MasukMalam itu, setelah Rex pergi, Anita duduk di kursi yang sama.
Ia masih bisa mencium sisa aroma kopi yang dibawa pria itu, bercampur dengan suara lembutnya yang entah kenapa masih bergema di kepalanya.Ia tahu keputusan menikah pura-pura ini gila.Tapi lebih gila lagi kalau membiarkan Nathan tumbuh tanpa kasih di panti asuhan.Matanya menatap layar ponsel, membaca pesan singkat dari Rex yang baru saja masuk.Rex : Terima kasih sudah mau bicara. Besok aku kirim draft perjanjian pernikahan pura-puranya. Jangan khawatir, tanpa pasal cinta.Anita tersenyum samar.Anita : Oke.Satu pesan masuk lagi dari Rex.Rex : Hari Senin, kamu mau pakai baju apa? Jangan fashion aneh kaya tadi.Anita merotasi bola matanya tapi pipi bersemu merah.Anita : Aku pakai kemeja putih dan celana hitam.Rex : Mau magang kamu?Anita : kebaya putih dengan rok brukat.Rex tersenyum.Rex : Cakep.Rex : Aku udah hubungi pak Deni, dia punSetelah memandikan Nathan, Anita mengganti pakaian dan Rex tampak segar setelah mandi—mereka pergi ke supermarket yang letaknya tidak jauh dari komplek.Supermarket yang memiliki banyak cabang di berbagai daerah di kota Bandung itu tampak ramai mungkin karena hari ini adalah tanggal gajian.Rex menurunkan Nathan di kursi khusus bayi troli belanjaan, bayi laki-laki lucu itu tampak senang—mengayunkan kedua kakinya sambil tertawa.“Nit, jangan irit ya … beli semua kebutuhan kamu, kebutuhan Nathan dan kebutuhan di rumah … siapa tahu besok atau lusa aku harus balik ke Jakarta ….”Tangan Anita yang sudah terangkat hendak meraih susu Nathan terhenti di udara selama beberapa detik.Dia berbalik, menyimpan box susu di troli kemudian mengangguk sambil tersenyum getir.Ada rasa bersalah menyeruak di hati Rex melihat ekspresi Anita.“Nathan, enggak boleh … Kamu iseng ah.” Anita menegur Nathan yang memasukan banyak makanan ke troli.“Enggak apa-apa, mungkin dia mau ngemil sambil nonton kar
Suara ketikan laptop, dering telepon internal, dan kursi kantor yang diseret memenuhi ruang meeting lantai dua kantor cabang LZ Corp Bandung. Berkas menumpuk seperti menara kecil, dan papan kaca di dinding sudah penuh coretan alur transaksi mencurigakan.Hari ini, suasananya mulai terasa berbeda.Lebih berat.Lebih serius.Karena audit sudah masuk fase terakhir, pencocokan tanggal transaksi dan identifikasi pihak yang memanipulasi data.Rex berdiri dengan tangan menyilang, menatap layar yang diproyeksikan Bagas, auditor utama.“Pak Rex, ini tiga transaksi terakhir yang pola penyamarannya identik. Menurut saya, ini pelakunya sama,” ujar Bagas.“Cross-check sama tiket IT. Ada siapa yang login pakai akun keuangan tanggal-tanggal itu,” balas Rex.“Sudah, Pak… dan hasilnya—satu nama yang sama muncul di semua akses itu.”Suasana langsung menegang.“Apa … kita harus laporkan ke pusat sekarang?” Devi memberi ide.Rex menatap layar dengan wajah datar. “Saya mau pastikan dulu.”Baga
“Baik,” kata petugas Dinas Sosial sambil membuka tablet. “Sekarang saya ingin memastikan beberapa hal terkait kesiapan keluarga Bapak sebagai wali Nathan.”Rex mengangguk, Anita juga.“Pertama, hubungan pernikahan kalian. Bagaimana kalian berdua menjalani kehidupan rumah tangga selama sepekan ini?”Anita menegang.Rex menautkan jari-jarinya santai di atas paha. “Sejauh ini, kami membagi tugas dengan baik. Istri saya lebih banyak mengurus kebutuhan harian Nathan karena saya bekerja. Kebetulan baru bulan depan Anita mulai mengajar offline. Tapi saya selalu menggantikan tugas ketika pulang.”Anita mengangguk cepat. “I-iya. Suami saya sangat membantu. Dia yang mandiin Nathan malam. Dia juga gantian bangun kalau Nathan rewel.”Nathan memeluk Rex seolah membenarkan pernyataan itu.Petugas tersenyum kecil.“Bagus. Dan… bagaimana komunikasi kalian?”Rex dan Anita saling menoleh—dan sama-sama pura-pura santai.“Baik,” jawab Anita.“Sangat baik sekali,” timpal Rex berlebihan.Anita
