Share

Nazar

Penulis: Najma A
last update Terakhir Diperbarui: 2022-04-27 11:59:10

Aku ikut mendudukkan diri di ranjang, lalu mengintip untuk melihat apa yang tengah di tonton adikku di ponselnya.

"Minggir!" katanya ketus. Tangan kirinya mendorong bahuku untuk menjauh. Posisi dirinya kini tengah tengkurap sambil telinganya yang dipasang headset.

Aku kembali mendekat. "Rafa," panggilku dengan cengiran khas sambil menoel-noel pipinya. 

"Apa sih? pasti ada maunya." Adikku menggerutu, mencari posisi nyaman dengan menggeser tubuhnya.

"Kamu nonton apa sih? sampai aku diabaikan gini? bokep ya?" selidikku curiga. Lalu menoyor kepalanya.

"Suuzon mulu," ucapnya tak terima lalu memposisikan dirinya duduk masih tetap serius menatap layar ponselnya. "Mau apa hah? nyuruh aku nyuci sepeda motor? ogah, aku lagi ngerjakan tugas nih."

"Ngerjakan tugas apa? kok nggak ada buku atau pulpen di sekelilingmu, kamu nggak catat?" tanyaku.

"Gaptek banget. Ngerjakan tugas online lah. Pak guru nyuruh nonton video, terus nanti diambil kesimpulannya, di ketik di hape pakai WPS, terus kumpul ke googleform, selesai. Nggak butuh buku lagi," balasnya terlihat kesal.

Aku tertawa pelan. "Maaf nih, Kakak ganggu dulu belajar kamu. Em, itu yang ngasih sepatumu siapa sih? pak Alvin?"

Rafa terdengar mendengus, mencopot headsetnya. "Iya, kenapa emang? mau kamu kembaliin ke dia?" tuduhnya.

"Ya enggak lah. Kalau kamu suka, boleh kok ambil." Aku menepiskan tangan di depan wajah. 

Nanti biar aku ganti aja biayanya. Batinku.

"Dia ada ngomong sesuatu ke kamu?" tanyaku.

Rafa menatapku, lalu mendengus. Menatapku seperti jengah.

"Dia bilang, aku bentar lagi jadi adik ipar. Jadi, hubungan kami harus semakin intens. Dia udah ngajak aku ngafe, terus beliin aku sepatu. Gratis lagi. Tunggu apa lagi, terima aja kalau dia datang ngelamar," jelas Rafa malas.

"Gundulmu!" aku menjitak kepalanya. "Nikah nggak gampang woy."

"Kamu itu udah dua puluh satu plus, masa enggak bisa cara kawin," ucap Rafa santai.

"Nikah sama kawin itu beda ferguso!" aku mengambil teori Pak Alvin, katanya dia 'kan nikah sama kawin beda. Kalau nikah, ya nikah aja. Kalau kawin, ya proses itu-itunya. Huh, apa yang beda sih? dari segi bahasa sama aja kayaknya.

"Sama aja, 'kan nikah untuk kawin, masa nikah cuma buat ngurusin kelinci, atau malah ngurusin anak tetangga? 'kan lucu. Udah, nikah aja."

"Ogah. Ngomong sama kamu, nggak ngehasilin solusi." Aku beranjak. Sudah keki berbicara dengan adikku yang malah nyuruh aku cepat nikah juga. Sama kayak kakaknya sih hehe.

"Bapak terus nyinggung nikah terus. Katanya, Bapak pengen liat Kakak menikah."

Aku berhenti melangkah, seingin itu kah Bapak agar aku menikah? Aku menoleh, menatap adikku serius. 

"Dek, aku ini masih belum lulus kuliah. Masih panjang waktu aku untuk bersenang-senang. Nikah itu berarti, aku bakalan sibuk ngelayanin anak orang, paham?"

Rafa menggeleng polos. "Enggak. Yang kutahu, ada kawin-kawinnya dan enak."

Mataku melotot mendengarnya. "Siapa yang ngajarin kamu mesum? astaga." aku menepuk jidat sendiri, merasa ingin melupakan status bahwa kami adik kakak. Aku tidak ingin memiliki adik dengan otak 21 . Belum saatnya Dek.

Keesokan harinya, aku dikejutkan dengan kedatangan Pak Alvin yang sudah mengobrol di depan rumah dengan Bapakku yang tengah menyusun perlengkapan jualan di gerobak kesayangannya yang di cat biru. Di bagian depan gerobak itu, sengaja aku beri foto oppa korea, biar yang merasa jadi fansnya langsung membeli nasi goreng Bapak.

"Kenapa Pak Alvin ke sini pagi-pagi sekali?" tanyaku setelah obrolan kedua pria itu terhenti. Kulihat, Bapak tersenyum sumringah. Telihat seperti senang sekali.

