"Kalau mau nangis, nangis aja kali Mbak gak akan ada yang larang kok," ujar Athar dengan senyumannya yang khas seraya menatap jalanan.
Saat ini, sebenarnya aku sedang berada di dalam mobil Athar. Tadi setelah insiden serangan mantan mertuaku, lelaki bertubuh tegap yang masih menggunakan beskap itu bersikeras mengantarku pulang meski aku sudah menolaknya mentah-mentah karena tak mau ada gosip terlebih dia tadi bilang mau membelikanku 'cincin nikah'.
Malas sumpaaaah! Bukan apa-apa, aku tidak mau berurusan dengan keluarga mereka lagi apa pun alasannya.
Aku mendesis. "Siapa yang mau nangis? Jangan sok tahu," elakku seraya membuang muka ke arah jendela mobil. Menyembunyikan wajah yang sudah memerah karena menahan genangan air di pelupuk mata.
Gengsi kali harus nangis bombay di depan Athar? Meski dia sudah menyatakan kalau dia ingin menikahiku, tentu itu bukan alasan aku menjadi terlihat cengeng di depannya.
Jujur, aku masih terngiang-ngiang perkataan mantan mertuaku di pesta tadi yang mengatakan bahwa aku memang pantas tidak punya keturunan. Tega-teganya si Ibu memulai membahas tentang persoalan kami di depan orang banyak.
Tega! Kenapa sih dia harus menyinggung kekuranganku sehingga aku lepas kendali? Kenapa hal buruk tadi harus terjadi? Kenapa harus demikian?
Selama aku menikah persoalan 'anak' itulah yang paling sensitif dan kadang membuatku menjadi wanita yang paling tak berharga. Padahal anaknya sendiri yang divonis dokter memiliki masalah Azoospermia dan akulah yang harus bersabar selama ini.
So, siapa yang di sini bermasalah?
AAAARGH! Jika mengingat itu rasanya hati ini terasa sangat dicabik-cabik. Yang salah siapa, yang dihina siapa.
Zaman memang sudah edan!
"Mbak?" Panggilan Athar kembali terdengar setelah beberapa saat suasana mobil sepi layaknya kuburan.
"Apa?"
Aku menjawab tanpa melihat ke arah Kafka karena mataku masih saja mengeluarkan buliran bening itu.
"Udah belum nangisnya?" tanyanya dengan nada pelan seperti takut aku terganggu. "Makan yuk?" ajaknya lagi.
Aku menggeleng kuat. "Gak. Saya gak mau makan. Saya mau pulang."
"Kalau gitu ngopi dulu gimana?"
"Gak. Saya gak haus."
"Ya udah ehm ... kita beli cincin aja gimana?"
"Cincin nikah lagi? Enggak Thar! Enggak! Saya udah bilang kan gak mau membeli itu, saya belum siap menerimanya," tolakku jutek sambil berbalik menghadap Athar.
Heran, anak ini makan apa sih? Usulnya itu loh suka bikin naik pitam.
Athar terkekeh lucu melihat reaksiku yang agak berlebihan. Tapi, aku tak perduli.
Maaf aja nih, aku lagi sensitif dan gak mood menyinggung begituan! Aku trauma.
"Iya, iya Mbak Kania. Kita gak akan ke sana kok. Siapa juga yang mau ke toko mas? Tenang Mbak ... jangan langsung ngambek gitu dong. Saya gak akan maksa kalau Mbak gak mau," dalih Athar sembari menahan tawanya. Modus.
Ish! Senang sekali dia menguji imanku.
"Bagus! Itu yang saya harapkan, baiknya memang kamu gak usah bahas itu lagi."
"Iya Mbak kita gak usah beli cincin dulu tapi langsung ke KUA aja gimana?"
"Astaghfirullah Athaaaar!"
Tawa Athar seketika berderai mendengarku yang kesal. Melihat dia begitu gembira, sejenak aku sempat terpana pada wajahnya yang lebih tampan ketika tertawa. Rahangnya yang ditumbuhi rambut halus membuat Athar tampak sangat gentle.
'Eh, Kania, sadar! Kamu harus menjauhinya. Dia adik dari Anita 'sang pelakor' ingat itu!' Batinku berontak.
"Hahaha Mbak serius banget sih? Sampe istighfar segala. Canda kali Mbak, tapi emang Mbak gak mau sama orang ganteng kayak saya? Wajah kayak saya ini banyak yang ngantri kali Mbak, ntar kalau diambil orang Mbak rugi loh," ucapnya seraya cengengesan. Lagi, wajah jahilnya terlihat sangat menyebalkan.