Hujan tipis Bandung belum benar-benar berhenti sejak siang. Jalanan basah, udara lembap dan dingin menusuk masuk lewat ventilasi kantor cabang LZ Corp Bandung.Rex menatap jam tangan untuk kelima kalinya dalam sepuluh menit terakhir.16.42.“Pak Rex, ini laporan yang harus Bapak review dulu—”Devi dengan pakaian kantor menantang, berdiri di depan meja setelah tadi mengetuk pintu kemudian berjalan melenggak-lenggokan pinggangnya sambil membawa map merah muda yang sama sekali tidak dibutuhkan Rex hari ini.Rex menatap map itu, lalu menatap Devi.Pikirannya hanya satu: Home visit jam lima.Anita di rumah sendirian.Nathan kemungkinan baru bangun tidur.Dan petugas dinas pasti tepat waktu.“Taruh di meja saya. Besok saja saya periksa,” kata Rex sambil menutup laptop tanpa pikir panjang.Devi langsung mengerjapkan bulu mata palsunya yang panjang cepat-cepat, gaya genit kebiasaannya. “Besok? Tapi… Pak Rex biasanya ngecek semuanya sebelum pulang…”“Besok.” Suara Rex dalam dan teg
“Mmm—enak!” Nathan mengulum es krim vanila yang Rex sodorkan dengan penuh dramatis, lelehan kecil mengotori dagu mungilnya.Rex tertawa pelan, matanya menatap gantian pada dua makhluk yang kini mengisi hari-harinya dengan cara paling luar biasa, Anita dan Nathan. “Ayo … suap lagi, buddy. Abisin ya nanti dimakan mami.”Anita yang duduk berhadapan dengan Rex di lantai berkarpet tebal itu mendelik manja sementara Nathan duduk di antara mereka.Dia membelai rambut Nathan sekali dua kali sambil mengunyah ice cream karena bukan hanya Nathan saja yang mendapat ice cream, tentu maminya Nathan juga.Televisi sedari pagi menyala, sempat mati ketika Nathan tidur siang, selebihnya memutar film kartun favorite bocah laki-laki itu.Dan ketika memutar lagu Baby Shark, Nathan sontak berdiri, berjoget sambil tepuk tangan.“Bosen banget aku sama lagu ini, seharian entah berapa kali diputer.” Anita mengeluh.Rex menanggapi dengan tawa pelan. “Enggak apa-apa, namanya juga bayi … kan aneh kalau dia
Rex belum sepenuhnya pulih dari kekacauan kecil pagi tadi—Nathan tantrum, ibu-ibu bergosip, bu Hera dan pak Andri ikut-ikutan membujuk, lalu kecupan tiba-tiba di kening Anita, yang ia lakukan dengan niat sandiwara, tapi efeknya ke dirinya sendiri malah seperti kena petir.Masalahnya setiap kali ia mengingatnya, dadanya berdebar heboh.Anita—yang pipinya merah padam ketika itu—langsung kabur masuk rumah begitu pintu mobil tertutup. Dan Rex hanya bisa menghela napas, menegakkan punggung, lalu memacu mobil menuju kantor cabang LZ Corp Bandung.Begitu Rex memasuki ruang meeting lantai dua, tim audit sudah standby. Map tebal, laptop terbuka, ekspresi tegang—semua tanda bahwa mereka mendekati garis akhir.“Selamat pagi, Pak Rex,” sapa Devi, sekretarisnya, menyerahkan laporan harian.Rex membaca cepat. “Kemajuannya oke. Sudah di-cross-check sama tim legal?”“Sudah, Pak. Dan Pak Fadhil dari Divisi Keuangan Pusat tadi telepon. Katanya, kalau hari ini kita menemukan missing-link terakhir,







