Karena tak mau perbincangan mereka didengar oleh banyak orang, Izzan pun menarik tangan Halwa dan membawa gadis itu menuju ke taman rumah sakit yang tidak terlalu ramai. Dia ingin Halwa menjelaskan tentang apa yang sebetulnya terjadi sebab semuanya terdengar tidak masuk akal di telinga Izzan.
“Sekarang, aku ingin kau menjelaskan tentang apa maksud dari ucapanmu tadi,” ucap Izzan dengan tegas. Pria jangkung itu sedikit menunduk supaya bisa menatap mata Halwa yang jauh lebih pendek darinya.“Izzan, apakah kau menuduhku?” Izzan memejamkan matanya, lalu menarik napas seraya perlahan membuka matanya kembali. “Aku tidak menuduhmu, Halwa. Tapi, aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Yang tahu tentang masalah ini hanyalah dirimu. Jadi, kau pasti ada hubungannya dengan hal ini,” jawab Izzan.“Izzan, aku benar-benar—”“Jangan coba-coba untuk membohongi aku, Halwa,” ujar Izzan, memotong ucapan Halwa. “Berkatalah dengan jujur karena aku tidak suka berhubungan dengan seorang pembohong, Halwa!” Halwa terbata. Wanita itu membuka mulutnya, laku mengatupkan mulutnya kembali. Dia seolah tidak bisa berkutik lagi. Dia benar-benar merasa telah dipojokkan. Halwa bahkan sampai tidak berani untuk menatap Izzan sebab wajah Izzan menampakkan kemarahan dan kekecewaan yang mendalam kepadanya.“Izzan, sebenarnya ....” Halwa tergagap, bingung harus berkata jujur atau tidak. Keringat dingin mulai membanjiri wajahnya. Gugup, Halwa tidak pernah segugup ini di depan Izzan sebelumnya.“Aku yang telah mencari kambing hitam untuk menutupi kesalahanmu, Izzan,” sahut seseorang dari belakang Izzan. Izzan dan Halwa menoleh dan mendapati Al Fattah berdiri tidak jauh dari mereka berdua. Kakek tua itu lantas berjalan menghampiri mereka dan duduk di kursi taman.“Kakek? Apa maksudnya ini semua?” tanya Izzan yang tidak mengerti dengan pola pikir orang-orang di sekitarnya. Pria itu tidak habis pikir kalau kakeknya juga terlibat dengan masalah ini.“Izzan, duduklah,” ucap Al Fattah, meminta Izzan untuk duduk di sampingnya dan Izzan pun langsung melakukannya. “Tadi, setelah mendapat telepon darimu kakek sangat bingung dan untungnya Halwa memberikan kakek saran supaya kau tidak perlu meminta maaf kepada korban itu. Jadi, kakek memutuskan untuk mencari kambing hitam yang mau menyerahkan diri ke kantor polisi,” jelas Al Fattah.“Kek, kenapa kakek harus melakukan semua ini? Aku tidak masalah jika harus dipenjara, Kek. Ini semua memang salahku dan akulah yang harus bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa Inayah dan Athar,” protes Izzan yang tidak terima dengan keputusan semena-mena kakeknya.“Zan, kau ini adalah cucu kakek. Kakek pastinya tidak akan bisa menerima kenyataan kalau kau harus masuk penjara karena tidak sengaja menabrak mereka berdua.” Al Fattah menatap intens cucunya. “Ini semua kakek lakukan demi kebaikanmu, Zan.”“Kebaikan yang mana yang kakek maksudkan?” tanya Izzan tidak mengerti dengan pola pikir sang kakek.“Kau ini calon penerus kakek. Satu-satunya harapan kakek, Zan. Kalau kau dipenjara lalu reputasimu hancur di hadapan publik, kau tidak akan bisa meneruskan usaha kakek untuk merawat sekolah islami keluarga kita,” jelas Al Fattah, berharap Izzan akan mengerti. Tapi, bukan Izzan namanya kalau pria itu tidak tahu bagaimana caranya mematahkan pembelaan tidak masuk akal dari Al Fattah mau pun Halwa.