Share

Kehamilan

Author: Ayu Rahayu
last update Last Updated: 2021-09-26 14:38:20

Tiga bulan telah berlalu sejak aku bisa menerima pak Badrun secara sepenuhnya sebagai suamiku, aku sudah mulai terbiasa menerima kehadiran suamiku yang jarang pulang karena mengurusi bisnisnya yang sering pindah-pindah kota, hal itu dikarenakan suamiku sering mendapatkan tender proyek di berbagai kota.

Pagi-pagi seperti biasa ibuku sibuk di dapur mempersiapkan sarapan buat aku dan adik-adikku.

“Rin ayo sarapan dulu! Ibu sudah siapkan makanan di meja.”

“Iya, Bu, Lasmi dan Ratih mana? suda sarapan belum, tanyaku.

“Nanti kalau mereka lapar dan mencium bau masakan ibu juga akan menyusul sendiri,” jawab ibu sambil mengambilkan piring untuk diriku.

“Masak apa, Bu?”

“Ini masak sayur kesukaanmu, Rin, ibu lihat kamu kok pucat tidak seperti biasanya.

“Tidak tahu, rasanya tubuhku enggak enak, paling-paling masuk angin biasa.

Saat aku akan makan dan mencium bau masakan, aku merasakan tiba-tiba perutku mual.

“Huek ... hueek ... hueeek ...!”

Tiba-tiba saja perutku terasa mules dan mual, aku segera berlari ke kamar mandi untuk mengeluarkan rasa mualku. Ibu mengikutiku dan memijiti leherku.

“Kamu kenapa, Rin?” tanya ibuku.

“Enggak tahu, Bu, rasanya tubuhku lemes semua dan kepalaku pusing.”

Ibu menuntunku masuk ke kamar, sesampainya di kamar aku rebahkan tubuhku di kasur, sedangkan ibuku duduk di sampingku.

“Apa, jangan-jangan kamu hamil, Rin?” tanya ibuku.

“Tidak tahu, Bu!

“Kamu terakhir haid kapan?”

“kira-kira dua bulanan, Bu,” jawabku sambil mengingat-ingat jadwal haidku.

“ Bagaimana kalau nanti sore kita ke klinik, untuk memeriksakan kamu, siapa tahu kamu hamil, ibu yang akan mengantarkanmu.” Kalau benar kamu hamil, ibu senang sekali akan memiliki cucu. Aku hanya terdiam menganggukkan kepalaku.

Aku lihat ibu wajahnya berseri-seri, membayangkan akan menimang cucu pertamanya.

“Kamu makan dulu ya, Rin?” ibu ambilkan makanan, kalau kamu benar hamil kasihan anak dalam kandunganmu.

“Nanti saja, Bu, aku masih mual dan belum selera makan, nanti aku akan ambil sendiri saja.”

Sore harinya ibuku sudah bersiap dan menyuruhku untuk bersiap-siap. Aku pun bersiap dan mengeluarkan sepeda motorku dari garasi.

“Ayo, Bu, berangkat sekarang?” tanyaku pada ibu.

“Iya ayo!

Kami pun berangkat. Setelah perjalanan selama lima belas menit, sampailah kami ke klinik kandungan.

Kami berjalan memasuki klinik, di sana ku lihat sudah banyak antrean.

“Rin ambil nomor antrean dulu sana!”

Aku mengikuti perintah ibu, ini adalah pengalaman pertamaku datang ke klinik kandungan.

“Sebelah mana, Bu?” tanyaku

Ibuku menunjuk ke arah meja seorang perawat yang duduk di pojok sebelah kanan. Aku berjalan ke arah yang di tunjuk ibu dan mendaftarkan diri.

“Mbak, saya mau daftar, periksa pada dokter Hana,” kataku.

“Ya, atas nama siapa?” tanya perawat kepadaku. Sambil menulis.”

“Atas nama Arini. Kemudian perawat itu memberi nomor antrean.

“Ini nomor antreannya, silakan di tunggu, nanti tunggu panggilan.

Mendapat nomor antrean, aku berjalan menghampiri ibu mencari tempat duduk dan tunggu panggilan atas namaku.

“Nomor berapa, Rin?

