"Aku pastikan kau akan selamanya mendekam dalam jeruji besi ini, Rico!" Isadora menatap nyalang pria yang hampir saja menjadi suaminya. Beruntung Tuhan masih memberi jalan agar ia bisa melihat wajah asli pria brengsek itu.
"Dan akan kupastikan, kau akan menyesal, Isa!" Rico membalas tak kalah tajam dari balik jeruji.
Isadora hanya menarik tipis kedua sudut bibirnya, kemudian berlalu dari sana. Selesai sudah urusan ia dengan Rico, begitu pun keluarganya. Pesta pernikahan yang sudah siap 50% terpaksa harus batal.
Ah, tidak terpaksa. Sebenarnya sejak awal, Isadora tak pernah sedikitpun mengharapkan pernikahan ini.
Senyum wanita cantik dengan tubuh yang dibalut dress merah elegan itu terus terpatri selama menuju pintu keluar dari kantor polisi. Tetapi, senyum indahnya seketika pudar kala melihat sesosok pria tampan berdiri di samping mobil miliknya.
"Untuk apa dia di sana?!" geramnya.
Alaric menunggu dengan sabar. Punggungnya ia sandarkan ke mobil milik Isadora. Sudah dibilang, jika harus menunggu seumur hidup pun, ia rela.
"Mau apa kau ke sini?" tanya Isadora ketus.
Alaric lebih dulu berdiri dengan benar. Melepas kacamata hitam yang sejak tadi bertengger di hidungnya, lalu tanpa aba-aba ia melabuhkan sebuah kecupan di pipi Isadora.
Mata wanita cantik itu membulat seketika. Ia hendak melayangkan tamparan, tetapi tangan Alaric lebih cekatan menahan.
"Aku datang untuk menemanimu," cetus pria itu yang membuat kening Isadora mengerut.
"Aku lebih suka ditemani sopir daripada pria sepertimu!" tukasnya yang justru di sambut Alaric dengan tawa.
"Oh, aku lupa memberitahu. Sopirmu baru saja pergi. Jadi, aku yang menggantikannya sekarang."
"Apa?"
Isadora tak percaya. Ia mengitari mobil dan coba membuka pintu kemudi, tapi tak bisa. Sopir yang ia minta untuk menunggu, benar-benar tak ada di dalam.
"Dasar, bodoh! Untuk apa dia mematuhi ucapan seorang Alaric?" geramnya dalam hati.
Pandangan wanita itu kemudian tertuju pada Alaric yang tengah memamerkan kunci mobil miliknya. Tidak ada pilihan lain. Lagi-lagi Isadora harus mengikuti permainan pria gila itu.
***
"Apa maumu?" tanya Isadora to the point, kala ia sudah berada di sebuah kafe bersama Alaric. Dari awal ia sudah menduga jika pria itu tak mungkin langsung membawanya pulang. Bertahun-tahun menjalin kasih, cukup membuat Isadora paham watak keras kepala seorang Alaric.
"Aku ingin membahas tentang ... pertolonganku malam itu."
"Kau perlu uang?" Isadora tersenyum meremehkan. Meski begitu, jantungnya tetap berdegup kencang karena tahu bukan uang yang Alaric perlukan.
Pria itu sudah memiliki kekayaan dan kedudukan sejak dulu. Tidak mungkin masih mengincar uang dengan dalih balasan karena menolong seorang wanita.
Alaric menarik tubuhnya hingga condong ke depan. Dari jarak yang sangat dekat ini, ia bisa melihat mata indah dan hidung mancung Isadora. Jangan lupakan bibir ranumnya yang pernah membuat ia gila.
"Aku ingin lebih dari itu."
"Apa?"
"Menjadikanmu milikku."
Degh!
Dunia Isadora serasa berhenti seketika. Ia menyadarkan punggung pada kursi agar terdapat jarak dengan wajah Alaric.
"Memilikiku? Bukannya kau sendiri yang dulu melepasku?" Wanita itu tersenyum pedih tanpa mau menatap Alaric. "Aku bukan mainanmu, Alaric!"
"Kau milikku, bukan mainanku!" tegas Alaric. Ia bangkit dari duduknya, lalu pindah di samping Isadora. Kedua tangan kekarnya mengurung tubuh wanita itu.
"Semua yang kulakukan, ada perhitungannya, Dora. Dan kau harus membayarnya dengan menjadi istriku," bisik pria itu yang membuat darah di tubuh Isadora serasa mendidih.
Wajah putih Isadora kini berubah jadi merah, begitupun dengan matanya. Gejolak amarah di dalam tengah meletup-letup, siap untuk meledak kapan saja.
"Aku tahu kau masih mencintaiku, Honey. Maka dari itu, mari kita menikah."
Isadora tak tahan lagi. Dengan sekali gerakan, ia berbalik dan mengacungkan telunjuknya ke depan wajah Alaric. "Dasar, duda gila! Aku tak akan sudi menikah dengan pria pengkhianat sepertimu!"
"Aku bukan pengkhianat, Darling."
"Lalu apa? Oh, kau adalah seorang pengecut. Kau pengecut, Alaric!"
