Bab 2
Setelah peristiwa pelunasan dan penebusan sertifikat bapak menjadi pendiam dan sering marah-marah. Ibu juga menjadi pendiam dan sering menangis.Ditambah lagi suara-suara tetangga yang sangat menyakitkan dan tidak enak di dengar. Waktu ibu akan pergi belanja ke warung dia tanpa sengaja mendengar para tetangga membicarakannya.“Bu Ida itu kebangetannya tega sekali menjual anaknya,” kata bu Mita sibiang gosip.Sambil memilih-milih sayuran yang akan dimasaknya bersama tetangga lainya, mereka juga ikut nimbrung ngomongin Ibu.“Iya masak, anak ditukar untuk membayar hutang dan akan dinikahkan dengan pria yang sudah tua tega banget,” sahut mbak Ning.“kalau aku amit-amiiit jangan sampai,” mbok Yas nimbrung.“Orang tua kok kayak gitu, ngorbankan anaknya demi kesenangan sendiri tidak mikir kebelakangnya , tidak hati-hati dalam bertindak , gayanya aja sok kaya padahal banyak hutaaang,” kata bu Mita.“ha...ha...ha...haaa.Serempak mereka tertawa dan tidak disadari ibu berada dibelakang mereka. Mendengar kata-kata mereka ibu tidak jadi belanja memutar badan kembali pulang kerumah dengan berderai air mata.Aku merasa heran kenapa orang yang banyak hutang seperti sesuatu yang memalukan dan menjijikan mereka dijauhi dan dihindari oleh teman maupun saudara.Padahal ibu menanggung hutang bukan karena kesalahan bapak ataupun ibu tapi kelakuan paman yang tega menipu saudaranya.Setelah sampai dirumah ibu tidak langsung masuk dia menghapus airmatanya terlebih dahulu agar tidak Ketahuan bapak. Ibu takut kalau bapak tahu akan semakin membuat tertekan. Selesai menghapus airmatanya ibu masuk ke rumah dan berpapasan denganku diruang tamu saat aku menonton tv. Ibu mengatakan tidak jadi belanja karena merasa risih mendengar omongan tetangga.“Rin, nanti kamu yang belanja ya? Ibu tadi sudah kewarung tapi malah mendengar ibu-ibu yang membicarakan kita ibu jadi risih mendengarnya,” kata ibu.Aku memandangnya lalu menganggukan kepala serta menghiburnya.“Iya, Bu, biar aku saja nanti yang belanja. Ibu tidak usah memikirkan omongan mereka,” jawabku.Lalu ibu pergi kearah dapur meninggalkanku.Siangpun berlalu berganti malam , setelah menunaikan sholat magrib kami bersantai diruang tamu sambil menonton tv. Bapak masih didalam kamar belum keluar. Tiba-tiba tanpa permisi om Hadi adiknya bapak datang langsung marah-marah dan mencerca ibu dan diriku.“Mbak, apa benar kabar diluaran yang di omongkan para tetangga? bagaimana ceritanya? kok sampai seperti ini parah..parah...paraaaah! sekali ini mbak ,’ tanya om Hadi.Om Hadi langsung menanyai ibu tanpa basa-basi atau sungkan sama sekali, padahal biasanya om Hadi sangat hormat dan sopan pada ibu.“Aku dengar dari mereka,”katanya Arini keponakanku mau kalian nikahkan dengan pria yang sudah berumur dan kalian jual untuk membayar hutang benar itu? Kebangetan sekali kamu mbak!” bentak om Hadi.“Hutang, sebanyak itu juga untuk apaaa....?Mendengar ribut-ribut bapak langsung keluar dari kamar dan menyapa om Hadi serta menyuruhnya duduk dan menenangkannya.“Ada apa Hadi ? datang-datang kok langsung ribu-ribut? duduk dulu nanti aku ceritakan dan jelaskan perkaranya,” kata Bapak.Ibu dan aku diam saling pandang melihat tingkah om Hadi yang tidak seperti biasanya.“Tapi, Mas? semua tetangga heboh! aku merasa malu, Mas, mereka semua membicarakanmu dan mbak Ida serta menjelek-jelekan dengan kata-kata yang tidak enak di dengar,” jelas om Hadi.Aku yang mendengar hatiku langsung miris karena ini bukan inginku dan mempengaruhi masa depanku.“sudahlah, Om! jangan didengar mereka tidak tahu yang sebenarnya,” jawabku.“Lha, kamu itu lho Rin, mau-maunya disuruh nikah dengan orang yang pantas jadi bapakmu, mikiiir!“jangan nurut saja, kalau orang tua salah ya kamu jangan manut-manut saja,” cerca om Hadi.Bapak lalu berdiri memegang pundak om Hadi dan menyuruhnya duduk, Ibu terdiam menangis terisak-isak tidak berkata apa-apa.