"Jika tahu sukses akan membuatmu berkhianat, maka aku akan mengubah doaku untuk kebangkrutanmu, Mas." Araya Nastiti Atmaja, istri setia yang sudah menemani suaminya sejak masih susah hingga sekarang sudah menjadi pengusaha sukses, harus menelan pil pahit ketika mengetahui suaminya diam-diam menikah siri dengan pegawainya sendiri yang belum lama menjadi janda. Bagaimana kelanjutan rumah tangga mereka? Temukan jawabannya di buku ini!
View More"Bu Araya, jangan …!"
Langkah Araya terhenti. Menoleh dan mendapati seseorang yang tadi memanggil dengan larangan yang tidak dimengerti maksudnya apa, menatapku dengan wajah takutnya. "Kamu kenapa lihat aku datang kayak lihat setan, sih? Bapak ada di dalam, kan?" tanyaku pada Saras. Salah satu pramusaji yang bekerja di rumah makan Mas Bima. Bukannya segera menjawab pertanyaanku, Saras justru membuat gerak tubuh yang aneh. Kepalanya celingukan seperti mencari sesuatu sambil mengukuri belakang lehernya. Aku pun mengikuti arah gerak kepalanya meskipun sepertinya kami tidak menemukan apa yang sedang dicarinya. "Sudah, kamu lanjut kerja aja, Ras. Biar aku cari Mas Bima sendiri. Kayaknya dia di ruang kerjanya, deh." Baru aku melangkah dua kali melewatinya, Saras berseru dengan suara ragu, "Bu, jangan masuk, Bu!" Aku berhenti. Kembali menoleh dan mendapati Saras menundukkan wajahnya sambil meremas jari tangannya sendiri. "Memangnya kenapa, Ras?" tanyaku lagi. "Itu, Bu. Soalnya …." Saras tidak melanjutkan ucapannya. Aku makin penasaran ada apa di ruang kerja suamiku sehingga Saras bertingkah aneh seperti itu sejak tadi. Ditambah dengan kedatangan Susi di antara kami yang kukenal baik karena dia sudah cukup lama menjadi pelayan di rumah makan suamiku. "Sudah, Ras. Biarkan Ibu tahu. Kasihan juga Ibu kalau makin lama tidak tahu apa-apa," ujarnya pada Saras yang jelas bisa kudengar karena mereka ada di depan mataku. "Memangnya ada apa, sih, Sus? Kenapa kalian berdua ini bersikap aneh sekali hari ini?" cecarku. Sudah hampir 4 tahun belakangan ini aku memang jarang ke sini. Sejak putri keduaku lahir, Mas Bima melarang aku sering datang supaya aku bisa fokus dengan kedua putri kami. Namun, sesekali aku masih tetap datang sekedar untuk menyapa para pekerja dan tentunya dengan sepengetahuan suamiku Awalnya aku sedih karena setengah tahun belakangan ini benar-benar dibatasi Mas Bima untuk ikut campur urusan usahanya. Itu karena punya usaha rumah makan seperti ini adalah impian yang terpendam sejak menikah muda dengannya. Akan tetapi, saat bisa membersamai Mas Bima membangun usahanya dari nol hingga sukses seperti sekarang, ada rasa bahagia yang tergantikan saat melihat usaha suamiku berjalan lancar. "Lebih baik Ibu lihat sendiri saja, ya, Bu," lirih Susi tidak juga mau menjelaskan. Aku pun tidak membuang waktu lagi untuk mencari tahu sendiri seperti yang mereka bilang. Dadaku berdebar dan merasa gusar. Gelagat aneh yang kulihat dari Saras dan Susi membuatku berpikir yang macam-macam tentang Mas Bima. Namun, sekuat tenaga aku menghilangkan pikiran negatif itu. Mengingat tujuanku datang tanpa memberi kabar terlebih dulu kepada Mas Bima adalah untuk membuat kejutan untuknya. Membawa kabar gembira atas kehamilan anak ketiga kami. Aku dan Mas Bima sudah punya dua orang putri selama menikah hampir sepuluh tahun. Putri pertama kami —Astuti Soraya Hakim, sudah duduk di bangku kelas 2 SD dengan usia 8 tahun. Sedangkan putri kedua kami —Andini Soraya Hakim, baru mulai masuk PAUD karena masih berusia 4 tahun. Dan kehamilan ketiga yang baru ku ketahui pagi ini, kuharap bisa menjadi kado terindah di peringatan hari akad kami yang kesepuluh, minggu depan. "Minggu depan kamu jadi ke Bali sama Mbak Raya, Mas?" Langkahku kembali terhenti tepat di depan pintu ruang kerja Mas Bima yang pintunya tidak tertutup dengan benar. Suara dari wanita yang cukup familiar membuatku penasaran. "Jadi, dong. Kan, udah jadi kebiasaan kami setiap anniversary selalu pergi