Share

Akhirnya Masa Kritis Terlewati

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, dan hari berganti minggu. Sudah hampir dua minggu Athar dirawat di ruang ICU namun belum ada tanda-tanda kapan anak kecil itu akan sembuh. Sehari paling tidak tiga puluh menit dokter mengizinkan Inayah untuk menemani Athar di ruang ICU untuk memberikan dukungan supaya anak itu mau membuka matanya.

“Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah aku sudah berkali-kali berkata kalau kau tidak perlu ke sini lagi,” tanya Inayah kepada Izzan yang baru saja datang ke ruang tunggu ICU sambil membawa dua kotak makanan.

“Hatiku tidak akan pernah bisa tenang kalau Athar belum siuman,” jawab Izzan apa adanya.

“Ayo, kita makan dulu. Aku tahu kalau kau pasti belum sarapan.”

“Tidak perlu. Aku belum lapar,” tolak Inayah kemudian mengambil tempat untuk duduk.

Kruk ....

Baru saja Inayah menolak tawaran Izzan, perutnya justru bersuara menandakan kalau dia sedang lapar. Cacing-cacing di perut Inayah seolah ingin segera makan saat Inayah mendengar bahwa Izzan membawakan makanan untuknya.

“Tidak usah gengsi. Kau menunggu Athar di luar sini juga butuh tenaga. Kalau kau ikutan sakit, siapa nanti yang akan menjaga Athar?” tanya Izzan kemudian menyodorkan sekotak makanan kepada Inayah.

Meski awalnya menolak, Inayah akhirnya menerima makanan yang dibawakan oleh Izzan sebab ucapan Izzan tadi membuatnya tersadar kalau dia tidak boleh terus-menerus bersikap egois dan malah nantinya akan mengecewakan Athar.

Hari pun silih berganti, namun Izzan masih tidak ada henti-hentinya datang ke rumah sakit meski kerap kali mendapatkan perlakuan dingin dari Inayah. Pria itu selalu datang setiap pagi untuk membawakan Inayah sarapan lalu akan pulang setelah pukul sepuluh siang. Izzan melakukan hal itu tanpa mengeluh sedikit pun, seolah hal tersebut sudah menjadi rutinitasnya setiap hari.

Sementara itu, Halwa yang melihat apa yang dilakukan oleh Izzan mulai merasa cemburu. Bagaimana tidak? Selama dia menjadi kekasih Izzan, belum pernah pria itu rela datang ke rumah sakit setiap paginya demi mengirimi Halwa sarapan. Halwa benar-benar tidak suka dengan sikap Izzan yang jauh lebih perhatian dengan Inayah ketimbang dirinya.

“Izzan!” Halwa berseru ketika dia melihat Izzan melintas di koridor rumah sakit.

Izzan menoleh dan tersenyum saat mendapati Halwa berjalan menghampirinya.

“Selamat pagi, Bu Dokter,” sapa Izzan sambil bergurau, membuat Halwa tersipu malu karenanya.

“Kau akan menjenguk Athar?” tanya Halwa, seolah dia tidak tahu dengan apa yang dilakukan oleh Izzan akhir-akhir ini.

“Aku membawakan sarapan untuk Inayah. Dia pasti tidak punya waktu untuk pergi membeli makanan pagi-pagi seperti ini,” jawab Izzan tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Halwa mengangguk-anggukkan kepala. Dia berusaha untuk tetap tersenyum meskipun sejujurnya hatinya sangat dongkol dengan sikap Izzan yang kurang menghargai Halwa sebagai kekasihnya.

“Aku pergi dulu, Halwa. Nanti kita mengobrol lagi. Aku takut makanan ini akan dingin kalau kita mengobrol terlalu lama,” ujar Izzan undur diri.

Pria itu lantas meninggalkan Halwa yang masih mematung di tempatnya tanpa sekali pun menoleh. Bisa dibilang Izzan adalah tipe pria yang tidak begitu sensitif terhadap perasaan wanita, oleh karena itu dia tidak bisa menangkap sinyal kekesalan yang dipancarkan oleh Halwa.

Saat sampai di depan ruang tunggu ICU, Izzan merasa heran sebab dia mendapati ruang tunggu yang kosong. Padahal, biasanya selalu ada Inayah yang sedang duduk di sana. Izzan pun mengintip ke jendela ruang ICU dan menahan napasnya saat dia mendapati para dokter sedang mengerubuti Athar dan Inayah berada di dekat ranjang. Pria itu lantas merapal segala doa supaya hal buruk tidak terjadi kepada Athar.

