Renjana terbangun begitu kecupan lembut yang cukup lama terasa di dahinya.Sementara Bumi yang menangkap pergerakan pelan istrinya, sedikit terkejut. Ia bergegas menarik kembali wajahnya."Pagi," sapanya tersenyum saat Renjana sudah membuka kelopak mata.Tak ada balasan. Renjana hanya menggeliat pelan karena tak nyaman. Lalu, ia menutup mata lagi. Mengabaikan sejenak keberadaan Bumi di sisinya."Sudah jam tujuh. Masih ngantuk ya?" Bumi yang tak tahan berdiam diri beralih mengusap pipi itu."Iya," balasnya serak. "Semalam susah tidur.""Mikirin apa?""Nggak mikirin apa-apa. Cuma emang lagi susah tidur aja.""Kirain karena kepikiran saya.""Dih PD banget.""Kan bisa saja kamu tiba-tiba kangen."Renjana mengulum senyum. "Nggak tuh. Mana ada kangen.""Tapi kemarin pas mau saya tinggal, ada loh yang nangis-nangis.""Ih, nggak usah diingetin! Malu tauk!"Bumi tertawa pelan. Kemudian, ia beralih duduk. Mengambil satu tangan Renjana. Mengenggamnya. "Tadi saya sudah bertemu dokter, katanya kam
"Kamu bisa sabar sedikit?" Henry langsung berbisik pada Rebecca, putrinya setelah mendengar rengekan barusan. Nada suaranya penuh dengan ketegasan. "Tolong berlaku sopanlah pada tamu papi! Yang ada di depan kita ini suami kakak kamu. Kalau kamu mau usaha kita untuk untuk bertemu dia berhasil, buang sikap tidak sopanmu seperti tadi!"Rebecca membuang napas dongkol. Ia balas berbisik pada pria paruh baya itu. "Papi kenapa nggak bilang sih dari awal? Kalau tau gitu aku bakal kalem."Interaksi bisik-bisik antara ayah dan anak di depan itu rupanya cukup menyita perhatian Bumi, dan karena itu satu hal lagi ia dapati tentang perbedaan Rebecca dan Renjana, yaitu terletak pada sikap.Jika Renjana sedikit ceplas-ceplos, ngambekan dan manja seperti anak kecil, Rebecca justru bisa bersikap dewasa sesuai penampilannya sekarang. Hanya saja, Bumi kurang menyukai sikap tak sopan perempuan itu seperti tadi."Ah, Pak Bumi maaf sekali atas sikap tidak sopan putri saya barusan," kata Henry tak enak. "Dia
"Biarkan suamimu pergi untuk menyelesaikan urusannya." Suara Amaris yang terdengar langsung memecah suara tangis Renjana yang heboh.Begitu membawa pandangan ke sumber suara itu, didapatinya Amaris yang berpenampilan rapi tengah berdiri di ambang pintu. Tak hanya seorang diri, melainkan bersama Suriya. Hubungan mereka lumayan membaik karena Amaris sendiri yang mendatangi wanita tua itu untuk memohon supaya mengikutinya ke rumah sakit."Oma dan mamamu yang akan tinggal di sini sampai besok," tambah Suriya. "Jadi biarkan Bumi pergi dulu. Kasihan ... dia juga tidak mungkin memprioritaskan kamu terus."Ucapan dua orang berbeda usia itu berhasil menyugesti Renjana. Membuat pikirannya jadi terbuka. Ia yang merasa bersalah segera menghentikan tangis. Kemudian, bergegas mengurai pelukan."Maafin aku ...," lirihnya berusaha menyeka pipi sampai kering. "Aku udah egois.""Saya maklumi," balas Bumi. Ia tersenyum, lalu membungkuk sejenak supaya bisa sejajar dengan wajah istrinya itu. "Sama mama d
"Nanti kalau saya cium lagi, kamu kesakitan," ujar Bumi dengan nada suara berpura-pura keberatan, kemudian ia letakkan punggung ke sandaran kursi dan setelah itu bersedekap. Tanpa memutus pandangan dari wajah Renjana. Raut wajahnya memang biasa saja, tapi sejujurnya dalam hati ia senang bukan main.Kapan lagi coba, bisa menyaksikan sikap malu-malu istrinya yang menggoda seperti ini?Bumi gemas sekali rasanya. Jika saja ruangan ini adalah kamar mereka, sudah sejak tadi ia tindih perempuan itu di bawah keperkasaan tubuhnya. Tak akan ia biarkan lolos sedikit saja."Nggak bakal ngeluh sakit lagi. Janji," balas Renjana sedikit mengangkat tangannya yang terpasang infus, memberi kode dua jari tanda sebagai janji sungguh-sungguh pada sang suami."Yang tadi itu emang sakit beneran, tapi sekarang udah nggak lagi ... asal mas nggak kasar," lanjutnya antusias menyakinkan Bumi agar segera melakukan perintah itu.Tak tahan lagi, akhirnya Bumi bangkit sempurna. Ia merapat ke brankar. "Jangan menyesa
Bumi tak beranjak sama sekali dari ruangan HCU meskipun sudah memastikan Renjana berhasil terlelap. Ia masih setia duduk di samping brankar. Menunggu sesuai permintaan istrinya. Satu jam. Dua jam. Bahkan, sampai tiga jam berlalu ia masih dengan begitu sabar menanti kelopak mata sang istri membuka lagi. Pandangannya tak lepas barang sedetik pun dari wajah pucat itu, begitu juga dengan tangannya yang enggan melepas tangan kecil Renjana dari genggaman. Penat dan pening akibat pekerjaan beberapa jam lalu seolah tak terasa lagi ketika melihat wujud istrinya. Bumi merasa yang ada dalam dirinya sekarang hanya kebahagiaan. Sambil masih terus menatap, satu tangannya yang hanya menganggur itu terangkat. Mengusap pipi Renjana dengan pelan. "Pulihlah seperti sedia kala, rumah kita sunyi sekali, tidak ada lagi suara indah kamu yang menghiasinya. Saya rindu suara lembut yang selalu memanggil saya 'mas'," bisiknya tersenyum. Tak ingin tidur Renjana menjadi terganggu, Bumi menarik kembali
*** Begitu sinyal perubahan kondisi Renjana terdeteksi, dokter dan beberapa perawat berbondong-bondong mendekati ICU bed. Semuanya langsung sibuk melakukan tugas masing-masing. Sebelum memutuskan untuk extubasi, mereka memastikan dulu dengan cermat. Meskipun Renjana sudah sadar, tapi ventilator tak boleh langsung di lepas, tetap ada syarat medis yang harus dipenuhi dulu. Seperti pasien sudah bisa bernapas sendiri tanpa bantuan alat, kesadaran cukup, tak ada penyumbatan jalan napas dan tanda vital stabil. Sementara itu Amaris memilih tetap tinggal di tempat. Hanya posisinya yang bergeser. Kini ia berdiri di belakang para perawat dengan jarak lumayan jauh. Mengamati bagaimana tangan lihai mereka menindaklanjuti putrinya, sambil tak henti-hentinya ia merapal doa dalam hati. *** Bumi masih fokus berkutat dengan berkas-berkas penting ketika posisi matahari sudah menggantung tinggi di langit. Tak lama lagi waktunya untuk ke rumah sakit akan tiba dan Bumi berusaha memaksimalkan p