“Sena sialan!”
Begitu mendapat cerita tentang janji Sena pada Jingga untuk menceraikan Kanya setelah tiga tahun menikah, Mika tak mau menyembunyikan amarahnya. Jangan bilang kalau Sena selama ini diam-diam masih menjalin hubungan juga dengan sang mantan. Jika benar demikian, Sena sungguh layak dilaknat!
“Kalian beneran nggak nikah kontrak, kan? Soalnya kalau niatnya emang udahan setelah tiga tahun, mending dia …”
“Nggak, Mik,” potong Kanya sambil mengusap lengan Mika yang duduk bersebelahan dengannya di taman belakang, berharap bisa menenangkan sang sahabat.
Dibanding Kanya, saat ini Mika memang tampak lebih emosional. Itulah mengapa mereka harus menjauh dari area utama. Bagaimanapun, pelanggan kafe tidak boleh tahu tentang obrolan mereka sekarang, pun dengan para karyawan.
“Memang ada satu kesepakatan dan kamu tahu banget soal itu,” ungkap Kanya. “Tapi, bukan berarti ini pernikahan kontrak. Nikah, ya, nikah aja. Mana ada rencana jatuh tempo kayak omongannya Jingga itu.”
“Terus, Jingga maksudnya apa bilang kayak gitu sama kamu? Mana selama ini dia nggak ngelakuin apa pun, seolah beneran harus tiga tahun nunggu waktunya menagih janji.”
Kanya cuma diam, memikirkan ucapan Mika yang sebenarnya juga telah menjadi kekhawatirannya. Andai memang ingin menghancurkan pernikahan Kanya dan Sena, Jingga bisa saja melakukannya sejak dulu. Kenapa harus menanti tiga tahun untuk akhirnya bergerak seperti hari ini?
“Nggak paham, Mik,” tutur Kanya, menghela napas berat.
Mika tanpa sadar ikut menghela napas, frustasi membayangkan nasib Kanya jika Sena sungguh menceraikan sahabatnya. Bukan cemas Kanya bakal patah hati, toh, jelas tidak mungkin karena cinta saja tidak. Namun, Mika tak bisa membayangkan betapa lelahnya jadi Kanya jika harus melanjutkan hidup dengan menghadapi stigma janda
Beda dengan duda, status janda kerap membuat seseorang dicap buruk. Padahal, apa bedanya? Menyebalkan.
“Rencana kamu apa sekarang?” tanya Mika. “Menurutku, minimal kamu perlu cari tahu kebenarannya langsung dari tersangka utama.”
“Konfirmasi langsung ke Sena gitu, maksudmu?”
“Iya, dong, Kanya. Tanya aja ke dia, benar atau nggak?”
Kanya menghela napas lagi. Setelahnya, dia hanya diam sambil memandangi langit yang mulai mendung. Awan yang tadinya seputih kapas perlahan telah berubah abu-abu.
Ramalan cuaca BMKG menyebut hari ini tidak akan hujan, tetapi mendung akhirnya datang. Jika pada akhirnya hujan, apakah itu berarti BMKG berbohong?
Oh, Kanya mendadak ingat jika Sena pernah berjanji tidak akan menceraikan dirinya. Namun, jika pada akhirnya Kanya diceraikan, apakah itu berarti Sena berbohong padanya selama tiga tahun ini?
“Mik, misalnya aku sama Sena beneran cerai, gimana, ya? Gimana, ya, rasanya hidup tanpa dia?”
Mika tertegun mendengar kata-kata yang diucapkan Kanya sambil bertahan menatap jauh ke langit. Suasana yang ada mestinya tidak sendu begini.
“Kanya, pertanyaanmu itu kayak …”
Mika ragu melanjutkan kalimatnya sendiri, tetapi menyimpan prasangka sungguh bukan keahliannya.
“Kamu kayak seorang istri yang cinta sama suaminya ….”
***
'Hari ini pulang jam berapa?'
'Sore atau malam ini ada waktu luang?'
'Ada yang perlu kita obrolin.'
