Share

Bab 3. Keputusan

Author: Dian Matahati
last update Last Updated: 2024-05-15 10:57:34

"Cantika juga sedang hamil, Sayang. Aku gak bisa ceraikan dia. Apalagi keluargaku juga sudah tahu tentang pernikahanku dan kehamilan Cantika." 

Langkah kakiku terhenti paksa. Mendengar keluarga Mas Bima turut andil dalam pengkhianatan suamiku itu, membuat dadaku terasa ditikam sembilu. 

"Iya, Mbak Raya. Mbak tahu sendiri, kan, kalau ibunya Mas Bima ingin punya cucu laki-laki. Beliau berharap bisa dapat cucu laki-laki. Dan aku terbukti sudah dua kali melahirkan anak laki-laki, sedangkan Mbak Raya cuma bisa kasih cucu perempuan, kan?" 

Perkataan Cantika seakan mengatakan jika kedua putriku tidak ada artinya untuk Mas Bima dan keluarganya. Padahal kedua putriku sudah menjadi anak dan cucu yang baik selama ini. Aku mendidiknya dengan penuh kasih sayang. Sekali pun mereka tidak pernah membuat malu keluarga besar kami. 

Lalu sekarang, tiba-tiba gender mereka dipermasalahkan. Seakan hanya anak laki-laki saja yang berharga. Rasanya kesabaranku sudah diambang batas. Mereka boleh mengatakan apapun tentangku, tetapi tidak dengan kedua putriku. 

"Maksud kamu apa bicarain tentang anakku?" hardikku hampir tidak terkontrol. 

Siska memegang lenganku sambil mengusapnya dengan hati-hati. "Sabar, Bu. Ingat ibu sedang mengandung. Jangan kepancing emosinya," bisiknya mengingatkan. 

Aku akhirnya mengambil napas panjang dan mengatur emosiku. Berhadapan dengan perebut suami orang memang menghabiskan banyak energi. 

"Baiklah, Mas. Kita tunggu sampai aku dan Cantika melahirkan. Pikirkan baik-baik siapa wanita yang akan kamu pertahankan. Apakah aku dan ketiga anakmu? Atau dia dan juga anaknya? Karena aku, sudah jelas tidak mau dimadu untuk alasan apapun," tantangku. 

Aku pun kembali membalikkan badan dan berniat meninggalkan mereka. Sebelum tubuhku sepenuhnya menghilang dibalik pintu ruangannya, aku masih sempat mendengar sanggahan Mas Bima yang tidak setuju dengan keputusanku. 

"Gak bisa gitu, Raya. Kalau terbukti aku mampu adil untuk kedua istriku, kamu gak berhak minta cerai dariku tanpa alasan yang dibenarkan secara syariat. Sabarlah sedikit, Sayang. Surga milik-" 

Aku tidak lagi mendengar Mas Bima berbicara apa tentang Surga setelah aku mempercepat langkah kakiku. Hatiku terus merutuki Mas Bima yang bisa-bisanya membicarakan masalah Surga padaku. 

Suami yang sudah zalim dengan diam-diam menikah lagi setelah ditemani dari nol hingga sukses selama hampir sepuluh tahun lamanya, hendak menawarkan Surga jalur poligami? Sulit dipercaya! 

Jika memang dipoligami bisa mengantarkanku ke pintu Surga pun, rasanya aku lebih memilih untuk mencari pintu Surga yang lain daripada harus dimadu.

"Bu Araya …" 

Aku tersadar dari lamunan saat mendengar namaku disebut. Ternyata itu adalah suara Susi yang sudah berdiri bersama Saras dan beberapa pegawai yang lain. 

Rumah makan suamiku punya tujuh pekerja tetap. Hampir semuanya kenal dekat denganku meskipun aku jarang datang ke sini. Ada Cantika sebagai leader. Susi sebagai kasir. Saras dan Siska sebagai pramusaji. Iin bagian cuci piring. Dan masih ada Santi dan Lilis di bagian juru masak. 

Selama ini mereka semua sudah aku anggap seperti saudara sendiri. Termasuk Cantika yang ku percaya menjadi leader di sini. Akan tetapi, ternyata dia tega menodai kepercayaanku dengan menjadi musuh dalam selimut. 

"Bu, tolong maafkan kami yang sudah menutupi pengkhianatan Pak Bima dengan Cantika. Sebenarnya kami ingin cerita sejak awal, tapi kami takut dipecat sama Bapak. Belum lagi kami juga gak tau apakah Ibu bakalan percaya sama kami atau tidak. Sekali lagi, kami mohon maaf ya, Bu. Kami mengaku salah," ujar Susi menjadi juru bicara dari mereka semua. 

Aku bisa melihat ketulusan mereka saat menjelaskan dan meminta maaf kepadaku. Aku pun sadar posisi mereka serba salah. Hidup di jaman sekarang yang serba susah mencari pekerjaan pasti membuat mereka takut dipecat Mas Bima. Aku pun tidak berniat menyalahkan mereka sama sekali. 