“Duduk dulu Hadi aku akan ceritakan dan jelaskan semuanya, tenanglah dulu setelah kamu tahu masalahnya kau tidak mungkin seperti ini,” jelas Bapak.Mendengar kata-kata bapak akhirnya om Hadi mau duduk dan menenangkan diri.Bapak lalu menceritakan semuanya dari awal sampai akhir.Mengetahui cerita yang sebenarnya kemudian om Hadi mulai mengerti kenapa aku mau menerima pinangan itu.Om Hadi merasa bersalah dan meminta maaf kepadaku karena tadi telah memarahiku.“Maafkan, om ya Rin! tadi khilaf.Sambil meyodorkan tangannya, om Hadi menatap ibu dengan pandangan yang minta penjelasan atas ulah saudaranya yaitu pamanku yang bernama Karjo.Om Hadi menyarankan agar bapak melaporkan paman ke kantor polisi atas penipuan yang dilakukannya.Namun bapak menolak atas dasar kasihan karena masih saudara dan sifatnya yang tidak tegaan serta welas asih.“Laporkan! saja saudaramu, Karjo, itu ke polisi atas kasus penipuan biar kapok!Bapak menjawabnya dengan tenang tanpa rasa dendam.“Tidak, aku tidak akan melaporkanya walaupun dia berbuat demikian aku rasa dia khilaf. Semoga dia menyadari kesalahannya.“Tapi Mas, dia sudah membut Arini dan kamu seperti ini, apalagi gunjinggan tetangga yang memojokanmu seolah-olah kamu yang melakukannya.“Aku ikhlas menerima semua ini Hadi, tolong mengertilah keadaanku jangan menambah semakin keruh.“Terserah, Mas! aku tidak mau tahu lagi urusanmu ,dinasehati malah nuduh orang memperkeruh keadaan.Om Hadi langsung berdiri keluar tanpa pamit, melihat itu bapak hanya mendesah dan memijit kepalanya. Dia tahu watak om Hadi memang keras. Kemudian memandangku sambil berkata.“Ini baru adikku, belum nenekmu gimana nanti bapak menjelaskannya?”kata Bapak.Sambil berdiri dan melirik ibu kemudian masuk ke kamarnya. Melihat bapak aku kasihan sama bapak mendapatkan masalah yang tidak dilakukanya dan aku ikut menjadi korbannya.Selang beberapa hari benar yang dikatakan bapak kalau neneku akan datang. Beliau menanyakan hal serupa karena om Hadi memberitahunya.Begitu datang nenek langsung memeluku, karena dia sangat menyayangiku setelah itu menyuruhku untuk memanggil bapak, setelah keluar kamar nenek menanyakan tentangku.“Kabar yang beredar apakah benar?” tanya nenek.Bapak menjawab dan menjelaskan dengan hati -hati karena ini masalahnya menyangkut ibu, bapak takut kalau nenek menjadi tidak suka pada ibu.“Benar Mak, aku sudah menerimanya dengan lapang dada, Semuanya sudah terjadi disesalipun juga tidak ada gunanya Emak nggak usah kawatir.Mendengar penjelasan bapak beliau tidak marah-marah seperti om Hadi lebih bijaksana mungkin faktor usia juga.“Baiklah, kalau itu menjadi keputusanmu! Semoga kedepannya mendapatkan kebaikan. Hanya pesanku jagalah kesehatanmu jangan sampai ini mempengaruhi kesehatanmu.Setelah mendapat penjelasan bapak, Nenek menghampiriku dan menasehatiku agar aku sabar dalam menerima cobaan ini dan menjadi anak yang berbakti kepada orang tua.“Sabar ya, Rin! Nenek tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa mendoakanmu semoga baktimu pada orang tua membawamu menuju kebahagiaan dan membanggakan kedua orang tuamu. Nenek yakin kau anak yang kuat.Bab 3Hari pernikahanku dengan pak Badrun akan ditentukan, hatiku semakin cemas dan khawatir mengingat akan diadakan berlangsungnya pernikahanku nanti. Untuk menenangkan hatiku aku berusaha untuk menghibur diri sendiri, dan berusaha mengingat kebaiakan-kebaikan pak Badrun. Sebenarnya pak Badrun itu tidak terlalu buruk, walaupun sudah berumur lumayan tampan, hidung mancung, berpostur tinggi, atletis dan hitam manis. Pak Badrun sering olah raga dan merawat diri, jadi walau sudah berumur tetap kelihatan lebih muda dari umurnya. Orangnya berpenampilan bersih dan rapi.Hari ini pak Badrun dan keluarganya akan datang untuk melamarku. Ibu sibuk di dapur menyiapkan masakan yang akan disajikan. Kini lengkap sudah hidangan di meja makan dan meja tamu. Tinggal menunggu kedatangan calon suamiku yaitu pak Badrun dan keluarganya.“tiin ... tiin ....”Pak Badrun membunyikan klakson mobil ketika sudah sampai depan rumahkuPak Badrun dan kel
