Kehilangan orang terkasih karena sebuah kematian membuat Inayah harus menerima takdirnya. Ditambah lagi kecelakaan tragis menimpa putranya membuat Athar, sang putera harus mengalami koma. Namun, siapa sangka Izzan yang disangka malaikat penolong dalam kecelakaan itu ternyata adalah tersangka di balik kecelakaan yang menimpa mereka. Bahkan parahnya Izzan membohongi Inayah karena menjadikan seseorang sebagai tersangka kecelakaan. Siapa sangka ternyata Izzan adalah sepupu dari cinta masa lalu Inayah dulu, lalu kenapa Izzan seolah mengincar Inayah? Apakah pantas seorang janda satu anak bersama dengan pria yang lebih muda darinya ketika Izzan sudah memiliki seorang tunangan?
view more“Ibu, tadi aku diajari cara menggambar pemandangan yang indah oleh Bu Guru,” celoteh Athar kepada sang ibu yang menjemputnya di sekolah.
Ibu Athar, Inayah, tersenyum lebar. “Benarkah?” Athar menganggukkan kepalanya dengan antusias.Inayah terkekeh. “Kalau begitu, nanti kamu harus mengajari ibu juga, ya?” tanya Inayah yang dibalas Athar dengan anggukan kepala. Siang itu, terik matahari membakar kulit wanita berhijab tersebut. Setelah mengambil alih tas punggung putranya dan meletakkannya di kaitan depan sepeda motornya, Inayah menyalakan mesin sepeda motornya. Wanita itu lantas menyuruh Athar untuk naik ke atas sepeda motor. Kalau mereka tidak buru-buru pulang, bisa-bisa panas matahari akan semakin menyengat nantinya. Ketika Athar baru saja naik ke atas sepeda motor, dari arah kanan sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Pengendara mobil yang saat itu sedang berusaha meraih ponselnya yang jatuh ke bawah jok mobil tak tahu jika di depannya ada sebuah sepeda motor yang hendak melaju. Ketika dia sudah berhasil meraih ponselnya dan kembali menatap ke depan, matanya membulat sempurna dan dia segera menginjak rem hingga terdengar suara deritan yang memekakkan telinga. Namun naas, dia terlambat untuk menghentikan laju mobilnya. Sebuah kecelakaan pun tak dapat terelakkan lagi.Brak! Karena tak sempat mengerem mobilnya, benturan keras antara mobil dan sepeda motor tersebut membuat tubuh Athar terpental sejauh empat meter sementara Inayah jatuh tertimpa sepeda motornya sejauh satu meter dari tempat terjadinya kecelakaan. Orang-orang mulai berhamburan mendekati TKP dan mengerubungi korban-korban kecelakaan. Sebagian dari mereka menyingkirkan sepeda motor Inayah dan membantu wanita itu berdiri. Inayah mengusap-usap kakinya yang terasa nyeri. Namun, saat dia mengingat putranya, wanita itu sontak saja berlari dan menghampiri sang putra.“Athar!!!” Inayah berteriak sambil membulatkan matanya saat melihat darah bersimbah di sekitar tubuh putranya yang terkapar tak berdaya di aspal panas depan sekolahnya. Dengan tubuh bergetar, Inayah berlutut di samping putranya sambil berteriak, “Athar! Bangun, Nak!”“Cepat panggil ambulans!” teriakan demi teriakan dari guru hingga orang tua murid yang juga menjemput anak mereka terdengar bersahutan sementara Inayah terduduk lemah di samping tubuh putranya yang tampak sangat mengenaskan.“Biarkan aku yang membawanya ke rumah sakit,” ucap seorang pria yang baru saja membelah kerumunan dan mendapati kondisi korban atas kelalaiannya. Ya, pria itu adalah pria yang mengendarai mobil yang menabrak sepeda motor Inayah. Dengan tubuh gemetar Izzan memberanikan diri untuk turun dari mobil dan menghampiri Inayah dan putranya. Meski keringat dingin terus membasahi dahinya, pria itu tetap bersikeras untuk menekan rasa takut yang menggelayuti dirinya. Dengan bantuan orang-orang, Izzan membawa Athar masuk ke dalam mobilnya bersama dengan Inayah. Pria itu lantas