“Ta-Tara….”
Mata April terbeliak saat melihat kedatangan Tara yang tiba-tiba sudah berada di ambang pintu rumahnya.
Apalagi saat ini terlihat wajah tampak... tampak sangat marah.
Dengan kesusahan April mencoba berdiri dari atas tubuh Sean. Dia merutuki kebodohannya sendiri. Kenapa pula dia bisa jatuh dan berakhir dengan posisi seperti itu. Pasti Tara akan berpikiran macam-macam.
“Ta-Tara. Dengerin a-aku....”
Bagaimana dia menjelaskan ini semua kepada Tara?
Tara tampak mengeratkan rahangnya. Tangannya mengepal kuat-kuat. Ditatapnya Sean dengan pandangan mematikan.
“Tar. Ini nggak seperti yang kamu bayang—”
Belum sempat April menyelesaikan ucapannya. Dengan langkah cepat Tara menghampiri Sean yang sedang mengusap bajunya kotornya karena terjatuh. Tanpa ba-bi-bu Tara pun mencengkeram erat kerah baju Sean.
“Siapa kamu? Apa yang kamu lakuin di rumah tunangan saya, hah?!&r
“Terkadang semesta memang sebercanda itu kepadamu. Kau dibuat jatuh hati sedangkan orang lain yang ditakdirkan untuk memiliki.”-By: Sean Ganteng***Sean memasang wajah masam, dia malas sekali meladeni keinginan pacarnya April itu untuk bicara empat mata dengannya.Awalnya Tara ingin mereka membahas hal ini di kamar Sean. Tapi Sean ngeri, takut diapa-apakan. Lagi pula aneh saja kalau dua lelaki dikurung dalam satu kamar. Bisa-bisa baku hantam.Jadi berakhirlah Sean di sini, duduk bersebelahan di sofa ruang tamu bersama Tara.“Lo ngomong apa? Gue ini sibuk,” ucap Sean yang malas berbasa-basi.April diam-diam menguping pembicaraan mereka dari balik pintu kamarnya. Dia menempelkan telinganya erat pada pintu kamar supaya dapat mendengar suara mereka lebih jelas lagi. Apa Sean hendak disidang Tara, ya?“Jadi kamu beneran nggak ada hubungan apa-apa s
“Yang lebih berat itu bukanlah cinta beda keyakinan. Melainkan cinta beda alam. Karena kau tidak akan bisa bertemu dia lagi.”-April***“Kak April. Kak Tara... Kak Tara... Dia kecelakaan,” ucap Bima dengan terbata membuat April membuka mulutnya tidak percaya.A-apa? Kecelakaan?Mendengar hal tersebut. Tubuh April pun kaku membeku, bahkan rasanya jantungnya seolah berhenti berdetak. Dia syok dan menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Nggak mungkin! Ini semua nggak mungkin. Kamu bohong, kan, Bim?” April mencengkeram kedua lengan.Kini mata April mulai terasa panas. Hingga akhirnya air matanya pun jatuh membasahi pipi.“Sekarang Taranya ada di mana?” tanya Papa sambil memegangi lengan April yang menangis sejadi-jadinya, ia mulai hilang kendali.Bima menyebutkan alamat rumah sakit serta ruangan tempat kakaknya saat ini berada.&ld
Bima: Kak April. Aku mau ngasih kabar kalau Kak Tara sudah berpulang ke rahmatullah siang tadi.Jantung April berdetak cepat ketika membaca pesan masuk dari Bima pada whatsapp-nya. Sampai-sampai April membaca pesan duka tersebut berulang-ulang, berharap ini semua hanyalah berhalusinasi.Be-benarkah Tara meninggal? Benarkah nyawa Tara tidak dapat diselamatkan?Buru-buru April menghubungi nomor Bima namun Bima menolak panggilan teleponnya.Nggak mungkin, kan? Pasti Bima bohong, kan?Kemudian beberapa detik setelahnya Bima mengirimi pesan lagi kepadanya.Bima: Maaf, Kak, nggak bisa angkat. Di sini lagi banyak orang. Semoga Kak April tetap kuat, ya, di sana.Bima: Oh, iya, Kak. Boleh nggak Kak, aku minta tolong sesuatu sama Kak April?Bima: Maaf, Kak, sebelumnya. Aku minta tolong banget sama Kak April supaya untuk sementara waktu Kakak jangan berkunjung/melayat dul
Entah pukul berapa Sean terbangun dari tidurnya. Mungkin sekarang hari sudah malam. Dan benar saja, ketika Seina menatap ke arah jam yang berada di dindingnya, ternyata ini sudah pukul setengah tujuh malam. Dengan kantuk yang masih tertahan. Sean berjalan gontai keluar kamarnya. Dia ingin mengecek keadaan April. Apakah dia baik-baik saja. Apakah mienya sudah dihabiskan? Sean meringis ketika melihat mi yang berada di atas nakas tidak disentuh April sama sekali. Mi itu sekarang sudah dingin dan mengembang parah. April terlihat tidur miring meringkuk seperti bayi dalam kandungan, mungkin dia kelelahan karena menangis. “Pril….” Sean menggusap pelan lengan April. Namun dahi Sean seketika mengerut ketika merasakan kulit April terasa hangat. Punggung tangan Sean menyentuh dahi April dengan perlahan, kemudian Sean berganti menyentuh kulit pada leher April. Sial! Dia demam! Tangannya memang hangat, tapi suhu pada dahinya panas se