'Misal hari ini sibuk, besok juga oke.'
'Cuma mau ngobrol sebentar, paling nggak sampai 10 menit.'
Entah sudah berapa kali Kanya menghela napas hari ini dan barusan dia melakukannya lagi. Penyebabnya satu: Sena tak kunjung merespons pesan yang sudah Kanya kirim beberapa jam lalu.
Pesan dikirim siang tadi dan sekarang hari sudah berganti sore. Sena memang hampir selalu lambat perihal membalas pesan dan biasanya Kanya masa bodoh karena dia pun begitu pada sang suami.
Namun, kali ini beda. Kanya mau pesannya segera dibaca. Dia ingin Sena membalas secepatnya.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saat sekali lagi memeriksa layar ponselnya, mata Kanya membesar antusias melihat tanda centang biru. Hanya saja, tidak ada balasan apa pun, bahkan setelah Kanya menunggu lebih dari 10 menit.
'Chat aku akhirnya dibaca, tapi kenapa nggak dibalas?'
'Sibuk banget, ya?'
'Lagi sibuk ngapain?'
Kanya kembali mengirimkan beberapa pesan secara beruntun, beda dengan sebelumnya yang sengaja diberi jeda masing-masing setidaknya lima menit. Pikir Kanya, apa itu sabar? Sena harus dibuat merasa terganggu agar berhenti mengabaikan pesannya.
“Haruskah lebih provokatif?”
Setelah bertanya pada diri sendiri, Kanya mulai mengetik kalimat pertanyaan pamungkas.
'Sibuk mesra-mesraan sama Jingga?'
Hasilnya? Benar saja. Semenit pun tak sampai, Kanya akhirnya menerima pesan balasan.
'Kamu lagi di mana? Aku ke situ sekarang.'
***
Kanya Coffee & Bakery semakin ramai di sore hari. Sang pemilik bahkan jadi merasa harus turun tangan mendatangi meja pelanggan untuk mencatat pesanan. Begitu pula dengan Mika yang inisiatif melakukan hal serupa.
Saking ribetnya, Kanya tak menyadari kehadiran Sena. Pria itu sudah datang beberapa menit lalu dan segera menuju area cake showcase, menawarkan bantuan pada seorang karyawan yang tampak kewalahan.
“Saya ulangi pesanannya, ya, Kak. Dua americano ice, satu cinnamon roll, dan satu klepon cake. Ada yang kurang atau mau tambah, Kak?” tanya Kanya, mengonfirmasi pesanan pelanggan.
“Cuma mau tanya, boleh nggak, Kak?”
Kanya tentu saja menanggapi permintaan pelanggannya dengan ramah. “Boleh, Kak. Silakan, mau tanya apa? Saya siap jawab sebisa saya,” ujarnya.
“Ini Kak Kanya, kan? Penulis buku ‘Secangkir Teh Pahit di Hari Kelahiran’?”
Senyum Kanya kian merekah karena judul buku terbarunya disebut. “Iya, benar. Saya Kanya.”
Setelahnya, pelanggan bersangkutan langsung heboh bersama temannya. Bagi Kanya, ini adalah situasi yang tidak asing.
Jika tiba-tiba diminta tanda tangan pada bukunya, Kanya tidak bakal menolak. Namun, dia justru mendapat pertanyaan tak terduga.
“Itu cowok ganteng yang lagi ngurusin pastry, suaminya Kak Kanya, kan? Boleh minta foto bareng kalian?”
Kanya seketika berpaling ke arah cake showcase. Tampak Sena baru saja menyerahkan roti sabit kepada seorang pramusaji yang langsung pergi mengantarkannya ke meja pelanggan.
Detik berikutnya, Sena dan Kanya saling bertemu pandang. Dengan mata berbinar, Sena tersenyum manis menyapa Kanya dari kejauhan.
“Halo, sayang,” ucap pria itu tanpa suara pada Kanya yang membeku di tempatnya.