Aku memutar bola mata.
"Bodo amat!" jawabku asal.
"Beneran? Saya ini terkenal loh Mbak."
"Gak perduli."
"Masa? Kalau Mbak gak perduli kenapa dari tadi liatin saya terus?"
Allahu Akbar! Tobat! Kenapa ada orang sepede ini?
"Athar, please! Tolong jangan goda saya terus, oke? Udahlah, saya mau pulang sendiri. Saya minta kamu berhentiin saya di halte depan saja," pintaku pada Athar sembari menunjuk halte bis yang berada lima puluh meter di depan kami.
Athar mengernyitkan dahi. "Halte depan? Serius Mbak? Mbak yakin gak mau saya anter?" tanya ptis tampan itu ragu.
"Iya. Tolong berhenti di situ saja!"
"Bener?"
"Bener dan saya harap kamu gak usah banyak tanya lagi, jika tidak mau saya loncat dari mobil," ucapku lebih tegas.
Melihatku 'keu-keuh sumekeuh' Athar tak ayal menarik napas dalam. "Ya udah saya turunin Mbak di situ tapi ...."
"Tapi apa?"
Nah, nah, nah! Firasatku mulai tak enak lagi.
"Tapi, Mbak jangan nangis lagi, ya? Soalnya Mbak jelek kalau lagi nangis."
Hwaaaa! ATHAAAAR! Cukuup!
(***)
Pernah nggak jalan kaki kayak orang gila dengan mata sembab sepanjang kurang lebih 2 kilometer? Jika belum pernah, please don't try this anywhere! Karena melakukannya sama saja dengan definisi 'mempersulit diri'.
Setelah diturunkan di halte oleh Athar, aku memutuskan untuk berjalan kaki ke rumah sekaligus menenangkan pikiran walau hasilnya bukannya tenang tapi gempor. Mana aku kemalaman lagi akibat mampir sana-sini.
Bodoh! Ya, aku memang bodoh. Entah berapa kali kurutuki diri karena memaksakan datang ke nikahan mantan suamiku hanya untuk dipermalukan.
Perih, Ya Allah. Kania gak kuat.
Untung saja ada Athar tadi yang membelaku dan sedikitnya membuatku terharu.
Eh, tapi bentar! Kenapa aku malah memikirkan Athar lagi, sih? Kenapa lamarannya juga terus terngiang? Apa aku mulai tertarik?
Haish! Tidak ... tidak! Sepertinya di rumah nanti aku harus merukiyah diriku sendiri agar tidak terkena Athar-nisasi.
"Huft!"
Aku menarik napas dalam ketika tanpa sadar langkah kakiku sudah mengantarkan diri ini ke ujung gang rumah Mamah. Kuseka sebisa mungkin air mata agar terlihat baik-baik saja, aku tidak mau membuat orang tuaku khawatir.
Namun, baru saja aku selesai membenahi diri, mataku sontak saja membelalak ketika melihat siapa yang sedang berdiri menungguku di pos ronda yang letaknya tak jauh dari rumah.
"Hans?!" pekikku tertahan karena tak menyangka.
Hans yang malam itu telah berganti kostum mengenakan kaus dan celana jeans, berdiri menatapku dari kejauhan.
Sekilas, aku bisa melihat matanya yang menatapku tajam.
Untuk apa dia di sini? Bukankah seharusnya dia sedang bersiap malam pertama? Mengingat jam di tanganku menunjukan pukul 7.00 malam.
"Akhirnya kamu datang juga, Ni? Sudah puas berbuat kekacauan dan mempermalukan keluargaku?" tuduhnya dengan serta-merta ketika jarak kami kian dekat.
Aku tercekat. Inikah alasan dia menungguku? Hanya untuk ini? Bed*bah!
"Mempermalukan? Cih! Siapa yang mempermalukan siapa? Ah, sudahlah Mas aku lelah. Aku tidak mau membahas ini lagi. Lebih baik Mas kembali ke Jeje, istri baru Mas pasti sedang menunggu Mas, aku permisi," sindirku tak perduli seraya berjalan melewatinya. Namun, baru saja dua langkah tanganku tiba-tiba ditarik Hans.
"Heh Kania! Kok kamu gitu sama aku? Nia, jangan pergi dulu! Katakan sama aku, apa kamu menerima lamaran Athar?" cegah Hans sambil menahan tanganku.
"Itu bukan urusan kamu Mas."
Aku sontak saja menangkis tangan Mas Ari tapi lelaki kejam itu malah menghalangi jalanku.
"Kania! Jawab!"
