"Dia bilang akan menikah di villa yang sudah ia belikan untukmu sebagai mahar di Lombok. Tapi malah kalian menikah sederhana tanpa mengabari kami." Wanita itu mengerucutkan bibir saat bercerita begitu.
Namun Diana hanya menjadi pendengar yang baik. Sekaligus berpikir tentang apa yang dikatakan ibu mertuanya. Ia bahkan tak tahu dengan impian suaminya yang akan menikah di villa Lombok. Ah iya, pasti yang diceritakan Desta adalah Meta. Dan impian pernikahan itu tentu saja dengannya. Bukan dirinya. Karena ia sempat mendengar jika pernikahan adiknya itu akan berlangsung sangat mewah di Lombok.Seketika hatinya meringis mengingat ia memang bukan istri yang diharapkan suaminya. Hanya kebetulan karena sebuah insiden, terpaksa dia menjadi mempelai wanita sementara menggantikan adiknya. Ya, hanya sementara. Ketika sudah satu tahun, dia akan kembali diceraikan dan adiknya yang akan menggapai impiannya."Sayang, kamu nggak perlu merasa bersalah begitu. Momy nggak marAcara makan malam berlangsung kaku. Desta terlihat lebih banyak melamun. Hanya Mommy yang sesekali bercanda dengan menantunya tanpa digubris oleh Desta. Ucapan mommy tentang cucu sedikit banyak memengaruhi pikiran pria itu. Apakah benar Diana hamil? Tapi kenapa dia nggak pernah mengatakannya padaku? Membayangkan hal itu ada yang berdesir dalam dada Desta. Entah mengapa hatinya terasa gembira mendengar bahwa sebentar lagi ia akan menjadi seorang ayah. "Kamu mau ke mana Des? Apa tidak rindu sama mommy? Kenapa buru-buru sekali masuk kamar?" "Sorry, Mom, Desta sangat capek. Lebih baik Mommy juga istirahat, besok kita baru ngobrol, oke?"Tanpa menunggu jawaban mommy, pria itu langsung melangkah menuju kamarnya. Segera ia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh sekaligus mendinginkan pikirannya. Tepat pukul 10 malam ia membaringkan tubuh di ranjang dan mencoba memejamkan mata meski pikirannya terus melayang pada ucapan mommy.
"Ada apa dengan Diana?" Tanpa menjawab pertanyaan mommy Desta langsung berbalik ke kamar dan mengangkat Diana ke bawah. Sambil berlari dia berteriak pada Mommy untuk membuka pintu garasi agar ia bisa masuk ke dalam mobil.Dengan kecepatan diatas rata-rata Desta melajukan mobilnya menuju Rumah sakit tempatnya bekerja. Sampai di sana ia langsung masuk ke UGD dan membaringkan tubuh ringkih istrinya di salah satu brankar yang ada di sana."Tolong periksa istri saya, Dok!" ucapnya kepada dokter Vera yang sedang berjaga. "Baik, dokter bisa keluar dulu supaya saya leluasa memeriksanya?" Pria itu mengangguk dan keluar lalu menutup pintu UGD. Di depan ruangan itu terlihat Mommy sedang duduk menantinya. Wajahnya tak kalah khawatir dengan dirinya. "Duduklah, sayang kamu membuatku pusing!"Desta mengangguk dan duduk disamping mommynya. Kepalanya menunduk dengan kedua tangan bertumpu pada lutut. Sesekali ia mengacak rambutnya sam
Setelah mendonorkan darahnya untuk sang adik, Daniel berjalan menuju tempat dimana Desta dan Mommy berada. Tatapan mata elang keduanya saling beradu menguarkan aroma permusuhan. Namun Desta berusaha menekan egonya. Bagaimanapun sahabatnya ini telah menolong sang istri dan calon buah hatinya."Thanks, Bro. Lu telah menolong istri gue.""Tentu saja. Karena dia sangat berharga bagi hidup gue. Meskipun Lo nggak meminta kalau gue tahu dia membutuhkan sudah pasti akan gue lakukan apapun untuknya. Dan Lo, tolong jaga dia baik-baik kalau Lo benar-benar seorang pria sejati!"Sebenarnya Daniel ingin sekali menggampar wajah pria di hadapannya ini. Sungguh ia sangat tak rela adik yang selama ini ia cari, hidup menderita bersama sahabatnya. Andai saja ia bisa mengatakannya sekarang kalau dia adalah adik kandungnya ... sayangnya ia harus bersabar hingga kebenaran terungkap. Mommy yang tidak tahu masalah yang terjadi di antara mereka hanya diam menyaksikan perdebatan putra dan sahabatnya itu. Lalu
Diana merasa bosan terlalu lama di rumah sakit. Ini adalah hari ketiga dia berada di rumah sakit ini. Sebenarnya kondisinya sudah mulai membaik tapi sang mertua yang tahu bahwa Diana pernah mengalami pendarahan dan hampir keguguran terlalu posesif padanya. Sehingga tak mengizinkan Diana untuk pulang lebih cepat. Tentu saja hal itu membuat wanita yang berprofesi sebagai guru itu merasa suntuk karena terus berbaring di kamar berbau alkohol itu. Tadi pagi mommy pamit untuk pulang karena ada sesuatu yang harus diurus. Sementara Desta sedang menjalankan tugasnya sebagai seorang dokter. Maka untuk menghilangkan kejenuhan ia meminta kepada seorang perawat untuk mengantarkannya menuju ke taman yang ada di rumah sakit. "Terima kasih, Sus. Tinggalkan saya sendiri," ucap Diana dengan senyum tipisnya. "Tapi Bu, Pak Desta nanti marah kalau bu Diana sendirian di sini." "Tidak, Sus nanti biar aku hubungi Mas Desta," ucapnya lagi. Akhirnya perawat yang mengantarkannya kembali dan meninggalkan Di
