MasukMendengar itu, Shazia menghentikan langkah kakinya. Dia memilih bersembunyi di balik tembok, dekat belokan menuju arah tangga. Sebenarnya Shazia tak bermaksud untuk menguping, hanya saja dia tidak berani melanjutkan langkah karena takut bertemu dengan Rayden.
"Halo, Tuan Rayden. Senang bertemu denganmu." Perempuan itu mengulurkan tangan pada Rayden. Namun, Rayden sama sekali tak menanggapi, pria itu hanya diam sambil menatap dingin ke arah perempuan bernama Evelyn tersebut. "Ah, Rayden. Dia ini … perempuan yang ingin Paman jodohkan denganmu. Bagaimana? Cantik bukan?" ucap Georgie senang, begitu percaya diri kalau Rayden tertarik pada Evelyn. Yah, Evelyn sangat cantik, seksi, dan punya bakat yang banyak. Dia seorang model sekaligus desainer terkenal! Georgie lihat Rayden terus memperhatikan Evelyn dan itu membuatnya yakin kalau Rayden telah jatuh hati pada Evelyn. "Pak Ruth dan Paman sudah berteman sejak lama. Jadi Paman bisa pastikan jika Evelyn adalah perempuan baik-baik, Rayden," ucap Georgie lagi, sangat antusias. "Kau tahu aku baru menikah?" dingin Rayden pada Georgie, "jika kau kekurangan istri, itu urusanmu. Jangan menyeretku dalam keserakahanmu," tambahnya, segera melanjutkan langkah–pergi begitu saja. Shazia buru-buru mencari tempat persembunyian karena takut Rayden melihatnya. Ada sebuah meja sebagai tempat hiasan, dan Shazi bersembunyi di bawah meja. Ketika Rayden lewat, Shazia menahan napas, memeluk lutut secara erat, dan menutup mata. Ketika sudah tak mendengar suara langkah kaki, barulah Shazia membuka mata, menghela napas lega secara bersamaan. "Hah, aku selamat!" gumam Shazia, masih dibawah meja. Dia meletakkan tangan di dada untuk merasakan debaran jantungnya yang menggila. "Untung saja si galak itu tidak melihat …- hufff!" Shazia langsung membekap mulut, mata melotot dan jantung kembali berpacu kencang. Saat dia menoleh ke depan, sebuah kaki panjang berdiri tepat di depannya. "Keluar!" Suara dingin Rayden terdengar. Shazia segera keluar dari bawah meja, namun dia membuka cincin nikah yang ada di jari manisnya untuk ia jadikan alasan. Saat bersitatap dengan mata elang kakaknya, Shazia langsung memperlihatkan cengiran. "Kau sedang apa di sana?" "Cincinku jatuh, Kak." Shazia menunjukkan cincin nikahnya pada Rayden. Pria itu meraihnya lalu kembali memasangkan cincin tersebut ke jari manis Shazia. "Kenapa keluar dari kamar?" tanya Rayden, meraih tangan Shazia lalu menggenggamnya–membawa Shazia ikut dengannya. "Aku ingin ketemu Kakek," alibi Shazia. Rayden tak menjawab, dia membuka pintu kamar lalu mempersilahkan Shazia untuk masuk lebih dulu. "Beristirahatlah. Aku tahu kau lelah," ujar Rayden datar, berjalan ke arah kamar mandi. Shazia menganggukkan kepala, menatap Rayden yang memasuki kamar mandi. Dia naik ke atas ranjang lalu berbaring di sana. Ini malam pertamanya tetapi dia yakin Rayden tidak akan menyentuhnya. Dia masih ingat waktu itu, di mana saat dia menyewa model pria untuk pura-pura tidur dengannya. Saat itu, pria yang pura-pura tidur dengannya–tak lain adalah Rayden, mengatakan kalau Shazia bukan seleranya. Itu berarti Rayden tak menyukainya dan tak tertarik padanya. Selain itu, Rayden kakaknya, pria itu terpaksa menikahinya untuk menghentikan Georgie yang terus-terusan menjodohkan Rayden. Mungkin Rayden juga ingin melindunginya yang juga menjadi sasaran perjodohan yang Georgie atur. Shazia memejamkan mata, merasa aman dan tak lagi terancam oleh yang namanya malam pertama. Hingga tiba-tiba saja, dia merasa jika ranjang bergerak. Seseorang naik dan bergabung dengannya. Shazia buru-buru membuka mata, menoleh ke arah Rayden yang telah berbaring di sebelahnya. Pria itu berbaring tampan mengenakan baju, sehingga dada bidang, pundak lebar, dan ABS-nya terlihat dengan jelas. Shazia mengambil posisi duduk lalu menatap protes pada Rayden. "Kak," panggilnya pelan, akan tetapi nada tak senang terasa kentara. "Humm." Rayden berdehem, sama sekali tak membuka mata–terlihat begitu tenang. "Kak Rayden tidur di sini?" tanya Shazia hati-hati. "Humm." Rayden berdehem singkat, sama sekali tak membuka mata, "tidur," titahnya, menekan sesuatu di atas nakas–sebelah ranjang, sehingga lampu kamar padam. Shazia menganggukkan kepala lalu segera kembali berbaring. Sebenarnya dia dan Rayden sering tidur satu ranjang. Tapi itu saat dia masih kecil, terakhir kali saat dia berusia 13 tahu. Itupun karena dia sakit sehingga Rayden merawatnya sepanjang malam lalu berakhir tidur bersamanya. Sekarang Shazia sudah besar. Rasanya sangat canggung dan tak enak kalau dia tidur satu ranjang dengan Rayden. 'Ah, sudah lah. Buang jauh-jauh pikiran burukmu. Kak Rayden itu kakakmu dan tak ada yang salah jika kalian tidur satu ranjang.' batin Shazia, memejamkan mata dan mencoba untuk tidur. Awalnya dia ragu, akan tetapi ketika dia membuka mata untuk memeriksa Rayden, pria tetap tidur tenang di sebelahnya. Mereka tidur dengan sebuah jarak–ada bagian kosong di tengah ranjang, itu bukti kalau Rayden tak punya niat untuk melakukan hal macam-macam padanya. Pria itu tak bergeser sedikitpun, tetap di tempat semula. Yah, seharusnya Shazia percaya pada pria ini. Memangnya ada orang yang peduli padanya melebihi Rayden? Tidak! Jadi rasa peduli Rayden terhadapnya seharusnya bukan menjadi ancaman untuknya. Shazia kembali memejamkan mata, perlahan rasa kantuk menyerang dan akhirnya dia memasuki alam tidur yang sangat nyeyak. Tak lama sebuah mata elang terbuka, maniknya seolah bercahaya dalam kamar yang remang. Rayden menoleh ke arah samping, menatap Shazia yang telah tidur pulas–terlihat dari napas yang teratur. Secara pelan dan hati-hati, Rayden memindahkan Shazia ke sebelahnya. Dia menyamping untuk bisa mengamati dan memandang wajah polos Shazia yang telah lelap dalam tidur. "Jadi sekarang kau mewaspadaiku, Humm?" gumam Rayden dengan nada yang sangat pelan, seperti bisikan halus nan lembut. Tangannya yang bebas membelai pinggiran wajah Shazia yang terasa lembut dan halus. Belaian tersebut terus bergerak dan mendakat ke arah bibir ranum milik Shazia. Gerakan jemarinya yang menari di atas bibir Shazia, jauh lebih halus–memberikan sentuhan yang berbeda. Karena tak nyaman dan mungkin terusik, Shazia menggerakkan bibir. Namun, dia sama sekali tak bangung. Sedangkan Rayden, dia terus menatap berat pada bibir Shazia yang kini terbuka sedikit. Perlahan dia mendekat, menempelkan bibirnya di atas bibir milik Shazia. Awalnya, bibirnya hanya menempel di sana. Namun, perlahan dia menggerakkannya–merasakan lembut dan kenyalnya bibir adiknya.Selamat membaca dan semoga suka dengan part ini, MyRe. Dukung terus novel kita dengan cara vote gems, hadiah, ULASAN MANIS, dan komentar di dalam bab. Sehat slalu buat kalian semua, MyRe. Papai ... IG:@deasta18
"Rayden, apa yang kau lakukan, Nak?!" ujar Alexander dengan nada tinggi. Namun, Rayden sama sekali tak peduli. Dia melempar tongkatnya, mengeluarkan pistol dari balik jas kemudian …- Dor' Suara tembakan menggema. Semua orang yang ada di ruangan itu menjerit ketakutan. Carmila dan Luna begitu histeris, menangis dan menjerit melihat Rayden menembak Georgie–di pundak. "Argkkk …." Georgie menjerit sakit, setelah itu tak sadarkan diri–kaget oleh suara tembakan. "Bawa dia ke rumah sakit," titah Rayden pada anak buahnya. "Dia tidak boleh mati!" gumam Rayden pelan, di mana anak buatnya segera membawa Gerogie ke rumah sakit. "Rayden, kau sudah gila?!" bentak Alexander, menatap Rayden dengan mata berkaca-kaca. "Jika kau seperti ini, terpaksa Kakek melawanmu!" ujarnya lagi sambil memberi isyarat supaya anak buahnya mengepung Rayden. Sedangkan Arland dan Jaren, mereka langsung mengerahkan seluruh anak buah yang mereka bawa untuk menahan para anak buah Alexander. Lalu Jaren send
Rayden tak mengatakan apa-apa, berjalan dengan menggunakan tongkat di sebelah kiri karena kaki kirinya sedang terluka. Di belakangnya ada Jarren dan seorang pria baru. Dia adalah kepercayaan Rayden di luar negeri, ikut kembali ke negara ini untuk memastikan Rayden dan Jaren baik-baik saja. Hansel sendiri, pria itu pulang ke rumahnya bersama dengan putranya. Mereka tidak ikut ke sini karena kondisi Hansel sama parahnya dengan Rayden. Terakhir kali Rayden bertelponan dengan istrinya–di mana itu adalah pertama kalinya Shazia menghubunginya, sekitar dua minggu lalu. Saat itu Rayden sangat sibuk, karena hari itu bisa dikatakan adalah puncak masalah sekaligus penyelesaian yang ia lakukan. Emosinya dipermainkan, lelah membuatnya gampang marah, tetapi dia tidak bisa berhenti katsja hari itu juga dia harus menyelesaikan seluruh masalahnya. Rayden mengerahkan seluruh kemampuannya, memutar otak untuk menyelesaikan masalah kantor yang sangat parah, dan di waktu yang bersamaan juga harus menan
Hari ini Shazia kembali ke kantor, bukan untuk bekerja akan tetapi melakukan suatu hal. Untungnya tanpa ada yang curiga, Shazia berhasil melakukan hal tersebut–mengambil semua desain miliknya yang akan diluncurkan bulan ini lalu menghapus data yang tertinggal di komputer, tanpa meninggalkan jejak sedikitpun. Setelah itu, Shazia mulai merapikan meja kerja. Namun, dia hanya mengambil barang paling penting agar tak ada yang curiga dengan rencananya. Setelah mengemasi barangnya, saat makan siang, Shazia segera pergi dari kantor. Agar tidak curiga, dia pamit untuk menemui Kania. Bian? Beberapa minggu yang lalu, dia dan ayahnya pergi ke luar negeri untuk menyusul Rayden. Sama seperti Rayden, Bian juga tak ada kabar. Ketika dia di lobi, dia bertemu dengan Evelyn, Luna, dan Georgie. Evelyn terlihat bangga, langsung memasang wajah angkuh pada Shazia, akan tetapi Gerogie pergi begitu saja–enggan menatap Shazia. Aneh! "Wow, mentalmu kuat juga," ucap Luna, bersedekap angkuh sambil m