melajukan mobilnya menuju ke rumah sakit terdekat supaya Athar bisa segera mendapatkan pertolongan pertama. Sepanjang perjalanan, Inayah terus menangis dan meratapi nasib putra semata wayangnya. Wanita berjilbab itu tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya nanti jika Athar tidak selamat sebab Athar adalah satu-satunya harta yang dia miliki di dunia ini. Athar adalah pelita hatinya. Oleh karena itu dia terus merapal doa supaya Athar bisa selamat. Sesampainya di rumah sakit, dokter yang berjaga di unit gawat darurat langsung menangani Athar dan membersihkan darahnya. Izzan dan Inayah harus menunggu di luar sementara dokter memeriksa kondisi Athar. Pintu UGD terbuka. Dokter membawa keluar ranjang Athar dan membuat Izzan dan Inayah sontak berdiri dan menghampiri mereka.“Dokter, bagaimana kondisi anak saya?” tanya Inayah sambil menangis sesenggukan.“Kami harus melakukan CT-SCAN terhadap pasien sebelum memutuskan tindakan, Bu. Kami akan membawa putra Anda ke ruang radiasi terlebih dahulu,” ucap dokter lalu membawa Athar menuju ke ruang radiasi untuk melakukan pemeriksaan keseluruhan terhadap organ dalam Athar.Butuh waktu kurang lebih satu jam hingga akhirnya hasil CT-SCAN Athar keluar dan dokter kembali membawa Athar ke ruang UGD.“Bu, saya ingin Anda pergi ke ruang administrasi sekarang dan menandatangani surat persetujuan untuk operasi putra Anda,” jelas sang dokter.“Operasi, Dok?” sahut Izzan, terkejut dengan ungkapan dokter yang memeriksa Athar.“Benar, Pak.” Dokter tadi mengangguk. “Ada perdarahan di otak Athar. Kita harus segera mengoperasi kepala Athar untuk menghentikan perdarahannya sebab perdarahannya cukup besar,” jelas sang dokter.“Baik, Dok. Aku akan melakukan apa saja asal putraku segera diselamatkan,” ucap Inayah. Setelah Inayah menandatangani surat persetujuan, dua jam kemudian operasi pun dimulai. Inayah duduk dengan gelisah di ruang tunggu operasi, harap-harap cemas dengan keadaan putranya. Sementara Izzan terus mendampinginya. Izzan mengajak Inayah untuk mengobrol dan berdzikir bersama untuk mendoakan kelancaran proses operasi Athar. Rasa bersalah tentu membuat Izzan pusing bukan kepayang. Bagaimana pun juga, kecelakaan itu bisa terjadi akibat kelalaiannya dalam berkendara. Sementara itu, kekasih Izzan—Halwa—yang tak lain adalah seorang dokter anak yang bertugas di rumah sakit ini menatap Izzan dan Inayah dari kejauhan. Dia mengerutkan keningnya, bingung sebab tidak biasanya Izzan tampak begitu peduli dengan orang yang bukan kerabat atau pun orang terdekatnya. Karena penasaran, Halwa pun berjalan menghampiri mereka. Dia lantas menyapa Izzan.“Izzan, sedang apa kau ada di sini?” tanya Halwa keheranan. Dia yakin sekali kalau Inayah bukanlah kerabat Izzan sebab Halwa sudah mengenal keluarga besar Izzan. Namun, kenapa Izzan berada di ruang tunggu operasi dengan Inayah? Izzan bangkit berdiri, lalu dia memberikan isyarat kepada Inayah kalau dia akan pergi sebentar. Izzan pun mengajak Halwa untuk mengobrol di tempat yang agak jauh dari Inayah. Pria itu sudah tidak sabar untuk mencurahkan kegelisahan hatinya tentang apa yang baru saja dia sebabkan.“Wanita itu dan putranya baru saja mengalami kecelakaan di depan sekolah milik yayasan kakekku. Sekarang, putranya sedang dioperasi karena ada perdarahan di otaknya,” jelas Izzan sambil mengusap wajahnya dengan gusar.“Jadi, karena itu kau mendampinginya?” tanya Halwa. Bukan, bukannya Halwa merasa cemburu atau apa. Namun, dia hanya merasa aneh karena Izzan sangat perhatian dengan wanita tadi. Sosok Izzan bukanlah sosok pria yang terbuka. Pria itu bahkan kerap kali menutup diri dari wanita di sekitarnya kecuali jika dia benar-benar sudah akrab dengan mereka.