Tak pernah kuduga sedikit pun apa yang Umi Fatimah ucapan barusan? Bercanda kah ia? Tapi beliau bukan tipe orang yang suka bercanda apalagi sedang membahas masalah serius seperti ini."Ma-maksud Umi, apa?" Dengan mimik yang masih keheranan aku bertanya."Umi berniat menjodohkan Naya sama anak Umi. Itu juga kalau Naya bersedia.""Maaf Umi. Naya merasa tidak pantas untuk menjadi pendamping Ustad Hafiz. Naya bukan wanita solehah. Naya juga cuma seorang janda yang sudah mempunyai anak. Tidak mungkin Ustad Hafiz mau sama Naya. Banyak wanita yang lebih baik di luar sana." Aku menunduk. Menyembunyikan genangan air mata yang mulai memenuhi kelopaknya."Sayang, apa yang salah dengan janda. Bukankah Nabi Muhammad saw juga dulu menikahi seorang janda? Gadis ataupun janda bukan tolak ukur seorang wanita baik atau tidak. Umi terlanjur sayang sama Naya juga Fea. Umi pasti seneng banget kalau Naya bisa menjadi menantu Umi.""Tapi Umi. Ustad Hafiz ...."Umi Fatimah tersenyum kepadaku, kemudian mengge
Aku sempat begitu terkejut saat bangun melihat ada seorang lelaki di sampingku. Namun, aku buru-buru tersadar kalau sekarang aku sudah menjadi seorang istri kembali. Kutatap lelaki yang masih tidur pulas itu. Wajahnya begitu tampan dan teduh. Hanya saja, kecanggungan di antara kami belum benar-benar mencair. Semalam saja, tidur kami terhalang oleh bantal guling yang menjadi penyekat di antara kami.Aku beringsut turun dari ranjang, kemudian berjalan menuju kamar mandi. Mengambil air wudhu. Ketika aku membuka pintu kamar mandi, ternyata suamiku sudah terbangun."Sudah wudhu?" tanyanya sambil tersenyum.Aku mengangguk sambil membalas senyumannya."Kita solat berjamaah subuh. Aku wudhu dulu." Ustad Hafiz pun masuk ke kamar mandi.Setelah melakukan solat subuh berjamaah, Ustad Hafiz mengajakku untuk membaca Al-Quran sejenak sambil menunggu pagi datang. Lantunan ayat-ayat suci yang dibacanya terdengar begitu merdu di telinga. Membuat hatiku merasa begitu tenang dan damai."Mau pulang sekar
"Siapa wanita itu, Mas?""Katakan!" teriakku.Aku membanting bubur yang tadi dibeli dari penjual bubur yang sedang mangkal di depan rumah. Seketika bubur yang terbungkus plastik itu berceceran di lantai. "Sabar, Nay, sabar! Ayo, duduk dulu. Kamu pasti cape kan habis perjalanan jauh." Mas Fahri—suamiku, mencoba memegang bahuku. Tapi segera kutepis tangannya.Sementara wanita itu, yang entah siapa dan dari mana datangnya, entah sejak kapan pula dia ada di rumah ini, berdiri mematung di dalam ruang TV rumah kami. Wajahnya tertunduk, memainkan jari jemarinya yang saling bertautan. Rambut sepinggang yang masih basah itu, tergerai menutupi sebagian wajahnya."Tidak, aku butuh jawaban sekarang juga. Siapa wanita itu? Kenapa dia ada di rumah kita, Mas?"Aku berteriak histeris. Tubuhku bergetar hebat. Suaraku nyaring melengking menggema di seluruh ruangan. Bahkan mungkin, akan terdengar sampai rumah tetangga. Apa peduliku. Hatiku perih bak disayat sembilu. Sungguh tak kuasa melihat pemandang
"Apa?! Istri pertama?"Aku menatap tajam iris coklat Mas Fahri. Berharap apa yang tadi kudengar hanya candaan atau prank semata. Bukankah beberapa hari lagi adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang pertama? Mungkin Mas Fahri ingin memberi kejutan untukku dengan berpura-pura seperti ini."Kamu bercanda kan, Mas? Apa kamu sengaja ingin memberi kejutan untuk ulang tahun pernikahan kita?" Aku memegang lengan suamiku.Mas Fahri menggeleng pelan."Tidak, Nay. Aku tidak bercanda. Dia memang istriku. Kami sudah menikah selama empat tahun."Aku repleks menutup mulut yang membulat. Pengakuan Mas Fahri membuat jantungku serasa berhenti berdetak seketika. Hatiku bak dipukul palu godam dengan amat keras. Sakit luar biasa. Tak pernah sekalipun aku menyangka, kalau aku akan menjadi istri kedua. Aku tak pernah menginginkannya, bahkan dalam mimpi sekalipun.Air mataku mengalir semakin deras. Bahuku berguncang hebat menandakan luka yang kurasakan teramat dahsyat."Maafkan aku, Nay. Aku tidak bermak