"Dia mau jemput kamu. Sekalian ke kampus, juga mau bicarakan sesuatu sama kamu."

Aku menatap Pak Alvin curiga. Dia juga balik menatapku dengan senyuman. "Iya, kemarin obrolan kita belum selesai Mel. Jadi, kita lanjutkan. Walau maaf banget Pak, saya ngobrolnya di mobil, bukan di cafe atau restoran enak."

"Enggak ada yang perlu di salahkan. Ngobrol dimana pun bisa, asal kondusif. Bapak paham, Kalian sama-sama sibuk. Untuk ke restoran, cafe atau segala macamnya bisa setelah menikah."

"Bapak!" aku mengintrupsi, kepalaku menunduk. Semudah itu, Bapak mengatakan bahwa aku akan menikah.

Pak Alvin tertawa. "Pokoknya, setelah menikah, kalau Amel mau kemana pun, selama saya bisa, langsung gass pak."

Bapak ikut tertawa. "Ya udah, kalian boleh berangkat. Bapak juga mau siap-siap mangkal."

Baru mulutku ingin terbuka lagi untuk menolak halus ajakan Pak Alvin, tapi melihat bapak tersenyum hangat, niatku akhirnya batal.

Mulutku menggerutu sambil berjalan ke arah mobilnya, lalu membuka pintu belakang.

"Hei, kamu anggap saya apa?" tanyanya protes ketika aku sudah membuka pintu mobil, dan dia juga sudah berada di posisi kemudi.

"Sopir," balasku singkat.

"Keluar nggak?" usirnya. Aku mendengus.

"Ya udah, saya naik motor sendiri aja," kataku sebal. Hendak keluar dari mobilnya pak Alvin.

"Motormu udah dibawa sama adekmu," ucapnya terkekeh.

"Astaga, saya bisa juga naik ojol."

"Bukan mahrom 'kan? mau aja ya deket-deket sama pak ojol? lebih aman sama aku kali. Ayo cepet pindah ke depan," perintahnya.

Aku berdecak sebal, lalu memindah posisiku langsung ke depan, tanpa keluar lebih dulu. "Em, jalan pintas yang nggak tau etika," komentarnya pedas.

Aku yang sudah duduk di posisi nyaman, sambil membetulkan rok yang kupakai, merengut. "Habisnya udah masuk, malah disuruh keluar. Sekalian aja lewat jalan pintas."

"Jalan pintas itu emang cepet, tapi seringnya melanggar norma."

"Bapak katanya mau ngomongin sesuatu, malah ceramah," komentarku sambil melirik ke arahnya sebentar, lalu ke arah depan.

"Kamu lihat 'kan? bapakmu udah klik banget sama saya?" tanyanya terdengar nada pede didalamnya.

"Bapak emang orangnya gitu. Menghargai orang lain. Menyuruh saya berangkat sama Bapak juga karena sebaik itu Bapak saya. Saya juga, kalau bukan karena Bapak, ogah ikut sampean Pak."

"Harusnya sifat baik Bapakmu menular ke kamu Mel," ucapnya seperti menasihatiku. Hatiku mendadak dongkol, beraninya dia memberi petuah di pagi hariku.

"Saya udah baik nih, mau diajak Bapak ngobrol secara baik-baik. Kalau nggak, udah dari tadi saya mencak-mencak, karena bapak ngomongnya asli nyebelin."

"Oh, oke-oke tenang dulu hai mahasiswa. Saya cuma mau kamu pikirin baik-baik tawaran saya Mel. Intinya, saya minta tolong ke kamu  Mei, cuma kamu. Kapan lagi, seorang Pak Alvin minta tolong ke mahasiswa bernama Amelia? bukan saya kepedean Mel, bukannya emang mahasiswi bisa se-berkorban itu untuk saya?"

"Bapak manfaatin kegantengan doang? ya Allah Pak, tobat. Muka tuh, nggak langgeng, kalau udah tua juga keriput."

"Nah itu tau. Saya nggak manfaatin kegantengan.  Saya pengennya kamu tulus membantu menuntskan nazar saya kepada Allah. Bapakmu juga pengen aku nikah sama kamu 'kan?"

Aku menoleh,"kalian kerja sama ya? atau Pak Alvin udah ngancem bapak saya, karena punya utang ke Bapak?"

Pak Alvin terlihat berdehem sejenak. Lalu menggerakan kemudia untuk berbelok ke gerbang kampus. 

"Bapak saya beneran punya hutang ke sampean Pak?" tanyaku dengan melotot. Siapa tahu, Bapak diam-diam meminjam duit ke Pak Alvin untuk menghidupi aku dan adik-adikku. Padahal, hasil dari penjualan nasi goreng dan telur itik, insyaa Allah sudah cukup menurutku.

