Share

Perdebatan Sengit

Karena tak mau perbincangan mereka didengar oleh banyak orang, Izzan pun menarik tangan Halwa dan membawa gadis itu menuju ke taman rumah sakit yang tidak terlalu ramai. Dia ingin Halwa menjelaskan tentang apa yang sebetulnya terjadi sebab semuanya terdengar tidak masuk akal di telinga Izzan.

“Sekarang, aku ingin kau menjelaskan tentang apa maksud dari ucapanmu tadi,” ucap Izzan dengan tegas. Pria jangkung itu sedikit menunduk supaya bisa menatap mata Halwa yang jauh lebih pendek darinya.

“Izzan, apakah kau menuduhku?”

Izzan memejamkan matanya, lalu menarik napas seraya perlahan membuka matanya kembali. “Aku tidak menuduhmu, Halwa. Tapi, aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Yang tahu tentang masalah ini hanyalah dirimu. Jadi, kau pasti ada hubungannya dengan hal ini,” jawab Izzan.

“Izzan, aku benar-benar—”

“Jangan coba-coba untuk membohongi aku, Halwa,” ujar Izzan, memotong ucapan Halwa. “Berkatalah dengan jujur karena aku tidak suka berhubungan dengan seorang pembohong, Halwa!”

Halwa terbata. Wanita itu membuka mulutnya, laku mengatupkan mulutnya kembali. Dia seolah tidak bisa berkutik lagi. Dia benar-benar merasa telah dipojokkan. Halwa bahkan sampai tidak berani untuk menatap Izzan sebab wajah Izzan menampakkan kemarahan dan kekecewaan yang mendalam kepadanya.

“Izzan, sebenarnya ....” Halwa tergagap, bingung harus berkata jujur atau tidak. Keringat dingin mulai membanjiri wajahnya. Gugup, Halwa tidak pernah segugup ini di depan Izzan sebelumnya.

“Aku yang telah mencari kambing hitam untuk menutupi kesalahanmu, Izzan,” sahut seseorang dari belakang Izzan.

Izzan dan Halwa menoleh dan mendapati Al Fattah berdiri tidak jauh dari mereka berdua. Kakek tua itu lantas berjalan menghampiri mereka dan duduk di kursi taman.

“Kakek? Apa maksudnya ini semua?” tanya Izzan yang tidak mengerti dengan pola pikir orang-orang di sekitarnya. Pria itu tidak habis pikir kalau kakeknya juga terlibat dengan masalah ini.

“Izzan, duduklah,” ucap Al Fattah, meminta Izzan untuk duduk di sampingnya dan Izzan pun langsung melakukannya. “Tadi, setelah mendapat telepon darimu kakek sangat bingung dan untungnya Halwa memberikan kakek saran supaya kau tidak perlu meminta maaf kepada korban itu. Jadi, kakek memutuskan untuk mencari kambing hitam yang mau menyerahkan diri ke kantor polisi,” jelas Al Fattah.

“Kek, kenapa kakek harus melakukan semua ini? Aku tidak masalah jika harus dipenjara, Kek. Ini semua memang salahku dan akulah yang harus bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa Inayah dan Athar,” protes Izzan yang tidak terima dengan keputusan semena-mena kakeknya.

“Zan, kau ini adalah cucu kakek. Kakek pastinya tidak akan bisa menerima kenyataan kalau kau harus masuk penjara karena tidak sengaja menabrak mereka berdua.” Al Fattah menatap intens cucunya. “Ini semua kakek lakukan demi kebaikanmu, Zan.”

“Kebaikan yang mana yang kakek maksudkan?” tanya Izzan tidak mengerti dengan pola pikir sang kakek.

“Kau ini calon penerus kakek. Satu-satunya harapan kakek, Zan. Kalau kau dipenjara lalu reputasimu hancur di hadapan publik, kau tidak akan bisa meneruskan usaha kakek untuk merawat sekolah islami keluarga kita,” jelas Al Fattah, berharap Izzan akan mengerti.

Tapi, bukan Izzan namanya kalau pria itu tidak tahu bagaimana caranya mematahkan pembelaan tidak masuk akal dari Al Fattah mau pun Halwa.

“Bukankah selama ini kakek selalu mengajarkanku untuk selalu bersikap jujur dan bertanggung jawab? Ke mana perginya ajaran-ajaran itu sekarang?” balas Izzan tak mau kalah. “Sesuai dengan perintah Nabi Muhammad, aku tidak akan mau untuk berbohong apalagi sampai lari dari tanggung jawabku, Kek.”

“Kau jangan menceramahi kakek, Izzan. Dengan kau mengantar mereka ke rumah sakit dan membiayai seluruh pengobatan mereka saja sudah merupakan bentuk tanggung jawab. Kau tidak perlu melakukan ini itu. Apalagi sampai menyerahkan diri ke kantor polisi,” sentak Al Fattah.

“Hatiku tidak akan pernah merasa tenang jika aku belum meminta maaf dengan Inayah dan putranya. Jika dia menerima permintaan maafku barulah aku akan bisa tenang,” ucap Izzan bersungguh-sungguh.

Izzan tidak mau hidup digentayangi rasa bersalah. Apalagi, saat melihat kondisi Athar yang saat ini begitu mengenaskan. Pria itu tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri kalau-kalau hal buruk terjadi kepada Athar dan Inayah setelah ini. Bagaimana pun juga, musibah yang menimpa ibu dan anak itu penyebabnya adalah dirinya. Jadi, dia harus berusaha untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Tapi, sepertinya Al Fattah tidak akan terima dengan keputusan Izzan. Orang tua mana yang rela kalau anggota keluarganya harus mendekam di penjara atas kesalahan yang tidak sengaja mereka perbuat?

“Sudah cukup hal ini terjadi kepada Irsyad dulu. Kakek tidak mau kau mengalami hal yang sama, Zan!” teriak Al Fattah.

“Apa yang terjadi kepada Irsyad dulu adalah kesalahan orang tuanya, Kek. Tapi, aku yakin sekali kalau aku bertanggung jawab dan meminta maaf kepada Inayah dan Athar maka semuanya akan beres. Aku tidak perlu dihantui rasa bersalah dan aku tidak akan berbuat dosa,” ucap Izzan.

Perdebatan sengit pun terjadi antara Izzan dan Al Fattah. Keduanya sama-sama tidak mau mengalah karena merasa jika opini masing-masing dari mereka adalah yang paling benar.

Di sisi lain, Inayah yang memikirkan saran dari Izzan pun akhirnya memenangkan diri dan memilih untuk pergi ke mushola yang terdapat di dalam area rumah sakit. Namun, saat wanita itu sedang melintasi taman, tak sengaja dia melihat Izzan tampak sedang berdebat dengan kakek-kakek dan seorang dokter. Inayah pun berniat untuk berjalan menghampiri mereka.

“Kau bisa dipenjara, Zan! Apakah kau mau kalau kau sampai masuk ke penjara karena hal semacam ini?”

Deg!

Langkah Inayah terhenti di tempatnya. Inayah akhirnya memutuskan untuk mendengarkan ucapan mereka terlebih dahulu sebelum akhirnya dia menghampiri mereka.

“Setidaknya aku tidak akan menambah korban atas perbuatanku, Kek!” sanggah Izzan.

“Korban apa yang kau maksudkan, Zan?” tanya Al Fattah.

“Kakek menyuruh seseorang untuk menjadi kambing hitam supaya bisa disalahkan atas kecerobohanku. Apakah dia tak bisa disebut sebagai korban juga, Kek?” tanya Izzan sambil melipat tangan di depan dada.

Inayah menutup mulutnya, mencegah supaya dia tidak memekik. Satu tetes air matanya turun. Dia akhirnya mengerti tentang perdebatan apa yang sedang terjadi di sini. Awalnya, Inayah pikir Izzan adalah pria baik-baik yang menolongnya. Tapi, setelah mendengar perdebatan itu ... Inayah langsung berubah pikiran dalam waktu sepersekian detik.

“Kakek hanya tidak mau kalau kau dipenjara, Zan. Itu sebabnya kakek mencari kambing hitam yang bisa disalahkan atas kasus kecelakaan ini,” ucap Al Fattah telak.

“Jadi, kau adalah pelakunya?”

Kalimat itu keluar dari bibir Inayah begitu saja, membuat Izzan, Halwa, dan Al Fattah lantas menoleh dan membulatkan mata saat mendapati kehadirannya.

“Apakah benar kau adalah orang yang sudah menabrak kami?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status