“Bukankah selama ini kakek selalu mengajarkanku untuk selalu bersikap jujur dan bertanggung jawab? Ke mana perginya ajaran-ajaran itu sekarang?” balas Izzan tak mau kalah. “Sesuai dengan perintah Nabi Muhammad, aku tidak akan mau untuk berbohong apalagi sampai lari dari tanggung jawabku, Kek.”“Kau jangan menceramahi kakek, Izzan. Dengan kau mengantar mereka ke rumah sakit dan membiayai seluruh pengobatan mereka saja sudah merupakan bentuk tanggung jawab. Kau tidak perlu melakukan ini itu. Apalagi sampai menyerahkan diri ke kantor polisi,” sentak Al Fattah.“Hatiku tidak akan pernah merasa tenang jika aku belum meminta maaf dengan Inayah dan putranya. Jika dia menerima permintaan maafku barulah aku akan bisa tenang,” ucap Izzan bersungguh-sungguh. Izzan tidak mau hidup digentayangi rasa bersalah. Apalagi, saat melihat kondisi Athar yang saat ini begitu mengenaskan. Pria itu tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri kalau-kalau hal buruk terjadi kepada Athar dan Inayah setelah ini. Bagaimana pun juga, musibah yang menimpa ibu dan anak itu penyebabnya adalah dirinya. Jadi, dia harus berusaha untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tapi, sepertinya Al Fattah tidak akan terima dengan keputusan Izzan. Orang tua mana yang rela kalau anggota keluarganya harus mendekam di penjara atas kesalahan yang tidak sengaja mereka perbuat?“Sudah cukup hal ini terjadi kepada Irsyad dulu. Kakek tidak mau kau mengalami hal yang sama, Zan!” teriak Al Fattah.“Apa yang terjadi kepada Irsyad dulu adalah kesalahan orang tuanya, Kek. Tapi, aku yakin sekali kalau aku bertanggung jawab dan meminta maaf kepada Inayah dan Athar maka semuanya akan beres. Aku tidak perlu dihantui rasa bersalah dan aku tidak akan berbuat dosa,” ucap Izzan. Perdebatan sengit pun terjadi antara Izzan dan Al Fattah. Keduanya sama-sama tidak mau mengalah karena merasa jika opini masing-masing dari mereka adalah yang paling benar. Di sisi lain, Inayah yang memikirkan saran dari Izzan pun akhirnya memenangkan diri dan memilih untuk pergi ke mushola yang terdapat di dalam area rumah sakit. Namun, saat wanita itu sedang melintasi taman, tak sengaja dia melihat Izzan tampak sedang berdebat dengan kakek-kakek dan seorang dokter. Inayah pun berniat untuk berjalan menghampiri mereka.“Kau bisa dipenjara, Zan! Apakah kau mau kalau kau sampai masuk ke penjara karena hal semacam ini?”Deg! Langkah Inayah terhenti di tempatnya. Inayah akhirnya memutuskan untuk mendengarkan ucapan mereka terlebih dahulu sebelum akhirnya dia menghampiri mereka.“Setidaknya aku tidak akan menambah korban atas perbuatanku, Kek!” sanggah Izzan.“Korban apa yang kau maksudkan, Zan?” tanya Al Fattah.“Kakek menyuruh seseorang untuk menjadi kambing hitam supaya bisa disalahkan atas kecerobohanku. Apakah dia tak bisa disebut sebagai korban juga, Kek?” tanya Izzan sambil melipat tangan di depan dada. Inayah menutup mulutnya, mencegah supaya dia tidak memekik. Satu tetes air matanya turun. Dia akhirnya mengerti tentang perdebatan apa yang sedang terjadi di sini. Awalnya, Inayah pikir Izzan adalah pria baik-baik yang menolongnya. Tapi, setelah mendengar perdebatan itu ... Inayah langsung berubah pikiran dalam waktu sepersekian detik.