"Enggak lah. Saya bukan datuk maringgih Mel. Saya Alvin, pria yang ingin menikahimu justru karena membalas jasa-jasa ayahmu," kilahnya. Lah kalau bukan seperti datuk maringgih, terus seperti Fir'aun gitu? yang nikahin Asiyah cewek solehah itu?

"Katanya sampean punya nazar?" tanyaku.

"Iya, balas jasa."

"Ya udah, bisa pakai jasa juga 'kan? atau materi? bapak jadi pembantu Bapak saya aja selama kurun waktu yang disepakati. Beres, kenapa juga pakai nikahin saya?"

"Nggak bisa. Perjanjiannya bukan gitu."

"Asli, aku merasa Bapak konyol. Kenapa juga ada nazar nikahin anak orang, dan orangnya saya? ya Allah, saya nggak pernah berharap, jadi nazar untuk orang." Aku menggelengkan kepala keras. Bukan salahku, jika Pak Alvin malah bernazar untuk menikahiku. Namun, kenapa harus aku yang akhirnya seolah harus menebus kesalahan itu?

"Iya saya konyol, makanya kamu bantu saya hentikan itu," ucap Pak Alvin sambil mengacak rambutnya.

"Aduh saya sebenarnya mau aja nikah tapi..."

Komennya yaaah, untuk visual cerita, kalian bisa cek i* otornya @teh_najma

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
TRD Simulator Game
cerita nikah kontrak kyk gini, pasti ujung-ujungnya jd nikah beneran atau jadi beneran suami istri.
goodnovel comment avatar
Yanti Keke
pak... nikah kontrak g bolh tahu....
goodnovel comment avatar
park park
bikin penasaran
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Dinikahi Dosen   Akad Mendadak (TAMAT)

    Bagi Amel, peristiwa yang ia alami mendadak ini terasa seperti mimpi di sore hari. Setelah hatinya memantapkan untuk kembali melabuhkan hati pada seseorang, akhirnya kini tubuhnya merela untuk duduk sembari mendengar seorang pria mengucap janji suci.Ketika Amel mengatakan pada sang Ayah bahwa ia telah siap kembali menikah dengan Alvin, sepertinya Haris tidak ingin membuang banyak waktu, selain segera menghubungi pihak KUA untuk menikahkan putrinya yang sudah dua kali gagal menikah. Kini, ia percaya dan penuh harap semoga rumah tangga yang akan dibina oleh dua orang yang ia sayangi itu, akan menemukan bahagia.Sedangkan Alvin, ia juga tidak kalah syok karena setelah Haris kembali ke ruangannya tanpa Amel, pria paruh baya itu mengatakan dengan tegas bahwa akad mendadak akan dilaksanakan sore hari, menjelang Maghrib. Tanpa bisa membantah, Alvin hanya mengiyakan walau dadanya berdebar tidak karuan."Secepat itu," batin Alvin. Ia menatap tubuhnya sendiri yang masih dalam keadaan belum pul

  • Dinikahi Dosen   Takut Gagal Lagi

    "Kamu belum bisa melupakan Ramdan?” lirih Haris, wajahnya terlihat sedih. Amel menghela nafas, ia tahu, Ayahnya sedang berusaha membujuknya.“Bukan begitu Pak."“Terus apa alasan kamu? Karena dia kekurangan fisik?” tanya Haris memastikan. Ia tahu, pasti berat bagi putrinya yang tiba-tiba ditawarkan seorang pria yang kekurangan secara fisik.“Bukan itu juga. Begini Pak, walau Pak Haikal itu kekurangan fisik, apa dia mau sama aku? Janda dua kali ini? Ck, aku rasa perjaka semacam dia, enggan. Pasti mencari perawan,” jelas Amel sembari menggelengkan kepalanya. Ia sadar diri, sebagai seorang janda, tentu tidak percaya diri menikahi seorang pria yang benar-benar baru, belum pernah menikah sama sekali. Apalagi, Haikal cukup tampan dan cerdas. Ah, Amel tidak bisa membayangkan bisa bersanding dengan pria itu.“Anak Bapak juga masih perawan. Apa lagi yang diragukan?” tanya Haris yang memang tahu, putrinya masih perawan. Bukankah Amel tempo hari menceritakan jika Ramdan tidak pernah menyentuhnya

