Reynald pun memanggil pelayan untuk membayar semua hidangan yang dia pesan.
Lelaki itu sangat marah sekaligus malu karena mendengar ucapan yang dikatakan oleh Chiko tentang pakiaan istrinya yang kusam.Tidak seperti istri petinggi perusahaan kebanyakan?!"Ck!" decak Reynald kesal.Pria itu masih tak sadar bahwa dirinyalah yang salah di sini.Seharusnya, Riana mendapatkan uang bulanan supaya Riana bisa membeli apa pun yang diinginkannya. Tapi, apa yang dia lakukan?Reynald justru menarik lengan Riana kasar, tidak memperdulikan semua mata yang memandangnya sejak tadi.Yang dia pikirkan hanyalah cepat sampai ke dalam rumah dan memarahi Riana karena sudah membuatnya malu.**Brak!Suara pintu yang Reynald tendang membuat ibu Mayang melirik ke arahnya dengan tatapan penasaran.“Ada apa, Rey?” tanyanya.“Ini Riana membuat Aku malu saja!” jawab Reynald dengan emosi menggebu.“Membuat malu seperti apa? Dan kalian datang dari mana?” tanya Mayang lagi, matanya melirik ke arah Riana yang diam membeku.“Dia sengaja makan bersamaku dengan pakaian jelek dan membuat Aku dihina oleh teman kantorku karena seorang istri manajer memakai pakaian jelek seperti itu.” Reynald marah sambil menunjuk ke arah Riana.“Diakan memang seperti itu, Rey. Jadi buat apa Kamu heran? Riana suka sekali mencari perhatian orang sekitar supaya mereka mengasihani dia dan membuat kita sebagai penjahatnya,” kata Mayang menyulut emosi anaknya.“Apa benar seperti itu, Riana?!” tanya Reynald dengan nada tinggi.“Tidak, Mas. Aku tidak memiliki uang untuk sekedar membeli pakaian baru. Mas’kan tidak memberikan Aku uang sama sekali,” jawab Riana lirih.“Halah, alasan Kamu saja, Riana. Padahal Kamu’kan Aku berikan uang setiap minggunya, Cuma Kamu saja yang terlalu boros!” hardik Mayang.“Tapi, Ibu cuma memberikan uang-““Stop, Riana! Masuk ke kamar sekarang!” perintah Reynald.“Mas,” panggil Riana pelan.“Aku bilang masuk ya masuk!”Riana masuk ke dalam kamarnya dengan kepala menunduk, wanita itu kehilangan keberanian untuk menjawab suaminya. Karena kalau sudah seperti itu maka suaminya akan melakukan kekerasan kepadanya. Apa lagi, ada ibu Mayang yang siap menyulut pertengkaran mereka berdua.“Kan sudah Ibu bilang jangan menikah dengan Riana. Tapi, Kamu saja yang ngeyel!” gerutu Mayang.“Ibu.” Reynald mengusap wajahnya aksar.“Apa? Memang yang Ibu katakan ini kan memang benar. Riana itu hanya benalu di keluarga kita, dia tidak bekerja dan bukan dari keluarga kaya seperti Serly. Kenapa Kamu mau menikahinya?!” geram Mayang.Reynald menghela napasnya dan memilih pergi dari rumah karena sangat bosan ada saja yang bisa membuat kepalanya sakit saat ada di rumah. Makanya lelaki itu tidak pernah betah di rumah, ia lebih memilih keluar saat hari libur seperti Sabtu-Minggu.Mobil Reynald melaju dengan begitu cepat, lelaki itu memilih sebuah cafe yang sangat populer di kotanya.**“Permisi, Saya mau pesan!” panggil Reynald kepada pelayan.“Mau pesan apa?”“Ini saja.” Tunjuk Reynnald ke sebuah minuman kopi dingin.“Baik.” Pelayan itu mencatat apa yang Reynald pesan dan berlalu pergi.Reynald menunggu denganm memainkan ponsel pintarnya. Dia tidak sadar kalau ada seorang wanita cantik yang mendekatinya, wanita bertubuh tinggi dan berkulit putih.“Permisi, apa Aku boleh ikut duduk di sini?” tanyanya.Reynald menatap wanita yang baru datang itu dari bawah ke atas. “Cantik,” gumamnya.“Maaf?”“Boleh saja, kebetulan Aku duduk di sini sendirian,” jawab Reynald dengan senyum merekah.“Terima kasih.” Wanita itu duduk tepat di depan Reynald.“Kamu mau bertemu siapa di sini?” tanya Reynald.“Tidak. Aku hanya ingin melepas penat akibat sering bekerja,” jawabnya.