honeymoon." "Yah, aku bakalan kesepian, dong." "Cuma sebentar, Sayang. Paling juga seminggu aja kita di sana. Nanti kamu boleh ambil cuti terus liburan sendiri atau apapun asal kamu senang dan gak bosan lagi." "Kalau aku mau ikut ke Bali boleh? Aku belum pernah ke Bali, Mas. Pengen banget pergi ke Bali juga," rengek Cantika. Dadaku bergemuruh sejak mendengar percakapan mereka dari balik pintu. Suara mendayu dari karyawan lama di rumah makan suamiku membuatku mual. Belum lagi balasan Mas Bima yang terdengar sama lembutnya. Tanpa sadar kedua tanganku mengepal erat menahan gejolak amarah. "Nanti siapa yang jagain kamu kalau ikut liburan ke Bali? Aku gak bisa, Sayang. Aku pasti bakalan ditempeli terus sama Araya. Gak mungkin bisa nyamperin kamu." "Ya udah, tapi Mas janji, ya. Nanti kalau kita anniversary, Mas juga ajakin aku honeymoon kayak Mbak Raya." "Iya, Sayang. Nanti kita pergi ke tempat yang kamu mau. Mas janji, tapi sekarang kasih mas jatah dulu, ya?" Air mataku menetes mendengarnya. Sama sekali tidak menyangka jika pria yang ku puja setengah mati ternyata ada main curang dengan karyawannya sendiri di belakangku. Apalagi aku tahu siapa wanita yang sedang bermanja dengan suamiku di ruang kerjanya. Cantika Putri Rahayu. Seorang janda dengan dua anak yang baru enam bulan ini ditinggal suaminya meninggal karena kecelakaan. Salah satu karyawan lama di rumah makan suamiku yang sudah aku anggap seperti adik sendiri. Kenapa kalian tega melakukan semua ini di belakangku? Aku menghapus air mata yang membasahi wajahku. Aku ingin mendengar penjelasan dari mereka tanpa memperlihatkan wajah sedihku. Sekalipun hatiku hancur berkeping-keping, aku tidak mau terlihat lemah di depan mereka. Prinsipku, siapa yang curang, dia yang harus menderita. Aku tidak akan hancur dengan pengkhianatan mereka. Justru mereka yang akan menyesal karena sudah bermain api di belakangku. Baru saat aku hendak masuk ke dalam ruang kerja Mas Bima, tanganku ditahan seseorang dari belakang. Aku menoleh dan mendapatkan uluran sebuah benda ke tanganku. "Bawa ini, Bu. Barangkali nanti dibutuhkan," bisiknya samar-samar. Aku mengangguk mengerti, tetapi tidak juga mengambil benda tersebut dari tangannya. Aku justru menatapnya dengan tatapan penuh harap. "Tolong kamu bantu, ya?" balasku sama lirihnya. "Baik, Bu." Setelah mendengar persetujuan dan melihat anggukan kepala darinya, aku baru memantapkan hati untuk membuka pintu ruang kerja suamiku lebar-lebar hingga mereka berdua terkejut melihat kedatanganku. "Araya!"Mataku membola mendengar apa yang dikatakan ibunya Mas Bima. Aku terkejut mendengar cerita kenekatan Cantika demi Mas Bima. Aku segera memberi kode kepada kedua putriku untuk berpindah ruangan. Aku tidak mau mereka mendengar kata-kata yang tidak sepantasnya didengar anak kecil. Untungnya kedua putriku sangat penurut dan segera pindah keluar. Ada rasa sedikit khawatir karena niat baik untuk rujuk dengan Mas Bima sudah langsung kembali dihadapkan akan masalah seperti ini. Aku tidak mungkin menghalangi Mas Bima untuk pergi, jika taruhannya sebuah nyawa. “Bima, kenapa kamu diam saja, Nak? Kamu dengar Ibu bilang apa, kan? Kamu mau kesini, kan? Ibu dan Budi gak bisa mengatasi Cantika soalnya. Ibu takut dia beneran nekat.” Suara ibunya Mas Bima terlihat sangat panik. Dia pasti sungguhan takut terjadi apa-apa pada Cantika. Karena, jujur saja aku pun sama takutnya dan tidak ingin Cantika n
“Kamu kenapa nekat banget, sih, Mas? Tahu sendiri Cantika segitunya pertahankan kamu. Harusnya kamu bisa pertimbangkan dulu, barangkali memang kamu baiknya sama dia aja.” Meskipun aku tidak suka dengan perbuatan Cantika, tetapi aku tidak tega melihat dia seperti saat ini. Cintaku untuk Mas Bima mungkin juga sudah tidak utuh seperti dulu. Sehingga aku bisa memberikan opsi kepadanya untuk mempertimbangkan Cantika. “Seperti yang aku bilang tadi, Raya. Aku baru sadar kalau aku gak cinta sama dia. Aku cuma kasihan dan itu jauh berbeda dengan rasa yang aku punya buat kamu.” “Aku belum tentu mau untuk mempertahankan rumah tangga kita, Mas.” “Aku gak peduli, Raya. Walaupun nanti kamu memilih untuk berpisah denganku, aku tidak akan menyesal karena sudah mentalak tiga Cantika. Bagiku saat ini, jika bukan bersamamu, maka aku tidak akan bersama siapapun. Biarlah hidupku nanti aku dedikasikan untuk bekerja, untuk men