Ketika matahari masih malu-malu untuk menampakkan sinarnya. April mulai terbangun dari tidurnya.Dia mengerjabkan mata beberapa kali untuk menyesuaikan penglihatannya dengan cahaya ruangan.“Sean?” ucap April tatkala mendapati Sean yang saat ini sedang terlelap persis beberapa senti depan wajahnya.Sean tertidur dengan kaki yang berada di lantai sedangkan kepalanya bertumpu di ranjang April.Jadi… Semalam Sean tidur di sini?Tangan April terulur hendak menyentuh pundak Sean untuk membangunkannya, namun tidak jadi.Pasti bocah itu kurang tidur mengingat posisi tidurnya saat ini terlihat sangat tidak nyaman.“Makasih, ya, Sean.”April tersenyum dan mengusap pipi Sean dengan pelan. Takut apabila dia terbangun.“Makasih karena semalem udah ngerawat aku....""Makasih karena ketika Tuhan ngambil semuanya dari aku. Kamu, yang bahkan bukan siapa-siapa aku tetep mau berada di sam
Hari demi hari berganti merajut bulan. Sudah beberapa bulan yang lalu Tara meninggal dunia. Kesedihan yang dirasakan April perlahan mulai memudar. Karena ada benarnya juga kata Sean. Sesedih apa pun seseorang, tetap saja hidup terus berlanjut, bukan? “Pagi Mbak April. Lagi apa, nih, sama Masnya? Rajin banget jam segini udah bersih-bersih aja?” tanya Budhe Narsih—tetangga sebelah rumah—yang saat ini sedang berdiri melonggokkan kepalanya pada pagar pembatas rumah mereka. “Ah, cuma lagi nyapu teras, kok, Budhe,” balas April sambil tersenyum ramah. Sedangkan Sean yang saat ini sedang mencuci motornya pun hanya mengedikkan bahu, cuek. Sebenarnya, sih, Sean bisa saja pergi ke tempat pencucian motor. Tapi Sean sedang malas keluar. Lebih enakan mencuci motor sendiri, tinggal disemprot saja menggunakan air keran, bukan? Gosok-gosok sedikit selesai. Astaga. Apa jangan-jangan ini semua karena efek tinggal satu rumah dengan April yang perhitungan
“Yang ini namanya bunga,” ucap Sean sambil menunjukkan gambar di tablet pintarnya kepada Riri yang saat ini sedang dipangkunya. “Unga....” Anak kecil itu meniru ucapan Sean meskipun belum terlalu lancar berbicara. “Pinternya.” Sean tertawa kemudian menciumi pipi tembam gadis kecil itu. April yang sedang berkutat di dapur mininya diam-diam melirik ke arah Sean melalui sudut matanya. Pipi April bersemu melihat kedekatan Sean dengan Riri. Memang lelaki yang suka dengan anak kecil selalu berhasil membuat para wanita meleleh, ya, ketika melihatnya. “Nah, Riri Sayang. Kalau itu namanya Tante galak,” ucap Sean sambil menunjuk ke arah April yang saat ini sedang mendengus kesal. Sean memang sengaja ingin memancing kemarahan April. Karena wajah April saat marah sangat imut sekali. “Nte Gayak?” ucap Riri membeo. April mendelik melihatnya. Lihatlah, baru saja dia memuji bocah sableng itu tampan. Tapi sekarang sifat menyebalka
Mendengar hal tersebut Budhe April saling bertatapan dengan teman yang berada di sebelahnya. "Oh. Ahahaha. Ternyata April udah punya pacar. Duh, Budhe nggak tahu. Kenapa tadi April nggak ngenalin pacarnya ke kita?" Aduh. Mati, mati, mati! Bagaiman bisa April menghadapi semua ini? April berdiri sambil tersenyum kaku, enggan menjawab pertanyaan Budhenya. "Ternyata pacar April masih muda, ya. Mama agak kaget, loh, April pacaran sama yang lebih muda. Tapi Pril. Mama saranin kamu pacaran jangan cuma haha-hihi, doang. Contohnya kayak Monna, sekalinya cari pacar yang mapan dan biar enak sampai ke pelaminan," ucap Mama tidak mau tersaingi. Sean mengamati pacar saudara April yang dibilang mapam tersebut. Kemudian Sean hanya tersenyum mengejek. Heh, yang benar saja. Memang seberapa kayanya pacar saudari April itu? Belum tahu, ya, kalau isi di dalam saldo ATM-ya banyak? Kalau masalah banding-bandingan harta, mah, kecil. Sean hendak beruca