Dengan emosi yang masih menguasai diri, Isadora bangkit dan menyambar kunci mobil dari atas meja. Kakinya melangkah meninggalkan Alaric yang ternyata tak berniat mengejarnya.
"Syukurlah ...." Isadora bernapas lega ketika tiba di samping mobilnya. "Semoga aku tidak akan pernah bertemu dia lagi!"
Akan tetapi, harapan itu harus pupus kala Isadora membaca sebuah pesan yang masuk ke ponselnya.
[Kau yakin dengan keputusanmu, Dora? Ingat, publik belum tahu alasan Rico ditahan karena hampir melecehkanmu. Kira-kira, apa tanggapan mereka jika tahu putri satu-satunya Julian Harrison hampir kehilangan kehormatan di tangan tunangannya sendiri?]
Isadora meremas ponselnya kuat. Amarah yang sejak tadi belum tuntas dikeluarkan pun, kini kian bertambah hingga tak bisa lagi ditahan.
"Aarrgh! Alaric sialan!" teriaknya.
Tanpa ia sadari, pria yang membuatnya emosi tengah tersenyum di belakang sana. Alaric benar-benar yakin jika rencananya kali ini akan berhasil. "Aku menunggu keputusan barumu, Sayang."
***
Perkiraan Alaric sama sekali tak meleset. Tepat pukul 8 malam, Isadora mengirim pesan yang meminta ia untuk datang ke kediaman Harrison. Tentu dengan senang hati ia menerima undangan tersebut.
Kini, pria tampan berstatus duda anak 1 itu telah berdiri gagah di depan pintu kediaman keluarga Harrison yang perlahan terbuka. Tatapannya lurus, tak menghiraukan para pelayan yang menyambut di sepanjang jalan menuju ruang tamu.
"Selamat malam," sapanya pada tiga orang yang sudah berdiri menyambut.
"Selamat malam." Hanya Julian dan Celine yang membalas. Sedangkan Isadora memilih bungkam sembari memalingkan wajahnya.
"Silakan duduk!" Julian mempersilakan.
Alaric mengambil duduk di depan satu keluarga itu. Tak perlu menunggu lama untuk ia mendapat jawaban atas undangan yang diberikan, sebab Julian langsung memaparkan.
Dengan tegas pria berusia 50 tahun itu berkata, "Saya tidak mau membuat citra keluarga Harrison menjadi buruk di mata publik. Maka dari itu, saya mengizinkan kamu untuk menikahi Isadora. Tapi ... dengan satu syarat."
"Syarat apapun akan saya penuhi, jika itu menyangkut Isadora," respon Alaric cepat. Matanya melirik sejenak pada wanita cantik yang tengah menatapnya nyalang, kemudian kembali fokus pada Julian. "Jadi, apa syaratnya?"
Hancur sehancur-hancurnya. Itulah yang dirasakan Alaric sekarang. Pria yang tampak kacau itu hanya bisa terduduk lemas di lantai setelah mengetahui sebuah fakta mengejutkan."Kau tahu? Saat kau mengusir putriku, dia sedang mengandung anakmu! Anakmu, Alaric! Dan kau lihat akibatnya? Sekarang putriku sudah kehilangan calon anaknya!"Kalimat yang diucapkan Julian ratusan menit lalu, masih terdengar menggelegar di telinga Alaric. Rentetan kata demi kata yang membuat hatinya hancur berkeping-keping. "Kenapa kau tidak memberitahuku, Dora? Kenapa kau tidak bilang bahwa sedang mengandung calon anak kita?" gumamnya dengan suara lirih.Alaric menyesal. Sangat ... menyesal. Namun, penyesalan itu sungguh tak ada artinya sekarang. Semuanya sudah terlambat."Aku bersumpah, tidak akan pernah membiarkan putriku kembali, bahkan bertemu dengan pria brengsek sepertimu!" Kalimat yang Julian ucapkan dengan penuh amarah tadi, berhasil membuat Alaric menjadi manusia rapuh. Bagaimana tidak? Di tengah kondi
Isadora terdiam cukup lama di dalam mobil yang masih terparkir di seberang kafe tadi. Ia meremas ponsel yang sudah berisi bukti kejahatan Grace. "Aku yakin, setelah melihat bukti ini, kau pasti akan percaya padaku, Al. Aku ... sama sekali tidak pernah menyakiti Rayden," gumam wanita itu.Ia memejamkan mata sejenak sembari menghirup oksigen banyak-banyak. Setelah siap, ia menginjak gas hingga mobilnya melaju di jalanan.Bukan pulang ke rumahnya, melainkan hendak pergi ke rumah Alaric untuk memberikan bukti itu sebelum terlambat. Ya, memang saat Isadora merekam, Grace sepertinya tidak sadar. Tetapi, tidak menutup kemungkinan jika ada gangguan lain yang membuat Isadora kehilangan bukti itu, kan? Maka dari itu, ia harus memberitahu Alaric sekarang.Sembari memutar setir, satu tangannya mengetik pesan dengan cepat untuk Alaric.[Aku memiliki bukti bahwa bukan aku yang bersalah atas insiden Rayden. Aku akan menemuimu sebentar lagi, Al. Tolong kau jangan halangi aku.]Pesan tersebut berhasi
Tanpa tujuan. Ya, begitulah hari-hari Isadora berjalan. Ia berdiam diri di kamar ketika pagi, lalu pergi keluar rumah kala siang hingga malam hari. Tak ada tujuan yang pasti, hanya mengitari kota tempat ia tinggal, berharap menemukan sesuatu yang bisa membebaskannya dari fitnah kejam.Seperti sekarang, Isadora duduk termenung seorang diri di sebuah kafe. Tangannya mengaduk minuman menggunakan sedotan dengan tatapan dan pikiran yang entah ke mana. Hingga seorang wanita datang dan membuat Isadora tersadar."Nyonya Isadora?"Isadora menoleh cepat dan mendapati Jessica tersenyum padanya."Jes ... sedang apa kau di sini?" tanyanya."Apa kau tidak ingin mempersilakanku duduk dulu, Nyonya?" Wanita itu terkekeh pelan, membuat Isadora ikut terkekeh juga. Ia mempersilakan Jessica untuk duduk pada kursi di depannya."Aku baru saja menemani Tuan Frans menemui klien. Di sini. Kami pun sempat melihat kau masuk dan duduk. Tapi, kau sama sekali tak menyadari kehadiran kami, Nyonya."Isadora cukup te
Sunyi, hampa, kecewa, itulah yang Isadora rasakan beberapa hari ini, setelah ia keluar dari rumah Alaric. Sepanjang hari ia hanya akan mengurung diri di dalam kamar. Bahkan sama sekali tak bersedia keluar meski hanya untuk sekadar makan bersama kedua orang tuanya.Isadora masih sangat terpukul dengan apa yang terjadi pada Rayden. Apalagi, ia yang tidak tahu apa-apa malah dijadikan tersangka."Aku tidak terima kau perlakuan seperti ini, Al ...," gumam wanita itu sembari memeluk diri sendiri di balkon kamar. "Jika kau tidak terima atas tuduhan itu, harusnya kau bangkit, Isa!"Suara itu membuat Isadora terhenyak. Ia memutar kepala ke samping dan mendapati sang ayah tengah berdiri di ambang pintu menuju balkon yang terhubung langsung ke kamarnya.Isadora tak menyahut hingga Julian mengambil duduk pada kursi kosong di sampingnya. "Kau adalah putriku yang tangguh, kuat, dan tidak pernah menyerah. Lantas, apa kau akan diam saja ketika difitnah?" Pria itu menatap dalam pada putrinya. "Jika
"Sungguh aku tidak melakukan apapun, Al ...." Isadora bersimpuh di lantai, tepat di depan Alaric yang tengah berdiri menatap pintu ruang UGD. Ia genggam tangan pria itu erat untuk menjelaskan apa yang terjadi. Tetapi, sama sekali tak dipercaya oleh sang suami."Aku kecewa padamu, Dora," ungkap Alaric. Ada jeda beberapa saat untuk ia melonggarkan sesak di dadanya. "Aku kira ... kau akan berlapang dada saat putraku tengah bersikap dingin padamu. Tapi ternyata ... kau justru dendam pada anak sekecil itu!"Isadora menggeleng cepat sebagai bantahan. "Aku tidak melakukan apapun, Al! Aku tidak dendam pada Rayden! Aku tadi hanya—""Sudah cukup, Isadora!" Suara Alaric terdengar menggelegar hingga membuat Isadora tak melanjutkan ucapan. "Aku sudah tidak percaya lagi padamu! Sekarang lebih baik kau pergi dari sini, dan kemasi barang-barangmu dari rumahku!"Degh!Wajah basah Isadora menatap Alaric tak percaya. Ia menggelengkan kepala cepat sembari mengeratkan genggaman. Tetapi, Alaric malah denga
Benar saja. Hari yang Isadora lewati tanpa sang suami benar-benar sepi. Setelah kembali dari lapas, ia hanya mengurung diri di dalam kamar hingga malam tiba. Begitupun dengan hari-hari setelahnya. Tak ada kegiatan berarti yang ia lakukan. Sekadar menyambangi kantor yang tengah ditinggalkan sang suami pun sangat malas rasanya.Huft!"Hidup ini terlalu membosankan," gumam wanita itu sembari menjatuhkan diri ke atas kasur empuknya. Ada sedikit penyelesaian kala ia memilih untuk tidak ikut bersama Alaric. Toh, di sini pun Rayden tetap bersikap dingin tiap kali ia dekati. Entahlah apa yang memengaruhi bocah itu hingga bersikap seperti ini. Rasa-rasanya tidak mungkin Rayden berubah tiba-tiba tanpa alasan.Ah, Isadora jadi kian penasaran."Apa aku coba bicara lagi dengan Rayden, ya?"Sepertinya itu bukan ide yang buruk. Baiklah, Isadora segera bangkit dan meninggalkan kamarnya menuju kamar sang putra yang berada di lantai dasar. Suasana rumah yang biasanya ramai oleh tawa Rayden pun kini s