Beberapa hari belakangan, kehidupan Kanya seolah balik ke pengaturan awal. Dia kembali menjalani hidup sebagai perempuan yang kebetulan mesti tinggal serumah dengan Sena saja.Suaminya kembali bersikap dingin dan mengacuhkannya. Pria itu bahkan tidak bilang jika dirinya tak bakal pulang berhari-hari. Sena tak lagi peduli dengan Kanya yang akhirnya kembali melakukan apa pun tanpanya.Biarpun memang seseorang tidak mungkin tiba-tiba berubah drastis, sejujurnya Kanya sedikit berharap saat Sena mau makan bersamanya tempo hari. Siapa sangka dia sudah dibuat kecewa besoknya.Namun, setidaknya Sena tetap profesional menjalankan peran sebagai suami idaman. Tak peduli dirinya sesibuk apa, jika Kanya mau suaminya datang ke acara bedah buku yang digelar pada akhir pekan, Sena siap menurutinya.“Mas Sena jagonya bikin saya galau, sih. Cuma sayangnya pas ketemu Kak Vera dulu, bukan dia orangnya.”Jadi, mumpung Sena ada untuknya hari ini, walau itu cuma sandiwara, Kanya akan memanfaatkannya sebaik
Kanya tidak bertanya, tetapi Sena akhirnya mengatakan jika dirinya tak pulang beberapa hari karena menghadiri konferensi bisnis di Singapura. Ada pertemuan privat dengan investor juga.Sebenarnya Kanya sudah tahu dari berita media massa. Iya, ironis, tetapi memang biasanya seperti itu. Justru aneh jika Sena memberitahu langsung seperti sekarang.Barangkali ini karena mereka masih berada di lokasi bedah buku. Oleh karenanya, mau tak mau Sena perlu memastikan tak ada orang yang curiga dengan hubungan mereka. Acara sudah berakhir lebih dari 30 menit yang lalu, tapi tidak semuanya langsung pulang. Banyak orang memilih untuk minum kopi traktiran Sena sambil duduk-duduk santai menikmati momen senja.Begitulah. Sena memborong kopi untuk dibagikan kepada semua orang yang datang. Tak kurang dari 50 gelas dan masing-masing ditempeli stiker bertuliskan “baca buku istriku dulu, baru boleh minum”.Oh, tentu saja itu idenya Kanya. Sena cuma perlu merealisasikan kemauan istrinya. Lagi-lagi, seperti
'Ketagihan, tuh. Abis dikasih jatah sekali, jadi mau minta lagi.’Kanya hampir saja tersedak air putih yang sedang dia minum, saking terkejutnya membaca balasan pesan dari Mika.‘Ketikannya bisa lebih sopan? Jangan fitnah, Mik! Mana ada aku pernah kasih jatah!’Kanya membenarkan posisi duduknya yang bersandar pada tumpukan bantal di atas ranjang. Tak berapa lama, Mika kembali membalas pesannya.‘Aku udah kepo ke temenku yang kerja di perusahaannya suamimu itu, ya, Kanya.’‘Seru banget gosip yang beredar tentang kalian.’‘Aku nggak nyangka kelakuanmu ternyata bahaya banget kalau lagi begituan sama Sena.’‘Lain kali jangan ceroboh, Nya. Bikin tandanya di area tersembunyi aja.’‘Mau aku ajarin?’Kanya menyesal curhat ke Mika tentang Sena yang tiba-tiba ingin tidur sekamar dengannya. Jika tahu ujungnya Mika bakal membahas soal insiden memalukan itu lagi, sejak awal pasti Kanya memilih tak cerita.Cukup sudah. Kanya tak mau berkirim pesan dengan Mika lagi.‘Sekarang dia lagi ngapain?’ Bia
Hampir pukul satu pagi dini hari dan suasana bar di rooftop hotel sudah sepi. Banyak pelanggan yang telah kembali ke kamar mereka, hanya tersisa beberapa orang yang masih bertahan.Mungkin sudah tiga jam Sena duduk di meja depan barista. Sambil menikmati minuman, mendengar suara musik yang mengalun pelan lumayan membuatnya lebih rileks.Barangkali sebentar lagi dia bisa kembali ke kamar juga—kamar Kanya, tentunya. “Segelas lagi, mungkin …?” gumamnya pelan.Untuk beberapa saat, ia hanya memandangi deretan botol minuman beralkohol di depannya. Sesekali memerhatikan sang barista meracik minuman untuk seseorang yang duduk di sampingnya.“Kenapa cuma mocktail? Takut mabuk?”Sena bertanya pada Andi yang baru datang beberapa menit yang lalu. Sang sekretaris menyusul setelah entah bagaimana mengetahui jika dirinya sendirian di bar. Selalu begitu. Andi seolah tak pernah gagal menemukan Sena demi memastikan bosnya tidak terlibat masalah di mana pun berada. Sejujurnya, terkadang Sena curiga a
Lapar tapi masih ingin tidur. Itulah situasi dilematis yang dihadapi Kanya pagi ini. Rasanya masih sangat mengantuk, namun perutnya juga mulai keroncongan.Jadi, setelah menelepon editornya, Kanya menyusul semua orang yang tengah menikmati sarapan di restoran. Jalannya agak sempoyongan, efek kantuk yang belum sepenuhnya hilang meski sudah cuci muka.“Mau makan apa? Biar saya ambilkan,” kata Vera dengan penuh perhatian.Vera tertawa kecil melihat Kanya yang duduk di sampingnya sambil menguap berulang kali. Ketimbang Kanya kenapa-kenapa saat memilih menu sarapan buffet, pikirnya, lebih baik dia saja yang berkeliling mengambilkan makanan untuk sang penulis.Kanya menggelengkan kepala, menolak halus tawaran Vera. Dia merasa cuma perlu duduk sebentar lagi sebelum berkeliling dan mengambil makanan sendiri.Namun, tiba-tiba seorang chef mendatangi meja yang ditempati Kanya, menyapa semua orang dengan senyum ramah.“Perkenalkan, saya Darwin Santosa, executive chef yang bertanggung jawab atas
Kanya sangat familiar dengan perawakan Sena. Setelah hidup bersama selama beberapa tahun, Kanya bahkan bisa mengenali Sena meski hanya kelihatan punggungnya dari kejauhan.Begitu pula dengan apa yang dia lihat saat ini. Meski cuma sebagian wajahnya yang terlihat dari samping, Kanya tak mengalami kesulitan sedikit pun. Bahkan tanpa berpikir dua kali, dia tahu bahwa orang itu adalah Sena.Bukan hal aneh melihat Sena bermain golf. Lebih dari sekedar olahraga, golf merupakan alat penting untuk membangun jaringan sosial dan hubungan profesional di kalangan pebisnis. Jadi, Sena pun sering bertemu dengan rekan bisnisnya sembari melakoni olahraga elit tersebut.Namun, sejak kapan Jingga menjadi rekan bisnis Sena? Mengapa suaminya ada di lapangan golf yang sama dengan sang mantan?
“Hubungan kita berakhir karena kamu selingkuh, Jingga. Lupa?”Fakta yang selalu terasa menyebalkan setiap kali diungkit, tapi itulah kenyataannya. Tiga tahun yang lalu, hubungan Sena dan Jingga kandas karena orang ketiga.Bukan Sena yang selingkuh, melainkan Jingga.Ironisnya, ketika kata perpisahan akhirnya terucap, Sena sebenarnya sudah mengetahui perselingkuhan sang kekasih sejak hampir setahun sebelumnya. Hanya saja, ia pilih menutup mata. Setiap kali tak sengaja mendapati chat mesra Jingga dengan si selingkungan, Sena selalu memaksa dirinya untuk berpikir bahwa wanitanya cuma khilaf sesaat. Puncaknya, malam itu, Sena memergoki Jingga bermesraan dengan pria lain di apartemennya. Sena datang tanpa pemberitahuan karena memang niatnya kejutan. Keduanya sudah sepekan tidak bertemu karena kesibukan Sena yang mendadak harus lebih serius membantu keluarganya mengurus perusahaan. Namun, siapa sangka justru dirinya yang menerima kejutan dari Jingga. Tubuh Sena seketika membeku ketika me
“Efek PMS?”“Iya, kayaknya cuma efek PMS. Setiap kali mau tanggalnya, kadang kita jadi aneh begitu, kan?”Vera masih mengkhawatirkan kondisi Kanya setelah apa yang terjadi di hotel kemarin. Vera semakin cemas karena penulisnya itu tidak bisa dihubungi sejak pagi.Menjelang tengah hari, Kanya akhirnya memberi kabar, mengaku baru bangun. Merasa lapar dan terlalu enggan untuk memasak sendiri, Kanya pun mengajak Vera makan siang bersama di kafenya.“Jadi, kemarin itu Mas Sena nggak bales chat yang aku kirim sejak habis sarapan. Sebenarnya aku tahu dia lagi ketemu rekan bisnisnya, tapi efek PMS memang beda. Langsung merasa nggak dicintai sama semua orang di seluruh dunia.”Vera mengernyit tak percaya. “Beneran?” selidiknya.Tentu saja Kanya bohong. Datang bulannya mungkin baru dimulai dua pekan lagi, jadi masih terlalu dini untuk mengambinghitamkan sindrom pramenstruasi. Biarpun begitu, Kanya tidak mungkin mengatakan masalah sebenarnya, kan?Jadi, Kanya menepis keraguan Vera dengan terseny
Cuma Kanya yang bisa menyuruh Sena melakukan ini-itu kapan pun. Bahkan, tak peduli meski malam sudah terbilang larut, jika Kanya bilang ingin makan masakan suaminya, Sena nyaris mustahil tidak mewujudkannya.Itulah yang terjadi malam ini.Demi menuruti kemauan istrinya, Sena santai saja masuk dapur, tetapi tidak dengan setiap pegawai hotel yang melihatnya. Bagaimanapun, Sena adalah bos mereka semua. Jadi, bukankah Sena mestinya hanya perlu menyuruh koki yang bertugas untuk menyiapkan makanan pesanan Kanya? Kenapa harus dia yang memasaknya sendiri?"Istri saya maunya makan masakan saya," kata Sena santai sembari melepas jam tangan mewah di pergelangan kirinya.Sebelum aksesori seharga miliaran rupiah itu berakhir asal-asalan ditaruh di meja dapur, Andi buru-buru mengulurkan tangan pada bosnya.Melihat gestur Andi, Sena yang sungguh berniat meletakkan jam tangannya sembarangan, tersenyum sekilas. “Saya bisa minta tolong rebus daging ayamnya? Setelah itu, tolong suwir sekalian.”Sambil
Kata-kata yang baru saja diucapkan Zidan membuat Andi waswas. Berjalan paling depan, pria itu bahkan sempat refleks menoleh ke belakang, kilat memeriksa kondisi Kanya yang tampak tetap fokus melangkah sambil menunduk.Kecemasan serupa juga dirasakan Mika yang berjalan di belakang Kanya. Mika bahkan sampai menghentikan langkahnya untuk menegur Zidan dengan sebuah tatapan tajam.Namun, orang yang dikhawatirkan ternyata malah terkesan santai-santai saja menanggapi omongan Zidan.“Perintah kayak apa, tuh, misalnya?”Zidan tersenyum mendengar pertanyaan Kanya. Sambil membimbing Mika untuk kembali melangkah, dia berkata, “Misalnya, karena kamu bilang mau ngobrol sama Jingga di balkon kamar, Sena minta area di bawahnya dikosongkan sementara.”“Sayangnya, kami kecolongan. Ternyata masih ada beberapa orang yang nggak sengaja menyaksikan insiden tadi. Bukan karena mereka memasuki area yang mestinya kosong, tapi kami luput soal para tamu yang bisa aja melihat ke arah balkon kamarnya Jingga saat
“Oh, jadi itu yang kamu lakuin sama mantanmu? Ngobrol dari ke hati-hati setelah berhubungan badan. Pantes hari ini kalian bisa kelihatan akur banget.”Usai bilang begitu, Kanya sudah siap dengan apa pun yang bakal dia dengar selanjutnya dari Mika. Walau demikian, ternyata dia tetap agak syok dengan betapa gamblangnya Mika bicara soal kehidupan ranjang.“Kami kemarin nggak ada pillow talk,” kata Mika sambil tersenyum pada Zidan, meminta pria itu berhenti melangkah dengan isyarat tangan.Tanpa mengalihkan pandangannya dari Zidan, Mika lantas berbisik, “Habis begituan, aku pilih buru-buru tidur. Soalnya kalau nggak tidur, bisa ada sesi kedua, ketiga, dan seterusnya. Staminanya dia jempolan banget, sumpah! Takut pingsan kalau aku iyain terus.”Kanya berusaha memasang wajah datar, tetapi pipinya sudah keburu memanas. Dia bahkan yakin telinganya sudah ikut memerah.“Kamu belum pernah begituan sama Sena, kan? Mending buruan coba biar lebih paham maksudku. Soalnya cuma orang yang udah pernah
Soal mengumpati orang, Mika memang jauh lebih jago ketimbang Kanya. Bukan hanya mengabsen berbagai nama penghuni kebun binatang, pengetahuan Mika tentang variasi kata makian juga terbilang jempolan.Di antara begitu banyak kata kasar yang Mika tahu, sebagian besar sudah dia gunakan untuk memaki Sena. Sebenarnya tidak enak didengar, tetapi anehnya Kanya jadi merasa lebih baik karenanya.Karena tidak pintar melakukannya sendiri, ternyata menyenangkan punya teman yang ahli mengumpat seperti Mika. Puas mendengar Sena dimaki-maki sebegitunya.Setelah semua umpatan itu, Kanya pikir Mika bakal sepenuhnya antipati lagi dengan Sena. Setidaknya Kanya bakal disuruh jaga jarak sementara dengan suaminya tersebut.Namun, barusan Mika malah dengan entengnya menyuruh Kanya dipeluk Sena. Mungkin cuma asbun karena obrolan mereka sudah tidak seserius sebelumnya, tapi Kanya tetap tak bisa menahan dirinya untuk tidak memicingkan mata.“Kamu tim siapa, sih, sebenarnya, Mik? Sena atau aku?”Tatapan Kanya ya
Setiap kali melihat Jingga menangis, hal pertama yang pasti segera dilakukan Sena dulu adalah memeluknya. Sena tidak perlu mengatakan apa pun untuk menenangkan Jingga. Hanya dengan sebuah pelukan, isak perempuan itu perlahan akan mereda.Hanya saja, lain dulu, lain sekarang.Hatinya kini memang tergerak melihat Jingga menangis pilu. Namun, afeksi semacam itu tidak lagi pantas dia berikan. Sena sepenuhnya sadar bahwa dirinya harus membiarkan garis batas di antara mereka tetap jelas. Akhirnya, cukup lama Sena hanya diam di tempatnya. Memandang iba Jingga yang sesenggukan sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan, Sena menunggu sampai Jingga mampu menenangkan dirinya sendiri.Di sisi lain, Jingga mulai berusaha mengatur napas yang sesekali masih tersengal. Air matanya belum berhenti mengalir, tetapi sudah lebih terkendali.“Kita bisa mulai lagi dari awal …” Suara Jingga terdengar serak saat ia kembali berbicara seraya mengusap air matanya sendiri.“Aku janji nggak bakal bikin Mas kec
“Aku dulu terlalu kecewa dan marah, jadinya mengabaikan rasa sakit hati yang kamu tahan sendirian.”Bahkan sampai sore tadi, Sena masih memendam amarah yang sama pada Jingga. Hubungan mereka dulu barangkali tidak melulu bahagia, sesekali ada cekcok juga. Namun, mereka selalu cepat berbaikan, jadi tak ada alasan kisah kasih keduanya kandas di tengah jalan.Andai Sena tidak melihat Jingga selingkuh dengan mata kepalanya sendiri, mungkin mereka masih menjalin asmara hingga hari ini. Sena hanya perlu terus pura-pura tidak tahu bahwa dirinya telah dikhianati. Sena yakin, dirinya di masa lalu sanggup melakukan hal seperti itu demi tetap bersama Jingga.Namun, kekecewaan Sena sungguh telah mencapai puncaknya ketika mendapati Jingga tidur tanpa busana bersama pria lain di ranjang tempat mereka sering bercinta. Sejak malam itu, kemarahan Sena tidak pernah sedikit pun berkurang. Bahkan air mata Jingga, tangisannya yang pecah-pecah saat memohon maaf, tak dapat meluluhkan hati Sena.Sena merasa d
“Apa harus sejauh ini? Kenapa mesti dihapus semua?”Dua hari setelah putus, Jingga sempat mengira Sena ingin kembali padanya. Pria itu datang ke apartemennya tanpa pemberitahuan dan Jingga tentu saja dengan senang hati menyambutnya.Namun, kedatangan Sena hari itu ternyata hanya untuk menghapus segala jejak kenangan selama mereka menjalin asmara. Sena menjelajahi setiap sudut tempat tinggal Jingga, mengambil semua foto yang dipajang tak peduli sebesar apa ukurannya.Sena juga menyisir laptop Jingga, menghapus semua foto dan video mereka berdua, tak terkecuali yang ada di perangkat penyimpanan eksternal. Memori kamera digital pun tidak luput dari perhatiannya. Sena bahkan mereset ponsel Jingga setelah menghapus seluruh unggahan yang berkaitan dengan hubungan mereka di setiap akun media sosial Jingga. Dia rela menghabiskan banyak waktu untuk itu semua—sebegitunya tak mau ada satu pun kenangan yang tersisa.Jingga sendiri tak mengerti mengapa dirinya tidak bisa berbuat banyak. Awalnya s
Cinta pertama katanya akan selalu memiliki tempat spesial sampai kapan pun. Entah berujung bahagia atau justru jadi luka yang seakan tidak ada obatnya, cinta pertama seolah tidak ditakdirkan untuk dilupakan begitu saja.Itulah mengapa obrolan tentang cinta pertama seakan tidak pernah terasa membosankan. Bahkan tak sedikit pasangan yang saling penasaran dengan cinta pertama sang pujaan hati.Awal masa pacaran dulu, Jingga dan Sena juga pernah tiba-tiba mengobrolkan cinta pertama. Mulanya gara-gara Jingga tak sengaja bertemu mantannya ketika kencan di sebuah kafe bersama Sena.“Dulu pacarannya lama?”Kala itu, Sena terdengar sangat ingin tahu. Dia bisik-bisik bertanya, bahkan sebelum pria yang sempat menyapa Jingga baru beberapa langkah meninggalkan mereka mereka.Jingga tertawa tanpa suara melihat wajah penasaran Sena. Cemburunya cukup kentara karena jarang-jarang Sena menatap sinis pria lain.“Cuma beberapa bulan, kok. Nggak sampai setahun. Sekitar 5-6 bulan, mungkin?”Sena masih memp
Jingga meringkuk di atas ranjang, memeluk kedua lutut dengan pandangan kosong. Tangisannya sudah reda, menyisakan mata sembap dan bekas air mata yang mengering di wajahnya.Di sebelahnya, Chacha setia menemani. Sang asisten cuma diam, tak sedikit pun coba menghibur Jingga dengan kata-kata. Ia hanya sesekali mengusap pelan punggung Jingga, berusaha menenangkan tanpa suara.“Mas Sena mana …?”Setelah cukup lama, Jingga akhirnya memecah kesunyian dengan suara yang terdengar serak khas orang habis menangis.“Kak Jingga masih mau ketemu orang itu?”Chacha bertanya karena khawatir. Bagaimana jika Jingga merasa syok atau terguncang lagi gara-gara berinteraksi dengan Sena? Namun, Jingga tampaknya lebih cemas jika dirinya tak jadi menghabiskan waktu bersama Sena seperti apa yang terlanjur dia bayangkan sejak kemarin.Perempuan itu mengangguk kecil, lalu berkata, “Aku harus ketemu dia malam ini, Cha. Di mana Mas Sena sekarang …?”Selepas insiden sore tadi, Sena memang sempat tinggal sejenak di