Share

Bab 3. Ancaman Hans

"Kalau mau nangis, nangis aja kali Mbak gak akan ada yang larang kok," ujar Athar dengan senyumannya yang khas seraya menatap jalanan.

Saat ini, sebenarnya aku sedang berada di dalam mobil Athar. Tadi setelah insiden serangan mantan mertuaku, lelaki bertubuh tegap yang masih menggunakan beskap itu bersikeras mengantarku pulang meski aku sudah menolaknya mentah-mentah karena tak mau ada gosip terlebih dia tadi bilang mau membelikanku 'cincin nikah'.

Malas sumpaaaah! Bukan apa-apa, aku tidak mau berurusan dengan keluarga mereka lagi apa pun alasannya.

Aku mendesis. "Siapa yang mau nangis? Jangan sok tahu," elakku seraya membuang muka ke arah jendela mobil. Menyembunyikan wajah yang sudah memerah karena menahan genangan air di pelupuk mata.

Gengsi kali harus nangis bombay di depan Athar? Meski dia sudah menyatakan kalau dia ingin menikahiku, tentu itu bukan alasan aku menjadi terlihat cengeng di depannya. 

Jujur, aku masih terngiang-ngiang perkataan mantan mertuaku di pesta tadi yang mengatakan bahwa aku memang pantas tidak punya keturunan. Tega-teganya si Ibu memulai membahas tentang persoalan kami di depan orang banyak.

Tega! Kenapa sih dia harus menyinggung kekuranganku sehingga aku lepas kendali? Kenapa hal buruk tadi harus terjadi? Kenapa harus demikian?

Selama aku menikah persoalan 'anak' itulah yang paling sensitif dan kadang membuatku menjadi wanita yang paling tak berharga. Padahal anaknya sendiri yang divonis dokter memiliki masalah Azoospermia dan akulah yang harus bersabar selama ini.

So, siapa yang di sini bermasalah?

AAAARGH! Jika mengingat itu rasanya hati ini terasa sangat dicabik-cabik. Yang salah siapa, yang dihina siapa.

Zaman memang sudah edan!

 "Mbak?" Panggilan Athar kembali terdengar setelah beberapa saat suasana mobil sepi layaknya kuburan.

"Apa?"

Aku menjawab tanpa melihat ke arah Kafka karena mataku masih saja mengeluarkan buliran bening itu.

"Udah belum nangisnya?" tanyanya dengan nada pelan seperti takut aku terganggu. "Makan yuk?" ajaknya lagi.

Aku menggeleng kuat. "Gak. Saya gak mau makan. Saya mau pulang."

"Kalau gitu ngopi dulu gimana?"

"Gak. Saya gak haus."

"Ya udah ehm ... kita beli cincin aja gimana?"

"Cincin nikah lagi? Enggak Thar! Enggak! Saya udah bilang kan gak mau membeli itu, saya belum siap menerimanya," tolakku jutek sambil berbalik menghadap Athar. 

Heran, anak ini makan apa sih? Usulnya itu loh suka bikin naik pitam.

Athar terkekeh lucu melihat reaksiku yang agak berlebihan. Tapi, aku tak perduli.

Maaf aja nih, aku lagi sensitif dan gak mood menyinggung begituan! Aku trauma.

"Iya, iya Mbak Kania. Kita gak akan ke sana kok. Siapa juga yang mau ke toko mas? Tenang Mbak ... jangan langsung ngambek gitu dong. Saya gak akan maksa kalau Mbak gak mau," dalih Athar sembari menahan tawanya. Modus.

Ish! Senang sekali dia menguji imanku.

"Bagus! Itu yang saya harapkan, baiknya memang kamu gak usah bahas itu lagi."

"Iya Mbak kita gak usah beli cincin dulu tapi langsung ke KUA aja gimana?"

"Astaghfirullah Athaaaar!" 

Tawa Athar seketika berderai mendengarku yang kesal. Melihat dia begitu gembira, sejenak aku sempat terpana pada wajahnya yang lebih tampan ketika tertawa. Rahangnya yang ditumbuhi rambut halus membuat Athar tampak sangat gentle.

'Eh, Kania, sadar! Kamu harus menjauhinya. Dia adik dari Anita 'sang pelakor' ingat itu!' Batinku berontak.

"Hahaha Mbak serius banget sih? Sampe istighfar segala. Canda kali Mbak, tapi emang Mbak gak mau sama orang ganteng kayak saya? Wajah kayak saya ini banyak yang ngantri kali Mbak, ntar kalau diambil orang Mbak rugi loh," ucapnya seraya cengengesan. Lagi, wajah jahilnya terlihat sangat menyebalkan. 

Aku memutar bola mata.

"Bodo amat!" jawabku asal. 

"Beneran? Saya ini terkenal loh Mbak." 

"Gak perduli."

"Masa? Kalau Mbak gak perduli kenapa dari tadi liatin saya terus?"

Allahu Akbar! Tobat! Kenapa ada orang sepede ini?

"Athar, please! Tolong jangan goda saya terus, oke? Udahlah, saya mau pulang sendiri. Saya minta kamu berhentiin saya di halte depan saja," pintaku pada Athar sembari menunjuk halte bis yang berada lima puluh meter di depan kami.

Athar mengernyitkan dahi. "Halte depan? Serius Mbak? Mbak yakin gak mau saya anter?" tanya ptis tampan itu ragu.

"Iya. Tolong berhenti di situ saja!"

"Bener?"

"Bener dan saya harap kamu gak usah banyak tanya lagi, jika tidak mau saya loncat dari mobil," ucapku lebih tegas.