“Kakek hanya tidak mau kalau kau dipenjara, Zan. Itu sebabnya kakek mencari kambing hitam yang bisa disalahkan atas kasus kecelakaan ini,” ucap Al Fattah telak.“Jadi, kau adalah pelakunya?” Kalimat itu keluar dari bibir Inayah begitu saja, membuat Izzan, Halwa, dan Al Fattah lantas menoleh dan membulatkan mata saat mendapati kehadirannya.“Apakah benar kau adalah orang yang sudah menabrak kami?”Izzan mengusap wajahnya dengan frustrasi. “Halwa, apakah kau sudah kehilangan akal sehatmu?” tanya Izzan kalut.“Pilihanmu hanya satu, Zan. Kembali padaku atau aku akan mendorong Inayah,” jawab Halwa yang sudah kesetanan.Di saat yang sama, Jody dan Aldi sampai di jembatan itu. Mereka sengaja memarkirkan mobilnya agak jauh dari jembatan supaya tidak ada yang tahu tentang kedatangan mereka.“Astaga, apa yang sedang Halwa lakukan?” gumam Aldi sambil membelalakkan matanya.Posisi Halwa yang membelakangi Aldi dan Jody membuat mereka kesulitan untuk memahami apa yang terjadi. Hingga akhirnya mereka mendengar ancaman demi ancaman yang terlontar dari bibir tipis Halwa.“Kita harus menyelamatkan Inayah dari sana sebelum Halwa mendorongnya,” ucap Jody lirih supaya Halwa tidak mendengar.“Bagaimana caranya? Apakah kau tidak melihat jika Halwa mengikat Inayah di jembatan?” gerutu Aldi cemas.“Pasti ada caranya, Al. Selalu ada cara untuk menyelamatkan seseorang,” balas Jody dengan yakin.Sementa
"Apa kau mendengar suara itu, Al?" tanya Alita ingin tahu."Iya, sepertinya suara itu berasal dari ruangan ini." Aldi menyentuh knop pintu dan ternyata pintunya terkunci. Pria brewok itu mencoba mengetuk pintu sambil bertanya, "Ada siapa di dalam?" Merasa tidak ada jawaban, dua orang itu pun memutar balik namun baru dua langkah memutar balik tiba-tiba terdengar kembali suara orang meminta tolong, dengan sigap Aldi langsung mengetuk pintu itu kembali dan bertanya, "Halo Ada siapa di dalam?" tanya Aldi ingin memastikan."Tolong!!" Terdengar ada jawaban yang meminta tolong akhirnya Aldi bergegas mendobrak pintu tersebut dan alangkah terkejutnya dua orang itu ketika mendapati Al Fattah Shidiq sedang tergeletak di anak tangga bagian bawah dengan posisi kursi roda menimpa tubuhnya."Astagfirullah, Kakek. Bagaimana bisa ini terjadi di mana Izzan dan Inayah?" tanya Alita dan Aldi bersamaan. Aldi dan Alita membantu pria tua itu untuk duduk kembali di atas kursi rodanya, "Izzan edang me
Dan segerombolan pria berseragam datang sembari menyodorkan sebuah pistol ke arah pria tadi. "Borgol dia sekarang," titah pria itu melirik dua orang pria di belakangnya."Kalian tidak akan bisa menangkapku!" serunya masih mengenakan sebuah masker yang menutupi wajahnya."Apa kau masih bermimpi?! Lekas bangun dari ilusimu karena kami sudah menangkapmu sekarang!" jawab seorang pria yang kini sedang berada di daun pintu dengan napas yang ngos-ngosan."Jody," sebut Izzan pelan. Inayah meminta Alita untuk mendekat ke arah Izzan, "Apa kau baik-baik saja, Zan?" tanya Inayah nampak khawatir."Apa kau mulai mengkhawatirkanku?" tanyanya dengan alis terangkat."Tentu saja, kau terluka seperti ini karena melindungiku dan kakek." Inayah menyentuh jemari Izzan dan membawanya untuk segera duduk di atas sofa, melirik sahabatnya untuk ikut membantu maka Alita pun langsung bergegas cepat. "Aku akan memanggil perawat," ucap Alita mengerti bahwa Inayah tidak ingin sampai terlambat mengobati Izzan.