"A--apa maksudmu, Diana?" tanya Desta gelagapan."Bukankah Kamu sendiri yang bilang kalau pernikahan kita hanya satu tahun?" Diana mendongak menatap wajah suaminya yang tak terbaca. "Aku hanya mengingatkan pada diriku sendiri untuk tidak terlena dengan pernikahan ini, Mas. Sekarang aku mulai sadar di mana posisiku saat ini di hatimu. Aku tak lebih hanya seorang yang mengisi hidupmu untuk sementara waktu. Ada saatnya aku harus kembali ke asalku."Setelah mengatakan itu Diana memutar kursi rodanya dengan menggunakan jemari dan menjauh dari 2 orang itu. Sepanjang lorong menuju kamar tak henti air matanya berlomba membasahi pipi. Dadanya terasa sesak setelah mengatakan apa yang seharusnya tidak ia katakan.Sesampainya di kamar Diana termenung di depan jendela. Membayangkan nasib kehidupan dengan sang buah hati kedepannya. Ada rasa yang menyayat di dalam hati memikirkan anaknya kelak tidak bisa memiliki kasih sayang yang lengkap dari kedua orang tuanya.Seseorang masuk tanpa mengusik lamu
Desta menatap tak suka pada dokter kandungan tersebut. Dengan menggunakan ekor matanya, Desta melirik rekan sejawatnya tersebut. "Ya. Emang anak siapa lagi? Diana istri saya, Dok." Desta menekan kata istri seolah menegaskan bahwa ia adalah pemilik dari wanita yang mengandung buah hatinya ini. "Dokter sudah menikah? Kapan? Saya pikir dokter masih pacaran sama Meta. Soalnya seminggu lalu gadis itu--" "Anda tak berhak mencampuri urusan pribadi saya, dokter!" ucap pria yang masih memakai sneli itu dingin. Ia tak mau Diana tahu kalau dirinya sering mengajak Meta ke sini. Entah karena dorongan apa.Merasa tak enak hati dengan Diana yang hanya mengatupkan bibirnya sejak tadi, dokter dan perawat itu langsung keluar setelah membereskan alat USG dan membawa serta dengan mendorongnya.Setelah kepergian dua wanita itu, Diana memutar tubuhnya memunggungi Desta. Hatinya yang sempat melambung karena Desta telah memamerkan calon anaknya, tiba-tiba sakit kala dokter itu mengatakan hubungan terlara
Pagi ini Diana sudah terlihat sehat. Perutnya juga sudah tak lagi bergejolak. Wajah yang biasanya pucat kembali tampak berseri. Bahkan sekarang terlihat lebih cantik dari sebelumnya.Ia sudah sangat rindu kembali ke sekolah. Bertemu murid-murid yang cerewet tapi menggemaskan. Bersama mereka, ia bisa tertawa lepas. Apalagi ketika bersama trio ceriwis yang selalu mengikutinya kala makan ke kantin. Selalu ada saja tingkah polah mereka yang membuatnya mengocok perut. Sekali lagi ia mematut diri di depan cermin. Gamis longgar yang selalu ia kenakan, tak mampu menutupi perutnya yang sudah sedikit membuncit. Setelah memastikan semua barang bawaannya lengkap, wanita berseragam keki dengan model gamis itu turun lebih dulu menuju ruang makan. Tak perlu menunggu sang suami selesai bersiap. Hatinya masih dongkol mengingat soal susu hamil semalam. Namun ia tetap menyiapkan pakaian kerja suaminya. Katanya hari ini pria dingin itu akan pergi ke kantor. Ada beberapa berkas penting yang harus ditand
"Aku antar!""Nggak perlu.""Mau membantah suami?"Diana menghembuskan nafas lelah. Ia binggung dengan sikap suaminya yang mirip bunglon. Berubah-ubah. Di dalam mobil, keduanya hanya diam. Diana memilih untuk menatap jendela, sementara Desta fokus menyetir. Suasana seperti ini membuat keduanya kembali canggung seperti awal pernikahan. Bunyi dering HP mengalihkan fokus Desta. Menggunakan satu tangan untuk menyetir, satu tangan lainnya untuk membuka gawainya yang terus menjerit minta diangkat. Belum sempat ia mengucap salam, orang di seberang telepon sudah memberondong dengan berbagai pertanyaan. Pria itu tampak gusar. Alisnya mengernyit dengan rahang terkatup rapat seperti sedang menahan emosi. "Sudahlah, Met. Nanti aku jelaskan. Sekarang aku sedang menyetir. Tutup dulu telponnya."[...]"Ya. Aku bersamanya." Ekor mata pria itu melirik ke samping. Diana tahu siapa yang sedang menghubungi suaminya. Bahkan ia yang resmi bergelar istri saja tak memiliki waktu lebih lama dengan suamin