“Kamu gak boleh balikan sama Mbak Raya, Mas. Kamu harus rujuknya sama aku,” rengek Cantika yang datang tanpa diundang. “Kamu sudah gak ada hak untuk ikut campur sama apapun urusanku, Cantika. Aku sudah mentalakmu. Kamu bukan istriku lagi dan sekarang tidak punya hak apapun untuk mengaturku.” “Tapi aku gak mau ditalak, Mas. Please, maafin aku. Kasih aku kesempatan untuk perbaiki hubungan kita. Aku janji gak akan punya hubungan apa-apa lagi sama Mas Budi, atau pria manapun. Ya, Mas, ya? Aku mohon, Mas.” Secara spontan kakiku melangkah mundur saat Cantika berjalan mendekati Mas Bima untuk merayunya. Mimik wajah masih ku pertahankan tetap tenang dan tidak cepat bereaksi. Aku mau melihat bagaimana Mas Bima menghadapi wanita itu. Apakah dia akan kembali tergoda, atau sebaliknya? Terlebih saat ini Cantika terlihat sangat menarik dengan pakaian seksi dan dandanan m
“Em, itu …,” kataku dengan ragu. Belum sampai aku menjawab lengkap pertanyaan dari Mas Bima, sudah terdengar suara sapaan dari luar kamar. “Assalamualaikum,” ucap Astuti dan Andini dengan kompak. “Waalaikumsalam warahmatullah,” balasku dengan Mas Bima juga bersamaan. Kedua putri kami itu terlihat terkejut saat melihat keberadaan Mas Bima yang sedang menggendong adik bayi mereka. Namun, keterkejutan itu hanya sesaat sampai Astuti memulai mendekat untuk menjabat tangannya. Andini pun mengekor di belakangnya. Walaupun keduanya diam tanpa kata, tetapi aku sudah cukup bangga dengan kesantunan mereka yang masih bersikap baik kepada Mas Bima yang mungkin pernah menyakiti hati anak-anaknya. “Mbak Tuti sama Dik Dini dari mana?” tanya Mas Bima berusaha membangun interaksi dengan kedua putrinya. “Dari masjid, Pak. Kalau sore kita ada belajar ngaji di masji
“Bagaimana jika aku tidak pernah ingin menalakmu, Raya? Apa kamu akan menggugat cerai aku di pengadilan?” Aku diam saja. Ternyata pertanyaan itu cukup menggoyahkan perasaanku. Aku yang awalnya sudah yakin akan berpisah dengan Mas Bima, menjadi ragu karena sudah tahu semua kronologinya. Meskipun itu semua tidak cukup untuk menghapus dan menyembuhkan luka yang terlanjur dibuatnya. “Aku sudah menjatuhkan talak kepada Cantika, tapi kamu tenang saja. Aku tidak akan memaksamu untuk harus menerimaku kembali. Aku cukup tahu diri, karena yang terpenting bagiku saat ini adalah melihatmu bahagia tanpa kurang suatu apapun. Baik dengan kembali kepadaku, ataupun tanpa diriku lagi.” “Aku …, belum tahu, Mas,” kataku dengan jujur. Banyak pertimbangan yang membuatku ragu. Bukan hanya takut Mas Bima akan kembali mengulang kesalahan yang sama. Akan tetapi, aku pun takut jika aku akan mengungkit kesalahan Mas Bima ini di mas
Aku meminta Mak Ijah membawakan kotak P3K yang biasa disimpan di dapur. Aku tidak tahan melihat luka di wajah Mas Bima dibiarkan begitu saja. Aku mengambil kompres dingin untuk memar di beberapa bagian wajahnya. Juga membersihkan luka dan memberikan obat antiseptik. Awalnya Mas Bima menolak untuk diobati. Katanya, dia tidak membutuhkan itu dan melihatku sudah cukup untuknya. Akan tetapi, bukan Raya jika tidak keras kepala dan tegas memaksanya. Sampai akhirnya Mas Bima menyerah dan membiarkanku merawat lukanya. “Kamu habis berantem sama siapa, sih, Mas?” Mas Bima tertunduk lesu. Aku memang bukan tipe orang yang suka ikut campur dengan urusan orang lain. Namun, kali ini aku sungguh berharap Mas Bima mau bercerita. “Mas? Aku gak boleh tau tentang kamu lagi, ya?” tandasku membuatnya mengangkat kepala. “Bukan begitu, Raya.”“Terus, apa?” Mas Bima men
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments