Bab 1
Cahaya matahari perlahan redup menerangi bumi. Angin berembus menderu menghempas-hempaskan dahan-dahan di sekitarku. Deburan ombak terasa basah oleh uap air yang terbawa angin menerpa wajahku. Aku tersadar dari lamunanku. Sudah seharian aku duduk di tepi pantai merenung untuk mengambil keputusan yang menyangkut masa depanku. Ini adalah keputusan terberat yang akan aku ambil untuk masa depanku, keluargaku dan adik-adikku. Aku mendesah dalam hati. “Andai semua ini tidak pernah terjadi dan hanya mimpi. Aku menangis tergugu menangkupkan kedua tanganku, tubuhku bergetar menahan tangisan.“sanggupkah aku menghadapi semua ini,” rintihku.Terlintas kejadian semalam, bapaku terbaring lemah tak berdaya. Sakit livernya kambuh karena beban berat yang ditanggungnya.Aku mendengar bapak dan ibu berdebat ribut membahas masalah rumah yang digadaikan oleh pamanku yang akan disita oleh sang rentenir, yang sudah lewat jatuh tempo.“Bagaimana ini, Bu? masmu Karjo tidak datang-datang menepati janjinya yang mau membayar hutang dan menebus sertifikat rumah.“Aku juga tidak tahu, Pak? sudah aku cari ke mana-mana tidak ketemu,” jawab Ibuku.“Dia kok tega banget melakukan ini Bu, anak-anak kita nasibnya bagaimana kalau rumah sampai disita? ”kata Bapak.“Mau tinggal di mana kita? ”tanya Bapak.Ibu semakin tergugu dalam tangisnya.“Keadaanku juga seperti ini tidak bisa apa-apa, tega sekali mas Karjo itu pinjam-pinjam tidak tanggung jawab,” jerit bapak.Flas backEnam bulan yang lalu pamanku datang ke rumah menemui bapak dan ibu. Dia bercerita katanya dapat tender proyek dan butuh dana untuk melancarkan proyek itu, Dia mau pinjam uang ke bapak tapi tidak punya.“Dek Rafi, aku mau minta tolong pinjami uangmu, kalau ada lima ratus juta untuk kelancaran proyekku? Kata paman.“Aduh, mas, tidak punya kalau sebanyak itu,” jawab Bapakku.“Tolonglah, Dek, ini proyek yang bagus, kalau berhasil ini bisa melancarkan proyek-proyekku yang lain.“Tapi benar, mas, aku benar-benar tidak ada.Pamanku masih tidak menyerah dia malah punya ide untuk menggadaikan sertifikat bapak dan terus membujuk bapak dan ibu.“Kalau boleh, saya mau pinjam sertifikatmu dulu bagaimana?” kata paman.DegBapak kaget pandangannya menatap ibu seperti meminta penjelasan serta jawaban dari ibu namun malah terdiam.“Waduh, bagaimana nanti kalau sampai tidak kebayar? Kami mau tinggal di mana?” jawab Bapak.“Pasti aku bayar, dek! masak sama saudara sendiri tidak percaya dan hitung-hitung menolong saudaramu ini.“Tapi mas?“Sudahlah, aku pinjam juga tidak lama hanya waktu enam bulan.“Nanti kalau danaku cair tidak sampai enam bulan aku tebus sertifikat rumahmu.Bapak dan ibu minta waktu untuk berunding, setelah berpikir untuk niat menolong dan merasa tidak enak dengan saudara serta paman terus mendesak akhirnya bapak mengizinkan.“Begini mas, sertifikat boleh dipinjam tapi harus tepat waktu bagaimana?” tanya Bapak.Aku lihat paman tersenyum lega“Baik kuusahakan tepat waktu dan tidak mengecewakanmu.Paman menjelaskan kepada bapak kalau sertifikat akan digadaikan pada temanya.“Sertifikat ini akan aku gadaikan ke temanku, yang siap meminjamiku kapan saja,” jelas Paman.“Iya kamu harus tepati janji,” jawab Bapak.Bapak tidak tahu kalau sertifikat digadaikan paman kepada seorang rentenir yang berbunga tinggi.Tiba waktunya pamanku tidak bisa membayar malah pergi entah ke mana menghilang, bersembunyi dari bapak dan ibu yang panik dan kebingungan.Sang rentenir terus datang menagih ke rumah bapak terus meneror karena pinjaman atas nama bapak. Membuatnya semakin drop dan penyakitnya semakin parah.“Saya minta, secepatnya uangku dikembalikan, bersama bunganya karena ini sudah melebihi jatuh tempo.“Kalau tidak, Pak Rafi harus segera angkat kaki dari rumah ini!Bapak memohon kepada sang rentenir agar diberikan waktu lagi.“kasih kami waktu lagi! Aku sedang berusaha, selain itu yang pinjam bukan aku tapi saudaraku.“Saya tidak mau tahu! “jawab sang rentenir dengan kasar.Setelah kepergian sang rentenir, bapak kedatangan tamu teman bisnis dulu.Pak Badrun namanya dia teman bisnis bapak dari lain kota.Karena panik dan bingung bapak bercerita kepada pak Badrun tentang semua masalahnya, serta meminta bantuan kepadanya.Mendengar cerita bapak, pak Badrun terdiam seperti berpikir Tidak disangka-sangka pak Badrun malah menawarkan bantuan bisa menolong bapak tapi ada syaratnya yaitu aku harus mau menjadi istrinya.“Aku akan membayarkan hutang dan menebus sertifikat rumah asal anakmu, Arini mau menikah denganku!DegBapak kaget dengan permintaan yang diajukan oleh pak Badrun karena umurnya hampir sama dengan bapak .Mana pantas dengan Arini yang berumur dua puluh tahun.“Tapi Arini masih muda umurnya dua puluh tahun sedangkan kamu lebih pantas jadi ayahnya, ”jawab Bapak.“Itu syaratku, kalau mau aku akan langsung bereskan semua masalahmu kalau tidak aku tidak bisa membantu,” jelas Pak Badrun.“Baiklah, aku tanyakan dulu pada Arini.“karena sudah tidak ada yang di bahas, Aku mohon pamit dulu.Setelah kepergian pak Badrun, bapak duduk terdiam diruang tamu menghembuskan napas yang berat.“Huuu...fLalu memanggilku dan menjelaskan semuanya.Jauh di relung hatiku sumpah serapah aku tunjukan pada paman. Aku membencinya pamanku yang berbuat dan menikmati sekarang aku yang menanggung semuanya.Melihat kesehatan bapak yang semakin memburuk, Akhirnya aku memutuskan untuk menikah dengan pak Badrun.“Bagaimana Arini? mau kamu menerima tawaran yang di ajukan, Pak Badrun? ”tanya Bapak.Aku diam menahan tangisku agar bapak tidak semakin tertekan, untuk menjawabnya aku harus kuat.“Iya aku menerimanya,” jawabku.Aku sangat menyayangi bapak, ibu dan adik-adiku.Aku tidak boleh egois, akan aku korbankan jiwa dan ragaku untuk kebahagiaan bapak.Aku ikhlas mengambil keputusan ini tanpa paksaan, demi baktiku kepada kedua orang tua.Setelah mendengar jawabanku bapak mengabari pak Badrun kalau aku setuju.“Hallo pak Badrun,” ini Arini anakku menyetujuinya.“Alhamdulillah, besok aku akan ke sana, seperti janjiku aku akan menyelesaikan utang piutang dengan rentenir itu.Bapak lalu menelepon sang rentenir kalau besok disuruh datang untuk pelunasan.“Hallo besok datang aku akan membayar dan serahkan sertifikatku,” kata Bapak.“Baik aku akan datang,” jawabnya.Ternyata tidak mudah untuk lepas dari jerat sang rentenir, dia mengatakan kalau mau menebus harus membayar bunganya yang telah lewat jatuh tempo.Bapak semakin terperanjat karena jumlah hutang pamanku semakin membengkak.Dan seperti janjinya pak Badrun membayar hutang beserta bunganya dan meminta sertifikat rumah lalu diserahkan ke bapak.Bapak mengucapkan terima kasih kepada pak Badrun atas bantuannya yang telah menyelamatkannya dari jerat rentenir akibat ulah pamanku yang tidak tanggung jawab."Terima kasih, kalau tidak ada bantuanmu bagaimana nasib kami,” kata Bapak."Ini atas kehendak Tuhan, aku tidak punya daya apa pun tanpa kuasa Tuhan.Akhirnya pak Badrun mohon diri setelah urusannya selesai.Bab 2Setelah peristiwa pelunasan dan penebusan sertifikat bapak menjadi pendiam dan sering marah-marah. Ibu juga menjadi pendiam dan sering menangis.Ditambah lagi suara-suara tetangga yang sangat menyakitkan dan tidak enak di dengar. Waktu ibu akan pergi belanja ke warung dia tanpa sengaja mendengar para tetangga membicarakannya.“Bu Ida itu kebangetannya tega sekali menjual anaknya,” kata bu Mita sibiang gosip.Sambil memilih-milih sayuran yang akan dimasaknya bersama tetangga lainya, mereka juga ikut nimbrung ngomongin Ibu.“Iya masak, anak ditukar untuk membayar hutang dan akan dinikahkan dengan pria yang sudah tua tega banget,” sahut mbak Ning.“kalau aku amit-amiiit jangan sampai,” mbok Yas nimbrung.“Orang tua kok kayak gitu, ngorbankan anaknya demi kesenangan sendiri tidak mikir kebelakangnya , tidak hati-hati dalam bertindak , gayanya aja sok kaya padahal banyak hutaaang,” kata bu Mita.