Allahu Akbar! Kenapa kepo banget sih si mantan yang kelakuannya mirip setan ini? Apa sih maunya?
"Mas, apa-apaan sih?" hardikku emosi membuat Hans menghembuskan napas gusar.
"Kamu masih nanya aku ngapain? Kamu tuli atau apa? Aku nanya Nia, apa kamu nerima Athar? Apa pertanyaanku kurang jelas?"
"Jelas, Mas! Jelas banget tapi aku rasa Mas gak perlu tahu jawabannya! Jadi lebih baik Mas minggir!"
"Gak aku gak akan minggir! Inget ya Ni, aku gak akan biarin kamu masuk ke keluarga Anita, jadi aku harap kamu menolak Anita atau kamu akan menyesal!"
Hans melayangkan telunjuknya ke depan hidungku sebagai bentuk ancaman tapi kubalas dengan dengusan.
"Menyesal? Kenapa aku harus menyesal? Athar itu lelaki baik. Jadi, jangan sok ngatur aku Mas! Minggir!" bentakku keras karena dia terus saja menghalangiku setiap aku melangkahkan kaki.
Hans menggeleng tegas. "Gak saya gak akan minggir! Sampai kamu berjanji gak akan Nerima Athar!"
"Oh jadi Mas gak akan minggir?"
"Iya, kamu mau apa?" tantangnya dengan wajah songong membuat amarahku mencapai ubun-ubun.
"Oke, kalau gitu rasakan ini!" Tanpa perlu basa-basi lagi aku langsung menendang bagian 'anu'-nya Hans hingga dia berteriak kencang kesakitan.
"AAAAK! KANIAAAA!" rintihnya sambil memegang bagian organ vitalnya yang baru kutendang. Sementara aku langsung kabur berlari ke dalam rumah sambil tertawa ngakak.
Syukurin! Suruh siapa ganggu janda!?
Aku mengamati wajah Athar yang masih memejamkan mata. Ini sudah hampir satu Minggu pasca kejadian nahas itu terjadi. Namun, tak ada tanda-tanda suamiku akan tersadar dalam waktu dekat ini. Tampaknya suamiku masih setia dalam tidur panjangnya."Sayang bangun ...." bisikku getir. "Thar maafin aku, ya. Maafin udah bikin kamu jadi kayak gini. Aku janji kalau kamu bangun, gak akan panggil kamu lagi dengan yang aneh-aneh. Ayo buka matamu Sayang! Kamu suamiku Thar, suamiku."Lagi, aku menangis karena menyadari kalau yang kuajak bicara sama sekali tak bereaksi.Aku tahu Athar mungkin tak mendengarku tapi entah mengapa aku sangat rindu. Aku rindu mendengar suaranya, aku rindu pelukannya dan aku rindu tingkahnya yang konyol saat menggodaku.Kuakui melihat Athar terbaring dengan banyaknya perban di kepala dan tubuh suamiku tak ayal hatiku terasa remuk dan perasaanku campur aduk.Sampai saat ini, aku masih gak menyangka suami yang kusayangi harus hidup hanya dengan dipenuhi berbagai alat yang men
Di tengah keputus-asaan dan kewarasanku yang tinggal setengahnya tiba-tiba telinga ini menangkap suara lelaki yang sangat kurindukan berteriak lantang. Sontak suasana jadi gak terkendali. Semua mata mengarah tajam ke arah pintu yang menampilkan bayangan suamiku.Ya Allah, alhamdullilah! Aku selamat. Dia datang."Athar, itu kamu, kan? Athar!" teriakku parau berharap penglihatanku gak salah. "Iya, Sayang! Ini aku! Bertahanlah! Aku akan bebasin kamu!" jawab Athar dengan suara bergetar. Pandangan matanya yang sedih beralih padaku yang sedang dalam kondisi mengenaskan."Iya, Thar! Hati-hati ya mereka orang jahat! Mereka menyekapku karena Anita! Dia gak mau kamu menuntut ibunya! Kamu jangan terpengaruh Athar!"Aku terus berusaha menambah keyakinan Athar. Melihat suamiku datang, rasanya tenagaku seolah disuntik ribuan vitamin. Aku berusaha kembali mengerahkan sisa tenaga untuk melawan para lelaki besar yang sedang mengikatku. Meski aku merasa kesakitan, kukuatkan jiwa dan raga demi bisa beb