Bab 4Aku tersadar dari pingsanku, lalu perlahan kubuka mataku dan sudah ada ibu di sampingku, ibu memijit-mijit kepalaku dan kakiku. Aku merintih kesakitan merasakan kepalaku yang terus berdenyut.“Aaargh ....”“Kamu kenapa, Rin?” tanya Ibu.“Tidak apa-apa, Bu!” mungkin hanya kelelahan saja,” jawabku.Ibu lalu berdiri melangkah keluar kamar, tidak lama kemudian ibu sudah kembali masuk ke kamar dengan membawa sepiring nasi beserta lauknya dan segelas teh manis hangat.“Ayo makan dulu!” Ibu perhatikan dari pagi tadi Kayaknya kamu belum makan, Rin,” perintah Ibu.Ibu menuju nakas mengambil obat.“Setelah makan, minumlah obat ini, pereda sakit kepala untuk meringankan sakitmu.”Ibu lalu menyodorkan sepiring nasi yang dibawanya dan obat sakit kepala. Aku mengganti posisiku yang semula tidur lalu bangun dan duduk menyandarkan punggungku di sud
Bab 5Enam bulan sudah usia perkawinanku dengan pak Badrun. Hatiku juga masih belum bisa menerima kehadirannya dan masih canggung jika berada di sampingnya, hari demi hari kulalui seperti biasa. Aku masih tinggal bersama keluargaku.Pak Badrun tidak setiap hari pulang, hanya satu sampai dua hari dia pulang ke rumah kemudian pergi lagi. Jika pulang aku melayaninya dengan baik sebagaimana istri pada umumnya. Menyiapkan baju, memasak dan menyiapkan keperluan-keperluan lainnya. Dia juga tidak banyak menuntut jadi aku tidak terlalu tertekan.Sejak pernikahan itu aku menjadi lebih pendiam dan banyak melamun.Melihat aku tidak bahagia membuat bapak semakin tertekan dan semakin memperburuk penyakitnya. keadaan ini membuat kesehatannya terganggu apalagi ditambah omongan-omongan tetangga yang terus memojokkan bapak, di suatu pagi.“aaargh ....!”“Hueek ... huueek ....!”Kulihat bapak muntah darah. Bapak kesakitan,
Menjadi anak perempuan sulung dengan dua adik, sungguh membuatku selalu memikirkan tentang kesuksesan, kemapanan dan kebahagiaan. Apalagi sejak bapak pergi untuk selamanya. Membuatku tidak henti-hentinya memikirkan masa depan. Terkadang hal itu membuatku menangis. Di malam hari ketika beranjak tidur, aku merasa tidak siap dan sangat takut, entah apa yang membuatku takut. Aku selalu tidak terima dengan pernikahanku, aku merasa pernikahanku dengan pak Badrun tidak adil bagiku.Hari ini akan diadakan selamatan untuk memperingati ke empat puluhhari kematian bapak, ibuku mengadakan acara tahlilan mengirim doa untuk almarhum bapak. Ibu sudah mulai menerima kepergian bapak. Kesedihannya berangsur-angsur hilang.Ibu mendatangkan tukang masak dan meminta bantuan para tetangga, ibu mengumpulkan para tetangga untuk membantu memasak. Dan menyiapkan hidangan untuk acara“Acaranya tahlil nanti jam berapa, Bu Ida?”Bu Yayah tukang
Suamiku pak Badrun menelepon mengabarkan, hari ini dia akan pulang. Dan di sini akan lama karena ada urusan bisnis di kota ini. lambat laun aku mulai menerima kehadiran suamiku. Suamiku selalu bersikap lembut dan penuh kesabaran kepadaku. Biasanya dia pulang sampai rumah pukul lima sore. Ibuku sibuk di dapur memasak untuk di hidangkan nanti kalau suamiku pulang.“Rin, ini masakan sudah siap, nanti kalau suami Kamu pulang, tinggal memanasi saja.”“Ya Bu! Jawabku.Ibu datang menghampiriku dan mengajaku berbicara.“Rin, apakah Kamu sudah bisa menerima, pak Badrun?Aku terdiam menanyakan pada hatiku, lalu mendesah.“Entahlah, Bu!“Cobalah untuk menerimanya, agar hatimu tidak terlalu tersiksa, pak Badrun itu juga baik serta bertanggung jawab.Aku memikirkan kata-kata ibu, yang ku rasa benar perkataannya. Suamiku pak Badrun selalu membahagiakanku, tidak menuntut dan memaksakan apa pun padaku.