“Oh, Aku kira Kamu ingin bertemu dengan kekasihmu di sini,” kekeh Reynald.“Sayang sekali tidak ada yang mau denganku,” katanya lirih.“Kenapa tidak ada yang mau denganmu? Kamu sangat cantik seperti ini, pasti banyak yang menyukaimu, termasuk Aku,” rayu Reynald.“Kamu bisa saja. Apa kekasih atau istrimu tidak marah kalau Kamu merayu wanita di sini?” tanyanya.“Tentu saja tidak. Karena tidak ada yang menginginlabku juga,” jawab Reynald berbohong.“Apa Kamu bercanda? Seseorang lelaki sepertimu, yang bisa dilihat orang berada karena memakai ponsel Iph*ne. Tidak ada satu wanita pun yang mau?” tanyanya dengan mata membelalak tidak percaya.“Aku belum menemukan yang pas saja. Oh, iya. Aku belum tahu namamu.” Reynald mengulurkan tangannya untuk mengajak wanita itu berkenalan.Wanita di depannya tertawa kecil. “Maaf, Aku lupa mengenalkan diri. Namaku adalah Diandra, kalau Kamu?” Diandra membalas uluran tangan Reynald.'Mulus sekali.' batin Reynald.“Malah melamun,” tegur wanita itu.“Namaku Reynald, panggil saja Rey.”“Salam kenal ya, Rey,” balasnya ramah.Minuman yang di tunggu akhirnya datang, Diandra juga ikut memesan satu minuman yang sama seperti Reynald. Mereka berdua bersenda gurau di cafe itu dengan tersenyum senang, sesekali tertawa bersama karena candaan yang dilontarkan oleh Reynald.“Astaga! Ternyata sudah jam segini, maaf ya, Rey. Aku harus pergi sekarang,” pamit Diandra.“Apa Aku boleh meminta whatsh*p Kamu?” tanya Reynlad.“Boleh.”Mereka saling bertukar nomor aplikasi berwarna hijau itu, setelah selesai Diandra pamit pulang. Begitu pun dengan Reynald, lelaki itu juga memilih pulang ke rumahnya karena perasaannya sudah membaik seperti semula.**Reynald sepanjang jalan bersenandung senang, ia sangat menantikan sekali bertemu dengan Diandra lain kali. Wanita cantik, putih, mulus dan bertubuh tinggi seperti model, belum lagi rambut panjangnya yang tergerai indah sangat membuatnya semakin menarik.“Andai Riana seperti itu,” gumam Reynald lirih.Tidak terasa Reynald sudah sampai di rumahnya, ia memarkirkan mobilnya ke halaman rumah dan masuk begitu saja.“Apa Kamu tidak bisa melakukannya dengan benar?!” bentak Mayang“Maaf, Bu,” kata Riana lirih.Reynald menghela napasnya panjang, baru saja lelaki itu merasa senang, sekarang perasaan senang itu hancur dalam sekejap saat sudah berada di rumah.“Maaf-maaf, hanya itu yang bisa Kamu katakan! Sudah, buatkan lagi dengan benar. Ingat, kali ini harus enak!” teriak Mayang.“Iya, Bu.” Riana membawa Gelas yang masih berisi jus di dalamnya menuju dapur.“Eh, Rey. Sudah pulang? Kapan Kamu pulangnya?” tanya Mayang dengan manis.“Baru saja,” jawab Reynald ketus.“Mungkin Ibu tidak mendengar karena terlalu kesal kepada Riana,” kata Mayang.“Iya,” balas Reynald datar.“Kenapa Kamu, Rey?” tanya Mayang yang baru menyadari kalau raut wajah anaknya berubah kesal.“Ck! Apa kalian tidak bisa sehari saja akur?!”“Kenapa? Apa Kamu sudah dihasut oleh Riana untuk membenci Ibumu sendiri?” tanya Mayang sedih.“Tidak. Aku hanya kesal saja setiap hari ada saja masalah di rumah ini. Apa tidak bisa sehari saja tenang seperti rumah yang lainnya?” “Kamu tahu sendiri kan, Rey? Kalau Riana itu sebagai menantu tidak becus sekali melayani mertuanya. Bahkan dia tadi membuatkan Ibu jus yang sangat tidak enak rasanya, dengan terpaksa Ibu mengomelinya,” jelas Mayang. “Jelas saja kalau jusnya tidak enak. Karena tidak pakai gula, mana enak!” Reynald berlalu masuk ke dalam kamarnya, ia membanting pintu dengan keras sampai membuat Riana terkejut di dapur. Lelaki itu merebahkan tubuhnya di kasur dan mengirimi Diandra pesan. [Sudah sampai?] pesan Reynald. [Sudah, kalau Kamu?] balas Diandra. [Sudah kok. Aku sampai ke rumah dengan selamat] [Lalu setelah Kamu sampai, langsung mengirimi Aku pesan? Romantis sekali] Diandra menyematkan stiker love di pesannya, membuat Reynald semakin tersenyum senang dengan wanita c
