Share

Bab 2. Diserang Mertua

Ada yang bisa merukiyah lelaki di depanku gak? Biar apa? Biar dia sadar kalau yang dilamar olehnya ini adalah wanita berumur 32 tahun yang sudah memiliki tanda-tanda penuaan dan menyamarkannya dengan wudhu.

Aih. Preet!

Oh ya Allah! Athar ini kenapa sih? Kesambet apa over dosis? Bisa-bisanya dia melamarku di depan banyak orang, di pernikahan kakaknya yang PELAKOR itu lagi?

Aku harus jawab apa? Masa baru janda udah dikejar berondong?!

"Thar, maaf candaanmu udah gak lucu. Anggap aja kamu gak pernah mengatakannya, permisi!" kataku seraya bergegas membalikan badan.

Aduuh ... rasanya aku ingin menghilang.

"Eits! Mau ke mana Mbak?" Athar menahan tanganku.

"Pulang-lah," jawabku ketus seraya menepis tangannya dan berjalan ke arah jalan keluar gedung resepsi.

"Lah? Kok pulang? Lamaran saya gimana Mbak? Ini barusan saya tadi nyatain hal yang penting loh bukan lagi nawarin asuransi, masa langsung ditinggal?" tuntutnya dengan wajah super duper kecewa.

Aku menolehkan kepala sekilas sembari tetap berjalan karena gak enak yang lain mulai melihat kami. "Ya ampun! Kamu kenapa sih? Ini di tengah-tengah acara loh, kamu gak malu?"

"Saya gak malu. Yang penting Mbak nerima saya."

"ATHAR!"

Aku terpaksa menghadapkan badanku lagi pada Athar saking kesalnya.

Dia tersenyum nakal seolah senang telah membuatku berhenti.

"Kamu memang gak akan nyerah, ya?" tanyaku kesal.

"Ya. Saya harus tahu alasan Mbak menolak saya," tandasnya menyebalkan.

"Oke. Kalau begitu ayo ikut saya!" Aku mengajaknya untuk mengobrol lebih ke pinggir gedung, akibat perbuatannya semua orang menatap kami. Meski rasanya tetap saja gagal sebab kemana pun kami pergi orang-orang itu seakan sengaja mengikuti.

Kepo banget para tamu mah.

Setelah sampai di tempat aman aku langsung mendakwanya.

"Sekarang! Sebenarnya apa niat kamu berbuat ini? Kamu sengaja ya mempermainkan saya?" tanyaku to the point.

"Untuk apa saya mempermainkan Mbak? Saya serius mau menggenapkan agama. Masa gak boleh?" dalihnya sambil tersenyum penuh makna.

"Ya, bukannya gak boleh tapi status saya udah beda Athar.

"Mbak udah bersuami?"

"Enggak."

"Mbak udah punya anak?"

"Enggak juga."

"Punya kekasih?"

"Enggak Athar. Enggak!" tegasku atas sikap kukuhnya.

"Lalu apa? Mbak kan gak punya suami, gak punya anak terus apa alasannya? Emang status Mbak kenapa?"

Ya ampun nih laki satu beneran maksa banget, sih?!

"Saya ... saya ...."

Duh, bilang gak ya kalau aku ini trauma karena mantan suamiku? Aku gak bisa menerimanya karena dia adiknya Anita.

"Saya apa Mbak?"

"Sa-saya ja-ja-jan--"

"Dia janda Athar. Dia mantan istri kakak iparmu," potong sebuah suara tegas membuat aku dan Athar kompak berbalik.

Sontak saja mataku membelalak ketika melihat siapa yang memotongku barusan. Ternyata dia adalah mantan ibu mertuaku, namanya Bu Nurjanah. Dia adalah biang kerok yang membuat Hans meninggalkanku. Sepertinya peristiwa tadi membuat mantan mertuaku turun dari singgasana.

"I-Ibu?" tanyaku agak gagap.

Rupanya rasa traumaku ketika menjadi menantunya masih membekas dalam. Aku yang tahu watak ibu mertua tentu saja waspada.

Bu Nur tersenyum miring lalu dia melangkah menghampiriku dan Athar dengan wajah tak suka. Mau tak mau aku langsung bergeser, jaga jarak aman.

"Iya ini saya Kania. Kenapa? Kamu kaget? Kamu takut rahasia kamu terbongkar di depan Athar?" tuding Bu Nurjanah tepat ke depan wajahku.

Aku menelan ludah seraya menguatkan hati. Kenapa si Nenek lampir datang suka pas timing-nya sih?

"Jadi, Mbak Kania ini mantannya Mas Hans?" tanya Athar santai. "Oh begitu ternyata."

Aku mendelik heran pada Athar yang terkesan merespon biasa. Kenapa dia sama sekali tidak terkejut? Apa mungkin dia hanya berpura-pura tidak tahu?

"Ya, Athar saya mantan Mas Hans, oleh karena itu lebih baik kamu jangan lamar saya," ujarku serasa ada alasan menghindari Athar.

Athar menggeleng kuat. "Kalau saya mau tetap ngelamar gimana?"

Buset! Buset! Ini si Athar otaknya benar-benar sengklek kayaknya ya? Udah tahu aku janda, masih aja maju tak gentar.

"Ya gak gimana-gimana sih Thar tapi kamu berhak dapat yang lebih baik dan itu bukan saya," dalihku mencari alasan. Namun, Athar menggelengkan kepala kuat.

