Share

Terima atau nggak?

"Tapi... bukan sama Bapak. Tapi, sama orang yang saya suka, cinta dan sayangi sepenuh hati. Lah Bapak, baru aja kita ketemu di semester ini, eh udah ngajak nikah aja." Aku meliriknya dari samping. 

Pak Alvin menoleh ke arahku, tersenyum meremehkan. Lah emang iya, wanita mana yang tak ingin menikah? tapi ya tidak juga dengan dipaksakan. Seperti dosen di sampingku ini. Demi nazar, dia malah mau ngajak-ngajak aku nikah sementara.

"Loh syarat nikah nggak mesti cinta. Yang penting, ada wali, kedua mempelai, akad, sah di mata Allah. Cinta katanya 'kan karena terbiasa. Tapi ya, karena saya nikahin kamu satu semester aja, ya saya rasa nggak bakal secepat itu jadi cinta." Tangannya sampai memukul setir, saking yakinnya terhadap perkataannya sendiri, ya tampaknya begitu. 

Dia sih enak, laki-laki. Tanpa cinta juga jadi. Tapi aku sebagai wanita, tentu tidak ingin ujug-ujug, tanpa tau a b c nya langsung nikah. Weleh, apalagi tanpa cinta? bukannya cinta ya yang nanti jadi bumbu nikah? 

"Tuh 'kan? ini yang nggak masuk akal Pak. Saya nggak mau dinikahin cuma satu semester. Nikah itu seumur hidup, nggak ada ya Pak wanita yang pengen dua kali atau tiga dan seterusnya menikah di dalam hidupnya. Kalau laki-laki mah, beda. Dia ditawarin poligami juga pasti ngegas. Kami beda ya. Makhluk kayak kalian itu 'kan suka ngambil dalil buat di bolehin nikah lagi. Huh." Aku tetap pada argumentasiku. Mewakili suara hati para wanita diluar sana, yang ogah di poligami. Bukan karena benci terhadap ajaran agama, hanya saja karena banyak pria diluar sana yang berdalil karena ajaran agama, lantas mengikuti hawa nafsunya terhadap selangkangan wanita saja, tanpa mempertimbangkan bisa adil atau tidaknya.

"Saya nggak niat poligami. Istri saya cukup satu. Jangan menggenelarisir lah. Nggak semua laki-laki kaya yang kamu pikirin," ketus Pak Alvin, seperti tidak terima. Aku tertawa melihat ekspresinya. Emang faktanya yang banyak beredar gitu kok, laki-laki mah kalau ditawarin nikah lagi, pasti langsung on gass.

"Ya tetep aja, nanti Bapak ceraikan saya, terus nikah sama yang lain 'kan?" tebakku sangat yakin. Ya iyalah, setelah tunai nazarnya, pasti dia menceraikan aku, lalu menikah dengan wanita lain. Kecuali ada cinta diantara kita, mungkin.

"Iya sih." Dia terdengar berdecak kecil.

"Ya udah nggak usah aja. Saya, nggak mau sakit nantinya." Aku bergidik membayangkannya.

"Coba kamu pikirkan lagi Mel, Bapakmu pengen banget 'kan kamu nikah? dan yang sekarang ngajakin nikah cuma saya, emang kamu mau cari yang lain? ada yang mau gitu sama kamu?" tanyanya dengan percaya diri. Seolah, aku yang begini, tidak ada pria yang minat? oh, tenang saja, akan aku buktikan padanya.

"Oh, ngeremehin ya, mentang-mentang saya masih single. Banyak tuh yang antri, sayanya aja pilih-pilih. Pasangan idup tuh, bukan gantengnya doang, tapi kantong tebal juga harus. Walau yang penting sih, kata ceramah ustad, yang bagus agamanya, biar bisa ajarin saya akhlak yang baik. Lah Bapak?" tunjukku pada wajahnya. Emang nggak sopan sih, mahasiswa ke dosen seperti ini, tapi ya kalau dosen kelewat kurang ngajar begini, ya mau bagaimana lagi, jariku auto nunjuk itu muka ganteng. Jangan ditiru ya gaes!

"Ya saya akan usaha lah, kalau kamu bener jadi istri saya," ucapnya enteng.

"Ini pemaksaan sih. Bapak bisa saya tuntut pasal pemaksaan loh," ancamku. Serius, sekarang 'kan lagi booming tuh berita dosen yang memaksa mahasiswa bimbingannya untuk memberikan bibirnya, sebagai imbalan bimbingan. Bukan tidak mungkin, Pak Alvin adalah jenis dosen yang serupa, ya 'kan? 

"Tuntut aja, nggak ada bukti juga saya maksa kamu," ucap Pak Alvin santai 

"Lah ini, sekarang lagi maksa," ucapku nyolot.

"Saya cuma negosisasi. Kamu butuh investor 'kan untuk bisnis kerudung kamu?" tanyanya. Lah, kok tahu dia? aku memang sedang mencari dana tambahan untuk bisnisku itu.

"Oh jadi sejauh itu Bapak nyari tahu tentang saya? saya emang lagi butuh, tapi nggak menghalalkan segala cara juga. Demi investor, saya harus nikah. Nggak kali." Aku mengetuk-ngetuk dashboard mobil, menatap tajam ke depan, kalau-kalau Pak Alvin mulai emosi lalu menabrakan mobilnya ke pohon. Sebelum itu terjadi, aku akan loncat dari dalam sini. Tapi eh betewe, segitu dalamnya ternyata Pak Alvin mencari tahu latar belakangku. Niat banget ya, mau jadi suami aku. 

"Dari pada kamu harus bolak balik beli bahan keluar kota, terus nggak punya toko yang bisa kamu tinggali untuk mengembangkan bisnis, mending kamu cari investor aja, untuk danain itu semua," jelasnya dengan nada yang angkuh.

"Nggak! kalau harus nikah sama Bapak! ya udah saya mau turun, omongan kita selesai sampai sini." Aku menggedor kaca mobilnya, pengen turun. Dia benar-benar membuat darahku mendidih. Jangan sampai, aku kehilangan waras dan membunuhnya disini.

"Ini baru sampai fakultas dakwah loh." Dia terus saja melajukan mobilnya.

"Turun pak saya bilang!" aku tetap memaksa. "nanti dikirain orang-orang saya ada hubungan apa-apa sama Bapak," lanjutku. Aku tidak mau menerima risiko, harus di keroyok sama fans-fasnya, para mahasiswi aneh itu. Bisa-bisanya mereka kagum sama orang seperti ini.

"Nggak penting kata orang mah. Kita yang jalanin hidup," ucap Pak Alvin santai, wajahnya tersenyum. Huh, dasar ganteng!

"Pak Alvin, please." Aku mengetuk dashboard mobil pelan, menatapnya dengan memohon.

Pak Alvin menggeleng, membuatku berdecak sebal. "Dasar pemaksa!"

Terlihat Pak Alvin hanya menyeringai, dan terus menyetir hingga aku menatapnya semakin kesal karena ia begitu saja melewati fakultasku di kampus.

"Loh loh," aku heboh sendiri menunjuk-nunjuk parkiran fakultasku. "Pak, mau kemana sih? kelewatan tuh."

"Saya malas turun, keperluan saya ada di Pascasarjana," jelasnya dengan senyum menyebalkannya.

"Ih tinggal berhenti aja Pak, apa susahnya? Bapak sengaja bikin saya capek ya?" keluhku.

"Iya, biar sehat, jalan kaki. Saya juga mau parkir di pascasarjana."

"Mau jalan kaki sambil tepe-tepe pasti. Ya Allah. Untung cuma ketemu seminggu sekali," tebakku. Seorang yang percaya diri seperti dia, pasti suka tebar pesona.

"Nanti juga tiap hari," ucapnya santai. "kalau udah jadi, suami istri," lanjutnya membuat mataku melotot.

"Tau ah gelap!"

"Makanya perlu saya, biar menerangkan masa depan kamu," timpalnya. Aku mendesis. Ogah!

"Ya Allah Bapak," lirihku. "Terimakasih tumpangannya, lain kali jangan jemput saya lagi," kataku berucap ramah namun hati dongkol. Aku menganggukkan kepala, tanda hormat.

"Nggak janji," ucapnya meledek.

Kantin di kampus memang tak pernah surut dari lautan manusia. Lapak yang dulu hanya menyediakan untuk lima orang penjual, kini bertambah luas hingga ada tambahan tiga penjual di sana. Masing-masing lapak, memiliki dua kursi sekaligus yang memanjang. Jadi, duduknya lesehan gitu. Sedangkan makanan atau minuman yang dijual bervariasi. Ada yang khusus menjual bakso dan mie ayam. Ada juga serba ayam. Mulai dari ayam geprek, penyet, panggang, hingga asam manis.

Lapak paling ujung, khusus berjualan cemilan ringan semisal tahu cruspy, pisang keju kentang spiral dan lainnya. Juga ada khusus penjual empek-empek yang enaknya luas biasa, karena sudah menjadi langgananku semenjak semester satu. Dan masih banyak lagi menu-menu varian lainnya.

Seorang perempuan melambai ke arahku. Dia sedang duduk di bagian lapak nasi kuning, nasi goreng, nasi uduk, nasi remes dan lain-lain. Aku balas tersenyum saja, hari pagiku sudah diawali dengan pertemuan yang tak mengenakkan.

"Kenapa mukamu itu?" tanya dia yang kerudungnya berwarna pastel. Aku mendesah dan duduk di sampingnya.

"Nanti kita cerita. Aku pengen hirup udara kantin dulu," ucapku.

"Oh oke, mau aku pesankan juga?" tanyanya.

"Lagi nggak mood. Aku pengen cerita aja."

"Okeh-okeh, tahan dulu ya. Aku harus sambil di isi. Hehe." perempuan yang bernama Tiara itu meringis sambil memegangi perutnya yang rata. Biasanya buncit itu.

"Iya. Nikmati dulu makananamu."

Mata Tiara terlihat berbinar begitu Bibi Yani membawa nampan dan berjalan ke arahnya. Temanku ini langsung berdiri dan menyambut nampan itu.

"Saya aja Bi," katanya dengan senyuman. Memang temanku ini tidak suka merepotkan orang lain.

"Jadi, gimana atuh?" tanyaya sembari memasukkan nasi goreng ke mulutnya. Matanya menatapku penasaran.

"Aku dilamar."

Uhuk uhuk!

Beberapa butir nasi keluar dari mulut Tiara, membanjiri meja dihadapannya, untung tidak masuk ke dalam segelas es tehnya.

"Astaghfirullah," katanya sembari menarik tisu ke arah mulutnya. 

"Sama siapa? kok tiba-tiba? kamu 'kan jomblo?" tanyanya beruntun, tapi dengan suara yang naik beberapa oktaf, membuat orang-orang yang berada di sekeliling, menatap kami aneh.

"Kecilkan suaramu toa."

"Hehe, sory. Beneran? aku kok nggak percaya ya? emang cowok yang kamu dambakan itu, bener-bener balas perasaanmu?" tanyanya berbisik, ke telingaku. Membuatku kegelian dan menggeser tempat duduk.

"Bukan dia. Dia mah nggak kenal aku. Tapi ini orang lain, kamu juga kenal."

"Temen sekelas?"

"Bukan." Aku menggeleng. "Kamu pasti kaget lagi, siap-siap tutup mulut biar nggak muncrat itu nasi goreng."

"Siapa siapa?"

"Pak Dosen."

Beberapa butir nasi menyembur keluar lagi, mengenai wajahku. Dasar Tiara! Dianya malah cengengesan dengan mukanya yang watados.

"Maaf Mel, sengaja aku haha," Tiara tertawa, sambil mengelapkan tisu ke wajahku. Aku menepisnya, dan mengelap sendiri.

Sembari Tiara menghabiskan nasi gorengnya, aku menceritakan tentang bagaimana bisa seorang Pak Alvin ingin menjadikanku sebagai istrinya. Jika bukan di tempat umum, mungkin Tiara sudah berjingkrak kegirangan, ikut senang mendengarnya. Tapi, diriku jelas -jelas tidak baik-baik saja. Walau kata Tiara Pak Alvin sempurna, tetap saja di mataku tidak. Orangnya pemaksa, menyebalkan ketika di kelas, karena tatapannya itu yang sering menginterogasi. Belum lagi, kalau memberi tugas harus pakai referensi yang terpercaya, jika tidak, maka akan dikurangi nilainya.

Pernah aku sampai keki dan bete, begitu dia menanyakan istrilah 'normal' kepada para mahasiswanya termasuk aku. Namun, menurut dia tidak ada satu pun definisi yang diucapkan mahasiswa yang benar, dan dia berlagak jadi kamus besar bahasa Indonesia di kelas, mampu mengartikan istilah itu dengan bangganya. Ya, walau ku akui, dia memang berwawasan luas sih.

"Jadi gimana? mau diterima atau nggak?" tanya Tiara. "Sayang kalau nggak diterima, kapan lagi dapat tawaran jadi istri dosen, ditambah dia mau jadi investor untuk bisnismu yang baru rintis. Siapa yang tahu, nanti jadi jalan kesuksesan di masa depan. Rezeki juga lho, kalau aku sih terima."

Aku hanya bisa merenung ketika itu.

Pastinya, otor minta kalian ramaikan komen. Yang belum langganan, atau menambahkan cerita ini ke pustaka kalian, gass tambahkan yaah

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nur'aini
terima donk amellll
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status