"Maaf, Mbak. Aku cuma mau mengantarkan ini." Nisa meletakkan sebuah piring berisi nasi dan semangkuk sayur sop yang masih mengepul. Aku memalingkan wajah ke segala arah pura-pura tidak memperhatikannya. Wangi kaldu ayam dari sayur sop menguar menusuk indra penciumanku. Begitu menggoda perutku yang meronta-ronta minta diisi. Namun sayangnya, rasa sakit hati lebih mendominasi daripada rasa lapar yang kurasakan."Aku permisi," ucap Nisa. Sudut matanya melirik Mas Fahri yang masih duduk di sampingku.Mas Fahri terlihat mengangguk sambil tersenyum. Sangat manis. Ah, hatiku kembali berdenyut ngilu melihat lelaki yang begitu kucinta itu tersenyum begitu manis kepada wanita lain. Meskipun sekarang aku tahu, wanita itu juga istri dari suamiku. Nisa berjalan pelan keluar kamar. Kemudian dia menutup kembali pintu kamarku.Sebagai seorang wanita, aku bisa melihat, kalau Nisa adalah wanita yang baik. Tubuhnya bahkan terbungkus gamis yang sama sekali tidak memperlihatkan lekuk tubuhnya. Rambutny
"Itu karena ...."Mas Fahri terlihat membuang napas pelan."Karena Nisa tidak bisa memberikan keturunan. Saat belia, Nisa mengalami kecelakaan yang menyebabkan rahimnya harus diangkat."DegHatiku berdenyut lebih kencang dari sebelumnya. Rasa kecewa langsung merajai hati."Jadi, Mas menikahiku hanya karena ingin mempunyai anak? Mas mau menjadikanku istri pencetak anak?"Emosi yang sempat mereda, kini kembali membuncah. Tak menyangka jika tujuan Mas Fahri menikahiku hanya karena ingin mendapatkan keturunan."Tidak, tidak seperti itu, Nay. Jangan salah paham. Aku menikahimu karena memang benar-benar mencintaimu.""Bagaimana kalau ternyata, aku juga tidak bisa memberikanmu keturunan? Bukankah kita juga sudah setahun menikah? Tapi belum ada sama sekali tanda-tanda kehamilan. Apa kamu juga akan menikah lagi?" Mas Fahri terlihat gelagapan."Ti-tidak. Tentu saja tidak, Sayang."Entahlah, apa yang dikatakannya benar atau tidak. Aku sudah tidak bisa mempercayainya. Aku terlanjur kecewa padany
Apa sebenarnya yang sedang mereka lakukan di dalam? Bukankah tadi Nisa sedang memasak di dapur? Kenapa sekarang sudah di kamarnya?Ingin rasanya mendobrak pintu kamar ini. Walaupun mungkin pemandangan di dalam akan membuatku hancur dan terluka."Makanya, kalau masak tuh hati-hati. Masa ngiris timun aja sampai tangan ikut keiris. Jadinya berdarah kan?" Suara Mas Fahri terdengar begitu perhatian pada istri pertamanya itu.Ternyata Mas Fahri hanya sedang mengobati luka Nisa. Ah, kenapa pikiranku jadi kemana-mana? Aku tidak sanggup kalau harus berlama-lama seperti ini. Bisa-bisa aku g*la dan masuk rumah sakit jiwa. Segera kuteruskan langkah yang tadi sempat tertunda. Menyeduh teh melati dengan sesendok gula pasir. Aromanya begitu menenangkan. Di meja makan sudah terhidang nasi goreng tanpa kecap, lengkap dengan telur ceplok, sosis, dan irisan timun. Ternyata Nisa pun tahu makanan kesukaan Mas Fahri. Ah, tentu saja. Bukankah Nisa sudah lebih lama hidup bersama Mas Fahri? Sepertinya, aku
Aku salut dengan Nisa. Dia terluka, tapi tetap bertahan, melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Kebaikannya, semakin membuatku yakin untuk pergi dari rumah ini dan dari dari kehidupan Mas Fahri. Biarlah Mas Fahri belajar mencintai Nisa. Menjadikan Nisa satu-satunya istrinya. Nisa memang tidak memiliki rahim, tapi dia memiliki hati. Apa hanya karena tak memiliki rahim, itu berarti Nisa harus menderita? Tidak, dia berhak bahagia."Mbak Naya tau, aku juga sangat terluka saat Mas Fahri meminta izin untuk menikah lagi. Hatiku hancur. Tapi aku pura-pura tetap tegar di hadapan Mas Fahri. Aku sadar aku bukanlah wanita yang sempurna. Meski dengan berat hati, aku akhirnya mengizinkannya. Demi kebahagiannya, demi senyumnya yang dulu sempat hilang, dan demi hidupnya yang dulu sempat layu. Aku ikhlas, sangat sangat ikhlas."Nisa menyeka sudut mata yang masih meninggalkan genangan air. Meski bibirnya berkata iklhas, tapi sorot matanya tak bisa bohong. Masih begitu besar luka yang dia rasaka