“Rin, ini diminum dulu obatnya! Kata suamiku. Sambil menyodorkan obat penurun panas dan segelas air.“Nanti saja Mas, aku masih mual.”“Ayolah nanti malah tambah parah loh!”Aku terima obat dan segelas air yang di berikan suamiku kepadaku. Aku merasakan tubuhku demam, pusing dan mual. Aku tidak bisa bangun karena pusing dan mual yang kurasakan suamiku begitu sabar dan telaten merawatku. Aku terbayang kejadian waktu tenggelam kemarin. Suamiku dengan sigap menolongku. Entahlah setelah peristiwa itu membuat diriku serasa nyaman berada di dekatnya.“Aku keluar dulu ya, Rin?”“Mau ke mana mas?” ini kan masih pagi.“Aku mau membelikanmu bubur, untuk sarapanmu!”“Enggak usahlah Mas, ibu nanti memasak!Suamiku tindak mengindahkan perkataanku dia bergegas keluar. Sebenarnya tempat penjual bubur dari rumahku tidak jauh, tapi aku tidak mau merepotkan suamiku.
Tiga bulan telah berlalu sejak aku bisa menerima pak Badrun secara sepenuhnya sebagai suamiku, aku sudah mulai terbiasa menerima kehadiran suamiku yang jarang pulang karena mengurusi bisnisnya yang sering pindah-pindah kota, hal itu dikarenakan suamiku sering mendapatkan tender proyek di berbagai kota. Pagi-pagi seperti biasa ibuku sibuk di dapur mempersiapkan sarapan buat aku dan adik-adikku. “Rin ayo sarapan dulu! Ibu sudah siapkan makanan di meja.” “Iya, Bu, Lasmi dan Ratih mana? suda sarapan belum, tanyaku. “Nanti kalau mereka lapar dan mencium bau masakan ibu juga akan menyusul sendiri,” jawab ibu sambil mengambilkan piring untuk diriku. “Masak apa, Bu?” “Ini masak sayur kesukaanmu, Rin, ibu lihat kamu kok pucat tidak seperti biasanya. “Tidak tahu, rasanya tubuhku enggak enak, paling-paling masuk angin biasa. Saat aku akan makan dan mencium bau masakan, aku merasakan tiba-tiba perutku mual. “Huek ... hueek
Mendengar suara mesin mobil yang berhenti di depan halaman rumah, ibuku keluar untuk melihat siapa yang datang.“Oh, Nak Badrun,” kata ibu.“Iya Bu,” jawab suamiku sambil menenteng beberapa kantong plastik.“Rin, Rin, suamimu pulang,” teriak ibu dari depan rumah.Aku pun bergegas keluar menyambut kedatangan suamiku.“Kok mendadak mas pulangnya malam-malam, enggak kasih kabar dulu,” kataku sambil mencium punggung tangannya.“Iya aku mau memberi kejutan untukmu, setelah kamu memberi kabar kehamilanmu melalui telepon kemarin aku segera pulang dan sengaja tidak memberi tahumu,” jawab suamiku sambil menyodorkan beberapa kantong plastik yang berisi oleh-oleh. Aku menerimanya dan membawanya masuk.“Mas mandi dulu ya, aku siapkan makanan untukmu, Mas pasti lapar di perjalanan tadi.“Iya Rin, aku mandi, rasanya gerah dan lengket tubuhku, tolong ambilkan handuk dan s