"Bukan salah kalian, jadi jangan meminta maaf. Kalian baik-baik di sini, mungkin aku gak akan menginjakkan kakiku di sini lagi setelah ini," kataku berusaha melebarkan senyum meski terasa sangat kaku. "Dan kamu, Siska, kalau nanti Mas Bima sungguhan berani pecat kamu dari sini, kamu bilang aja sama aku. Aku akan bantu carikan pekerjaan lain buat kamu."

"Bu, kalau Ibu nanti punya usaha lain, aku justru lebih suka bekerja sama Ibu aja, Bu. Sejak dekat sama Cantika, Pak Bima berubah dan tidak lagi baik sama karyawan rendahan kayak kami, Bu," balas Siska yang diangguki yang lain.

"Iya, Bu. Kita bikin rumah makan sendiri aja, yuk, Bu. Tinggalin aja Pak Bima sama Cantika. Dikira mereka bisa handle rumah makan ini berdua aja apa, ya?" sahut Saras ikut menggebu. 

Aku tertawa kecil mendengar mereka terlihat kesal pada kelakuan Mas Bima dan Cantika. Dukungan mereka sangat berarti bagiku. Aku sedikit terhibur dengan obrolan ini meskipun untuk merealisasikannya, tentu saja tidak semudah itu. 

Membangun usaha itu butuh modal dan proses panjang. Bahkan untuk mendirikan rumah makan yang saat ini menjadi kebanggaan suamiku saja, butuh waktu hampir sepuluh tahun lamanya. 

Dari mulai aku membuat nasi bungkus yang kami jual secara keliling dan dititip-titipkan ke warung kecil dan angkringan, hingga sekarang punya rumah makan sendiri dengan tujuh pegawai tetap. Benar-benar bukan proses yang singkat, apalagi mudah. 

"Kalian tetap kerja yang baik aja di sini. Gak usah ikut terpengaruh sama masalah pribadiku. Ingat orang rumah butuh uang dari kalian. Jika nanti kita berjodoh untuk bekerja sama lagi, Tuhan pasti punya cara-Nya sendiri untuk mempertemukan kita kembali." 

Satu per satu dari mereka memelukku hingga semua berkumpul menjadikanku pusat untuk dipeluk. Aku merasa semakin terharu saat isak tangis dan sesenggukan sungguhan terdengar di telingaku. 

Terima kasih sudah mempertemukanku dengan orang-orang baik ini, Ya Allah … 

Aku pun pulang dengan membawa kepingan hati yang patah. Setelah ini, tentu saja duniaku akan berubah drastis. Aku hanya perlu memastikan, jika perubahan yang ada di masa depan untukku bukanlah sesuatu yang kelam.

Akan kupastikan kamu menyesal sudah melakukan hal seperti ini kepadaku, Mas! 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
mampus ajalah kau dg dramamu araya. kamu hanya bisa besar mulut. apa di daerah tempat tinggalmu g ada kantor polisi. istri kayak si araya ini memang g punya kemampuan kecuali ngannkang
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 50. Ending

    Mataku membola mendengar apa yang dikatakan ibunya Mas Bima. Aku terkejut mendengar cerita kenekatan Cantika demi Mas Bima. Aku segera memberi kode kepada kedua putriku untuk berpindah ruangan. Aku tidak mau mereka mendengar kata-kata yang tidak sepantasnya didengar anak kecil. Untungnya kedua putriku sangat penurut dan segera pindah keluar. Ada rasa sedikit khawatir karena niat baik untuk rujuk dengan Mas Bima sudah langsung kembali dihadapkan akan masalah seperti ini. Aku tidak mungkin menghalangi Mas Bima untuk pergi, jika taruhannya sebuah nyawa. “Bima, kenapa kamu diam saja, Nak? Kamu dengar Ibu bilang apa, kan? Kamu mau kesini, kan? Ibu dan Budi gak bisa mengatasi Cantika soalnya. Ibu takut dia beneran nekat.” Suara ibunya Mas Bima terlihat sangat panik. Dia pasti sungguhan takut terjadi apa-apa pada Cantika. Karena, jujur saja aku pun sama takutnya dan tidak ingin Cantika n

  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 49. Rujuk

    “Kamu kenapa nekat banget, sih, Mas? Tahu sendiri Cantika segitunya pertahankan kamu. Harusnya kamu bisa pertimbangkan dulu, barangkali memang kamu baiknya sama dia aja.” Meskipun aku tidak suka dengan perbuatan Cantika, tetapi aku tidak tega melihat dia seperti saat ini. Cintaku untuk Mas Bima mungkin juga sudah tidak utuh seperti dulu. Sehingga aku bisa memberikan opsi kepadanya untuk mempertimbangkan Cantika. “Seperti yang aku bilang tadi, Raya. Aku baru sadar kalau aku gak cinta sama dia. Aku cuma kasihan dan itu jauh berbeda dengan rasa yang aku punya buat kamu.” “Aku belum tentu mau untuk mempertahankan rumah tangga kita, Mas.” “Aku gak peduli, Raya. Walaupun nanti kamu memilih untuk berpisah denganku, aku tidak akan menyesal karena sudah mentalak tiga Cantika. Bagiku saat ini, jika bukan bersamamu, maka aku tidak akan bersama siapapun. Biarlah hidupku nanti aku dedikasikan untuk bekerja, untuk men

  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 48. Talak Tiga

    “Kamu gak boleh balikan sama Mbak Raya, Mas. Kamu harus rujuknya sama aku,” rengek Cantika yang datang tanpa diundang. “Kamu sudah gak ada hak untuk ikut campur sama apapun urusanku, Cantika. Aku sudah mentalakmu. Kamu bukan istriku lagi dan sekarang tidak punya hak apapun untuk mengaturku.” “Tapi aku gak mau ditalak, Mas. Please, maafin aku. Kasih aku kesempatan untuk perbaiki hubungan kita. Aku janji gak akan punya hubungan apa-apa lagi sama Mas Budi, atau pria manapun. Ya, Mas, ya? Aku mohon, Mas.” Secara spontan kakiku melangkah mundur saat Cantika berjalan mendekati Mas Bima untuk merayunya. Mimik wajah masih ku pertahankan tetap tenang dan tidak cepat bereaksi. Aku mau melihat bagaimana Mas Bima menghadapi wanita itu. Apakah dia akan kembali tergoda, atau sebaliknya? Terlebih saat ini Cantika terlihat sangat menarik dengan pakaian seksi dan dandanan m

  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 47. Permintaan Kembali

    “Em, itu …,” kataku dengan ragu. Belum sampai aku menjawab lengkap pertanyaan dari Mas Bima, sudah terdengar suara sapaan dari luar kamar. “Assalamualaikum,” ucap Astuti dan Andini dengan kompak. “Waalaikumsalam warahmatullah,” balasku dengan Mas Bima juga bersamaan. Kedua putri kami itu terlihat terkejut saat melihat keberadaan Mas Bima yang sedang menggendong adik bayi mereka. Namun, keterkejutan itu hanya sesaat sampai Astuti memulai mendekat untuk menjabat tangannya. Andini pun mengekor di belakangnya. Walaupun keduanya diam tanpa kata, tetapi aku sudah cukup bangga dengan kesantunan mereka yang masih bersikap baik kepada Mas Bima yang mungkin pernah menyakiti hati anak-anaknya. “Mbak Tuti sama Dik Dini dari mana?” tanya Mas Bima berusaha membangun interaksi dengan kedua putrinya. “Dari masjid, Pak. Kalau sore kita ada belajar ngaji di masji

  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 46. Abi Luckman Hakim

    “Bagaimana jika aku tidak pernah ingin menalakmu, Raya? Apa kamu akan menggugat cerai aku di pengadilan?” Aku diam saja. Ternyata pertanyaan itu cukup menggoyahkan perasaanku. Aku yang awalnya sudah yakin akan berpisah dengan Mas Bima, menjadi ragu karena sudah tahu semua kronologinya. Meskipun itu semua tidak cukup untuk menghapus dan menyembuhkan luka yang terlanjur dibuatnya. “Aku sudah menjatuhkan talak kepada Cantika, tapi kamu tenang saja. Aku tidak akan memaksamu untuk harus menerimaku kembali. Aku cukup tahu diri, karena yang terpenting bagiku saat ini adalah melihatmu bahagia tanpa kurang suatu apapun. Baik dengan kembali kepadaku, ataupun tanpa diriku lagi.” “Aku …, belum tahu, Mas,” kataku dengan jujur. Banyak pertimbangan yang membuatku ragu. Bukan hanya takut Mas Bima akan kembali mengulang kesalahan yang sama. Akan tetapi, aku pun takut jika aku akan mengungkit kesalahan Mas Bima ini di mas

  • Dimadu Setelah Sukses — Beda Istri, Beda Rezeki   Bab 45. Terbongkar Semuanya

    Aku meminta Mak Ijah membawakan kotak P3K yang biasa disimpan di dapur. Aku tidak tahan melihat luka di wajah Mas Bima dibiarkan begitu saja. Aku mengambil kompres dingin untuk memar di beberapa bagian wajahnya. Juga membersihkan luka dan memberikan obat antiseptik.  Awalnya Mas Bima menolak untuk diobati. Katanya, dia tidak membutuhkan itu dan melihatku sudah cukup untuknya. Akan tetapi, bukan Raya jika tidak keras kepala dan tegas memaksanya. Sampai akhirnya Mas Bima menyerah dan membiarkanku merawat lukanya. “Kamu habis berantem sama siapa, sih, Mas?” Mas Bima tertunduk lesu. Aku memang bukan tipe orang yang suka ikut campur dengan urusan orang lain. Namun, kali ini aku sungguh berharap Mas Bima mau bercerita. “Mas? Aku gak boleh tau tentang kamu lagi, ya?” tandasku membuatnya mengangkat kepala. “Bukan begitu, Raya.”“Terus, apa?” Mas Bima men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status