Tumpukan kertas yang begitu menggunung di atas meja, membuat Alaric sakit kepala. Harusnya hari ini ia berbulan madu bersama Isadora, bukan bekerja.
"Sial! Ini semua gara-gara tamu tak diundang itu!" gerutu pria itu sembari memijat pelipis.
Jika saja Isadora sedang tidak datang bulan saat ini, sudah pasti langsung ia bawa pergi ke luar kota, atau bahkan ke luar negeri. Tak peduli sekalipun pekerjaannya di kantor menumpuk begini.
"Permisi, Tuan!"
Seruan itu terdengar setelah pintu diketuk dari luar.
"Masuk!" perintah Alaric. Ia sudah tahu yang datang pasti sang sekretaris.
"Apa?" ketusnya saat sang sekretaris sudah berdiri di depan meja.
"Saya mau mengambil laporan tadi. Apakah sudah Tuan tandatangani?" tanya Mona hati-hati.
Alaric melirik sinis pada sang sekretaris, kemudian menjawab dengan nada yang tak kalah ketus dari tadi. "Belum."
"M-maaf, Tuan. Tapi ... laporan itu—"
"Harus segera ditandatangani!" potong Alaric cepat. Tatapannya menajam pada Mona. "Iya, kan?"
"I-iya."
Wanita berambut sebahu itu hanya mampu menunduk takut.
"Saya belum mau bekerja. Silakan keluar!" usir Alaric yang membuat sang sekretaris membuang napas diam-diam.
"Baik, Tuan."
Mata tajam Alaric memerhatikan Mona yang perlahan menghilang di balik pintu. Kedua sudut bibirnya tertarik, menciptakan senyuman yang begitu manis. "Lihatlah! Tak ada satupun yang bisa menentangku, termasuk kau, Dora."
Pria tampan itu meraih bingkai foto berukuran kecil yang ia simpan di atas meja. Bingkai yang berisikan foto Isadora saat beberapa tahun silam. Lebih tepatnya, sebelum hubungan mereka terpaksa kandas.
Alaric mengusap permukaan bingkai itu dengan senyum yang mengembang. "Akan kupastikan kau tergila-gila padaku suatu saat nanti, Sayang. Dan kau ... tak akan bisa menolak apapun yang kulakukan."
Sementara di hotel, Isadora dikejutkan oleh kabar dari resepsionis jika ada yang ingin bertemu dengannya di lobby. Entah siapa. Yang jelas, resepsionis bilang orang itu adalah seorang wanita.
"Aku tidak memiliki janji dengan siapapun. Lalu, siapa yang datang?" gumamnya bingung. Kakinya terus berjalan anggun setelah keluar dari lift. Kemudian, menghampiri resepsionis untuk memastikan kebenaran informasi.
"Di mana orang yang Anda maksud?" tanyanya setelah menjelaskan pesan yang didapat dari resepsionis.
"Oh, mari ikut saya, Nyonya."
Isadora hanya mengangguk dan lekas mengikuti langkah resepsionis menuju sofa yang berada di lobby. Hingga setelah tiba di sana, ia terdiam sejenak dengan otak yang berusaha mencerna keadaan.
"Grace? Mau apa dia ke sini?" gumamnya dalam hati.
Ya, Isadora sangat yakin jika wanita itu adalah Grace. Meski hanya baru bertemu 1 kali, ia cukup ingat bentuk wajah dan senyumnya. Tetapi, siapa anak kecil yang duduk di samping Grace? Apakah ....
"Hai, Isa."
Lamunan Isadora harus terputus kala mendengar suara Grace. "A-ah ... hai, Grace."
Seperti wanita pada umumnya, mereka berpelukan sejenak, lalu duduk saling berhadapan. Akan tetapi, tatapan Isadora tak bisa lepas dari sosok bocah laki-laki yang sedari tadi hanya diam.
"Dia ...."
"Putraku dan Alaric," jelas Grace.
"O-oh ...." Isadora merespon sedikit canggung. Entah kenapa hatinya sedikit tak nyaman dengan pengakuan Grace.
"Sebenarnya, aku datang ke sini untuk membicarakan hal penting dengan Alaric. Tapi, aku tahu jika dia cukup sibuk hari ini. Maka dari itu, aku menemuimu," terang Grace, dan Isadora hanya manggut-manggut sebagai respon.
"Sebelumnya, maaf jika aku akan sangat merepotkan kau dan Alaric."
Kali ini Isadora tak mengerti maksud perkataan wanita itu. "Merepotkan? Maksudnya?"
Grace tampak menghela napas panjang. Ia menggenggam tangan mungil bocah di sampingnya. "Aku mau menitipkan Rayden pada kalian."
Terkejut? Tentu! Tubuh Isadora bahkan membeku setelah mendengar ucapan itu.
"Aku harus kembali ke luar negeri, sedangkan Rayden harus mulai bersekolah. Jika dia ikut denganku, sudah pasti akan terlantar karena aku sibuk bekerja. Sementara jika dia di sini, ada kau yang menjaganya. Aku percaya padamu, Isa."