“Bukan itu saja, Halwa. Tapi, aku adalah penyebab kecelakaan itu,” ujar Izzan, membuat Halwa terkejut. Halwa membulatkan matanya dengan sempurna, mulutnya menganga saat mendengar pengakuan Izzan. Jika melihat fakta bahwa putra Inayah harus dioperasi, Halwa jadi berpikir kalau kecelakaan itu bukanlah kecelakaan sepele. Namun, kecelakaan yang cukup besar. Lantas, kenapa bisa Izzan menjadi penyebab dari kecelakaan tersebut?“Izzan, apa maksudmu? Aku tidak mengerti. Bisakah kau menjelaskannya secara lebih detail?” tanya Halwa yang ingin tahu mengenai kronologi kecelakaan tersebut.Izzan mengusap wajahnya dengan frustrasi. “Halwa, apakah kau sudah kehilangan akal sehatmu?” tanya Izzan kalut.“Pilihanmu hanya satu, Zan. Kembali padaku atau aku akan mendorong Inayah,” jawab Halwa yang sudah kesetanan.Di saat yang sama, Jody dan Aldi sampai di jembatan itu. Mereka sengaja memarkirkan mobilnya agak jauh dari jembatan supaya tidak ada yang tahu tentang kedatangan mereka.“Astaga, apa yang sedang Halwa lakukan?” gumam Aldi sambil membelalakkan matanya.Posisi Halwa yang membelakangi Aldi dan Jody membuat mereka kesulitan untuk memahami apa yang terjadi. Hingga akhirnya mereka mendengar ancaman demi ancaman yang terlontar dari bibir tipis Halwa.“Kita harus menyelamatkan Inayah dari sana sebelum Halwa mendorongnya,” ucap Jody lirih supaya Halwa tidak mendengar.“Bagaimana caranya? Apakah kau tidak melihat jika Halwa mengikat Inayah di jembatan?” gerutu Aldi cemas.“Pasti ada caranya, Al. Selalu ada cara untuk menyelamatkan seseorang,” balas Jody dengan yakin.Sementa
"Apa kau mendengar suara itu, Al?" tanya Alita ingin tahu."Iya, sepertinya suara itu berasal dari ruangan ini." Aldi menyentuh knop pintu dan ternyata pintunya terkunci. Pria brewok itu mencoba mengetuk pintu sambil bertanya, "Ada siapa di dalam?" Merasa tidak ada jawaban, dua orang itu pun memutar balik namun baru dua langkah memutar balik tiba-tiba terdengar kembali suara orang meminta tolong, dengan sigap Aldi langsung mengetuk pintu itu kembali dan bertanya, "Halo Ada siapa di dalam?" tanya Aldi ingin memastikan."Tolong!!" Terdengar ada jawaban yang meminta tolong akhirnya Aldi bergegas mendobrak pintu tersebut dan alangkah terkejutnya dua orang itu ketika mendapati Al Fattah Shidiq sedang tergeletak di anak tangga bagian bawah dengan posisi kursi roda menimpa tubuhnya."Astagfirullah, Kakek. Bagaimana bisa ini terjadi di mana Izzan dan Inayah?" tanya Alita dan Aldi bersamaan. Aldi dan Alita membantu pria tua itu untuk duduk kembali di atas kursi rodanya, "Izzan edang me
Dan segerombolan pria berseragam datang sembari menyodorkan sebuah pistol ke arah pria tadi. "Borgol dia sekarang," titah pria itu melirik dua orang pria di belakangnya."Kalian tidak akan bisa menangkapku!" serunya masih mengenakan sebuah masker yang menutupi wajahnya."Apa kau masih bermimpi?! Lekas bangun dari ilusimu karena kami sudah menangkapmu sekarang!" jawab seorang pria yang kini sedang berada di daun pintu dengan napas yang ngos-ngosan."Jody," sebut Izzan pelan. Inayah meminta Alita untuk mendekat ke arah Izzan, "Apa kau baik-baik saja, Zan?" tanya Inayah nampak khawatir."Apa kau mulai mengkhawatirkanku?" tanyanya dengan alis terangkat."Tentu saja, kau terluka seperti ini karena melindungiku dan kakek." Inayah menyentuh jemari Izzan dan membawanya untuk segera duduk di atas sofa, melirik sahabatnya untuk ikut membantu maka Alita pun langsung bergegas cepat. "Aku akan memanggil perawat," ucap Alita mengerti bahwa Inayah tidak ingin sampai terlambat mengobati Izzan.