“Ini nomor dua puluh, Bu, sambil aku tunjukan nomorku pada ibu.

Setelah menunggu beberapa lama akhirnya nomorku di panggil juga.

“Arini Wulandari!” panggil seorang perawat.

Aku berdiri berjalan masuk ke ruang pemeriksaan, ibuku mengikutiku dari belakang.

“Apa keluhannya, mbak?” tanya dokter.

“Kepala saya pusing dan mual,” jawabku.

“Silakan berbaring saya periksa! Sambil memeriksa dokter bertanya.

“Mbak terakhir menstruasi kapan?”

“Kayaknya terakhir menstruasi bulan kemarin.

“Coba di test pack dulu ya,” kata dokter.

“Ya bu dokter,” jawabku.

Setelah di test pack ternyata hasilnya aku positif hamil. Saat dinyatakan aku hamil ibuku merasa senang. Setelah menerima resep, ibu menebus obat, aku di suruh menunggu di tempat parkir.

Saat sampai di tempat parkir, tiba-tiba ada yang memanggilku.

“Arini! Arini!

Kemudian aku menengok ke arah suara itu.

“Wahyu!”

“Ke mana saja kamu, Rin? Enggak ada kabar sama sekali, aku telepon tidak nyambung dan tidak aktif,” kata wahyu.

“Iya pas kelulusan hpku di jual bapaku,” jawabku.

“Oh, gitu, kirain kamu menghindariku.”

“Enggaklah,”

“Kamu ngantar siapa kesini?” tanya Wahyu.

“Aku sendiri yang periksa, Yu! Jawabku.

“Periksa! Kamu memang sudah menikah?”

“Iya aku sudah menikah, Yu,” jawab ku,  sambil memperhatikan ekspresi wajah Wahyu yang tampak kecewa dan kaget ketika mendengar jawabanku kalau aku sudah menikah.

“Sudah menikah?” tanya wahyu berusaha meyakinkan jawabanku.

“Iya, maafkan aku, yu! Suatu ketika nanti akan aku ceritakan semuanya.

Aku dan Wahyu dulu merupakan teman sekelas, kami sama-sama saling memendam rasa, walau tidak saling mengungkapkan tapi kami bisa merasakan dari sikap kami masing-masing. Setelah kelulusan, kami tidak pernah komunikasi dan bertemu lagi.

“Ayo Rin, kita pulang,” ajak ibuku.

Tiba-tiba ibu sudah berdiri di belakangku.

“Ya sudah aku pulang dulu ya, Yu?

“i ... iya Rin! Wahyu memandang kepergianku dengan penuh rasa kecewa dan helaan nafas yang berat.

“Siapa dia Rin?” tanya ibuku.

“Teman sekolah dulu, Bu,” ayo kita pulang, lalu ku lajukan sepeda motorku.

Sesampainya di rumah aku langsung mengabari suamiku tentang kehamilanku.

“Hallo, mas sibuk tidak?” tanyaku pada suamiku lewat panggilan telepon.

“Ya, hallo! Ada apa Rin?” jawab suamiku.

“Mas, aku tadi habis periksa ke klinik, coba tebak!

“Apa?”

“Aku hamil mas,” kataku.

“Apa hamil!”

“Iya hamil, tadi aku periksa, awalnya aku tidak tahu, kepalaku rasanya pusing dan mual, aku lalu periksa ke klinik sama ibu dan hasilnya aku hamil, mas!”

Suamiku tampak terdiam mendengar ceritaku.

“Mas, mas!” kok diam saja?

“Iya, ya sudah jaga kesehatan aku sedang sibuk.

Aku merasa suamiku tidak begitu senang mendengar kabar kehamilanku tanggapannya datar saja.

“Ya sudahlah mungkin dia sibuk.” Pikirku.

Ibu menanyakan kepadaku kalau aku sudah memberi kabar suamiku tentang kehamilanku.

“Sudah kamu beritahu suamimu, tentang kabar kehamilanmu, Rin?” tanya ibuku.

“Sudah Bu,” jawabku.

“Rin, ibu senang sekali membayangkan akan menimang cucu pertama darimu.”

Aku tersenyum melihat kebahagiaan ibu.