Bab 3Hari pernikahanku dengan pak Badrun akan ditentukan, hatiku semakin cemas dan khawatir mengingat akan diadakan berlangsungnya pernikahanku nanti. Untuk menenangkan hatiku aku berusaha untuk menghibur diri sendiri, dan berusaha mengingat kebaiakan-kebaikan pak Badrun. Sebenarnya pak Badrun itu tidak terlalu buruk, walaupun sudah berumur lumayan tampan, hidung mancung, berpostur tinggi, atletis dan hitam manis. Pak Badrun sering olah raga dan merawat diri, jadi walau sudah berumur tetap kelihatan lebih muda dari umurnya. Orangnya berpenampilan bersih dan rapi.Hari ini pak Badrun dan keluarganya akan datang untuk melamarku. Ibu sibuk di dapur menyiapkan masakan yang akan disajikan. Kini lengkap sudah hidangan di meja makan dan meja tamu. Tinggal menunggu kedatangan calon suamiku yaitu pak Badrun dan keluarganya.“tiin ... tiin ....”Pak Badrun membunyikan klakson mobil ketika sudah sampai depan rumahkuPak Badrun dan kel
Bab 4Aku tersadar dari pingsanku, lalu perlahan kubuka mataku dan sudah ada ibu di sampingku, ibu memijit-mijit kepalaku dan kakiku. Aku merintih kesakitan merasakan kepalaku yang terus berdenyut.“Aaargh ....”“Kamu kenapa, Rin?” tanya Ibu.“Tidak apa-apa, Bu!” mungkin hanya kelelahan saja,” jawabku.Ibu lalu berdiri melangkah keluar kamar, tidak lama kemudian ibu sudah kembali masuk ke kamar dengan membawa sepiring nasi beserta lauknya dan segelas teh manis hangat.“Ayo makan dulu!” Ibu perhatikan dari pagi tadi Kayaknya kamu belum makan, Rin,” perintah Ibu.Ibu menuju nakas mengambil obat.“Setelah makan, minumlah obat ini, pereda sakit kepala untuk meringankan sakitmu.”Ibu lalu menyodorkan sepiring nasi yang dibawanya dan obat sakit kepala. Aku mengganti posisiku yang semula tidur lalu bangun dan duduk menyandarkan punggungku di sud
Bab 5Enam bulan sudah usia perkawinanku dengan pak Badrun. Hatiku juga masih belum bisa menerima kehadirannya dan masih canggung jika berada di sampingnya, hari demi hari kulalui seperti biasa. Aku masih tinggal bersama keluargaku.Pak Badrun tidak setiap hari pulang, hanya satu sampai dua hari dia pulang ke rumah kemudian pergi lagi. Jika pulang aku melayaninya dengan baik sebagaimana istri pada umumnya. Menyiapkan baju, memasak dan menyiapkan keperluan-keperluan lainnya. Dia juga tidak banyak menuntut jadi aku tidak terlalu tertekan.Sejak pernikahan itu aku menjadi lebih pendiam dan banyak melamun.Melihat aku tidak bahagia membuat bapak semakin tertekan dan semakin memperburuk penyakitnya. keadaan ini membuat kesehatannya terganggu apalagi ditambah omongan-omongan tetangga yang terus memojokkan bapak, di suatu pagi.“aaargh ....!”“Hueek ... huueek ....!”Kulihat bapak muntah darah. Bapak kesakitan,