Mataku terbuka setelah tersorot cahaya dari pintu kamar yang terbuka sempurna. Aku tidak tahu sudah berapa lama tertidur karena sepertinya aku pingsan usai dipukul oleh Ratna. Tak berapa lama, muncullah bayangan dua orang manusia yang berjalan dengan pongah dari ambang pintu. Dari bentuknya, aku yakin itu adalah dua orang wanita.Karena kepalaku masih sakit akibat hantaman benda tumpul, aku sangat sulit mengenali dengan jelas siapa saja yang datang itu. Terlebih, kini mataku terasa sangat perih dan parahnya badanku pun terikat hingga tidak bebas bergerak.Barulah setelah wanita itu menyalakan lampu dan sampai di depanku, aku langsung bisa melihat wajahnya yang serasa tak asing, meski lebih kurus dari sebelumnya tapi aku tahu kalau dia ...."Hey janda!" "Ternyata benar kalian bersekongkol? Berengsek!" makiku marah ketika melihat Ratna dan Anita berdiri di depanku sambil melipat tangan.Walau aku sudah curiga tetap saja kenyataan kalau mereka bersekutu sangat membuat darahku seolah men
Di antara kesadaran dan ketidaksadaran, sayup-sayup aku mendengar lagu BTS mengalun. Semula hanyalah alunan kecil semata tapi lama-lama semakin keras dan menuntut untut diangkat. Astaghfirullah! Ini siapa sih yang berani mengganggu tidurnya seorang istri yang baru saja menyelesaikan kewajibannya? Apa dia tidak tahu kalau aku sudah sangat bekerja keras demi mempersembahkan seorang anak bagi Athalarik Yusuf yang kekarnya setara dengan Aqua-Man? Astaghfirullah! Lemas, sumpah lemas. Gak nyangka kepiawaian berondong membuatku lupa akan trauma.Dikarenakan dering telepon itu terus mengganggu, dengan sangat terpaksa aku pun membuka mata. Walau pun nyawa belum kumpul semua dan melanglang buana setidaknya aku tahu dari arah mana itu berasal. Secara malas dan dengan masih memejamkan mata, aku merentangan tangan dan meraba-raba sisi di samping tempat tidur, berharap aku bisa menemukan benda pipih yang terus mengganggu itu dan akhirnya dapat."Halo, assalammu'alaikum. Halo? Siapa nih?" tanyaku
POV ATHARDengan perasaan masih tak karuan, aku hanya mampu terduduk di balik kemudi. Setelah melewati proses pemakaman dan interogasi yang menyita perhatian tentang kematian Clara akhirny aku bisa pulang. Namun, aku kecewa ketika sampai ke rumah aku malah tak menemukan Kania--istri yang selalu membuatku khawatir.Di mana dia? Kenapa semalam ini dia belum kembali? "Shit! Pake merah lagi!"Aku mendengkus kesal ketika mobilku terhalang lampu merah padahal perasaanku sudah sangat cemas. Sambil menunggu lampu berubah hijau, aku merogoh ponsel yang ada di saku celana. Tanganku gegas menekan tombol hijau untuk menelepon Kania tapi lagi-lagi gak ada jawaban. Hampir frustasi, aku memukul pelan setir dan lalu memandang layar hape yang menunjukan wajah istriku.Kupandang walpaper itu lamat-lamat.Heran. Ini orang narkoba apa manusia? Kenapa bisa membuatku resah begini? "Mbak kamu di mana? Lagi apa? Dan sama siapa?" Aku mendesah gelisah, apalagi lampu tak juga hijau. Sudah menjadi rahasia umu
Aku menatap perempuan yang ada di depanku dengan wajah datar. Sudah lima belas menit berlalu aku dan Anita duduk berhadapan di meja kafe tapi wanita di depanku belum juga bersuara. Tadinya, aku malas sekali menemui perempuan yang telah merebut Hans dariku ini tapi dia terus memohon hingga aku tak ada pilihan selain menemuinya. Pertemuan ini bermula dimulai dari beberapa waktu lalu di mana aku yang sedang membeli nasi goreng tiba-tiba melihat Anita turun dari mobil dan menghampiriku. Jujur, aku terkejut melihatnya menemuiku semalam ini, padahal aku kira dia sedang berada di luar kota dengan Bu Maryam sesuai yang aku lihat di medsosnya. Ternyata ... oh ternyata dia ada di sini, ajaib!Saat di depan tukang nasi goreng, Anita bilang dia ingin bicara padaku empat mata saja. Mulanya aku menolak karena curiga dan juga takut Athar mencari tapi dia tetap memaksa sampai memohon-mohon. Katanya ini sangat penting dan dia berjanji tidak akan lama berbicara. Entah apa tujuannya tapi kuakui kal