Melihatku 'keu-keuh sumekeuh' Athar tak ayal menarik napas dalam. "Ya udah saya turunin Mbak di situ tapi ...."

"Tapi apa?"

Nah, nah, nah! Firasatku mulai tak enak lagi. 

"Tapi, Mbak jangan nangis lagi, ya? Soalnya Mbak jelek kalau lagi nangis."

Hwaaaa! ATHAAAAR! Cukuup!

(***) 

Pernah nggak jalan kaki kayak orang gila dengan mata sembab sepanjang kurang lebih 2 kilometer? Jika belum pernah, please don't try this anywhere! Karena melakukannya sama saja dengan definisi 'mempersulit diri'.

Setelah diturunkan di halte oleh Athar, aku memutuskan untuk berjalan kaki ke rumah sekaligus menenangkan pikiran walau hasilnya bukannya tenang tapi gempor. Mana aku kemalaman lagi akibat mampir sana-sini.

Bodoh! Ya, aku memang bodoh. Entah berapa kali kurutuki diri karena memaksakan datang ke nikahan mantan suamiku hanya untuk dipermalukan.

Perih, Ya Allah.  Kania gak kuat.

Untung saja ada Athar tadi yang membelaku dan sedikitnya membuatku terharu.

Eh, tapi bentar! Kenapa aku malah memikirkan Athar lagi, sih? Kenapa  lamarannya juga terus terngiang? Apa aku mulai tertarik?

Haish! Tidak ... tidak! Sepertinya di rumah nanti aku harus merukiyah diriku sendiri agar tidak terkena Athar-nisasi.

"Huft!"

Aku menarik napas dalam ketika tanpa sadar langkah kakiku sudah mengantarkan diri ini ke ujung gang rumah Mamah. Kuseka sebisa mungkin air mata agar terlihat baik-baik saja, aku tidak mau membuat orang tuaku khawatir.

Namun, baru saja aku selesai membenahi diri, mataku sontak saja membelalak ketika melihat siapa yang sedang berdiri menungguku di pos ronda yang letaknya tak jauh dari rumah.

"Hans?!" pekikku tertahan karena tak menyangka.

Hans yang malam itu telah berganti kostum mengenakan kaus dan celana jeans, berdiri menatapku dari kejauhan.

Sekilas, aku bisa melihat matanya yang menatapku tajam.

Untuk apa dia di sini? Bukankah seharusnya dia sedang bersiap malam pertama? Mengingat jam di tanganku menunjukan pukul 7.00 malam.

"Akhirnya kamu datang juga, Ni? Sudah puas berbuat kekacauan dan mempermalukan keluargaku?" tuduhnya dengan serta-merta ketika jarak kami kian dekat.

Aku tercekat. Inikah alasan dia menungguku? Hanya untuk ini? Bed*bah!

"Mempermalukan? Cih! Siapa yang mempermalukan siapa? Ah, sudahlah Mas aku lelah. Aku tidak mau membahas ini lagi. Lebih baik Mas kembali ke Jeje, istri baru Mas pasti sedang menunggu Mas, aku permisi," sindirku tak perduli seraya berjalan melewatinya. Namun, baru saja dua langkah tanganku tiba-tiba ditarik Hans. 

"Heh Kania! Kok kamu gitu sama aku? Nia, jangan pergi dulu! Katakan sama aku, apa kamu menerima lamaran Athar?" cegah Hans sambil menahan tanganku.

"Itu bukan urusan kamu Mas."

Aku sontak saja menangkis tangan Mas Ari tapi lelaki kejam itu malah menghalangi jalanku.

"Kania! Jawab!"

Allahu Akbar! Kenapa kepo banget sih si mantan yang kelakuannya mirip setan ini? Apa sih maunya?

"Mas, apa-apaan sih?" hardikku emosi membuat Hans menghembuskan napas gusar.

"Kamu masih nanya aku ngapain? Kamu tuli atau apa? Aku nanya Nia, apa kamu nerima Athar? Apa pertanyaanku kurang jelas?"

"Jelas, Mas! Jelas banget tapi aku rasa Mas gak perlu tahu jawabannya! Jadi lebih baik Mas minggir!"

"Gak aku gak akan minggir! Inget ya Ni, aku gak akan biarin kamu masuk ke keluarga Anita, jadi aku harap kamu menolak Anita atau kamu akan menyesal!"

Hans melayangkan telunjuknya ke depan hidungku sebagai bentuk ancaman tapi kubalas dengan dengusan.

"Menyesal? Kenapa aku harus menyesal? Athar itu lelaki baik. Jadi, jangan sok ngatur aku Mas! Minggir!" bentakku keras karena dia terus saja menghalangiku setiap aku melangkahkan kaki.

Hans menggeleng tegas. "Gak saya gak akan minggir! Sampai kamu berjanji gak akan Nerima Athar!"

"Oh jadi Mas gak akan minggir?"

"Iya, kamu mau apa?" tantangnya dengan wajah songong membuat amarahku mencapai ubun-ubun.

"Oke, kalau gitu rasakan ini!" Tanpa perlu basa-basi lagi aku langsung menendang bagian 'anu'-nya Hans hingga dia berteriak kencang kesakitan.

"AAAAK! KANIAAAA!" rintihnya sambil memegang bagian organ vitalnya yang baru kutendang. Sementara aku langsung kabur berlari ke dalam rumah sambil tertawa ngakak.

Syukurin! Suruh siapa ganggu janda!?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nunyelis
ditendang kania.... bisa2 hans sembuh dr *ejak......si di....nya".........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status