Menjadi anak perempuan sulung dengan dua adik, sungguh membuatku selalu memikirkan tentang kesuksesan, kemapanan dan kebahagiaan. Apalagi sejak bapak pergi untuk selamanya. Membuatku tidak henti-hentinya memikirkan masa depan. Terkadang hal itu membuatku menangis. Di malam hari ketika beranjak tidur, aku merasa tidak siap dan sangat takut, entah apa yang membuatku takut. Aku selalu tidak terima dengan pernikahanku, aku merasa pernikahanku dengan pak Badrun tidak adil bagiku.Hari ini akan diadakan selamatan untuk memperingati ke empat puluhhari kematian bapak, ibuku mengadakan acara tahlilan mengirim doa untuk almarhum bapak. Ibu sudah mulai menerima kepergian bapak. Kesedihannya berangsur-angsur hilang.Ibu mendatangkan tukang masak dan meminta bantuan para tetangga, ibu mengumpulkan para tetangga untuk membantu memasak. Dan menyiapkan hidangan untuk acara“Acaranya tahlil nanti jam berapa, Bu Ida?”Bu Yayah tukang
Suamiku pak Badrun menelepon mengabarkan, hari ini dia akan pulang. Dan di sini akan lama karena ada urusan bisnis di kota ini. lambat laun aku mulai menerima kehadiran suamiku. Suamiku selalu bersikap lembut dan penuh kesabaran kepadaku. Biasanya dia pulang sampai rumah pukul lima sore. Ibuku sibuk di dapur memasak untuk di hidangkan nanti kalau suamiku pulang.“Rin, ini masakan sudah siap, nanti kalau suami Kamu pulang, tinggal memanasi saja.”“Ya Bu! Jawabku.Ibu datang menghampiriku dan mengajaku berbicara.“Rin, apakah Kamu sudah bisa menerima, pak Badrun?Aku terdiam menanyakan pada hatiku, lalu mendesah.“Entahlah, Bu!“Cobalah untuk menerimanya, agar hatimu tidak terlalu tersiksa, pak Badrun itu juga baik serta bertanggung jawab.Aku memikirkan kata-kata ibu, yang ku rasa benar perkataannya. Suamiku pak Badrun selalu membahagiakanku, tidak menuntut dan memaksakan apa pun padaku.
“Rin, ini diminum dulu obatnya! Kata suamiku. Sambil menyodorkan obat penurun panas dan segelas air.“Nanti saja Mas, aku masih mual.”“Ayolah nanti malah tambah parah loh!”Aku terima obat dan segelas air yang di berikan suamiku kepadaku. Aku merasakan tubuhku demam, pusing dan mual. Aku tidak bisa bangun karena pusing dan mual yang kurasakan suamiku begitu sabar dan telaten merawatku. Aku terbayang kejadian waktu tenggelam kemarin. Suamiku dengan sigap menolongku. Entahlah setelah peristiwa itu membuat diriku serasa nyaman berada di dekatnya.“Aku keluar dulu ya, Rin?”“Mau ke mana mas?” ini kan masih pagi.“Aku mau membelikanmu bubur, untuk sarapanmu!”“Enggak usahlah Mas, ibu nanti memasak!Suamiku tindak mengindahkan perkataanku dia bergegas keluar. Sebenarnya tempat penjual bubur dari rumahku tidak jauh, tapi aku tidak mau merepotkan suamiku.
Tiga bulan telah berlalu sejak aku bisa menerima pak Badrun secara sepenuhnya sebagai suamiku, aku sudah mulai terbiasa menerima kehadiran suamiku yang jarang pulang karena mengurusi bisnisnya yang sering pindah-pindah kota, hal itu dikarenakan suamiku sering mendapatkan tender proyek di berbagai kota. Pagi-pagi seperti biasa ibuku sibuk di dapur mempersiapkan sarapan buat aku dan adik-adikku. “Rin ayo sarapan dulu! Ibu sudah siapkan makanan di meja.” “Iya, Bu, Lasmi dan Ratih mana? suda sarapan belum, tanyaku. “Nanti kalau mereka lapar dan mencium bau masakan ibu juga akan menyusul sendiri,” jawab ibu sambil mengambilkan piring untuk diriku. “Masak apa, Bu?” “Ini masak sayur kesukaanmu, Rin, ibu lihat kamu kok pucat tidak seperti biasanya. “Tidak tahu, rasanya tubuhku enggak enak, paling-paling masuk angin biasa. Saat aku akan makan dan mencium bau masakan, aku merasakan tiba-tiba perutku mual. “Huek ... hueek