Selepas kepergian mendiang tunangannya lebih dari tiga tahun yang lalu, Kanya selalu meyakini bahwa dirinya akan sangat sulit jatuh cinta lagi. Arga terlalu sempurna untuk dibandingkan dengan siapa pun. Jika ingin menggantikan posisi Arga di hati Kanya, sekedar ganteng dan kaya saja jelas tidak cukup.
Bahkan di mata Kanya, Arga adalah sosok pasangan yang tampak terlalu sempurna untuk menjadi nyata. Walau demikian, nyatanya Arga dan segala bahasa cintanya memang pernah begitu mewarnai kehidupan Kanya.
Namun, apakah Kanya salah? Apakah jatuh cinta selepas kepergian Arga sebenarnya tidak sesulit itu bagi Kanya?
Barusan jantungnya berdebar tak karuan hanya karena melihat Sena tersenyum padanya. Orang-orang yang jatuh cinta, biasanya mengalami hal klise semacam itu, kan?
"Jangan gila, Kanya. Mana boleh kamu jatuh cinta sama orang itu?" gumam Kanya setelah buru-buru memutus kontak mata dengan Sena yang masih tersenyum padanya.
"Jangan jatuh cinta sama orang yang jelas-jelas membenci kamu …."
***
Sena kelihatan memesona dengan kemeja linen lengan panjang warna biru dongker. Pria berusia 30 tahun itu membiarkan seluruh kancingnya terbuka, menjadikan busana tersebut selayak outer untuk melapisi kaus putih gading. Berpadu sempurna dengan celana krem dan sneakers putih.
Sebelum berkutat dengan penyajian aneka kue dan roti, Sena melipat lengan kemejanya sampai nyaris siku. Tangan berotot Sena jadi lumayan terekspos, apalagi dengan adanya jam tangan mewah yang melingkari pergelangan tangan kanan. Sungguh pemandangan yang mengagumkan bagi kaum hawa.
Gaya kasual yang ditampilkan Sena adalah definisi pesona pria mapan, tampan, dan menawan.
"Kita jujur iri banget sama Kak Kanya."
"Mau punya suami kayak Kak Sena juga."
"Kasih tips biar kita bisa dapat jodoh secakep suaminya Kak Kanya, dong, Kak."
Kafe masih ramai dan hampir semua meja terisi, tetapi situasinya sudah jauh lebih terkendali. Jadi, Kanya bisa meladeni sejumlah pelanggan yang ingin berbincang ringan dengannya. Kanya bahkan mengajak mereka ke halaman belakang dan menempati meja khusus yang buru-buru disiapkan.
"Berarti minimal nggak boleh antipati sama perjodohan," kata Kanya sambil melihat Sena yang sedang bertelepon tak jauh dari mereka.
'Juga harus mau dijodohkan sama seseorang yang tadinya calon adik ipar kalian,' lanjut Kanya dalam hati.
Perbincangan soal perjodohan pun tak terhindarkan. Ada yang mengaku pernah dijodohkan, tetapi merasa tidak cocok. Lainnya menambahkan dengan bercerita tentang berbagai hal yang bikin banyak orang benci dijodohkan, mulai dari perihal buruk hingga insiden kocak.
Obrolan baru terhenti saat Sena bergabung dengan mereka. Perhatian semua orang seketika teralihkan karena disuguhi adegan mesra.
Kanya sendiri bahkan membeku sesaat karena Sena tanpa aba-aba merangkul mesra pinggangnya.
“Maaf, ya, Sayang. Zidan barusan telepon, masalah kerjaan,” tutur Sena lembut.
Mengabaikan kehebohan khalayak yang lagi-lagi terjadi karena ulah Sena, Kanya cepat-cepat memanggil Bastian. Sambil berjibaku dengan perasaan aneh yang kembali mengusik sanubari, Kanya ingat ada sesi foto dadakan yang harus tetap berjalan, tentu demi memenuhi permintaan penggemar.
Sebenarnya masih ada Mika yang bisa dimintai tolong juga, tetapi Kanya tahu sahabatnya itu tak terlalu suka pura-pura akrab dengan Sena.
"Kak Kanya, izin nanti fotonya kami unggah di medsos, ya!"
"Oke, boleh banget. Aku siap repost semuanya!" sahut Kanya antusias.
***
Selain rumah yang benar-benar hanya ditinggali berdua, ruang bebas sandiwara andalan Kanya dan Sena adalah mobil mereka. Tak perlu ada senyuman manis, obrolan hangat, tatapan penuh cinta, atau apa pun yang terlihat romantis di mata orang lain.
"Kamu nggak mau bikin promo khusus pembaca setia bukumu? Diskon 15 persen untuk pembelian menu tertentu dengan syarat posting momen syahdu baca buku di Kanya Coffee & Bakery, misalnya?"
