Aku menghubungi handphone Mas Candra besok adalah sidang putusan mengenai perceraianku. Aku berharap sidang besok berjalan lancar.
"Mas, besok sidang terakhir perceraianku. Aku ingin menghadiri persidangan itu", ucapku pada Mas Candra saat dia menjawab panggilan telpon dariku.
"Baiklah, kamu bisa datang. Sidangnya sekitar jam sembilan pagi. Mau mas jemput atau langsung kesana?" tawar Mas Candra.
"Biar aku sendiri saja yang kesana, Mas! Mas pasti repot kalau jemput aku segala", jawabku menolak halus tawaran Mas Candra.
"Sampai jumpa besok ya!" balasnya. Akupun mematikan sambungan telpon dengan Mas Candra.
Satu urusan hampir selesai. Aku bisa menarik nafas lega. Perceraian dan status janda sebentar lagi akan melekat padaku. Walaupun rasanya gamang menghadapi hari-hari berikutnya seorang diri, aku masih berusaha tegar.
Kandunganku yang sudah menginjak bulan ketujuh membuat ruang gerakku menjadi lebih sempit. Tidak lama lagi aku akan melah
Aku sudah mendapatkan alamat kontrakan mantan Ayah dan Ibu mertuaku. Rencananya hari ini aku ingin menemui mereka.Aku sengaja memakai mobil Mas Yoga. Membawa surat-surat kepemilikan mobil serta sertifikat rumah. Walaupun semua itu sudah atas nama Rindu, tapi tak masalah. Aku yakin perempuan itu tidak akan berani lagi menampakkan wajahnya di hadapanku.Aku mengetuk pintu rumah kontrakan mantan Ayah dan Ibu mertuaku. Tak lama keluar Ibu, dia memandangiku dengan tampang keheranan."Riana? Kamu disini? Ada perlu apa?" tanyanya langsung."Ayah ada, Bu?" tanyaku dengan sopan."Ayahhh.... ada Riana. Dia pengen ketemu!" teriak Ibu memanggil Ayah.Terlihat Ayah muncul dari balik pintu. Dia juga menatapku heran."Riana? Ayo masuk dulu. Ibu kenapa sih? Ada tamu nggak di suruh masuk?" ucap Ayah pada Ibu."Cuma heran saja, untuk apa lagi dia datang menemui kita. Bukankah keinginannya untuk bercerai dari Yoga sudah terkabul?" ucap Ibu
Persidangan Mas Yoga sudah mulai di gelar. Aku, Paman, Bibi dan juga Mas Candra selalu menghadiri persidangan. Selama persidangan yang panjang itu, Mas Yoga bersikap baik. Dia berkata jujur tentang semua yang terjadi.Hingga memudahkan semua proses persidangan. Sepertinya dia sudah benar-benar menyesali semua yang pernah dia lakukan. Aku sesekali menghapus airmata saat mendengar penjelasan Mas Yoga. Seketika bayang-bayang kedua orang tuaku yang kesakitan membuatku tak mampu menahan tangis.Apalagi saat dia menjelaskan bagaimana Ayahku berusaha memanggilnya untuk meminta pertolongan. Aku tak kuat mendengar semua itu. Aku hanya mampu menangis dalam pelukan Bibi.Aku tak menyangka sedikitpun, saat aku berada di rumah sakit untuk menemani kedua orang tuaku yang tengah berjuang di ICU, ternyata Mas Yoga ada disana. Dia menyaksikan semua kesedihanku. Saat kedua orang tuaku menghembuskan nafas terakhirnya, dia juga mengetahui itu.Aku sangat marah dan kecewa pad
"Apa yang ingin Mas katakan?" tanyaku pada Mas Candra."Mas cuma mau bilang, apa tidak sebaiknya kamu tinggal bersama Paman dan Bibi saja? Di sini kamu sendirian. Mas takut terjadi apa-apa denganmu jika hanya sendirian seperti ini!" ucapnya sambil memandangiku.Permintaannya sama dengan Paman dan Bibi. Sama-sama memintaku untuk tinggal dengan Paman dan Bibi."Tidak, Mas! Aku tidak ingin tinggal dengan Paman dan Bibi. Aku ingin di sini. Aku merasa lebih nyaman di sini.""Jika nanti tiba-tiba kamu ingin melahirkan bagaimana?""Tidak usah khawatir, Mas. Ada Bik Inah dan juga Pak Budi. Mereka bisa membantuku!"Mas Candra menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Dia menatapku dalam."Apa karena kamu masih sedih karena Yoga?" pertanyaannya membuatku menatapnya seketika."Apa maksud, Mas?""Mas pikir kamu masih sedih atas semua yang terjadi hingga tidak ingin Paman dan Bibi tahu semua itu.""Benar, Mas. Aku tidak ing
Sedikit demi sedikit aku mampu mengobati luka hatiku akibat perlakuan Mas Yoga. Waktu yang ada kujalani dengan kebahagiaan. Mas Candra bertindak seakan menggantikan peran Mas Yoga dalam hidupku.Apapun yang aku butuhkan dengan cepat Mas Candra berikan. Tidak jarang dia yang mencarikan saat aku ngidam sesuatu. Aku merasa sedikit tenang. Aku punya tempat untuk berbagi. Itu semua aku dapatkan dari Mas Candra.Tiap hari tidak pernah sekalipun dia absen menanyakan keadaanku. Aku merasa bahagia mendapatkan perhatian darinya."Mas, hari ini aku mau periksa kandungan. Kandunganku sudah lebih dari delapan bulan. Aku ingin tahu keadaan calon anakku!" Mas Candra mendengarkan pembicaraanku melalui sambungan telpon."Jam berapa? Apa kamu sudah bikin janji sama dokter?" tanyanya."Sudah, Mas. Nanti jam sebelas siang. Mas bisa temenin aku?" aku berharap Mas Candra bisa menemaniku."Maaf, Riana. Mas ada persidangan jam segitu. Nggak bisa di undu
Mas Candra mengajakku menuju ruang pemeriksaan kandungan. Dia mengurus kembali jadwal pemeriksaan untukku. Karena aku sudah melewatkan jadwal pemeriksaan sebelumnya.Kami menunggu panggilan untuk di periksa."Mas, aku khawatir dengan keadaan Rindu. Dia terlihat tidak baik setelah operasi itu. Bagaimana jika terjadi sesuatu? Aku kasihan sekali pada anaknya!" ucapku dengan raut wajah khawatir.Mas Candra menggenggam erat jemariku. "Jangan terlalu di pikirkan. Semuanya akan baik-baik saja!" hiburnya.Aku menghela nafas berat. Rindu tak sadarkan diri setelah operasi itu. Aku selalu kepikiran anaknya. Ingin sekali menemui anak itu untuk mengecek keadaannya."Mas, kita ke ruangan bayi itu yok? Aku kepikiran dia!" ajakku berdiri dari dudukku.Dengan cepat Mas Candra menarik lagi lenganku agar kembali duduk."Nanti, setelah kita periksa kandunganmu, baru kita kesana!" jawabnya tak terima ajakank
Mas Candra memegangi pundakku dengan kuat. Aku sangat kaget mendengar kabar meninggalnya Rindu dari dokter yang merawatnya."Riana, yang kuat! Kita harus segera mengurus pemakaman Rindu!" ucap Mas Candra."Mas, aku bahkan tidak tahu dia punya keluarga lain atau bukan? Bagaimana jika mereka mencari Rindu? Kita harus mengabari keluarganya!""Nanti kita cari tahu setelah mengurus pemakamannya." Ucapan Mas Candra ada benarnya juga. Aku dan Mas Candra lalu mengurus pemakaman Rindu dengan cepat. Untung pihak rumah sakit memberikan bantuan sehingga kami tidak terlalu sulit mengurusnya.Aku menatapi gundukan merah kuburan Rindu. Sungguh aku tidak sedikitpun menyangka bahwa niatku ke rumah sakit untuk periksa kandungan membawaku bertemu dengannya.Dalam pelukanku tertidur pulas anak Rindu yang baru dia lahirkan. Aku menyentuh pipinya yang masih merah. Aku kasihan padanya. Sekecil ini dia sudah menjadi piatu. Sedangkan Ayahnya tidak tahu rimbanya
Aku sungguh merasa sangat kesakitan. Perutku rasanya sangat sakit. Aku bahkan tidak pernah membayangkan rasa sakit ketika melahirkan itu seperti ini.Pak Budi dan Bik Inah dengan cepat membawaku ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit, dokter langsung memeriksa keadaan kandunganku."Baru bukaan dua, kamu yang kuat ya? Semoga bisa lahiran normal", ucap dokter itu sambil membuka sarung tangan setelah memeriksa kandunganku."Dok, harus berapa lama lagi aku menahan sakit? Rasanya sakit sekali!""Kita akan menunggu sampai pembukaannya sempurna. Baru setelah itu kamu bisa ngeden, sekarang jangan ngeden ya? Istigfar saja kalau rasa sakitnya muncul!" ucap dokter itu lagi."Sampai pembukaan berapa baru sempurna, Dok?" tanyaku lagi.Dokter tersenyum kecil padaku. Mungkin dia tahu bahwa ini adalah pengalaman pertama bagiku. Dan bodohnya aku, selama ini kurang mencari tahu informasi tentang melahirkan."Sampai pe
"Bi, ayo jawab? Dimana putriku? Kenapa Bibi hanya diam? Aku mohon! Bicaralah, Bi!" suaraku parau memaksa Bibi untuk bicara. Kenapa Paman dan Mas Candra belum datang juga? Apa anakku ada pada mereka?"Riana, kamu harus sabar dan kuat! Bibi yakin kamu anak yang kuat. Bibi harus menunggu Paman dan Candra dulu. Nanti, semua pertanyaanmu akan di jawab oleh mereka", bujuk Bibi padaku.Aku menatap raut wajah Bibi yang sembab. Dia seperti habis menangis seharian. Apa yang sebenarnya terjadi? Ada apa dengan putriku? Aku sangat cemas. Rasa sakit pada bekas jahitan cesar tak kuhiraukan. Aku harus mencari tahu keberadaan putriku. Aku berupaya untuk duduk. Tapi aku kesusahan. Bahkan untuk mereng ke kiripun aku tidak bisa."Bibi, aku mohon! Tolong bantu aku berdiri! Aku ingin mencari putriku!"Bibi semakin menangis mendengar ucapanku. Aku tambah ketakutan. Tidak biasanya Bibi bertindak seperti ini. Jarang sekali aku melihat Bibi menangis pasti hal besar sudah ter