Dengan emosi yang naik pitam Andhika mendekat pada gadis yang tengah menyaksikan kesedihan mereka. Matanya terbelalak kala mata coklatnya melihat Suci yang tampak anggun dan berwajah lembut, ia dekati dengan bahasa tubuh yang amat ditakuti.
"Oh, jadi wanita ini yang ditemui nenek," batinnya. "Gadis kampung pasti hidupnya susah, kenapa nenek ambisius ingin ketemu dia?"
Dan Andhika pun berdiri dengan menyedekapkan tangan tepat di hadapan Suci.
"Siapa kamu?" Tanya Andhika.
"Katanya dia yang baru saja ditemui nenek," sahut Indah.
"Oh jadi kamu yang sudah me
"Beneran, kamu masih ingat sama tante?" "Benar, tante. Aku ingat waktu tante melawan orang jahat itu, kan? Yang pakai silat," ucapnya dari bibir mungilnya. Suci tertawa geli mendengar celotehan kecil dari gadis imut di hadapannya itu. "Terus om ini siapa? Pacar tante, ya?" "Oh, dia teman tante, sayang. Om Sofyan, dia detektif. Tahu gak detektif itu apa? Ayo, coba tebak?" "Mana aku tahu, tante. Tapi, sekarang nenek sudah meninggal, dia katanya mau ke surga, nanti aku sama siapa? Sama omah saja gak rame." Wajah gadis kecil itu mendadak suram, menunduk dan tampak cemberut. Suci tetap membalas dengan senyuman hangatnya. Dan menjawab dengan singkat. "Iya, sayang. Nenek mau ke surga." Tiba-tiba Andhika muncul
Satu minggu setelah kematian nenek Diana, pihak kepolisian menghubungi Sofyan untuk menindak lanjuti kasus penyebab kecelakaan. Pelaku sama sekali belum ditemukan, apalagi sudah beredar kabar di media bahwa kasus ini adalah kecelakaan misterius. "Bagaimana ini? Aku belum bisa berbuat banyak. Aku terlalu fokus sama penagih hutang, hampir gak punya waktu buat urus ini urus itu, mana berat badanku makin hari makin berkurang," keluh Suci. "Pasti ada jalannya. Suatu hari pasti ketemu siapa pelakunya, aku kan detektif, masa gak percaya," kata Sofyan. Tentunya Suci belum mampu ikhtiar sendiri. Kekalutan hatinya masih menyerang dirinya, namun karena semangatnya dia mampu menghadapi yang terjadi saat ini.
ketika Suci duduk kursi panjang di luar ruangan itu. Ia membuka botol minuman kemudian diteguknya hingga habis. "Segarnya. Aku sekarang udah lega. Sidang ini masih lanjut?" "Sampai tuntas mungkin dua atau tiga kali lagi," jawab Sofyan. "Sofyan. Doakan aku, ya. Semoga bisa bayar semua hutang aku yang segunung, mungkin dalam waktu dekat ini aku mau berangkat buat kerja di luar negeri," kata Suci. "Serius? Kerja di sana perlu tenaga besar, mental juga siap sedia. Kamu sanggup?" "Ya sanggup, dong. Siapa yang mau bayar hutang aku yang banyak itu coba? Daripada aku stress lebih baik kerja, kan? Memang berat tapi mau giman
"Bagaimana dengan fotonya? Kalian sudah ambil beberapa pose, kan?" Tanya Adhika pada bodyguard pribadinya. Salah satu bodyguard memberikan hasil potret kepada majikannya itu. Seketika wajah Andhika kembali sumringah. "Bagus!" "Kalau boleh tahu, kenapa Anda lakukan ini?" "Sebarkan ini di media sosial, aku ingin membuktikan bahwa CEO kaya raya seperti aku mampu berbuat baik pada siapapun meski pada musuhnya, kalian tahu? Namaku harus bersih! Kalian sama sekali gak merasakan sakit hati saya karena kehilangan orangtua," sahutnya. Semua bodyguard menepuk kening karena mendapati kebodohan majika
Kabar tentang gugatan seorang kaya raya pada gadis miskin itu sudah tersebar di media televisi dan jaringan sosial. Pihak wartawan dan netizen bahkan mengolok-olok sikap konyol sang penggugat yang dirasa memalukan. Tak ayal, ini membuat Andhika menjadi sangat gusar. Pada berita di televisi itu menayangkan sosok Suci sedang duduk di kursi persidangan yang tunduk setia mendengar vonis dari hakim. Sedangkan Andhika terlihat sedang bersedekap sembari menengadahkan kepala sehingga tampak angkuh. "Sialan! Siapa yang nyebarin berita ini! Dasar wartawan sialan, urusan mereka juga bukan, ngapain ikut campur masalah gue!" Keluhnya. Dan seorang reporter itu menegaskan bahwa aksi tersebut hanyal
"Aku harus ke agen penyalur TKI sekarang juga. Mudah-mudahan bisa diterima," gumam Suci sembari merapikan bajunya di depan cermin. Pintu terketuk. Ia lantas membukanya dan penampakan seorang wanita dewasa seperti toko emas berjalan tengah berdiri dengan tatapan mata yang tajam. "Ibu Arin?" "Kamu Suci, ya? Anak ibu Kana yang pernah pinjem duit buat berobat," ucapnya. "Iya, bu. Almarhum ibu saya masih punya hutang, ya? Tapi, saat ini belum bisa membayar, kalau begitu minta nomer hape saja ya bu, biar nanti saya hubungi kalau sudah bekerja di luar negeri," pinta Suci dengan lembut.
Tak ada jalan lain selain menuruti keinginan Andhika yang memaksanya untuk masuk ke dalam butik mewah itu. Saat memasuki ruangan, ada beberapa orang yang memandang aneh pada Suci, mereka melirikan matanya kemudian mendekat dan bertanya-tanya. "Kamu yang digugat itu, kan? Oh, iya sebenarnya masalahnya gimana sih, kok bisa ya sampai ke pengadilan tapi kasusnya gak jelas begitu? Jangan-jangan kamu--" "Maaf, Anda salah orang, belum tentu yang di media itu adalah saya, kan?" Kata Suci. "Maaf, ini calon istri saya, jangan ganggu, ya." Andhika menghindari pertanyaan itu dengan sengaja merangkul Suci lalu membawanya ke dalam butik untuk memilih baju.
Tampaknya Suci masih keberatan dan dibuat galau oleh niat Andhika yang hendak menikahinya. Ada rasa ragu namun dia perlu. Seluruh pikirannya tengah carut marut dengan kondisi saat ini, mulai dari masalah hutang yang belum lunas, banyaknya penagih yang galak, ditambah beban dari paksaan CEO yang arogan. "Aku memang perlu seseorang untuk bersandar, dia adalah Sofyan, satu-satunya lelaki yang aku harapkan, tapi kenapa harus begini?" Batinnya. Saat galau melanda, Suci terbiasa melampiaskan keluh kesahnya pada Sofyan, namun saat ini beberapa kali ia hubungi tak jua menerima panggilanya. Kacau sudah batinnya yang diliputi segudang perasaan yang bisa membuatnya depresi. "Kenapa jadi begini? Kalau aku sudah pulang ke rumah, pastinya penagih hutang sudah menunggu di sana. Apa aku terima saja ya lamaran dari Andhika?" Begitu pulang ke rumah kontrakan.