"Nggak Mbak. Bagi saya yang lebih baik itu Mbak Kania. Apa salah?"

Astaghfirullah ini laki! Susah banget dibilangin.

"Athar, benar kata Kania lebih baik kamu jangan melamarnya. Kamu gak malu punya istri janda? Bekas kakak iparmu lagi?" samber mantan mertuaku ngadi-ngadi.

'Bekas'? Apa kata si Nenek lampir itu 'bekas'?

Aku melotot seraya mengepalkan tangan. Kutatap tajam Bu Nurjanah, sekarang aku tak takut lagi karena kami sudah tidak ada ikatan apa pun seperti dulu.

Dulu, kuakui aku pernah takut karena dia begitu mendominasi, bahkan aku menuruti semua perintahnya hingga merasa beban sendiri dan lelah.

Terus sekarang? Jangan harap! Aku tidak mau diinjak-injak untuk ke-sekian kalinya.

"Apa kamu lihat-lihat?! Kamu takut aib kamu sebagai janda diketahui Athar? Kamu suka sama dia? Dasar menantu gak tahu diri!" ejeknya sambil melayangkan lirikan merendahkan.

Oh Tuhan Cukup! Aku sudah tidak tahan lagi. Tanpa melihat pandangan sekeliling lagi, aku langsung membuka suara dengan berani.

"Gak Bu, saya gak takut. Maaf jika Ibu mau membuka aib saya di depan Athar dan yang lainnya silahkan! Karena aib Ibu dan Mas Hans lebih banyak tapi saya gak memilih memberitahukannya. Lagi pula saya memang janda. Janda terhormat yang dibuang oleh keluarga mantan suami saya," ucapku penuh ketegasan.

Saat ini emosiku sudah tak terkendali. Rasanya jika ditahan kepalaku mungkin akan meledak.

Jadi, jika harus adu jotos sama mantan mertua. Kenapa enggak?

Seperti yang kuduga, Bu Nur langsung aja marah ketika aku menantangnya.

"Tuh kan! Kamu itu emang lancang! Bisa-bisanya kamu bilang kami membuang kamu! Padahal kamu sendiri yang belum bisa punya anak dan kamu gak bisa bergaul dengan kami. Kamu itu menantu yang memalukan!"

"Memalukan dan gak bisa bergaul Ibu bilang? Bagaimana saya bisa bergaul jika Ibu dan Mas Hans selalu menyuruh saya di dapur untuk memasak setiap ada acara? Apa semalu itu Bu punya menantu saya? Padahal setiap gajian uang saya habiskan untuk membayar hutang-hutang Ibu dan Mas Hans. Apa belum cukup Bu?" protesku dengan perasaan yang masih terasa perih.

Aku tak perduli jika semua menganggapku kurang ajar. Aku muak.

"Si*lan! Kamu ungkit itu lagi di depan umum! Dasar perempuan kurang ajar pantas saja kamu belum punya anak. Biar sadar lebih baik kamu saya tamp--"

Aku hampir saja menutup wajah ketika melihat Bu Nur mengacungkan tangannya untuk menamparku tapi untunglah tangan Athar lebih dulu mencegahnya. Lelaki itu memegang tangan Bu Nur dengan sangat kuatnya hingga mantan mertuaku kesakitan.

"Athar! Apa yang kamu lakukan? Lepasin Ibu! Atau kalau enggak saya akan bilang Jeje dan Ibu kamu biar kamu dihukum!" ancam Bu Nur pada Athar yang wajahnya berubah datar.

Bukannya ciut, Athar malah tetap mencekal tangan Bu Nur meski wanita setengah baya itu berontak dan melontarkan sumpah serapah hingga semakin menarik perhatian.

"Maaf Bu, saya terpaksa melakukan ini karena saya rasa Ibu sudah keterlaluan. Tolong jangan sentuh seinci pun tubuh Mbak Karen lagi Bu!" tegas Athar hingga membuat Bu Nur tercengang dan semua orang berbisik-bisik riuh.

Mendapati kejadian ini, sontak saja aku kaget sekaligus terharu karena sebelumnya tak pernah ada lelaki yang membelaku bahkan Mas Hans pun tidak.

Namun, aku tidak ingin Athar terkena masalah karena aku.

Ini tidak bisa dibiarkan, harus dihentikan sebelum kondisi menjadi buruk.

"Athaar! Lepaskan tolong! Saya gak mau dituduh ngehancurin pernikahan Mas Hans!" pintaku terpaksa ketika melihat penganten dan orang-orang semakin banyak berkerumun.

Gawat kalau jadi viral.

"Tapi Mbak Bu Nur belum minta maaf. Dia har--"

"Athar! Please!"

Mendengarku yang sedikit putus asa, akhirnya Kafka melepaskan tangan Bu Nur yang sudah kemerahan. Kemudian, tanpa meperdulikan Bu Nur yang meringis juga merutuk, lelaki tegap itu langsung memandangku lurus tepat ke netra.

"Baik saya lepaskan! Tapi, Mbak harus ikut saya!" ucapnya seraya mengamit lenganku, hendak pergi meninggalkan kekacauan ini.

"Ke-ke mana?" tanyaku gugup.

Athar tersenyum miring. "Beli cincin nikah-lah buat kita!" ujarnya sambil tersenyum jahil dan menarik tanganku.

Apa? Cincin nikah?!

Aku syok. ATHAR! Kamu udah gila!l?!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status