Terlintas bayangan Wahyu di masa lalu, saat masih di bangku sekolah SMA, wahyu sangat perhatian padaku. Walaupun dia tidak mengutarakan hatinya, tapi sikapnya padaku penuh perhatian dan dia pernah mengatakan padaku, kelak kalau dia sukses akulah orang pertama yang akan dicarinya.

“Kenapa aku malah memikirkan Wahyu? aku kan sudah menjadi milik orang lain apalagi saat ini aku juga sudah mengandung.”

“Chie ... chie ... chiee, yang mau jadi ibu,” kata Lasmi yang menggodaku dan membuyarkan lamunanku.

“Apaan sih kamu, Las, lagian kamu juga akan jadi tante,”  kataku menanggapi candaan adikku Lasmi.

“Senang anak cewek atau cowok mbak?”

“Cowok-cewek sama saja yang penting sehat dan berbakti kepada orang tua.

“Lasmi, jangan kamu goda kakakmu, biar dia istirahat dulu.”

Terdengar suara ibu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dilema Arini   Mendapat kontrakan

    Lasmi dengan langkah cepat menuju kamar kakaknya. “Kak aku pergi dulu, ya! “Ya, hati-hati. Ingat jangan terlambat pulang nanti kalau mas Badrun melihatmu lagi pulang dengan seorang laki-laki!” Lasmi menganggukkan kepala dan bergegas keluar. “Maaf menunggu! “Enggak, ayo naik. Kita mau kemana sekarang? “Ke toko mesin jahit, Mas! “Iya, maksudku ke toko mana? “Aku tidak tahu daerah sini. Aku ikut saja sama mas Ridwan.” “Oke, kita berangkat sekarang! Pake helmnya dulu dan jangan lupa pegangan erat-erat.” Lasmi tersenyum mendengar kata-kata Ridwan, mereka saling berpandangan. “Sudah puas memandangku?” tanya Ridwan. Lasmi tertunduk tersipu malu mendengar kata-kata Ridwan. Ridwan melajukan motornya menyibak kemacetan kota. Tak berapa lama mereka tiba di sebuah toko peralatan menjahit yang sangat lengkap. Setelah memarkirkan motornya, Ridwan dan Lasmi berjalan masuk.

  • Dilema Arini   Rencana Arini

    Malamnya Lasmi tidak bisa memejamkan matanya, tubuhnya terus miring ke kanan dan miring ke kiri. Lasmi bingung harus bagaimana mengatakan yang sebenarnya pada kakaknya atau malah merahasiakan dengan apa yang dilihatnya kemarin siang. “Jika aku tidak mengatakan dan merahasiakan apa yang aku lihat tadi siang berarti aku mendukung perselingkuhan mas Badrun. “Sebaiknya besok aku katakan yang sebenarnya pada kakak” batin Lasmi. Keesokan harinya karena hari libur Lasmi tidak segera bangun masih bermalas-malasan di kamar. Arini membangunkan adiknya karena Lasmi tak kunjung keluar dari kamar. “Lasmi bangun sudah siang!” kata Arini melongok di pintu kamar. “Iya, Kak,” jawab Lasmi. Mendengar jawaban Lasmi sudah bangun Arini pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Sedangkan Lasmi turun dari tempat tidur, membersihkan muka dan berjalan ke dapur menyusul kakaknya di dapur untuk membantunya. “Kak ada yang mau aku bicarakan,” kata La

  • Dilema Arini   Kontrak pertama Lasmi

    Hari ini Lasmi merasa cemas dan berdebar-debar hatinya karena akan bertemu klien yang akan menawarinya kerjasama menandatangani perjanjian kontrak. Dia terus mondar-mandir menunggu kedatangan Ridwan. Sesekali pandangannya melihat ke arah depan rumah. “Duduk dulu Lasmi! Dari tadi kakak lihat kamu terus mondar-mandir apa enggak lelah.” Lasmi melihat ke arah kakaknya. “Aku takut nanti melakukan kesalahan, Kak. Arini tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar perkataan adiknya. “Kak, apa kakak ikut saja untuk mendampingiku tanda tangan nanti?” “Apa sih yang kamu takutkan? Bukankah Ridwan nanti mendampingimu? Bukankah dia yang lebih berpengalaman?” “Iya, tapi kalau ada kakak mungkin aku akan lebih tenang.” “Belajarlah untuk mandiri! Kakak tidak bisa selalu ada di sampingmu,” ucap Arini. Terdengar klakson kendaraan di depan rumah. Lasmi beranjak dari tempat duduknya dan melihat keluar. “Itu R

