Share

Pasrah

“Rin, ini diminum dulu obatnya! Kata suamiku. Sambil menyodorkan obat penurun panas dan segelas air.

“Nanti saja Mas, aku masih mual.”

“Ayolah nanti malah tambah parah loh!”

Aku terima obat dan segelas air yang di berikan suamiku kepadaku. Aku merasakan tubuhku demam, pusing dan mual. Aku tidak bisa bangun karena pusing dan mual yang kurasakan suamiku begitu sabar dan telaten merawatku. Aku terbayang kejadian waktu tenggelam kemarin. Suamiku dengan sigap menolongku. Entahlah setelah peristiwa itu membuat diriku serasa nyaman berada di dekatnya.

“Aku keluar dulu ya, Rin?”

“Mau ke mana mas?” ini kan masih pagi.

“Aku mau membelikanmu bubur, untuk sarapanmu!”

“Enggak usahlah Mas, ibu nanti memasak!

Suamiku tindak mengindahkan perkataanku dia bergegas keluar. Sebenarnya tempat penjual bubur dari rumahku  tidak jauh, tapi aku tidak mau merepotkan suamiku.

“Suami Kamu, mau ke mana Rin,” tanya ibuku.

“Mau beli bubur, Bu,” jawabku.

“Suami Kamu itu sayang banget sama kamu lho Rin, perhatian, cobalah buka hatimu untuk menerimanya, kasihan dia, sudah lama menunggu dirimu siap.

“Arini, sedang berusaha, Bu! Aku sudah mulai merasa nyaman dengan berada di dekatnya.

“Syukurlah, Ibu hanya menasihatimu tidak memaksamu, semua itu Kamu yang menjalani, lakukanlah sesuai kata hatimu.

Tak seberapa lama datanglah suamiku dengan membawa kantong plastik yang berisi beberapa bungkusan bubur dan lauknya.

“Membeli bungkusan bubur sebanyak itu, untuk siapa?”  kalau enggak ke makan kan mubazir,” kata ibu.

“ini bubur aku belikan untuk Ibu, adik-adik dan Arini, ayo mari kita sarapan dengan bubur, Bu!” biar hangat.

Setelah mengambil satu bungkus bubur suamiku mengulurkan tangannya dan menyerahkan kantong plastik berisi bubur ke arah ibu.

“Arini kamu makan ya, Mas suapi?”

“Enggak usah Mas, aku makan sendiri saja,” jawabku.

“Ayolah Mas suapi, biar romantis kayak di sinetron-sinetron.  Suamiku langsung menyuapi aku tanpa menunggu persetujuanku. Mendapat perlakuannya yang begitu perhatian menambah rasa simpatiku padanya. Walaupun umurnya berada jauh di atasku tapi dia tahu bagaimana memperlakukanku.

Melihat kedekatanku dengan suamiku, ibu tersenyum lalu meninggalkanku berdua dengan suamiku di kamar. Setelah kepergian ibu, suamiku duduk disampingku menyandarkan punggungnya di sisi ranjang. Dia menceritakan kehidupannya dan perjuangannya sampai mencapai keberhasilan dalam hidupnya. Aku mendengarkan dan menyimaknya. 

Suamiku semakin menggeser tempat duduknya, lebih mendekat ke sampingku. 

"Rin, ucap suamiku sambil memelukku. Ku rasakan debaran jantungku semakin cepat berdetak. Akupun memejamkan mata dan berkata lirih.

"Aku pasrah mas, kau bebas melakukan apapun padaku, aku milikmu, mas.

Aku merasakan sesuatu yang belum pernah aku alami. 

"Terima kasih ya Rin, kata suamiku sambil mengecup keningku. Ku lihat suamiku yang bermandikan keringat berbaring di sampingku dengan mata terpejam.

Aku merasa malu pada diriku sendiri, yang awalnya menolak kini malah menerimanya dengan dengan pasrah. 

Setelah kejadian itu suamiku semakin sayang kepadaku, semua perhatian ia curahkan kepadaku. Hari-hariku dipenuhi kebahagiaan. Dia memanjakanku memenuhi segala keinginanku.

“Rin, hari ini aku akan melakukan perjalanan bisnis, kamu baik- baik di rumah ya, jaga kesehatan. Pesan suamiku.

"Kok mendadak, mas?" Tanyaku.

"Iya, soalnya aku dapat telepon dari rekan bisnisku yang bernama Hari, katanya barang datang di pelabuhan tidak bisa diambil kalau tidak aku sendiri yang menandatangani dokumen itu.