Spontan Isadora menggigit bibir bawahnya karena bingung. Jika bisa, ia akan langsung menolak karena merasa belum siap dititipi anak. Tetapi di sisi lain, Rayden memiliki hak untuk ia dan Alaric rawat.
"Oh, God .... Apa yang harus kulakukan?" batinnya menjerit kebingungan.
Setelah beberapa saat berpikir, akhirnya wanita itu memberikan responnya. "Sebelumnya, aku minta maaf, Grace. Menurutku, lebih baik hal ini aku bicarakan dulu dengan Alaric. Aku tak mau mengambil keputusan sendiri. Mungkin ... kau bisa datang lagi nanti."
"Tidak bisa, Isa! Aku harus pergi sekarang juga. Sudah tak ada waktu lagi."
Spontan Isadora memegang keningnya sembari membatin, "Oh, God ... ini sangat membuatku pusing."
***
Tumpukan kertas di atas mejanya masih menggunung, tetapi Alaric malah meninggalkan kertas-kertas malang itu hanya untuk bertemu dengan Isadora. Ia sudah tak memiliki selera membaca dan memeriksa dokumen perusahaan yang sangat memusingkan. Lagipula, ini masih masa-masa pengantin baru, harusnya ia berlibur.
Langkah tegapnya memasuki hotel dengan penuh kharisma, membuat siapa saja yang ada di sana menunduk hormat. Tentu, karena hotel ini merupakan salah satu bisnis miliknya.
Sebelum menuju lift, ia lebih dulu menghampiri resepsionis. "Apa ada yang mencurigakan?" tanyanya langsung.
Resepsionis itu menggeleng. "Semuanya aman, Tuan. Nyonya tidak pergi ke mana-mana. Kecuali ...."
"Kecuali apa?" Tatapan Alaric seketika menajam. Ia mencium aroma yang mencurigakan.
"Tadi ... Nyonya turun ke lobby untuk menerima tamu."
"Iya. Hanya tamu perempuan. Setelah itu—" Penjelasan resepsionis itu tak berlanjut karena Alaric sudah mengambil langkah lebih dulu. Pria itu langsung memasuki lift tanpa mengucapkan terima kasih sama sekali.
"Huh, untung dia bos. Jika bukan ...." Ah, ia akan mengajari pria itu cara berterimakasih dengan benar.
Langkah Alaric bertambah cepat ketika keluar dari lift. Menyusuri lorong sejenak dan langsung berhenti di depan kamar dengan nomor 411. Setelah memasukkan kode akses, segera ia melesat ke dalam.
"Honey, siapa yang kau—" Ucapan pria itu seketika terhenti bersamaan dengan matanya yang membola tak percaya, melihat siapa yang yang tengah duduk bersama istrinya.
"K-kau ...."
"Hai, Dad."
Hancur sehancur-hancurnya. Itulah yang dirasakan Alaric sekarang. Pria yang tampak kacau itu hanya bisa terduduk lemas di lantai setelah mengetahui sebuah fakta mengejutkan."Kau tahu? Saat kau mengusir putriku, dia sedang mengandung anakmu! Anakmu, Alaric! Dan kau lihat akibatnya? Sekarang putriku sudah kehilangan calon anaknya!"Kalimat yang diucapkan Julian ratusan menit lalu, masih terdengar menggelegar di telinga Alaric. Rentetan kata demi kata yang membuat hatinya hancur berkeping-keping. "Kenapa kau tidak memberitahuku, Dora? Kenapa kau tidak bilang bahwa sedang mengandung calon anak kita?" gumamnya dengan suara lirih.Alaric menyesal. Sangat ... menyesal. Namun, penyesalan itu sungguh tak ada artinya sekarang. Semuanya sudah terlambat."Aku bersumpah, tidak akan pernah membiarkan putriku kembali, bahkan bertemu dengan pria brengsek sepertimu!" Kalimat yang Julian ucapkan dengan penuh amarah tadi, berhasil membuat Alaric menjadi manusia rapuh. Bagaimana tidak? Di tengah kondi
Isadora terdiam cukup lama di dalam mobil yang masih terparkir di seberang kafe tadi. Ia meremas ponsel yang sudah berisi bukti kejahatan Grace. "Aku yakin, setelah melihat bukti ini, kau pasti akan percaya padaku, Al. Aku ... sama sekali tidak pernah menyakiti Rayden," gumam wanita itu.Ia memejamkan mata sejenak sembari menghirup oksigen banyak-banyak. Setelah siap, ia menginjak gas hingga mobilnya melaju di jalanan.Bukan pulang ke rumahnya, melainkan hendak pergi ke rumah Alaric untuk memberikan bukti itu sebelum terlambat. Ya, memang saat Isadora merekam, Grace sepertinya tidak sadar. Tetapi, tidak menutup kemungkinan jika ada gangguan lain yang membuat Isadora kehilangan bukti itu, kan? Maka dari itu, ia harus memberitahu Alaric sekarang.Sembari memutar setir, satu tangannya mengetik pesan dengan cepat untuk Alaric.[Aku memiliki bukti bahwa bukan aku yang bersalah atas insiden Rayden. Aku akan menemuimu sebentar lagi, Al. Tolong kau jangan halangi aku.]Pesan tersebut berhasi
Tanpa tujuan. Ya, begitulah hari-hari Isadora berjalan. Ia berdiam diri di kamar ketika pagi, lalu pergi keluar rumah kala siang hingga malam hari. Tak ada tujuan yang pasti, hanya mengitari kota tempat ia tinggal, berharap menemukan sesuatu yang bisa membebaskannya dari fitnah kejam.Seperti sekarang, Isadora duduk termenung seorang diri di sebuah kafe. Tangannya mengaduk minuman menggunakan sedotan dengan tatapan dan pikiran yang entah ke mana. Hingga seorang wanita datang dan membuat Isadora tersadar."Nyonya Isadora?"Isadora menoleh cepat dan mendapati Jessica tersenyum padanya."Jes ... sedang apa kau di sini?" tanyanya."Apa kau tidak ingin mempersilakanku duduk dulu, Nyonya?" Wanita itu terkekeh pelan, membuat Isadora ikut terkekeh juga. Ia mempersilakan Jessica untuk duduk pada kursi di depannya."Aku baru saja menemani Tuan Frans menemui klien. Di sini. Kami pun sempat melihat kau masuk dan duduk. Tapi, kau sama sekali tak menyadari kehadiran kami, Nyonya."Isadora cukup te
Sunyi, hampa, kecewa, itulah yang Isadora rasakan beberapa hari ini, setelah ia keluar dari rumah Alaric. Sepanjang hari ia hanya akan mengurung diri di dalam kamar. Bahkan sama sekali tak bersedia keluar meski hanya untuk sekadar makan bersama kedua orang tuanya.Isadora masih sangat terpukul dengan apa yang terjadi pada Rayden. Apalagi, ia yang tidak tahu apa-apa malah dijadikan tersangka."Aku tidak terima kau perlakuan seperti ini, Al ...," gumam wanita itu sembari memeluk diri sendiri di balkon kamar. "Jika kau tidak terima atas tuduhan itu, harusnya kau bangkit, Isa!"Suara itu membuat Isadora terhenyak. Ia memutar kepala ke samping dan mendapati sang ayah tengah berdiri di ambang pintu menuju balkon yang terhubung langsung ke kamarnya.Isadora tak menyahut hingga Julian mengambil duduk pada kursi kosong di sampingnya. "Kau adalah putriku yang tangguh, kuat, dan tidak pernah menyerah. Lantas, apa kau akan diam saja ketika difitnah?" Pria itu menatap dalam pada putrinya. "Jika
"Sungguh aku tidak melakukan apapun, Al ...." Isadora bersimpuh di lantai, tepat di depan Alaric yang tengah berdiri menatap pintu ruang UGD. Ia genggam tangan pria itu erat untuk menjelaskan apa yang terjadi. Tetapi, sama sekali tak dipercaya oleh sang suami."Aku kecewa padamu, Dora," ungkap Alaric. Ada jeda beberapa saat untuk ia melonggarkan sesak di dadanya. "Aku kira ... kau akan berlapang dada saat putraku tengah bersikap dingin padamu. Tapi ternyata ... kau justru dendam pada anak sekecil itu!"Isadora menggeleng cepat sebagai bantahan. "Aku tidak melakukan apapun, Al! Aku tidak dendam pada Rayden! Aku tadi hanya—""Sudah cukup, Isadora!" Suara Alaric terdengar menggelegar hingga membuat Isadora tak melanjutkan ucapan. "Aku sudah tidak percaya lagi padamu! Sekarang lebih baik kau pergi dari sini, dan kemasi barang-barangmu dari rumahku!"Degh!Wajah basah Isadora menatap Alaric tak percaya. Ia menggelengkan kepala cepat sembari mengeratkan genggaman. Tetapi, Alaric malah denga
Benar saja. Hari yang Isadora lewati tanpa sang suami benar-benar sepi. Setelah kembali dari lapas, ia hanya mengurung diri di dalam kamar hingga malam tiba. Begitupun dengan hari-hari setelahnya. Tak ada kegiatan berarti yang ia lakukan. Sekadar menyambangi kantor yang tengah ditinggalkan sang suami pun sangat malas rasanya.Huft!"Hidup ini terlalu membosankan," gumam wanita itu sembari menjatuhkan diri ke atas kasur empuknya. Ada sedikit penyelesaian kala ia memilih untuk tidak ikut bersama Alaric. Toh, di sini pun Rayden tetap bersikap dingin tiap kali ia dekati. Entahlah apa yang memengaruhi bocah itu hingga bersikap seperti ini. Rasa-rasanya tidak mungkin Rayden berubah tiba-tiba tanpa alasan.Ah, Isadora jadi kian penasaran."Apa aku coba bicara lagi dengan Rayden, ya?"Sepertinya itu bukan ide yang buruk. Baiklah, Isadora segera bangkit dan meninggalkan kamarnya menuju kamar sang putra yang berada di lantai dasar. Suasana rumah yang biasanya ramai oleh tawa Rayden pun kini s