Keheningan tercipta begitu saja setelah keduanya masuk mobil. Setelah beberapa menit hanya fokus menyetir, Sena memutuskan untuk memecah sunyi di antara mereka.
Diajak bicara, Kanya merasa tak perlu mengalihkan pandangan lurusnya dari jalanan macet khas akhir pekan.
"Otak bisnisnya managing director Pandega Group memang tidak perlu diragukan," ujarnya sinis.
Balasan dingin Kanya rupanya berbuah senyuman tipis di bibir Sena. Namun, sebelum Kanya menyadarinya, Sena telah kembali memasang ekspresi datar.
"Terima kasih. Itu pujian, kan?" ujar Sena kemudian.
Setelahnya, senyap kembali merayap.
Kanya tentu saja tidak lupa soal apa yang ingin dia tanyakan pada Sena. Hanya saja, dia bingung bagaimana memulainya. Ingin langsung ke intinya, tetapi pertanyaan yang mengganjal di benaknya terasa sangat berat diucapkan.
"Mas Sena nggak cinta sama aku, kan?"
Mobil baru saja memasuki kawasan perumahan elit di mana tempat tinggal mereka berada saat pertanyaan lugas itu meluncur dari mulut Kanya.
"Lupa, ya?" Sena bertanya balik. "Sejak awal aku udah bilang kalau …."
"Cintanya udah habis di Jingga, ya?"
Pertanyaan Kanya membuat Sena menghentikan laju mobilnya secara mendadak. Jarak ke rumah hanya tersisa kurang dari 50 meter, tetapi Sena terlihat sudah kehilangan fokus menyetir.
Sena menatap bingung Kanya yang bertahan memandang lurus ke depan.
"Kanya, kenapa kamu …."
"Mas Sena diam-diam berencana mengakhiri pernikahan ini?"
Saat melontarkan pertanyaan itu, anehnya, Kanya merasa seolah menaburkan garam pada lukanya sendiri. Perih yang tidak diharapkan semakin menjadi setelah pertanyaan berikutnya terucap.
"Jadi, kapan kita cerai …?"
Dasar pembohong! Penipu! Sialan!Kanya frustasi karena hanya sanggup mengumpati Sena dalam hati. Pasalnya, setiap kali coba buka mulut, dirinya cuma bisa mengeluarkan desahan yang malah akan semakin menyulut gairah suaminya.Sena terus bergerak di atas Kanya, membuat istrinya kewalahan dalam setiap hentakan. Janji pelan-pelan hanya ditepati pada awalnya saja. Begitu sampai intinya, hasrat yang sudah lama terpendam mengambil alih kendali. Arusnya terlalu kuat untuk dilawan, ritmenya berubah menjadi semakin dalam dan menggebu.Setiap kali tubuh Kanya terdorong menjauh sedikit saja, Sena akan menahan pinggulnya lebih erat. Kanya dipaksa bertahan dalam tempo tak beraturan yang dilakoni Sena.“Jangan ditahan, Sayang,” desis Sena setelah mencium bibir istrinya kasar. “Aku mau dengar desahan merdu istriku ….”Kanya menggigil nikmat dalam kepasrahan yang menghanyutkan sekaligus menyiksa. Seolah patuh pada perintah Sena tadi, Kanya kemudian terus-menerus menyuguhkan rintihan panjang dan desah
“Nggak usah takut, Kanya.”Sambungan telepon harus segera diakhiri. Jadi, Kanya cepat-cepat meraih ponsel yang dia taruh di kasur. Sayangnya, lagi-lagi Kanya kalah gesit. Dia kalah cepat dengan Sena yang duduk di belakangnya. Berkat alat pengering rambut di tangan, pria itu berhasil lebih dulu mencapai gawai milik istrinya.Lantas, dalam sekali gerakan, Sena mendorong ponsel Kanya menjauh ke samping hingga nyaris masuk ke bawah tumpukan bantal di kepala ranjang.“Kamu cuma perlu bilang, ‘Mainnya pelan-pelan aja, ya, Sayang. Aku masih perawan, belum pengalaman’. Suamimu pasti paham.”Biarpun sudah terlambat, Kanya tidak menyerah begitu saja. Tak ingin Sena mendengar sesuatu yang lebih memalukan. Kanya merayap cepat untuk mengambil ponselnya.“Misal masih takut bakal sakit, bisa pakai pelum—”Bip!Demi Tuhan! Kanya malu setengah mati. Rasanya ingin menghilang saja sekarang.Sena tersenyum gemas melihat tingkah Kanya yang kini tampak meringkuk sambil membenamkan wajah di tumpukan bantal.
“Menurut Mas Sena, dia tipe yang rawan mengulangi kesalahan yang sama atau nggak?”Biarpun pernah menjadi kekasih sahabatnya, Kanya tidak begitu mengenal Zidan. Sempat ingin coba berteman, tetapi ujungnya enggan karena Zidan tampak tidak terlalu suka dengannya. Dulu Kanya maklum saja dengan sikap Zidan tersebut. Pikir Kanya, barangkali karena Zidan akrab dengan Sena yang kala itu selalu terlihat sangat membencinya. Mungkin Zidan seperti banyak orang di luar sana yang cenderung ikut tidak suka pada sosok yang dibenci teman mereka.Pernah Kanya sekali mengeluh dengan pacarnya—Arga, tentu saja. Namun, katanya, selama Zidan memperlakukan Mika dengan baik, Kanya tidak perlu terlalu mempermasalahkannya.Baru belakangan ini saja Zidan bersikap lebih ramah padanya. Mungkin karena hubungan Kanya dan Sena yang telah jauh membaik juga.Walau begitu, kondisi tersebut tak lantas membuat Kanya merasa sudah lebih mengenal sifat Zidan. Oleh karenanya, meski tadi bilang akan mendukung apa pun keputus
Zidan sudah mengenal Sena selama lebih dari 15 tahun. Jika ada kompetisi menebak makna tersembunyi di balik setiap ekspresi yang diperlihatkan Sena, Zidan yakin dirinya bakal menjadi juara pertama. Senyuman yang kelihatannya manis belum tentu pertanda baik, pun dengan tatapan hangat yang bisa jadi mengecoh. Orang lain mungkin saja tertipu dan terlena, tetapi Zidan bukanlah mereka. “Mau libur panjang kayak Andi juga, nggak?”Berbekal kemampuannya membaca pikiran licik Sena, Zidan segera menyadari bahwa hal yang tidak menyenangkan bisa saja terjadi padanya.Zidan memang iri dengan Andi. Dia juga mau merasakan enaknya libur panjang. Namun, idiot jika dia sampai tergoda menerima tawaran Sena barusan.“Nggak mau,” tolak Zidan tanpa ragu. “Kebetulan aku baru suka-sukanya kerja, nggak minat libur panjang. Coba tawarin ke karyawan lain aja.”Sena tertawa mendengar bualan Zidan. Suka bekerja? Seorang Zidan? Lebih dari siapapun, Sena adalah orang yang paling tahu bahwa temannya ini selalu ber
Hubungan yang telah hancur kerap diibaratkan gelas pecah. Walau mungkin bisa diperbaiki, kondisinya tidak akan pernah sama seperti semula. Tampaknya sudah utuh kembali, tetapi retaknya bakal terus ada di sana.Itulah mengapa banyak orang memilih untuk tidak kembali menjalin hubungan dengan mantan pasangan. Memperbaiki hubungan yang sudah pernah hancur diyakini akan selalu berujung menyakiti diri sendiri. Awalnya mungkin tampak indah karena rasanya masih saling sayang, tetapi nyatanya ada saja luka yang tidak bisa sembuh sepenuhnya.“Kamu takut kalian bakal bertengkar hebat lagi, terus akhirnya putus lagi?”Mika tidak langsung menjawab pertanyaan Kanya. Selama beberapa saat, dia hanya diam sembari memandangi pergelangan tangannya yang sejak semalam berhias gelang emas putih pemberian Zidan.“Suatu hari nanti, dia mungkin akan melakukan kesalahan yang sama. Kalau nggak, mungkin malah aku yang bakal bertindak bodoh.”Kali ini, giliran Kanya yang merasa butuh berpikir sejenak untuk menangg
Masalahnya, jika bukan Sena, mungkin saja Haris yang bakal menjadi suami Kanya.“Haris …?”Hari itu, Sena memberi tahu orang tuanya bahwa dia baru saja bertemu dengan ayah Kanya. Sena mengungkap soal Banyu yang memintanya menggantikan posisi mendiang Arga sebagai calon suami Kanya.Saat mendengar tentang penolakan Sena, Indra maupun Desi maklum. Meski masih berharap Kanya bisa jadi menantu mereka, keduanya paham benar dengan keputusan Sena.Bagaimanapun, Sena sudah punya pacar, bahkan ada rencana untuk bertunangan dalam waktu dekat. Walau kurang suka dengan kekasih si bungsu, jelas tidak bijak jika mereka sampai menyuruh Sena meninggalkan perempuan itu.Namun, obrolan sambil sarapan itu berlanjut ke arah yang perlahan membuat Sena entah mengapa jadi cemas.“Iya, Haris Laksmana, putra sulungnya pemilik Ganesh Corp,” ucap Indra menanggapi wajah bingung anaknya. “Harusnya kalian pernah ketemu. Waktu Papa suruh kamu ikut konferensi bisnis di Singapura itu, misalnya?”Sena terdiam, tetapi b