“Baik, Bu. Akan segera Aku bersihkan setelah makan,” jawab Riana.Riana melangkah mendekati meja makan, ia tidak mendapati lauk atau pun sayur di sana. Semua yang dia masak habis tidak bersisa, membuat dia menggelengkan kepalanya pelan. “Untung mas Rey tidak membawa bekal, jadi Aku bisa makan deh,” kata Riana seorang diri sambil memeluk erat kotak bekal yang berada di tangannya. Memang ada perasaan kecewa di hatinya tetapi, Riana tidak ingin memikirkan terlalu jauh. Karena menurutnya kalau memikirkan itu tidak baik bagi diri sendiri, makanya sebisa mungkin dia menahan diri supaya tidak menjadi beban pikiran yang akan membuatnya menjadi berpikiran buruk. Riana makan dengan lahap, ia sangat menyukai menu makanan pagi ini. Sebab, setiap kali Serly datang Mayang akan membeli lauk dan sayur enak dalam jumlah banyak, jadi saat dia memasaknya kemarin, masih ada sisa untuk sarapan pagi ini. Kapan lagi akan makan enak, biasanya setiap hari akan menyantap hidangan sederhana seperti ikan asin
Mayang menggeleng dramatis, seolah menjadi ibu mertua yang amat bijak. “Bagaimana ya, Jeng. Namanya juga punya anak lelaki dibilangin susahnya minta ampun, padahal sudah beberapa kali kukatakan kalau Riana bukan wanita yang baik untuk menjadi istrinya. Yah tetap saja dia ngeyel,” kata Mayang dengan ekspresi sedih lagi. “Mungkin karena si anakmu tuh, Jeng. Yang cinta berat sama istrinya, jadi wajarlah seperti itu. Apa lagi yang Aku lihat si Riana sangat cantik,” kata Desi. “Tidak juga sih, Kamu tidak lihat Riana lagi sih, Jeng Desi. Aku kemarin lewat rumah Mayang, si Riana itu sangat berbeda sekali dengan waktu pertama menikah. Jelek, kumal dan tidak terurus gitu,” ejek Santi. “Masa sih, Jeng Santi?” tanya Desi tidak percaya. “Ya, jelas dong. Coba tanya Mayang, apa Aku bohong sama Kamu, iyakan, Jeng.” Santi menyenggol lengan Mayang pelan. Mayang yang baru meminum jusnya langsung tersedak, karena terkejut. “Tentu dong, Jeng. Si Riana memang tidak pandai merawat diri, apa lagi dia b
“Lama banget shalatnya, Kamu shalat apa tidur?!” tanya Mayang kesal. “Tidak, Bu. Aku selesai shalat langsung kemari,” jawab Riana lembut. “Kenapa jadi lama banget? Ya, sudahlah langsung pijat saja, awas kalau mijatnya tidak enak!” Riana pun diam. Dia memilih memijat ibu mertuanya dengan lembut. Sungguh, ia tidak mau kalau Mayang akan merasa kesakitan dengan pijatannya. Jadi, ia melakukan hati-hati, karena tidak menginginkan kalau mertuanya akan marah. “Heh, Riana! Kamu mijat apa mengelus sih?!” tanya Mayang kesal, karena ia malah merasa geli. “Maaf, Bu. Aku tidak mau kalau Ibu akan kesakitan,” kata Riana lembut, tidak pernah terpancing menjawab mertuanya dengan nada tinggi. Hanya kemarin saja, ia sempat terpancing karena merasa lapar dan lelah. “Kalau Kamu memijatnya seperti itu, itu bukan memijat namanya melainkan mengelus. Pijat dengan keras!” perintah Mayang. Riana lantas menuruti perkataan Mayang, dia memijat mertuanya dengan keras, membuat Mayang menjadi menjerit karena k