Karena khawatir, Izzan pun menerobos masuk ke dalam ruang ICU meskipun dia tahu kalau orang-orang yang memasuki ruang ICU harus memakai pakaian yang steril dan tidak boleh ada banyak orang yang masuk. Namun, karena dia tidak mau berdiam diri seperti orang bodoh sementara Inayah sendirian di dalam, dia pun nekat dan memberanikan diri untuk masuk.

“Inayah, apa yang terjadi?” tanya Izzan pelan, menyerupai sebuah bisikan.

Inayah diam saja sambil terus menatap lurus ke arah Athar yang masih diperiksa oleh para dokter yang menangani Athar.

Tak berselang lama kemudian, dokter mulai membalik badan dan tersenyum ke arah Inayah. “Selamat, Bu. Putra Anda telah melewati masa kritisnya,” ucap sang dokter, membuat Inayah dan Izzan merasa lega saat mendengarnya.

“Lalu, apakah putra saya bisa segera dipindahkan ke ruang rawat, Dok?” tanya Inayah.

“Kita tunggu dulu perkembangannya satu atau dua hari lagi. Kalau kondisinya terus stabil, dia baru bisa dipindahkan ke ruang rawat biasa. Untuk saat ini, biarkan pasien banyak beristirahat dan jangan mengganggunya kalau dia ingin tidur karena itu adalah cara kami untuk menenangkan otaknya,” jelas sang dokter.

Inayah mengangguk. “Baik, Dok. Terima kasih,” ucap Inayah sambil tersenyum penuh haru.

Setelah dokter pergi, Inayah pun berjalan mendekati ranjang dan menatap sang putra yang kini tersenyum lemah ke arahnya. Ya, alasan dokter-dokter tadi mengerubuti Athar adalah karena akhirnya sadarkan diri setelah mengalami koma selama dua minggu lamanya.

“Athar, ini ibu, Sayang. Akhirnya kau sadar juga,” ucap Inayah, menahan air matanya yang sewaktu-waktu bisa keluar sebab dia merasa kalau perjuangan dan doanya selama ini telah dikabulkan oleh Tuhan.

“Ibu ....” Menyadari jika ibunya tidak sendirian, Athar lantas menoleh. Senyumnya lagi-lagi mengembang saat dia melihat kalau Izzan juga ada si sana. “Pak Izzan!”

Merasa dipanggil, Izzan lantas ikut menghampiri ranjang pasien sambil tersenyum. “Hai, Athar. Akhirnya kau sadar. Dari kemarin ibumu selalu menangis karena memikirkan tentang kondisimu,” sapa Izzan.

“Benarkah, Bu?” tanya Athar sambil menoleh ke arah ibunya.

“Tidak. Pak Izzan berbohong,” ucap Inayah.

“Pak Izzan tidak mungkin berbohong karena di sekolah Pak Izzan selalu mengajarkan aku dan teman-teman supaya tidak berbohong,” balas Athar.

Inayah tersenyum tipis. “Sudah, sudah. Lebih baik kau banyak-banyak istirahat dulu. Kata dokter kau harus banyak istirahat untuk mengembalikan staminamu.” Inayah mencium dahi sang putra, lalu berkata, “Ibu akan menunggu di ruang tunggu, Athar. Tenang saja, ibu tidak akan ke mana-mana.”

Setelah berpamitan dengan Athar ... Inayah dan Izzan keluar dari ruang ICU. Keduanya kini dapat merasa lega sebab Athar akhirnya mau membuka matanya.

“Pak Izzan, ada sesuatu yang harus kita bicarakan,” ucap Inayah.

Izzan mengangkat sebelah alisnya. “Bicara tentang apa?”

“Anda tahu tentang perjanjian kita waktu itu, bukan? Kalau terjadi sesuatu dengan Athar maka aku akan menuntut Anda.” Inayah menghela napasnya. “Sekarang karena Athar sudah sadar, Anda tidak perlu datang ke sini lagi. Anda tidak perlu merasa bersalah lagi. Aku tidak akan menuntutmu,” ucap Inayah dengan tegas.

“Tapi, bagaimana jika aku masih ingin datang ke sini untuk bertemu kalian?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status