Inayah sontak tertegun, jujur saja dia bingung untuk menjawab apa. Mengingat bagaimana Irsyad dulu pernah ditolak oleh kedua orang tuanya ketika ingin melamar Inayah. "Atas nama orang tuaku, aku memohon maaf.""Maaf untuk apa, Nay?" tanya pria tua itu tak mengerti."Mungkin penolakan orang tuaku beberapa tahun lalu telah menyakiti hati Kakek." Inayah tertunduk malu dan merasa bersalah, jika saja ibunya tidak menulis surat mana mungkin dia bisa tahu bahwa Irsyad pernah berbicara kepada orang tuanya perihal ingin melamar Inayah."Oh, masalah itu Kakek juga tidak terlalu ingat namun waktu itu Irsyad melarang Kakek untuk menemui orang tuamu." Izzan yang ada di ruangan tersebut sontak menatap Inayah, "Apa maksud ucapanmu itu, Nay?" tanya Izzan sangat penasaran, bukankah selama ini yang Izzan tahu bahwa kak Irsyad belum sempat untuk meminangnya, meski dia sudah menyiapkan semua perlengkapan lamaran."Jangan bilang kalau..." Izzan menelisik tajam ke arah Inayah. Seolah dia bisa menebak
"Jalan satu-satunya adalah membawa beliau pergi ke Singapura untuk pengobatan." Dokter hanya berkata seperti itu namun hal tersebut sungguh sangat membubat Izzan bingung."Akan aku usahan, Dok." Izzan mengangguk pelan ndan akan berusaha untuk membujuk kakeknya agar mau melakukan pengobatan. Pria tampan itu kembali masuk ke dalam ruangana tersebut sambil melirik Al Fattah Shidiq yang nampak sangat akrab sekali dengan Inayah, membuat pria itu nampak tersenyum tipis. "Apakah Kakek sudah merasa baikan?" tanya Izzan melirik kakeknya."Alhamdulillah, lumayan membaik, Zan. Bisakah kau bawa Kakek pulang ke rumah?" ucapnya menoleh ke arah cucunya."Kakek kenapa mau pulang? Kondisi Kakek belum membaik sepenuhnya," imbuh Izzan menolak dengan pelan. Pria berlesung pipi itu mencoba untuk menjelaskan bahwa kakeknya harus dirawat di rumah sakit sampai tubuhnya sudah membaik. Izzan habis kata-kata meliha Al Fattah Shidiq selalu saja menolak dan bersikukuh untuk pulang. Melihat Izzan yang t
"Bisakah kau berhenti membekapku?" ketus Alita tak senang. Gadis cantik itu menoleh ke arah Aldi sambil bertanya, "Memangnya apa yang terjadi?" Aldi mengedarkan sepasang bola matanya melihat ke penjuru arah lalu berjalan mendekati Alita, menarik tangan gadis itu untuk mendekatinya sambil berbisik dan mengatakan kejadian yang terjadi dan penyebab Inayah terluka."Apa? Dasara gadis licik!" ketusnya tak senang."Maka dari itu, sebelum Izzan pulang kita harus menjaga mereka dengan baik. Perhatikan dokter dan perawat yang masuk," imbuh Aldi mengingatkan Alita."Kau tenang saja ku paling ahli dalam memeriksa orang, memangnya Izan pergi ke mana?" tanya Alita ingin tahu."Izzan pergi memeriksa perusahaan I2 Group, ada sedikit masalah yang mendadak jadi dia pergi ke sana. Bila ada Izzan maka hal ini tidak akan terjadi, andai saja aku tidak menerima telpon maka hal seperti ini tak akan terjadi," tandasnya penuh sesal dan merasa bersalah. Alita menghela napas beratnya, dia tidak pernah t