"Kenapa dia bisa berada di sini?" Alaric menatap tajam Isadora yang malah terlihat santai. Wanita itu bangkit dari duduknya dan berdiri tepat di depan Alaric.
"Jangan terlalu keras. Dia adalah putramu, Al. Sudah seharusnya dia berada di sini, kan?" Isadora berkata lembut dengan tangan yang membuka lilitan dasi di leher sang suami.
Diperlakukan lembut oleh sang istri, tak membuat Alaric luluh kali ini. Matanya masih mengamati wajah Isadora. Ia yakin, ada sesuatu yang baru saja terjadi saat ia tak ada.
"Grace menemuimu?"
"Tepat sekali." Isadora mengangguk. Ia telah selesai melepas dasi dan menjauhkan dari leher sang suami. Tangannya menepuk pundak pria itu pelan. "Sudahlah, kita bahas ini nanti. Sekarang kau harus menemaniku membeli semua kebutuhan Rayden."
Alaric mengernyit. Ia mencengkram lengan Isadora yang masih berada di pundaknya. Sedang tatapannya tertuju pada Rayden yang tampak duduk santai di atas sofa. "Kenapa kau harus membeli kebutuhannya? Seluruh biaya hidupnya sudah kuberikan pada Grace setiap bulan!"
Isadora berdecak. "Kau terlalu banyak bertanya, Al!" ketusnya. Ia melepas cekalan Alaric dengan mudah, lalu menarik tangan pria itu ke dekat jendela, tepat di ujung kamar.
Jika Isadora menganggap dengan cara ini ia akan mampu mengendalikan Alaric dan bercerita dengan tenang tanpa terdengar Rayden, maka dugaan wanita itu salah besar. Di sisi ranjang yang dekat jendela ini, justru Alaric malah mendominasi. Pria itu mengukung tubuh sang istri yang sudah lebih dulu ia sandarkan ke dinding.
"Al, lepas! Jangan gila!" decak Isadora sembari berusaha melepaskan diri dari Alaric. Tetapi, tak berhasil.
Alaric menarik kedua sudut bibirnya tanpa beban. Sebelah alis pria itu terangkat santai. "Bukankah sejak dulu pun aku sudah gila, Sayang?"
Isadora makin sebal. Ia melirik sedikit pada Rayden yang langsung memalingkan muka kala bersitatap dengannya. Lalu, kembali membawa pandangan pada pria menyebalkan di depannya. "Lepas! Apa kau tak malu oleh putramu?" Ia menatap Alaric tajam.
"Untuk apa aku malu?" Pria itu malah balik bertanya, tetapi tak mendapat tanggapan dari Isadora. "Baiklah. Sekarang ceritakan apa yang terjadi selama aku tak ada, juga ... bagaimana bocah itu bisa masuk ke kamar pengantin kita," ucap Alaric penuh penekanan. Jika Isadora belum mau terus terang juga, maka ia akan memaksa wanita itu membuka mulut dengan caranya.
Isadora menarik napas sejenak, mencoba untuk sabar. "Baiklah. Dengarkan aku, karena tak akan ada pengulangan. Tadi Grace ...." Ia mulai menceritakan pertemuannya dengan Grace. Termasuk permintaan wanita itu agar Alaric dan Isadora merawat Rayden.
Mendengar penjelasan istrinya, sontak saja Alaric murka. Ia memukul dinding cukup keras hingga membuat Isadora dan Rayden terlonjak. "Kenapa kau begitu berani mengambil keputusan ini tanpa memberitahuku lebih dulu?" Alaric menatap Isadora tajam.
"Lalu, kenapa kau harus semarah ini?" Wanita itu balik menyerang. "Rayden adalah darah dagingmu, Al! Kenapa kau tak bisa menerimanya?"
Pria tampan dengan tatapan tajam itu beralih menangkup pipi wanita tercintanya. "Karena tak seharusnya bocah sialan itu lahir dari rahim wanita yang tidak pernah aku cinta!"
Tatapan Isadora berubah kian tajam. Ia tak menyangka jika Alaric sungguh bak iblis gila. Merasa pria itu sudah keterlaluan, ia mengangkat tangan untuk memberinya pelajaran.
Plak!
"Kau sudah keterlaluan, Al! Jika memang kau tak mau mengurus Rayden, biar aku yang mengurusnya!"
***
Matahari begitu terik ketika Isadora dan Rayden keluar dari dalam mobil. Ya, tak ada Alaric yang menemani. Sejak perdebatan tadi, ia langsung meninggalkan hotel bersama Rayden. Kini keduanya mulai menyusuri pusat perbelanjaan terbesar di sana.
"Emh ... apa yang harus kita cari pertama kali, Ray?"
"I dont know."
Wanita cantik itu sedikit menunduk demi bisa menelisik wajah Rayden. Dari suaranya yang terdengar sedikit parau, ia yakin jika bocah itu tengah tak baik-baik saja.
"Tidak apa-apa. Kau tak perlu dengarkan apa yang Daddy-mu bilang. Ada Aunty," ucap Isadora dengan seutas senyuman.
Rayden yang semula menunduk pun, perlahan mendongak. Ia tatap mata Isadora lamat-lamat. "Aunty tidak akan seperti Daddy?"
"Tentu," balas Isadora cepat. Wanita itu mengganti posisi jadi berjongkok di depan Rayden. Ia genggam kedua tangan bocah itu. "Aunty akan jadi Mommy yang baik untukmu."
"Promise?"
Isadora mengangguk cepat sembari mengukir senyum yang sangat manis. Ia memeluk tubuh Rayden sejenak agar bocah itu sedikit tenang. Setelah dirasa cukup, keduanya kembali melanjutkan perjalanan.
"Aku ingin membeli sepatu. Boleh, Aunty?" pinta Rayden saat melihat gerai sepatu nan megah di depan sana.
"Tentu. Beli sepatu manapun yang kau mau." Isadora menjawab sembari mengusap lembut puncak kepala bocah itu.
Tanpa keduanya sadari, seorang pria tampan tengah membuntuti sejak tadi. Ia berjalan perlahan dan bersembunyi kala Isadora tiba-tiba menghentikan langkah.
"Sial! Kenapa Dora-ku malah lebih perhatian pada bocah sialan itu?!" geramnya dalam hati.
Kaki Alaric terus melangkah hati-hati. Ia ikut menyusul masuk ke dalam gerai sepatu yang dikunjungi sang istri, berpura-pura menjadi pembeli.
Mata tajam Alaric mengamati setiap gerak-gerik Isadora dari jarak aman. Ketika wanita itu menoleh, segera ia menurunkan topi lebarnya agak tak ketahuan.
"Apa dia bisa merasakan keberadaanku? Oh, Sayang ... kau memang benar-benar manis meski kadang menyebalkan," gumamnya dalam hati. Ia tersenyum menatap punggung Isadora yang setengah membungkuk. Akan tetapi, senyuman itu seketika pudar kala seorang pria yang tak ia kenal menghampiri Isadora.
Tak cukup sampai di situ, pria tersebut tampak memeluk Isadora sejenak. Tentu saja hal itu membuat amarah Alaric memuncak hingga ke kepala.
Tanpa menunggu lagi, Alaric melangkah cepat menghampiri sang istri. Isadora yang tiba-tiba mendapati kehadiran sang suami pun sontak terkejut bukan main.
"Al?" Mata wanita itu membola menatap Alaric.
Alaric tak memedulikan keterkejutan Isadora. Fokusnya adalah pada pria lancang yang malah terlihat berdiri santai di samping istrinya. Tanpa aba-aba, ia mengepalkan tangan dan langsung memberi pria tersebut sebuah bogeman.
Bugh!
"Al!"
Hancur sehancur-hancurnya. Itulah yang dirasakan Alaric sekarang. Pria yang tampak kacau itu hanya bisa terduduk lemas di lantai setelah mengetahui sebuah fakta mengejutkan."Kau tahu? Saat kau mengusir putriku, dia sedang mengandung anakmu! Anakmu, Alaric! Dan kau lihat akibatnya? Sekarang putriku sudah kehilangan calon anaknya!"Kalimat yang diucapkan Julian ratusan menit lalu, masih terdengar menggelegar di telinga Alaric. Rentetan kata demi kata yang membuat hatinya hancur berkeping-keping. "Kenapa kau tidak memberitahuku, Dora? Kenapa kau tidak bilang bahwa sedang mengandung calon anak kita?" gumamnya dengan suara lirih.Alaric menyesal. Sangat ... menyesal. Namun, penyesalan itu sungguh tak ada artinya sekarang. Semuanya sudah terlambat."Aku bersumpah, tidak akan pernah membiarkan putriku kembali, bahkan bertemu dengan pria brengsek sepertimu!" Kalimat yang Julian ucapkan dengan penuh amarah tadi, berhasil membuat Alaric menjadi manusia rapuh. Bagaimana tidak? Di tengah kondi
Isadora terdiam cukup lama di dalam mobil yang masih terparkir di seberang kafe tadi. Ia meremas ponsel yang sudah berisi bukti kejahatan Grace. "Aku yakin, setelah melihat bukti ini, kau pasti akan percaya padaku, Al. Aku ... sama sekali tidak pernah menyakiti Rayden," gumam wanita itu.Ia memejamkan mata sejenak sembari menghirup oksigen banyak-banyak. Setelah siap, ia menginjak gas hingga mobilnya melaju di jalanan.Bukan pulang ke rumahnya, melainkan hendak pergi ke rumah Alaric untuk memberikan bukti itu sebelum terlambat. Ya, memang saat Isadora merekam, Grace sepertinya tidak sadar. Tetapi, tidak menutup kemungkinan jika ada gangguan lain yang membuat Isadora kehilangan bukti itu, kan? Maka dari itu, ia harus memberitahu Alaric sekarang.Sembari memutar setir, satu tangannya mengetik pesan dengan cepat untuk Alaric.[Aku memiliki bukti bahwa bukan aku yang bersalah atas insiden Rayden. Aku akan menemuimu sebentar lagi, Al. Tolong kau jangan halangi aku.]Pesan tersebut berhasi
Tanpa tujuan. Ya, begitulah hari-hari Isadora berjalan. Ia berdiam diri di kamar ketika pagi, lalu pergi keluar rumah kala siang hingga malam hari. Tak ada tujuan yang pasti, hanya mengitari kota tempat ia tinggal, berharap menemukan sesuatu yang bisa membebaskannya dari fitnah kejam.Seperti sekarang, Isadora duduk termenung seorang diri di sebuah kafe. Tangannya mengaduk minuman menggunakan sedotan dengan tatapan dan pikiran yang entah ke mana. Hingga seorang wanita datang dan membuat Isadora tersadar."Nyonya Isadora?"Isadora menoleh cepat dan mendapati Jessica tersenyum padanya."Jes ... sedang apa kau di sini?" tanyanya."Apa kau tidak ingin mempersilakanku duduk dulu, Nyonya?" Wanita itu terkekeh pelan, membuat Isadora ikut terkekeh juga. Ia mempersilakan Jessica untuk duduk pada kursi di depannya."Aku baru saja menemani Tuan Frans menemui klien. Di sini. Kami pun sempat melihat kau masuk dan duduk. Tapi, kau sama sekali tak menyadari kehadiran kami, Nyonya."Isadora cukup te
Sunyi, hampa, kecewa, itulah yang Isadora rasakan beberapa hari ini, setelah ia keluar dari rumah Alaric. Sepanjang hari ia hanya akan mengurung diri di dalam kamar. Bahkan sama sekali tak bersedia keluar meski hanya untuk sekadar makan bersama kedua orang tuanya.Isadora masih sangat terpukul dengan apa yang terjadi pada Rayden. Apalagi, ia yang tidak tahu apa-apa malah dijadikan tersangka."Aku tidak terima kau perlakuan seperti ini, Al ...," gumam wanita itu sembari memeluk diri sendiri di balkon kamar. "Jika kau tidak terima atas tuduhan itu, harusnya kau bangkit, Isa!"Suara itu membuat Isadora terhenyak. Ia memutar kepala ke samping dan mendapati sang ayah tengah berdiri di ambang pintu menuju balkon yang terhubung langsung ke kamarnya.Isadora tak menyahut hingga Julian mengambil duduk pada kursi kosong di sampingnya. "Kau adalah putriku yang tangguh, kuat, dan tidak pernah menyerah. Lantas, apa kau akan diam saja ketika difitnah?" Pria itu menatap dalam pada putrinya. "Jika
"Sungguh aku tidak melakukan apapun, Al ...." Isadora bersimpuh di lantai, tepat di depan Alaric yang tengah berdiri menatap pintu ruang UGD. Ia genggam tangan pria itu erat untuk menjelaskan apa yang terjadi. Tetapi, sama sekali tak dipercaya oleh sang suami."Aku kecewa padamu, Dora," ungkap Alaric. Ada jeda beberapa saat untuk ia melonggarkan sesak di dadanya. "Aku kira ... kau akan berlapang dada saat putraku tengah bersikap dingin padamu. Tapi ternyata ... kau justru dendam pada anak sekecil itu!"Isadora menggeleng cepat sebagai bantahan. "Aku tidak melakukan apapun, Al! Aku tidak dendam pada Rayden! Aku tadi hanya—""Sudah cukup, Isadora!" Suara Alaric terdengar menggelegar hingga membuat Isadora tak melanjutkan ucapan. "Aku sudah tidak percaya lagi padamu! Sekarang lebih baik kau pergi dari sini, dan kemasi barang-barangmu dari rumahku!"Degh!Wajah basah Isadora menatap Alaric tak percaya. Ia menggelengkan kepala cepat sembari mengeratkan genggaman. Tetapi, Alaric malah denga
Benar saja. Hari yang Isadora lewati tanpa sang suami benar-benar sepi. Setelah kembali dari lapas, ia hanya mengurung diri di dalam kamar hingga malam tiba. Begitupun dengan hari-hari setelahnya. Tak ada kegiatan berarti yang ia lakukan. Sekadar menyambangi kantor yang tengah ditinggalkan sang suami pun sangat malas rasanya.Huft!"Hidup ini terlalu membosankan," gumam wanita itu sembari menjatuhkan diri ke atas kasur empuknya. Ada sedikit penyelesaian kala ia memilih untuk tidak ikut bersama Alaric. Toh, di sini pun Rayden tetap bersikap dingin tiap kali ia dekati. Entahlah apa yang memengaruhi bocah itu hingga bersikap seperti ini. Rasa-rasanya tidak mungkin Rayden berubah tiba-tiba tanpa alasan.Ah, Isadora jadi kian penasaran."Apa aku coba bicara lagi dengan Rayden, ya?"Sepertinya itu bukan ide yang buruk. Baiklah, Isadora segera bangkit dan meninggalkan kamarnya menuju kamar sang putra yang berada di lantai dasar. Suasana rumah yang biasanya ramai oleh tawa Rayden pun kini s