Share

Ancaman Korban

Izzan meneguk salivanya. Pria itu sontak saja bangkit berdiri dan berjalan menghampiri Inayah. Namun, ketika dia masih sejauh dua meter dari posisi Inayah saat ini, Inayah meminta Izzan untuk menghentikan langkahnya.

“Stop! Aku tidak ingin kau mendekatiku,” ujar Inayah dengan air mata yang telah kembali bercucuran di pipinya. “Jawab saja pertanyaanku ... Apakah benar kalau kau adalah pelakunya?”

Izzan mengangguk dengan lemah. “Iya, benar. Aku memang pelakunya. Aku yang sudah menyebabkan kecelakaan itu terjadi,” jawab Izzan tanpa peduli dengan nasihat kakeknya yang melarang dia untuk berkata jujur.

“Kau ....”

Inayah kehabisan kata-kata. Wanita itu hanya bisa menutup mulutnya dengan sebelah tangan untuk menahan isak tangisnya. Inayah tahu siapa Izzan, sebab Athar pernah bercerita tentang Izzan yang tak lain adalah pengurus di sekolahnya. Selama ini Athar selalu menceritakan bagaimana hebatnya dan baiknya Izzan. Namun, kejadian hari ini membuat Inayah berpikir kalau tidak ada manusia yang benar-benar baik di dunia ini.

“Aku minta maaf yang sebesar-besarnya, Inayah. Aku tahu kalau aku bersalah, tapi tolong dengarkan penjelasan dariku terlebih dahulu. Aku benar-benar minta maaf,” ucap Izzan sebelum memulai ceritanya.

“Kau mau menjelaskan apa lagi? Bukankah semuanya sudah jelas?” tanya Inayah. Wanita itu sudah terlalu muak dengan apa yang terjadi hari ini. Dia tidak sanggup kalau harus mendengar penjelasan dari pelaku yang telah membuat putranya harus mengalami koma.

“Aku benar-benar tidak sengaja melakukannya. Aku tadi sedang mengambil ponselku yang jatuh dan tiba-tiba saja mobilku ternyata menabrak dirimu. Maaf,” terang Izzan.

“Anakku terpelanting jauh di aspal sampai-sampai kondisinya sangat mengenaskan tadi. Apakah kau pikir permintaan maaf saja cukup untuk membuat kesalahanmu hilang?” tanya Inayah sambil tersenyum kecut.

Sebagai seorang single parent, Inayah sudah mengalami banyak hal buruk di hidupnya. Athar adalah satu-satunya hal yang membuat Inayah kuat dalam menjalani cobaan hidupnya. Namun, jika sudah seperti ini, siapa yang bisa menjadi penguat hati Inayah? Satu-satunya harta terindah Inayah kini sedang meregang nyawa di ranjang rumah sakit yang dingin. Wanita itu tidak akan bisa menerima apa yang telah dilakukan oleh Izzan kepada Athar dan dirinya.

“Hei, apa maksudmu?” tanya Al Fattah. Pria itu tidak terima dengan ucapan Inayah yang seolah ingin memenjarakan cucu tersayangnya. Dia lantas bangkit berdiri dan menghampiri Izzan dan Inayah, disusul oleh Halwa di belakangnya.

“Cucuku sudah bertanggung jawab dengan membawa kalian berdua ke sini dan membiayai seluruh biaya operasi anakmu. Apakah kau masih mau menuntut pertanggungjawaban lagi dari Izzan?!” seru Al Fattah tidak terima.

Inayah terkejut saat mendengar kalimat yang keluar dari bibir Al Fattah. Dia tidak menyangka jika keluarga yang selama ini dipandang oleh orang-orang sebagai keluarga yang taat dengan agama dan selalu mengajarkan hal-hal baik kepada orang-orang di sekitarnya justru malah menyudutkan Inayah dengan kekuasaan yang mereka miliki.

“Jika posisi kita dibalik dan aku yang menyebabkan cucu Anda mengalami koma, apakah Anda juga akan terima dengan permintaan maafku saja?” tanya Inayah, mencoba untuk meminta Al Fattah berpikir melalui kacamatanya.

“Hal itu bukan yang terjadi saat ini. Jadi, kita tidak perlu membahasnya,” ujar Al Fattah sambil mengalihkan pandangan ke arah lain, selain ke arah Inayah. Ucapan Inayah memang benar, tapi Al Fattah enggan kalau harus mengakuinya.

“Anda tidak bisa menjawab pertanyaanku, bukan? Karena Anda memang tidak pernah mau kalau hal yang sama terjadi dengan cucu Anda. Jika hal yang sama terjadi kepada keluarga Anda, Anda pasti sudah langsung memenjarakan pelakunya tanpa peduli kalau pelakunya sudah membiayai biaya rumah sakit atau semacamnya.” Inayah tersenyum tipis. “Dan itulah yang sedang aku lakukan saat ini, Pak. Maaf, kalau sekiranya aku terlalu lancang.”

Al Fattah yang merasa terpojok berusaha mengobrak-abrik isi kepalanya. Dia harus memikirkan cara untuk membujuk Inayah supaya wanita itu tidak jadi melaporkan Izzan ke kantor polisi.

“Dengar, Bu. Aku tahu kalau cucuku salah karena sudah menyebabkan kecelakaan ini. Tapi, aku berjanji kalau aku akan membiayai seluruh pengobatan putra Anda. Dan kalau perlu, aku akan membiayai kehidupan Anda dan putra Anda sampai putra Anda nantinya dewasa dan bisa menafkahi keluarganya,” bujuk Al Fattah.

Mendengar penuturan Al Fattah sedikit membuat Inayah merasa terenyuh. Namun, saat mengingat bagaimana kondisi Athar saat ini, Inayah kembali membulatkan tekadnya untuk melaporkan Izzan ke kantor polisi.

Halwa yang merasa kalau kekasihnya telah tersudut pun angkat suara, “Bu, lebih baik Anda memikirkan ulang keputusan Anda. Izzan tidak bersalah. Dia—”

“Anda seorang dokter?” tanya Inayah, memotong ucapan Halwa.

“Iya, Bu.”

“Sebagai seorang dokter Anda tentu sering melihat bagaimana duka keluarga pasien Anda setiap kali anggota keluarganya mengalami musibah, bukan?”

Halwa mengangguk.

“Tapi, kenapa Anda tidak bisa sedikit pun tahu bagaimana perasaanku dan malah menyuruhku untuk tidak melaporkan Pak Izzan? Atau jangan-jangan Anda adalah seorang dokter yang tak punya hati untuk pasien Anda?” tanya Inayah, menyudutkan Halwa sampai Halwa tidak bisa berkata-kata lagi.

“Bu Inayah, aku tidak masalah kalau aku harus dipenjara asalkan Anda mau memaafkan aku,” ucap Izzan, memberi jalan tengah supaya tidak ada lagi perdebatan di antara mereka.

Akan tetapi, ibunda Inayah—Intan—yang baru datang dari Bogor pun menginterupsi obrolan mereka dan menyuarakan pendapatnya.

“Aku tidak setuju!” seru Intan, membuat semua orang yang ada di sana menoleh ke arahnya.

“Ibu?” balas Inayah kebingungan. Kenapa ibunya tidak setuju di saat Izzan saja sudah mau menyerahkan diri? Bukankah seharusnya Intan senang seperti apa yang dirasakan oleh Inayah saat ini?

“Inayah, bukankah ibu selalu mengajarimu untuk memaafkan kesalahan orang lain kalau orang tersebut sudah menyesal dan mengakui kesalahannya?” tanya Intan seraya menepuk pundak Inayah.

“Tapi, Bu, bagaimana bisa aku memaafkannya kalau kondisi Athar saat ini begitu mengenaskan?” tanya Inayah. “Aku mana mungkin bisa terima kalau terjadi apa-apa dengan Athar. Dia satu-satunya yang aku miliki di dunia ini, Bu.”

“Inayah, ibu mengerti. Untuk itu lebih baik kita fokus dengan kesembuhan Athar saja dan memaafkan kesalahan pria ini.” Intan tersenyum. “Bukankah memaafkan seseorang adalah sebuah pahala untuk diri kita?”

“Tapi, Bu ....”

“Lihatlah, pria ini juga mengalami memar di kepalanya. Tidak hanya kau dan Athar yang terlibat kecelakaan itu. Tapi, dia juga. Lagi pula, siapa yang menginginkan sebuah kecelakaan terjadi? Selama ini bukanlah kecelakaan yang berencana, ibu rasa kita tidak seharusnya menghakimi seseorang,” jelas Intan.

Inayah menghela napas lelah, lalu mengangguk. Wanita itu luluh setelah mendengar ucapan ibunya. Intan pun mengajak Inayah untuk kembali menengok kondisi Athar. Namun, sebelum pergi dengan Intan, Inayah mengatakan sebuah kalimat yang dia tujukan kepada Izzan.

“Ingat, aku mungkin tidak akan memperkarakan hal ini. Tapi, aku tidak akan terima kalau hal buruk terjadi kepada putraku setelah ini.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status