama seperti sebelumnya. Kaku.Apa dia benar-benar berharap kalau memang Aluna yang datang? Jika iya, kenapa harus ke sini? Tempat ini?Mungkinkah suam