Share

Bab 2 I Hate You

“Hai, orang yang punya rasa kemanusiaan dan empati.”

Elive menegang di tempatnya. Ia tidak ingin menoleh sebab ia tahu siapa manusia yang mengatakan hal itu. Namun, jika dirinya tidak menoleh, maka pekerjaannya menjadi taruhannya.

Dengan sangat terpaksa, Elive menoleh dan tersenyum ke arah Zavian. Membungkuk kecil sebagai tanda penghormatan.

“Selamat atas jabatan baru anda, Tuan Zavian. Selamat datang dan mohon bimbingannya,” ucap Elive.

Zavian menatap datar ke arah Elive. Menatap sekilas wajah Elive dan berganti mentap lengannya.

“Pulang kerja, temui saya di ruangan.”

 Tubuh Elive menegang. Ia bagai disambar listrik berkekuatan tinggi setelah mendengar ucapan CEO barunya tersebut.

Pikiran-pikiran buruk mendadak mampir di kepalanya. Tentang apakah Zavian akan memecatnya atau mempermalukannya, atau malah, menyiksanya perlahan dengan memberikan pekerjaan di luar kemampuannya.

Menggelengkan kepala, Elive mencoba menenangkan diri. Membasuh wajahnya dan menatap pantulan dirinya di cermin.

“Tidak, El. Dia tidak akan melakukan itu. Percayalah. Reputasimu di perusahaan ini sudah tidak main-main. Jadi, dia tidak akan mudah melakukan hal buruk kepadamu,” monolog Elive.

Gadis itu meyakinkan diri kembali sebelum berbalik menuju ruangannya, melanjutkan pekerjaan. Ia menjadi tidak tenang saat tiba-tiba waktu begitu cepat berlalu dan sebentar lagi jam kerja akan selesai.

Berkali-kali gadis itu menghembuskan napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Menautkan dua tangan, Elive merapalkan doa pada Tuhan semoga Javian tidak memecatnya.

“Apa sebaiknya aku meminta ampun terlebih dahulu supaya Tuan Zavian mau memaafkanku?” gumam Elive. Ia kini sudah berdiri di depan pintu ruangan milik Zavian.

“Astaga, bisa gila aku,” lanjut gadis itu.

Elive menarik napas panjang kemudian menghembuskannya. Begitu terus hingga tiga kali sebelum tangannya memberanikan diri mengetuk pintu di hadapannya. Setelah dipersilakan masuk, gadis itu memasuki ruang kerja Zavian dan berdiri di depan meja kerja pria itu.

“Pak, saya—“                           

“Duduk”

Ucapan Elive terpotong saat Zavian tiba-tiba memintanya duduk. Gadis itu segera duduk. Pikirannya melanglangbuana harus melakukan apa, sementara jantungnya berdebar kencang dengan tangan berkeringan dingin. Demi apa pun, berhadapan sengan Zavian sekarang lebih menegangkan dibanding saat dirinya harus interview dua tahun lalu.

Zavian berdiri dari tempat duduknya, membuat Elive semakin gugup. Pria itu tampak berjalan ke arah lemari di samping rak dokumen dan mengambil kotak obat. Kening Elive mengkerut dalam, penasaran dengan apa yang akan dilakukan atasannya tersebut.

“Kemari,” ucap Zavian. Pria itu memanggil Elive agar duduk di sofa ruangan tersebut.

Tanpa menunggu dua kali, Elive segera bangkit dan duduk di seberang Zavian. Hal itu membuat pria tersebut berdecak kecil dan mengubah posisi duduknya menjadi di samping Elive. Aktivitas tiba-tiba yang membuat Elive terkejut bukan main hingga reflek memundurkan badannya.

“Saya tidak akan memakanmu, jadi tenanglah,” ujar Zavian.

“Maaf,” balas Elive.

“Kemarikan lengan kamu,” lanjut Zavian setelah membuka kotak obat tersebut.

Pria itu meraih lengan kanan Elive dan mulai membersihkan luka gadis itu. Semestara Elive semakin dibuat terkejut. Ia hendak menarik tangannya namun segera ditahan oleh Zavian.

“Diam, saya sedang mengobati luka kamu,” ucap Zavian tanpa mengalihkan pandangannya dari lengan Elive.

Pria itu sibuk membersihkan dan mengolehkan salep pada lengan Elive, sementara gadis itu sesekali meringis menahan sakit saat merasakan perih.

Aktivitas itu berlangsung hingga Zavian akhirnya selesai mengobati Elive.

“Terima kasih, Tuan. Saya sebenarnya mau ke rumah sakit setelah ini, tapi terima kasih,” ucap Elive tulus.

“Kamu membiarkannya saja sejak tadi pagi? Bagaimana kalau infeksi?” balas Zavian.

“Saya sudah mengolesi salep tadi pagi. Hanya saja memang tidak sempat membersihkannya. Hanya saya bilas dengan air karena buru-buru,” tutur Elive.

Zavian berdecak kecil. Hal itu jelas membuat Elive merasa heran.

“Lain kali kalau terluka segera diobati. Kamu tidak tahu seberapa dalam luka yang ada di tubuhmu dan seberapa banyak bakteri yang ada di luka itu,” oceh Zavian.

“Baik, Tuan,” jawab Elive.

Keduanya sama-sama diam. Elive bingung harus melakukan apa, sementara Zavian entah memikirkan apa. Gadis itu bahkan rasanya sesak untuk bernapas. Bosnya duduk tepat di sampingnya hingga Elive bisa melihat dengan jelas pahatan indah wajah pria itu.

Uncle!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status