  • Dinikahi Dosen   Sebuah foto

    Awalnya Amel hendak melipir dan bersembunyi, walau matanya sudah terlanjur bertemu dengan Wati. Pertemuan ini pasti akan terasa aneh. Amel menghirup nafas dalam-dalam, ia tidak boleh terlihat lemah dihadapan dua orang itu.“Untuk apa aku takut bertemu mereka?” batin Amel. Akhirnya ia memberanikan diri untuk tetap tegap dan berjalan lurus ke depan.“Kamu dari tempat Alvin?” tanya Wati langsung setelah ia berhenti di depan Amel.“Iya. Kalian mau berkujung juga?” tanya Amel dengan wajah ramah, melirik sekilas kepada Ramdan yang tampak canggung. Sedangkan Wati, tersenyum sumir, ketika melihat mantan madunya nampak baik-baik saja.“Mereka memang tampak serasi sebagai suami istri,” batin Amel.Wati menganggukkan kepala, “Apa tidak ada yang aneh? Mantan istri mengunjungi mantan suami. Padahal sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Apalagi, kamu baru saja cerai dari Ramdan, kenapa seolah tidak terjadi apa-apa?” sindir Wati tajam. “Pasti ada sesuatu Jangan bilang, setelah ini kamu akan balikka

  • Dinikahi Dosen   Sebuah Surat

    Mengingat sang Ayah tersenyum penuh arti. Amel menjadi kepikiran jika pria paruh baya itu benar-benar akan menjodohkannya dengan Bos Konveksi itu. Haikal.Selama packing hijab pesanan pelanggannya pun, Amel masih tidak bisa tenang. Jangan sampai Ayahnya menawarkannya pada Haikal. Mau ditaruh dimana muka ini? batin Amel.Akhirnya, karena kegalauannya, ia memutuskan untuk sekedar refreshing ke cafe. Bersama siapa lagi, jika bukan Tiara. "Gimana kabarmu? aku liat, pipimu baik-baik aja?" tanya Tiara sembari menyeruput Americanonya.Amel tersenyum masam. "Haruskah aku kurus gara-gara cerai?"Tiara tertawa. "Ya nggak lah. Tapi, mengingat dia pria yang sangat kamu kagumi. Apa nggak susah lupainnya?" tanya Tiara. Ia turut bersedih ketika Amel bercerita padanya via telpon bahwa rumah tangga wanita itu dengan Ramdan telah kandas gara-gara ada orang ketiga. Dan parahnya, orang ketiganya telah hamil."Susah. Cuma, kalau ingat dia telah menghamili wanita lain, aku menjadi sedikit, gimana gitu. Ent

  • Dinikahi Dosen   Bos Konveksi

    Bagi seorang Ayah, akan sangat tidak tega membiarkan putrinya menyimpan luka sendirian. Haris, terus memantau keadaan Amel yang ia tahu, putrinya berusaha terlihat baik-baik saja. Dan Amel, berusaha keras agar Ayahnya percaya.Hari demi hari terlewati, Amel terlihat semakin ceria. Banyak senyum dan tertawa. Tidak ada rona kecewa dan kesedihan di sana. Dan hal itu, membuat Haris justru makin khawatir, takut anaknya menyembunyikan rasa stress yang dialaminya seorang diri.“Rafa! Sarapan!” teriak Amel sambil menggedor-gedor kamar sang adik.Haris yang melihatnya, hanya menatap nanar putrinya. Tidak mungkin, bagi wanita bercerai akan bangkit secepat itu.“Eh Bapak! Ayo makan, kita tinggalin Rafa!” ucap Amel saat ia menolah mendapati sang Ayah yang tengah berdiri dan menatapnya.Haris tersenyum. “Ayo!”Keluarga kecil itu kembali pada rutinitas seperti biasanya. Seperti sebelum Amel di boyong oleh suami ke rumah mertuanya. Pagi-pagi, Amel yang menyajikan berbagai menu makanan. Haris yang me

  • Dinikahi Dosen   Move On

    “Mau kemana kalian?” tanya Melani yang sedang berbincang dengan suaminya. Amel yang masih menitikkan air mata, menyekanya, mengulas senyum namun tidak kuat untuk mengatakan bahwa dia dan Ramdan telah bercerai.“Nak, kenapa kamu membawa koper?” tanya Melani lagi, kini wanita paruh baya itu menghampiri Amel dan Ramdan yang berdiri. “Ramdan, kenapa Amel menangis?” Melani masih terus bertanya. Ramdan menghela nafas.“Kami sudah bercerai Bu,” lirih Ramdan. Amel tersenyum paksa, ia menggenggam tangan Ibu mertuanya yang dingin. Terlihat raut wajah wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya itu begitu terkejut.“Maafkan Amel Bu,” ujar Amel. “Maaf, karena Amel tidak bisa melanjutkan pernikahan ini.”“Ramdan, apa yang kamu lakukan pada Amel?” tanya pria paruh baya. Ayahnya Ramdan.Ramdan yang mendapat pertanyaan penuh intimidasi itu menundukkan kepala, tidak berani menatap sang ayah. “Ada apa sebenarnya ini? Kenapa kalian bercerai?” tanya Ayah Ramdan.“Nanti. Aku akan jelaskan. Ayo.” Ramdan mem

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status