  • Dilema Arini   Kemarahan Badrun

    Badrun terus menghujani pertanyaan-pertanyaan pada Arini. “Siapa laki-laki yang mengantarkan Lasmi? Berarti seperti ini setiap hari kamu membiarkan laki-laki lain masuk ke rumah selagi aku tidak ada?” kata Badrun marah. “Ya ampun, Mas! Itu yang kamu maksud? Dia itu teman kursus Lasmi. Selama ini Lasmi belajar jahit di tempat kursus karena aku belum bisa membelikan mesin jahit,” jawab Arini. “Tapi bukan berarti kamu membolehkan laki-laki lain keluar masuk rumah ini,” kata Badrun. “Dia itu tidak masuk rumah hanya di halaman rumah saja mengantar dan menjemput Lasmi. Kalau Mas tidak menginginkan hal itu Mas bisa membelikan Lasmi mesin jahit.” “Apa membelikan mesin jahit? Kamu itu tahu diri kalau kamu minta-minta, sekarang proyekku kalah terus,” kata Badrun. “Bukan tidak tahu diri, tapi mas Badrun yang memulai kan tadi. Sudah dua bulan mas Badrun tidak memberiku uang bulanan aku juga diam tidak menuntut.” “Aku enggak mau tahu!

  • Dilema Arini   Akibat Lasmi terlambat pulang

    Di malam hari Arini tidak bisa tidur dia terus membolak-balikkan tubuhnya ingatannya tertuju pada perkataan adiknya Lasmi, Arini mengerti walaupun Lasmi berkata tidak memaksa untuk membeli mesin jahit. Tetapi sebenarnya dia tahu betul watak adiknya yang sebenarnya menginginkan mesin jahit sendiri. Arini memikirkan bagaimana cara mengabulkan keinginan Lasmi. Dia sebenarnya bisa membelikan dengan uang tabungannya, tapi mengingat suaminya yang akhir-akhir ini tidak tentu memberikan nafkah. Kalaupun suaminya memberi jumlahnya tidak seperti dulu waktu awal menikah. Membuatnya bimbang atau ragu untuk membelikan dengan uang ditabungannya. “Aku sebenarnya kawatir membiarkan Lasmi sering pulang terlambat apalagi dia bersama lelaki yang baru dikenalnya tiga Minggu,” batin Arini. Angan-angan Arini teringat dengan Wahyu. “Apa mungkin aku minta tolong Wahyu lagi ya? Sedangkan aku sekarang bukan siapa-siapanya dia lagi. Aku sekarang suda

  • Dilema Arini   Gambar desain Lasmi

    “Aku pulang, Kak! Lasmi berjalan masuk ke dalam rumah. “Kak-kak! Panggil Lasmi kembali karena kakaknya tidak menjawab. Lasmi melongok ke dalam kamar kakaknya. “Ssssst! Sebentar Arsy lagi tidur,” jawab Arini beranjak dari tempat tidur dan keluar kamar menghampiri Lasmi. “Ada apa sih, Lasmi?” Tanya Arini. “Enggak ada apa-apa! Tadi aku panggil-panggil kok kakak enggak menjawab. Aku kira tadi kakak enggak ada di rumah,” jawab Lasmi yang kemudian duduk di kursi. “Lasmi aku mau menanyakan sesuatu,” kata Arini yang mendekati adiknya dan duduk di sampingnya. Lasmi hanya diam dia memandang wajah kakaknya dan sudah tahu ke mana arah pertanyaan kakaknya. “Siapa teman kamu yang menjemput dan mengantarkanmu pulang tadi? Kamu kan belum ada sebulan di sini tapi kamu kok sudah punya teman cowok, siapa dia?” tanya Arini. “Itu, kak. Kakak ingat kan dengan orang yang ditempat kursusan waktu kita mendaftar yang namanya Ridwan,” kata

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status