“Riana!” panggil Mayang dengan berteriak dari dalam kamar. “Iya, Ibu.” Riana tergopoh-gopoh berlari mendekati mertuanya. “Belikan Ibu soto ayam di depan sana, jangan pakai lama!” Mayang menyodorkan selembar uang berwarna biru. “Iya, Bu.” Riana segera berjalan ke kamar, ia memasang jilbab instan dan jaket, lalu mengambil kunci motornya. Motor yang sudah ada sebelum Riana menikah, motor matik menemani ke mana pun dia pergi sewaktu gadis. Riana melajukan matik pergi ke tempat yang mertuanya maksud, lumayan jauh kalau berjalan ke sana. Jadi dia memilih mengeluarkan maticnya. Riana sudah sampai di tempat yang dia tuju, dia segera memparkirkan matiknya ke tempat parkiran. Lalu masuk ke dalam warung makan yang sangat ramai, membuat dia harus mengantri beberapa saat. Tidak lama, tiba giliran Riana, dengan cepat wanita itu memesan satu bungkus soto. “Berapa, Pak?” tanya Riana. “15ribu, Dek.” “Ini uangnya.” Riana menyerahkan selembar uang berwarna biru. Dia bergegas berjalan pulang, tid
Riana merasa soto yang dia makan sangat enak, ia bahkan menghabiskan kuahnya sampai tidak tersisa. Setelah menyantapnya sampai habis, dia bersendawa karena merasa kenyang. “Alhamdulillah, enak sekali,” Riana mengucapkan rasa syukur. Riana mulai berpikir makan malam nanti apa, ia tidak mungkin menyuguhkan telur dadar kepada suami atau mertuanya. Tetapi, seketika dia teringat kalau uang kembalian soto tadi masih banyak, Riana akan mengatakan kalau ingin membeli lauk makan malam dengan uang ini. Karena kalau tidak, nanti malah dibilang lancang oleh mertuanya. “Ibu!” Riana memanggil mertuanya dengan suara nyaring di depan pintu. “Em,” Mayang menyahut dengan bergumam, ia malas menjawab karena sedang telponan dengan seseorang. “Aku pakai uang Ibu ini ya, bua beli lauk dan sayur untuk makan malam nanti,” kata Riana. “Iya,” Mayang padahal tidak mendengarnya dengan jelas, ia hanya sekedar menjawab ‘iya’ saja. Karena tidak mau mendengar ocehan Riana lagi. Sedangkan Riana, ia bersorak ria
Reynald merasa ada yang memperhatikan, ia berbalik ke arah belakang. “Argh! Sedang apa Kamu, Riana?!” “Mas, sedang apa? Sedari tadi kok senyum-senyum sendiri,” Riana berwajah bingung, matanya selalu melirik ke arah ponsel Reynald. Reynald segera menutup ponselnya dan menaruh di atas nakas. “Bukan dari siapa-siapa, hanya teman kantor biasa.” Reynald berkata sambil meraih handuk untuk mandi. “Oh,” Riana sangat penasaran sekali dengan isi ponsel Reynald, sayang dia tidak bisa meminjam ponsel itu. Karena lelaki itu pasti tidak akan suka kalau ponselnya dimainkan oleh Riana, padahal status Riana adalah istri. Jadi wajar kalau mau meminjam ponsel suami sebentar tetapi, sayangnya Reynald tidak pernah mengizinkan. 'Apa Aku buka saja, ya?'Batin Riana meronta-ronta sangat ingin melihat pesan apa yang membuat suaminya terus-menerus tersenyum, sampai tidak menyadari keberadaannya. Riana mendekat ke arah ponsel itu, tangannya sudah mulai mengarah ke sana. Sayang, suara kunci diputar terdenga
“Ii-itu,” Riana tidak bisa menjawab dengan benar, ia gemetaran hebat. “Berani sekali, ya, Kamu, Riana! Padahalkan Kamu tahu Aku paling tidak suka kalau ponselku disentuh orang lain!” Reynald teramat kesal sekali melihat ponselnya berada di tangan Riana. Disisi lain ia takut kalau Riana akan mengetahui dirinya mulai tertarik dengan wanita lain, pasti Riana akan marah besar kepadanya. “Aku tahu, hanya saja setiap kali Aku melihatmu memegang ponsel, Kamu selalu saja tersenyum sendiri seperti itu membuatku menjadi curiga,” Riana berkata pelan, ada sesak di dalam dadanya mengatakan itu. “Lantas Kamu mengira Aku sedang bermain api?” Reynald meninggikan suaranya. Riana terdiam, membuat Reynald menjadi naik pitam. “Kamu pikir Aku akan melakukan itu? Kamu menganggapku apa selama ini? Kamu pikir Aku seperti lelaki lain di luaran sana, yang berselingkuh dengan wanita lain?!” Reynald terus memberondong Riana dengan berbagai macam pertanyaan. “Aku hanya ... “ Riana tidak sanggup meneruskan k