"Oh, ya udah kalau begitu, hati-hati di jalan ya,mas.

Setelah kepergian suamiku, aku merasakan kesepian, aku merindukan kehadirannya, padahal suamiku baru pergi saja.

“Ah, rasa apa ini. Membuatku benar-benar tidak seperti biasanya, entahlah. Hari-hari ku lalui dengan penantian. Kalau dulu aku tidak pernah mengharap kedatangannya, aku selalu berdoa agar dia suamiku tidak usah pulang saja tapi sekarang aku mengharap kehadirannya.

“Ada apa, Rin ibu lihat akhir-akhir ini kamu kok banyak melamun. Ibu sepertinya mulai melihat kegundahanku.

“Ah, tidak ada apa-apa, Bu! Aku menjawab pertanyaan ibu sekenanya saja padahal hatiku sangat merindukan suamiku. Apakah aku benar-benar mulai mencintai suamiku, apakah ini yang dikatakan cinta seperti remaja lainya. Aku mencoba mencari kesibukan dengan ikut membantu ibu membereskan rumah, berkebun dan mencari kesibukan lainya untuk menghilangkan rasa jenuhku.

Seminggu sudah suamiku belum pulang katanya belum selesai urusan bisnisnya, membuat rinduku semakin menggebu. Aku merasa malu sendiri jika mengingat masa lalu. Dulu aku menolak kehadiran suamiku tapi sekarang aku malah tidak bisa berlama-lama jauh darinya.

KRIIING

Suara dering telepon berbunyi, kulihat ternyata dari suamiku, aku senang sekali, aku langsung mengangkatnya.

“Hallo, assalamualaikum! Kapan pulang, mas?” sudah lupa rumah ya? Cepat pulang! Aku kangen,” ucapku pada suamiku, tanpa memberi dia kesempatan untuk bicara.

“Walaikumsallam, tumben ceria sekali, padahal biasanya enggak banyak omong. Kata suamiku heran mendengar sambutanku di telepon.

“Eh, iya mas, aku tidak sadar dengan apa yang aku lakukan, karena saking senangnya hatiku mendapat telepon dari suamiku, selama ini aku tidak telepon duluan karena aku merasa gengsi dan malu karena dulu aku menolaknya. Sekarang aku setelah merasa nyaman dan bisa menerima dia jadi berubah tingkahku.

“Kapan pulang, Mas?” tanyaku pada suamiku.

“Kenapa sudah kangen ya?” kangen sama apanya ayo? Canda suamiku.

“Ya kangen orangnyalah, Mas! Aku berbicara manja pada suamiku. “Mas pulang kapan?” serius nih, jangan bercanda terus.” Nanti kalau pulang aku masakan yang enak-enak deh! Rayuku pada suamiku, yang ku rindukan kepulangannya.

“Mungkin dua hari lagi aku pulang, mau dibawain oleh-oleh apa?” suamiku menawari  oleh-oleh untukku.

“Enggak usahlah mas, yang penting mas pulang dengan selamat,” jawabku.

“Ya sudah kalau begitu mas tutup dulu ya teleponnya.

“iya mas, hati-hati di sana!”

Hatiku senang sekali mendapat telepon dari suamiku. Ibuku terus memperhatikan tingkahku.

“Rin, akhir-akhir ini, ibu lihat kamu lebih berseri-seri, sudah tidak murung lagi.” Bila kamu merasa bahagia, ibu sebagai orang tua ikut merasa senang. Apa kamu sudah bisa menerima suami kamu,” tanya ibuku.

“Alhamdulillah, sudah Bu, aku sudah bisa menerimanya dan aku juga sudah mulai mencintainya Bu! Tadi suamiku juga baru telepon. Kami sudah tidak canggung lagi, aku bercerita kepada ibu tentang perasaanku kepada suamiku. Ibuku menyimak dengan seksama apa yang aku ceritakan. Sebagai seorang anak aku bertekat untuk membahagiakan ibu.

“Kalau kamu sudah bisa menerimanya, jadilah seorang istri yang baik, menjaga suamimu, dan mengarahkan suamimu jika melakukan hal-hal yang tidak baik. Ibu doakan semoga rumah tangga kamu langgeng menjadi keluarga yang berbahagia.

“Amin, Bu, aku juga  bertekat untuk menjadi istri yang setia menemaninya dalam suka dan duka sampai ajal, doakan aku ya bu, semoga di beri kesabaran dan keikhlasan dalam mendampingi suamiku yang berbeda usia.

"Doa ibu selalu menyertaimu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status