"Yah, Shazia," sahut Evelyn dari tempatnya, sengaja memegang perutnya di hadapan Shazia, "aku sedang hamil anak Tuan Rayden dan Tuan berjanji akan menikahiku setelah urusan Tuan di luar negeri selesai," ucap Evelyn dengan nada manis, akan tetapi menatap angkuh pada Shazia. Kali ini, dia pastikan dialah pemenangnya. Shazia benar-benar akan tersingkirkan olehnya. "Apa buktinya?" tanya Shazia dengan nada lemas, mencoba tetap tegar walaupun hatinya bergetar sakit. Ini seperti mimpi buruk! Dunianya terasa runtuh, gelap, dan hancur. Gilanya, ini terjadi di hari ulang tahunnya. "Ini." Evelyn mengeluarkan bukti laporan medis dan sebuah foto saat dia bersama Rayden. Shazia mengambil catatan medis dan juga foto yang diberikan oleh Evelyn. Hatinya begitu pedih saat melihat foto Rayden dan Evelyn tidur bersama, di mana dalam foto tersebut wajah Rayden begitu tenang dan sedikit pucat–terlihat tidur pulas. Lalu ada Evelyn di sebelahnya yang sedang senyum lebar dan manis. Foto tersebut
Hari ini Shazia pergi ke rumah sakit untuk cek kesehatan. Dia merasa beberapa hari ini, tubuhnya jauh lebih lemah, kurang semangat, seting pusing, dan bahkan tadi pagi dia mual. Awalnya Shazia ingin mengabaikan karena mungkin itu efek dari rindu dan beban pikirannya, di mana beberapa hari ini Rayden tidak lagi menghubunginya. Namun, tadi pagi dia muntah-muntah, pada akhirnya Shazia memutuskan untuk tes kesehatan. "Ih, seharusnya kamu bahagia, Zia Sayang," ucap Kania sambil merangkul Shazia. Hasil laporan medis Shazia sudah keluar dan Shazia maupun Kania sudah melihat hasilnya. Sebenarnya dokter yang memeriksanya sudah memberitahu kondisi Shazia, hanya saja bukti laporan medis ini memperjelas kondisinya. "Senyum dong, Shazia," gumam Kania, menatap Shazia dengan campur aduk. "Aku senang kok." Shazia berkata dengan nada pelan, menoleh pada Kania sambil menatap sayu pada sahabatnya tersebut, "tapi aku takut. Mas Rayden pernah bilang kalau dia tidak mau punya anak." "Ti-tidak mungk
'Menunggu bintang jatuh?' "Iya." Shazia menjawab cepat, "untuk membuat permohonan." 'Permohonan apa?' tanya Rayden di seberang sana. Bola mata Shazia menoleh ke sana kemari, bingung harus menjawab apa. Beruntung otaknya mendapatkan jawaban cepat dan tepat yang bisa membuatnya selamat dari Rayden. "Permohonan agar masalah di perusahaan cepat terselesaikan oleh Mas Rayden." 'Humm.' Rayden berdehem singkat. Lalu tak lama sambungan video call berakhir, Rayden harus berangkat ke kantor. Shazia senang sekali karena hari ini dia bisa video call dengan suaminya, dia melihat wajah dari sang Buto ijo yang apabila marah sangat mengerikan. Tapi itu tidak masalah baginya, yang terpenting dia melihat wajah suaminya. Setelah itu, Shazia buru-buru membersihkan tubuh–mandi, lalu segera sarapan yang kolaborasi dengan makan siang. Hari ini Shazia tidak ke kantor karena dia terlambat bangun. Dia memilih bersantai di halaman samping sambil membuat sebuah desain cincin. Sekarang pekerjaan Shazia le