Inayah sontak tertegun, jujur saja dia bingung untuk menjawab apa. Mengingat bagaimana Irsyad dulu pernah ditolak oleh kedua orang tuanya ketika ingin melamar Inayah. "Atas nama orang tuaku, aku memohon maaf.""Maaf untuk apa, Nay?" tanya pria tua itu tak mengerti."Mungkin penolakan orang tuaku beberapa tahun lalu telah menyakiti hati Kakek." Inayah tertunduk malu dan merasa bersalah, jika saja ibunya tidak menulis surat mana mungkin dia bisa tahu bahwa Irsyad pernah berbicara kepada orang tuanya perihal ingin melamar Inayah."Oh, masalah itu Kakek juga tidak terlalu ingat namun waktu itu Irsyad melarang Kakek untuk menemui orang tuamu." Izzan yang ada di ruangan tersebut sontak menatap Inayah, "Apa maksud ucapanmu itu, Nay?" tanya Izzan sangat penasaran, bukankah selama ini yang Izzan tahu bahwa kak Irsyad belum sempat untuk meminangnya, meski dia sudah menyiapkan semua perlengkapan lamaran."Jangan bilang kalau..." Izzan menelisik tajam ke arah Inayah. Seolah dia bisa menebak
"Jalan satu-satunya adalah membawa beliau pergi ke Singapura untuk pengobatan." Dokter hanya berkata seperti itu namun hal tersebut sungguh sangat membubat Izzan bingung."Akan aku usahan, Dok." Izzan mengangguk pelan ndan akan berusaha untuk membujuk kakeknya agar mau melakukan pengobatan. Pria tampan itu kembali masuk ke dalam ruangana tersebut sambil melirik Al Fattah Shidiq yang nampak sangat akrab sekali dengan Inayah, membuat pria itu nampak tersenyum tipis. "Apakah Kakek sudah merasa baikan?" tanya Izzan melirik kakeknya."Alhamdulillah, lumayan membaik, Zan. Bisakah kau bawa Kakek pulang ke rumah?" ucapnya menoleh ke arah cucunya."Kakek kenapa mau pulang? Kondisi Kakek belum membaik sepenuhnya," imbuh Izzan menolak dengan pelan. Pria berlesung pipi itu mencoba untuk menjelaskan bahwa kakeknya harus dirawat di rumah sakit sampai tubuhnya sudah membaik. Izzan habis kata-kata meliha Al Fattah Shidiq selalu saja menolak dan bersikukuh untuk pulang. Melihat Izzan yang t
"Bisakah kau berhenti membekapku?" ketus Alita tak senang. Gadis cantik itu menoleh ke arah Aldi sambil bertanya, "Memangnya apa yang terjadi?" Aldi mengedarkan sepasang bola matanya melihat ke penjuru arah lalu berjalan mendekati Alita, menarik tangan gadis itu untuk mendekatinya sambil berbisik dan mengatakan kejadian yang terjadi dan penyebab Inayah terluka."Apa? Dasara gadis licik!" ketusnya tak senang."Maka dari itu, sebelum Izzan pulang kita harus menjaga mereka dengan baik. Perhatikan dokter dan perawat yang masuk," imbuh Aldi mengingatkan Alita."Kau tenang saja ku paling ahli dalam memeriksa orang, memangnya Izan pergi ke mana?" tanya Alita ingin tahu."Izzan pergi memeriksa perusahaan I2 Group, ada sedikit masalah yang mendadak jadi dia pergi ke sana. Bila ada Izzan maka hal ini tidak akan terjadi, andai saja aku tidak menerima telpon maka hal seperti ini tak akan terjadi," tandasnya penuh sesal dan merasa bersalah. Alita menghela napas beratnya, dia tidak pernah t