Pelanggan yang sebelumnya dilayani Kanya semakin heboh, menarik perhatian orang-orang di kafe, dan berujung tercipta kehebohan lebih besar.
Anehnya, Kanya merasa suara detak jantungnya terdengar lebih keras dari apa pun sekarang. Perempuan itu bingung dengan debaran kencang yang muncul begitu saja hanya karena melihat Sena tersenyum padanya.
Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ada yang mendadak terasa begitu berbeda? Saat itulah Kanya teringat kembali dengan ucapan Mika siang ini.
'Masa iya sebenarnya aku cinta dia …?'
“Nggak usah takut, Kanya.”Sambungan telepon harus segera diakhiri. Jadi, Kanya cepat-cepat meraih ponsel yang dia taruh di kasur. Sayangnya, lagi-lagi Kanya kalah gesit. Dia kalah cepat dengan Sena yang duduk di belakangnya. Berkat alat pengering rambut di tangan, pria itu berhasil lebih dulu mencapai gawai milik istrinya.Lantas, dalam sekali gerakan, Sena mendorong ponsel Kanya menjauh ke samping hingga nyaris masuk ke bawah tumpukan bantal di kepala ranjang.“Kamu cuma perlu bilang, ‘Mainnya pelan-pelan aja, ya, Sayang. Aku masih perawan, belum pengalaman’. Suamimu pasti paham.”Biarpun sudah terlambat, Kanya tidak menyerah begitu saja. Tak ingin Sena mendengar sesuatu yang lebih memalukan. Kanya merayap cepat untuk mengambil ponselnya.“Misal masih takut bakal sakit, bisa pakai pelum—”Bip!Demi Tuhan! Kanya malu setengah mati. Rasanya ingin menghilang saja sekarang.Sena tersenyum gemas melihat tingkah Kanya yang kini tampak meringkuk sambil membenamkan wajah di tumpukan bantal.
“Menurut Mas Sena, dia tipe yang rawan mengulangi kesalahan yang sama atau nggak?”Biarpun pernah menjadi kekasih sahabatnya, Kanya tidak begitu mengenal Zidan. Sempat ingin coba berteman, tetapi ujungnya enggan karena Zidan tampak tidak terlalu suka dengannya. Dulu Kanya maklum saja dengan sikap Zidan tersebut. Pikir Kanya, barangkali karena Zidan akrab dengan Sena yang kala itu selalu terlihat sangat membencinya. Mungkin Zidan seperti banyak orang di luar sana yang cenderung ikut tidak suka pada sosok yang dibenci teman mereka.Pernah Kanya sekali mengeluh dengan pacarnya—Arga, tentu saja. Namun, katanya, selama Zidan memperlakukan Mika dengan baik, Kanya tidak perlu terlalu mempermasalahkannya.Baru belakangan ini saja Zidan bersikap lebih ramah padanya. Mungkin karena hubungan Kanya dan Sena yang telah jauh membaik juga.Walau begitu, kondisi tersebut tak lantas membuat Kanya merasa sudah lebih mengenal sifat Zidan. Oleh karenanya, meski tadi bilang akan mendukung apa pun keputus
Zidan sudah mengenal Sena selama lebih dari 15 tahun. Jika ada kompetisi menebak makna tersembunyi di balik setiap ekspresi yang diperlihatkan Sena, Zidan yakin dirinya bakal menjadi juara pertama. Senyuman yang kelihatannya manis belum tentu pertanda baik, pun dengan tatapan hangat yang bisa jadi mengecoh. Orang lain mungkin saja tertipu dan terlena, tetapi Zidan bukanlah mereka. “Mau libur panjang kayak Andi juga, nggak?”Berbekal kemampuannya membaca pikiran licik Sena, Zidan segera menyadari bahwa hal yang tidak menyenangkan bisa saja terjadi padanya.Zidan memang iri dengan Andi. Dia juga mau merasakan enaknya libur panjang. Namun, idiot jika dia sampai tergoda menerima tawaran Sena barusan.“Nggak mau,” tolak Zidan tanpa ragu. “Kebetulan aku baru suka-sukanya kerja, nggak minat libur panjang. Coba tawarin ke karyawan lain aja.”Sena tertawa mendengar bualan Zidan. Suka bekerja? Seorang Zidan? Lebih dari siapapun, Sena adalah orang yang paling tahu bahwa temannya ini selalu ber
Hubungan yang telah hancur kerap diibaratkan gelas pecah. Walau mungkin bisa diperbaiki, kondisinya tidak akan pernah sama seperti semula. Tampaknya sudah utuh kembali, tetapi retaknya bakal terus ada di sana.Itulah mengapa banyak orang memilih untuk tidak kembali menjalin hubungan dengan mantan pasangan. Memperbaiki hubungan yang sudah pernah hancur diyakini akan selalu berujung menyakiti diri sendiri. Awalnya mungkin tampak indah karena rasanya masih saling sayang, tetapi nyatanya ada saja luka yang tidak bisa sembuh sepenuhnya.“Kamu takut kalian bakal bertengkar hebat lagi, terus akhirnya putus lagi?”Mika tidak langsung menjawab pertanyaan Kanya. Selama beberapa saat, dia hanya diam sembari memandangi pergelangan tangannya yang sejak semalam berhias gelang emas putih pemberian Zidan.“Suatu hari nanti, dia mungkin akan melakukan kesalahan yang sama. Kalau nggak, mungkin malah aku yang bakal bertindak bodoh.”Kali ini, giliran Kanya yang merasa butuh berpikir sejenak untuk menangg
Masalahnya, jika bukan Sena, mungkin saja Haris yang bakal menjadi suami Kanya.“Haris …?”Hari itu, Sena memberi tahu orang tuanya bahwa dia baru saja bertemu dengan ayah Kanya. Sena mengungkap soal Banyu yang memintanya menggantikan posisi mendiang Arga sebagai calon suami Kanya.Saat mendengar tentang penolakan Sena, Indra maupun Desi maklum. Meski masih berharap Kanya bisa jadi menantu mereka, keduanya paham benar dengan keputusan Sena.Bagaimanapun, Sena sudah punya pacar, bahkan ada rencana untuk bertunangan dalam waktu dekat. Walau kurang suka dengan kekasih si bungsu, jelas tidak bijak jika mereka sampai menyuruh Sena meninggalkan perempuan itu.Namun, obrolan sambil sarapan itu berlanjut ke arah yang perlahan membuat Sena entah mengapa jadi cemas.“Iya, Haris Laksmana, putra sulungnya pemilik Ganesh Corp,” ucap Indra menanggapi wajah bingung anaknya. “Harusnya kalian pernah ketemu. Waktu Papa suruh kamu ikut konferensi bisnis di Singapura itu, misalnya?”Sena terdiam, tetapi b
Haris tidak asal-asalan memborong buku terbaru karya Kanya. Pria itu membuat segalanya tampak wajar dengan memanfaatkan wewenangnya sebagai CEO Ganesh Corp.Apa yang dilakukan Haris seolah kebetulan saja cocok dengan agenda sosial perusahaannya. Itu sungguh bukan sesuatu yang terkesan rahasia dan jauh dari kata mencurigakan. Buktinya, bahkan kurang dari 10 menit, Sena sudah bisa menemukan banyak informasi terkait agenda yang dijadikan Haris sebagai alibi.Ganesh Foundation—yang tentu saja merupakan bagian dari Ganesh Corp—dikabarkan segera meresmikan program bertajuk “Sejuta Buku untuk Negeri”. Mulai bulan depan, mereka bakal menyalurkan jutaan buku aneka genre untuk ratusan perpustakaan dan taman bacaan masyarakat yang tersebar di berbagai wilayah seluruh Indonesia.Guna melancarkan program tersebut, Ganesh Foundation bekerja sama dengan lebih dari 80 penerbit mayor dan ratusan komunitas literasi. Nah, di antara begitu banyak pihak yang digandeng, bukan hal aneh jika DhisMedia yang