"Al, cepat selamatkan kakek," balasnya seraya ikut berteriak dan masih menarik kaki Halwa."Kalian tak akan bisa menyelamatkan pria tua itu," imbuh Halwa langsung mendorong Inayah lagi."Mau sekuat apa pun kau mendorongku, aku akan tetap kokoh dan aku tak akan membiarkanmu mencelakai kakek." Inayah sekuat tenaga memegang kaki Halwa agar gadis itu tak mengejar Aldi. Halwa berusaha menendang tubuh Inayah yang sudah terguling dan sepertinya kaki perempuan itu terluka namun dia menahan rasa sakit itu agar bisa menahan Halwa melihat segerombolan pria berseragam membuat Inayah tak mampu lagi untuk menahan Halwa."Tangkap gadis itu sekarang!" Salah satu pria itu langsuang menarik tangan Inayah dan membawanya untuk diperiksa."Kalian bawa dia ke kantor polisi sekarang!" teriak si ketua itu yang tak lain adalah Jody. Jody menggendong tubuh Inayah dan membawanya ke ruangan unit gawat darurat. "Dok, selamatkan Inayah." Jody nampak panik sekali melihat banyak sekali darah yang menetes dar
Pria tua itu meminta Inayah untuk duduk berjongkok dan dia membisikkan sesuatu kepada Inayah, alangkah terkejutnya Inayah ketika mendengar hal tersebut. Dia benar-benar tidak menyangka bila hal tersebut akan menimpah Al Fattah Shidiq. "Baik, Kek. Ayo." Inayah mendorong kursi roda pria tua itu. Diiringi oleh Aldi yang membawa sebuah tas tengah dijinjingnya, pria brewok itu masih sibuk dengan headseat di telinganya namun sepasang bola matanya terus melihat sekeliling arah. Mengawasi bila saja ada hal buruk yang terjadi."Baiklah, aku akan mencari tempat dulu, di sini suaramu tidak terlalu jelas." Aldi menyentuh pundak Inayah seraya berkata, "Naya, aku terima telpon dulu ya.""Iya, aku akan menunggu di mobil ya." Inayah mengangguk pelan. Pria tua itu terus menoleh ke belakang sambil meminta Inayah untuk lewat jalan yang tak dipenuhi dengan banyak orang. "Lewat mana ya, Kek?" tanya Inayah tak paham."Kau ikuti instruksi kakek saja." Mereka hampir saja sampai di pertengahan jal
"Tentu saja," jawab Aldi dan Inayah bersamaan."Baiklah, kalau begitu!" seru Izzan langsung berjalan mendekati sang kakek sambil emnyentuh jemari yang sudah sangat keriput dan semakin tua itu. "Kek, maafkan aku! Dengan sangat terpaska aku harus meninggalkan kakek dulu, perusahaan kak Irsyad dalam masalah. Aku titip kakek pada Inayah," bisiknya pelan. Untuk kedua kalinya, pria tampan dengan lesung pipi itu mengucapkan maaf pada sang kakek. Sangat berat bagi Izzan untuk meninggalkan sang kakek, jika saja itu perusahaannya maka dia tak akan pergi namun mengingat kerja keras sepupunya maka h itu harus dia lakukan."Al, aku titip kakekku dan Naya ya." Izzan menatap Aldi penuh harap."Iya, Zan. Aku akan menjaga mereka dengan baik kok." Inayah memandangi kepergiaan Izzan yang begitu sedih, ia tahu bahwa pria itu tak ingin pergi namun amanah mendiang Irsyad harus dilaksakannya. "Semoga saja kakek segera sadar ya, Al." Inayah duduk di samping sang kakek sambil memandangi wajah pria tua
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments